• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran

Kegiatan pengembangan masyarakat pada intinya adalah partisipasi dari masyarakat. Partisipasi tersebut mengedepankan apa yang dimiliki oleh masyarakat yang menjadi potensi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Potensi-potensi yang melekat pada masyarakat (manusia-manusianya) merupakan modal sosial. Modal sosial tersebut dapat berdiri sendiri, maupun sudah menjadi sebuah kelembagaan dan gerakan sosial.

Pengembangan masyarakat tersebut merupakan kegiatan yang mempunyai tujuan akhir mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974, kesejahteraan tersebut tidak hanya berupa tercukupinya kebutuhan jasmani saja, melainkan mencakup semua kebutuhan manusia termasuk kebutuhan rohani, maupun sosial. Pemikiran yang sekuler mengakibatkan kesejahteraan yang dimaksud tidak dapat terpenuhi semuanya, sebab ajaran agama tidak dilaksanakan secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.

Secara teoritis, penelitian ini bersandar kepada teori kesadaran kolektif atau solidaritas sosial, serta teori tentang fungsi agama dari Durkheim (1964) dan teori makna kehidupan dari Max-Weber (1964). Secara esensial ditegaskan bahwa agama berfungsi memelihara kesatuan sosial. Agama dalam menciptakan sistem makna yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk mengarahkan perilaku sosial dan kontrol sosial. Melalui kedua pengaruh itu, agama berfungsi sebagai lembaga kreatif dan stabilisator dalam masyarakat. Oleh karena itu lembaga keagamaan dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menjadi manusia sebenarnya, maka perilaku manusia tersebut tidak boleh lepas dari koridor agama. Sebagian besar rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Desa Banjaran pada khususnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu wajar apabila penulis menyoroti kesejahteraan sosial dari sudut pandang agama Islam.

Agama Islam mengandung ajaran yang sangat lengkap tentang hidup dan penghidupan. Aspek-aspek pembahasan dalam agama Islam tidak hanya terkungkung pada aspek spiritualitas saja, namun benar-benar mengatur segala aspek kehidupan yang ada. Dengan demikian, kesejahteraan yang ditawarkan oleh Islam bukan pada orientasi ekonomi belaka yang bersifat relatif, namun meliputi semua sendi kehidupan

sebagai manusia baik dalam hubungannya dengan Allah yang bersifat peribadatan ritual, hubungannya antar sesama manusia (seperti kewajiban berbuat baik, adil, jujur, ketentuan dalam bermuamalat seperti tercatat, adanya saksi, transparansi, dan accountable, dan lain-lain), serta hubungannya dengan makhluk lainnya.

Berkaitan dengan implementasi ajaran agama tersebut, hasil keputusan muhtamar IV Dewan Masjid Indonesia (DMI) tahun 1999 menegaskan bahwa selain sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat pengembangan/pemberdayaan masyarakat serta menjadi tempat pembinaan persatuan umat (Budiarto, 2004). Masjid merupakan tempat ibadah bagi pemeluk agama Islam/muslim sekaligus sebagai pusat kegiatan bagi muslim dalam segenap aspek kehidupannya. Namun demikian, kehidupan yang sekuler pada diri bangsa Indonesia telah mempersempit ruang peran dari masjid tersebut. Masjid cenderung hanya digunakan sebagai tempat ibadah ritual saja (sholat), meskipun pada beberapa masjid ada yang sudah menjalankan peran masjid sebagai tempat pendidikan dengan adanya pengajian, dan pengumpulan zakat fitrah setahun sekali. Peran masjid yang demikian tentu saja masih sangat jauh dari peran masjid yang sebenarnya. Pengelolaan masjid pun sekarang cenderung kurang diperhatikan. Profesionalisme dalam pengelolaan masjid dianggap kurang diperlukan (Ayub, dkk, 2001), akibatnya masjid termarjinalisasi dalam kehidupan muslim sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam rangka mencapai kesejahteraan, pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui masjid dengan jalan mengembalikan peran masjid yang sebenarnya, dan penguatan kapasitas kelembagaan masjid tersebut secara profesional. Gambaran hubungan Islam dan kesejahteraan tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan Islam dengan Kesejahteraan

Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa Islam mengatur manusia dalam semua sendi kehidupan, baik spritual, idiologi, militer, sosial, pendidikan, politik, ekonomi, kenegaraan, dan sendi-sendi lainnya. Islam mempunyai masjid sebagai pusat ibadah sekaligus pusat kegiatan umat Islam, apabila penguatan masjid tersebut dilakukan, maka kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Kapasitas suatu kelembagaan mencakup lima faktor, yaitu kepemimpinan (leadership), proses perencanaan program, pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar. Berdasarkan penjelasan-penjelasan Daryanto (2004), Uphoff (1986) dan Syahyuti (2003) di atas, penguatan kelembagaan dapat dilakukan dalam beberapa aspek, yaitu :

1. Perubahan peran dan fungsi kelembagaan tersebut 2. Penguatan nilai dan norma

3. Pengutan kapasitas kelembagaan melalui penguatan program, teknologi, informasi, jejaring, dan kepemimpinan.

PENDIDIKAN IDIOLOGI EKONOMI MILITER POLITIK KENEGARAAN SPIRITUAL SENDI LAIN

MASJID

PENGUATAN KESEJAHTERAAN

ISLAM

SOSIAL

Penguatan kelembagaan tersebut secara garis besar dapat dikategorikan menjadi penguatan faktor dalam kelembagaan dan faktor luar kelembagaan. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi penguatan kelembagaan masjid terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi yaitu fasilitas masjid, pengurus, jamaah, dan kegiatan masjid, sedangkan faktor eksternal berupa dukungan pihak luar (Ayub,dkk.2001). Faktor fasilitas berupa kelengkapan sarana dan prasarana masjid, seperti tempat wudhu, bangunan tempat sholat, dan alat komunikasi, sedangkan faktor pengurus berupa kelengkapan, keaktifan, dan profesionalitas pengurus. Adapun jamaah mempengaruhi kelembagaan masjid dalam hal berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pengurus masjid. Kegiatan-kegiatan masjid sendiri sangat mempengaruhi kelembagaan masjid, apa saja kegiatan-kegiatan masjid, apa sudah mencakup kebutuhan-kebutuhan masyarakat atau belum. Faktor dari luar dapat dilihat dari hubungan antara masjid dengan pihak luar, seperti pemerintah, LSM,maupun swasta, baik berupa bantuan dari pemerintah, maupun kerjasama antara masjid dengan pihak luar.

Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut mempengaruhi kapasitas kelembagaan musholla. Kapasitas kelembagaan musholla yang baik dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. Secara jasmani berupa sandang, pangan, papan, dan kesehatan; secara rohani berupa kepatuhan kepada Allah, dan pendidikan; sedangkan sosial berupa kedamaian dan keharmonisan dalam bertetangga dan bermasyarakat; dengan indikator operasional sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Faktor Internal -Kelengkapan Fasilitas -Keaktifan,kelengkapan, dan profesionalitas Pengurus Keaktifan Jamaah Faktor Eksternal Dukungan/ kerjasama Pihak Luar

Kapasitas

Kelembagaan

Musholla

- kecocokan kepemimpinan - proses perencanaan program, - pelaksanaan program,

- alokasi sumber daya, - hubungan kerjasama

dengan pihak luar.

Kesejahteraan

Jasmani : Pangan, sandang, papan, kesehatan

Rohani: Kepatuhan pada Allah, dan pendidikan Sosial : damai dan harmonis dalam bertetangga & bermasyarakat

Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa jika faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kelembagaan musolla baik, maka kapasitas kelembaaan musholla akan baik. Jika kapasitas kelembagaan musholla baik, maka kesejahteraan akan tercapai.

Shihab (2006) memberikan prioritas utama bagi pembinaan jiwa manusia sebagai langkah awal dalam upaya mencapai kesejahteraan, karena dengan pembinaan tersebut akan diperoleh spiritual dan moral yang baik. Pembinaan tersebut dimulai dengan memberikan pengetahuan agama yang komprehensif. Jika landasan spiritual dan moral baik, maka manusia akan mengaplikasikan pengetahuan umum, dan kerjanya selaras dengan nilai-nilai luhur dari agama.

Alur Kerja

Kajian ini bermaksud untuk menghasilkan program penguatan musholla dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alur kerja yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi kapasitas kelembagaan musholla. Kapasitas kelembagaan tersebut berupa kepemimpinan (leadership), proses perencanaan program, pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar; 2. Menganalisa kekurangan dan kelebihan kapasitas musholla. Analisa tersebut

mengidentifikasi kelemahan , kekuatan, ancaman, dan kesempatan kapasitas kelembagaan musholla.

3. Berdasarkan kelemahan , kekuatan, ancaman, dan kesempatan dari hasil analisa tersebut selanjutnya dilakukan penyusunan program penguatan kapasitas kelembagaan musholla;

Penguatan kapasitas kelembagaan musholla tersebut dimaksudkan untuk menguatkan kelembagaan musholla guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sasaran dari kegiatan musholla (hasil penguatan kapasitas musholla) adalah jamaah musholla Khoirus Subban yang miskin dan memiliki pengetahuan agama yang kurang. Kapasitas kelembagaan yang baik diharapkan dapat merubah kondisi jamaah yang miskin dan kurang pengetahuan agama menjadi lebih baik, dengan indikator berkurangnya jumlah jamaah yang miskin, dan meningkatnya pengetahuan agama jamaah. Sasaran dari kapasitas musholla yang telah diperkuat adalah jamaah yang miskin dan kurang pengetahuan agama, dalam gambar alur kerja di bawah

disimbolkan dengan tanda plus (+), program penguatan kelembagaan musholla dan sasarannya merupakan satu kesatuan sehingga dapat digambarkan dalam sebuah kotak dengan garis terputus-putus, selanjutnya diharapkan sasaran tersebut menjadi lebih baik (dengan berkurangnya jumlah jamaah yang miskin dan bertambahnya pengetahuan agama jamaah) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan jamaah. Kata jamaah berasal dari definisi masyarakat sendiri dimana tiap musholla mempunyai jamaah yang dapat diabsen satu-persatu meskipun tidak terdaftar secara tertulis. Alur kerja dalam kajian kelembagaan musholla ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Alur Kerja

Identifikasi Kapasitas