• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG N0.13 TAHUN

F. Evaluasi Terhadap Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Dalam

Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi itu memiliki beberapa tujuan antara lain :

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajad pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan.

3. Mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak dari suatu kebijakan baik dampak positif maupun dampak negatif.

5. Untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasran dengan pencapaian target.

6. Memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Undang-undang No.13 Tahun 2003 belum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana undang-undang ini dapat mencapai sasaran sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam UU ini akan dijelaskan penulis.

1. Kebijakan Pengupahan Belum Mencapai Upah Yang Layak

Upah yang layak bagi buruh masih menjadi pokok tuntutan yang paling penting dalam perjuangan buruh. Perdebatan tentang nilai upah yang telah disepakati baik oleh buruh dan pengusaha masih terus berlangsung. Dalam satu sisi, buruh menganggap bahwa upah yang mereka terima tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka, ditambah lagi dengan kenaikan-kenaikan harga barang- barang setiap tahun. Sementara di sisi lain, pengusaha sering menganggap bahwa kenaikan upah buruh akan menambah biaya untuk produksi sehingga pengusaha terkesan enggan dalam membicarakan tentang upah.

Upah adalah balasan terhadap buruh ketika telah memberikan hasil kerjanya kepada pengusaha. Dalam UU No.13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjanjian kerja, kesepakatan kerja atau peraturan perundang- undangan termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Besarnya upah yang diterima oleh buruh ditentukan oleh banyak faktor antara lain status kerja, waktu lembur, tunjangan-tunjangan, UMP dan lain-lain. Seperti yang tertera dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 88 bahwa ” setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/buruh. Selain diatur dalam UU No.13 Tahun 2003, persoalan pengupahan dan perlindungan buruh banyak diatur dalam surat edaran Menaker, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menaker. Tujuannya agar peraturan yang cukup jelas mengenai pengupahan terutama penghitungan upah sehingga harapannya para buruh tahu upah yang semestinya didapatkan.

Dalam kebijakan pengupahan yang melindungi buruh untuk memenuhi penghidupan yang layak dalam pasal 88 UU No.13 Tahun 2003 terdiri dari :

a. Upah Minimum b. Upah Kerja Lembur

d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaan

e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya. f. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah g. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional

h. Upah untuk pembayaran pesangon; upah untuk penghitungan pajak penghasilan

i. Bentuk dan cara pembayaran upah j. Denda dan potongan upah

Selain Penetapan Upah Minimum provinsi perlindungan terhadap upah juga dilakukan dengan pembayaran upah pekerja menurut waktu yang ditetapkan. Sehingga jika pengusaha terlambat dalam membayar upah maka pengusaha wajib memberikan tambahan upah (bunga) sesuai dengan Peraturan Pemerintah dan apabila pengusaha dinyatakan pailit maka upah pekerja merupakan hutang yang harus didahulukan dan buruh juga diberi Tunjangan Hari Raya bagi buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih.

Pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan pengusaha dan buruh/Serikat buruh serta tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 UU No.13 Tahun 2003). Dalam Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2014 Gubernur Sumatera Utara memutuskan, Kesatu : Upah Minimum Kota

Ribu Rupiah) per bulan. Kedua: Upah Minimum Kota Pematangsiantar sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu merupakan upah terendah dan hanya berlaku bagi Pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedang untuk pekerja yang mempunyai masa kerja 1(satu) tahun atau lebih dibandingkan secara Bipartit antara Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Buruh dengan pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan secara musyawarah dan dimuat dalam materi kesepakatan kerja. Ketiga : Perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari Ketetapan Upah Minimum Kota Pematangsiantar Tahun 2014 yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur ini, dilarang untuk mengurangi atau menurunkan upah. Keempat : Bagi perusahaan besar dan mampu membayar upah di atas upah Minimum Kota Pematangsiantar yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur ini dapat dirundingkan secara Bipartit antara Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh dengan pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan secara musyawarah dan dimuat dalam materi Kesepakatan Kerja. Kelima : Keputusan Gubernur mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2014.21

Berdasarkan hasil survei dengan beberapa buruh yang mengatakan bahwa tingkat upah minimum belum dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini disebabkan karena upah yang diterima buruh masih lebih kecil daripada pengeluaran riil buruh. Rendahnya daya beli upah minimum sering sekali dijadikan patokan pengupahan oleh pengusaha dan bahkan upah minimum dijadikan pengusaha menjadi upah maksimum.

21

Upah minimum yang seharusnya diberikan kepada buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun diberikan kepada semua buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Sehingga hal ini tentu saja bertentangan dengan undang- undang. Ketidakmampuan upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak menjadi masalah bagi buruh, pengusaha dan pemerintah sekaligus. Di sisi buruh, rendahnya daya beli upah minimum terhadap kebutuhan buruh menyebabkan buruh harus hidup hemat.

Dasar pemikiran penetapan upah minimum adalah bahwa upah minimum merupakan langkah untuk mencapai penghasilan yang layak untuk mencapai kesejahteraan buruh dengan memperhatikan aspek produktivitas dan kemajuan perusahaan. Penetapan kebijakan upah minimum yang dibuat oleh pemerintah didasarkan pada kebutuhan hidup minimum, indeks harga konsumen, kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, tingkat upah yang berlaku, keadaaan pasar, tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi dan pndapatan per kapita.

Dalam penetapan upah minimum, Dewan Pengupahan memegang peranan yang paling penting ang berfungsi untuk merumuskan besar upah minimum yang menjadi dasar penetapan upah minimum oleh Kepala Daerah. Dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa upah minimum yang diterima buruh diharapkan dapat mencapai tahap kehidupan yang layak.

Tetapi sejak ditetapkan, pelakasanaan upah minimum belum dapat berjalan dengan lancar. Di sisi pengusaha, persoalan meliputi keberatan pengusaha terhadap kenaikan tahunan upah minimum yang dianggap sebagai beban bagi pengusaha dan sisi buruh persoalan yang muncul adalah tidak patuhnya pengusaha terhadap ketentuan kenaikan upah minimum.

Dalam wawancara dengan seorang buruh yang mengatakan :

Undang-undang ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 ini memberikan secara jelas tentang pekerja/ buruh, tetapi sampai saat ini belum dapat kami rasakan dengan baik. Jika undang-undang tersebut sudah berjalan sebagaimana mestinya maka kami tidak akan melakukan demo kepada perusahaan. Penghitungan upah yang tidak transparan yang kami rasakan menuntut kami untuk menguji undang-undang tersebut kepada pemerintah. Kami berharap pemerintah dapat membantu kami dalam memperoleh upah yang seharusnya menjadi hak kami.

Hal ini menunjukkan bahwa implementasi undang-undang tenaga kerja tentang pengupahan untuk mewujudkan kesejahteraan buruh belum dapat terwujud dengan baik. Kurangnya kesadaran pengusaha dalam mewujudkan kesejahteraan buruh menjadi faktor penghambat implementasi undang-undang ini. Selain itu pengawasan yang kurang dari pemerintah menyebabkan masih banyaknya perusahaan yang memberikan upah di bawah standar upah minimum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua SBSI DPC Kota Pematangsiantar, mengatakan bahwa :

Dalam pengimplementasiannya UU No.13 Tahun 2003 khususnya dalam pengupahan belum dapat sepenuhnya berjalan dengan semestinya sebab tidak dapat dipungkiri masih banyaknya pengusaha yang berusaha mendapatkan keuntungan yang besar tanpa memperhatikan kesejahteraan

buruh. Keuntungan yang tidak maksimal sering menjadi alasan pengusaha untuk memberikan upah buruh di bawah Upah Minimum Provinsi yang telah ditentukan. Namun dalam hal ini SBSI sebagai penyeimbang dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan buruh harus dapat bernegoisasi dan berunding dengan pengusaha sebab jika keuntungan tidak maksimal atau bahkan mengalami kerugian seharusnya perusahaan tersebut tutup dan tidak memaksakan untuk memperkerjakan buruhnya.22

Upah Minimum Provinsi yang telah ditetapkan pemerintah adalah acuan minimal pengusaha dalam memberikan upah kepada buruh sehingga sangat ironis jika dalam realitanya pengusaha mampu memberikan upah di bawah UMP yang sudah ditetapkan terkhusus di kota Pematangsiantar. Upah yang diterima buruh merupakan salah satu indikator kesejahteraan buruh. Sebab dengan penghasilan yang diterimanya buruh dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu sebagai salah satu alternatif yang membantu perekonomian buruh SBSI mendirikan sebuah Koperasi Buruh yang bertujuan untuk membantu buruh apabila membutuhkan pinjaman atau kebutuhan lainnya. Pemerintah juga harus dapat bersifat netral apabila terjadi konflik dan perselisihan antara pengusaha dengan buruh. SBSI bukanlah Serikat Buruh yang berusaha menekan kaum pengusaha namun SBSI berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan antara kaum buruh dengan pengusaha agar dalam hubungan industri buruh dengan pengusaha dapat berlangsung dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan. Sebab sangat ironis jika pemerintah lebih memihak kepentingan pengusaha daripada kepentingan buruh.

Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah akan melindungi buruh jika Undang-undang tersebut benar terlaksana namun seperti yang terjadi di lapangan bahwa upah dan kesejahteraan belum dapat dicapai dengan baik. Buruh adil dan sejahtera, masih jauh panggang dari api. Penghitungan upah yang tidak transparan menjadi penghalang buruh dalam menuntut transparansi haknya. Fasilitas perusahaan yang tidak memadai juga menjadi faktor penghambat kesejahteraan buruh. Sebab dalam memenuhi kebutuhan pokoknya buruh masih banyak mengalami kesulitan. Berhasilnya undang-undang ini akan lebih terjamin jika pemerintah benar-benar berpihak terhadap buruh, namun yang sering terjadi adalah kebijakan yang dibuat pemerintah hanya bersifat tertulis tanpa realisasi nyata. Kesejahteraan buruh merupakan suatu hal yang belum dapat diwujudkan pemerintah hingga saat ini. Sampai saat ini pemerintah belum dapat mewujudkan kesejahteraan buruh hal ini dapat kita lihat dari ketimpangan yang terjadi pengusaha lebih mudah diberikan jaminan dan fasilitas kredit oleh pemerintah sedangkan buruh belum dapat hidup sejahtera.

Kebijakan pemerintah untuk menetapkan upah minimum merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mensejahterakan buruh. Upah minimum ini diharapkan dapat membantu peningkatan upah yang layak bagi kaum buruh. Kebijakan yang tertuang dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 khususnya dalam hal pengupahan pada awalnya mendapatkan respon yang positif dari kaum buruh. Hal ini karena buruh merasa lebih terjamin dalam memperoleh haknya.

Tetapi yang terjadi adalah bahwa undang-undang yang dikeluarkan pemerintah ini belum mendapatkan hasil yang maksimal. Sebab walaupun undang-undang telah ditetapkan, pemerintah harus tetap siaga dalam mengawasinya. Yang terjadi saat ini adalah pemerintah hanya berfungsi sebagai pembuat kebijakan (regulator) saja dan untuk pengimplementasiannya diserahkan kepada pengusaha. Sebab dalam masalah pengupahan pengusaha dan buruh memiliki perbedaan kepntingan. Buruh membutuhkan upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sementara pengusaha akan berusaha untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Demonstrasi yang dilakukan buruh menunjukkan bahwa mereka dengan ketidakberdayaannya berusaha untuk mendapatkan hak yang lebih baik. Sementara jika pemerintah tetap pada posisi yang tidak dapat menekan pengusaha maka undang-undang yang telah ditetapkan hanya akan sekedar undang-undang tanpa ada pengimplementasian yang jelas.

Banyaknya tuntutan buruh terhadap upah yang layak menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada buruh. Seperti yang dikitakan Karl Marx bahwa negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum melainkan untuk kepentingan kelas atas. Begitu juga halnya dengan UU No.13 ini. Undang-undang ini akan berjalan dengan baik apabila negara bersikap tegas terhadap nasib buruh dan negara dapat menekan para pengusaha yang tidak mematuhi undang-undang yang telah ditetapkan

pemerintah tetapi yang terjadi adalah bahwa pemerintah lebih sering berpihak kepada pengusaha.

2. Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Oleh Perusahaan

Dalam hubungan industri Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terlepas dari hak-hak, syarat-syarat, unsur-unsur yang termasuk PHK dan prosedur PHK itu sendiri yang harus dipenenuhi oleh pengusaha ketika terjadi pengakhiran hubungan kerja. Hal ini bermaksud untuk melindungi buruh. Dalam Pasal 150 UU No.13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dengan pengusaha.

Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) yang dikenal sebagai hakim Ad Hoc yang efektif berlaku, baik pengusaha maupun buruh harus tetap melaksanakan segala kewajiban atau pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasanya diterima buruh (Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 dan menurut Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK jika buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus, buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena

memenuhi kewajibannya terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, buruh menikah, buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya, buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus Serikat Buruh, buruh melakukan kegiatan Serikat Buruh di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kera bersama, karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan, dan buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit akibat hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003.

Penghitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut menurut Pasal 156 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003. Masa kerja 1 tahun adalah sebulan upah, masa kerja 1 tahun/lebih tetapi kurang dari 2 tahun adalah dua bulan upah, masa kerja 2 tahun tetapi kurang dari 3 tahun adalah 3 bulan upah, masa kerja 3 tahun tetapi kurang dari 4 tahun adalah 4 bulan upah, masa kerja 4 tahun tetapi kurang dari lima tahun adalah 5 bulan upah, masa kerja 5 tahun tetapi kurang dari enam tahun adalah 6 bulan upah, masa kerja enam tahun tetapi kurang dari 7 tahun

adalah 7 bulan upah, masa kerja 7 tahun tetapi kurang dari 8 tahun adalah 8 bulan upah dan masa kerja 8 tahun atau lebih adalah 9 bulan upah.

Berdasarkan undang-undang pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat seperti melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/ atau uang milik perusahaan. Buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 dan ditambah dengan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB (bila tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung) diatur dalam Pasal 162 UU No.13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup (Pasal 164 UU No.13 Tahun 2003) atau perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa perusahaan melakukan efisiensi, buruh berhak mendapat dua kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Dan pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena perusahaan pailit, bila hubungan kerja berakhir karena buruh meninggal dunia, ahli waris buruh berhak mendapatkan dua kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (pasal 166 UU No.13 Tahun 2003).

Kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja adalah untuk memberikan jaminan agar buruh

dapat menerima haknya jika mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan. Sebab dalam undang-undang tersebut sudah jelas dikatakan bahwa perusahaan dapat memberhentikan pekerja/buruh dengan ketentuan undang- undang yang berlaku. Pemutusan hubungan kerja sebenarnya dilakukan apabila kondisi perusahaan tidak memungkinkan lagi untuk mempekerjakan buruh.

Dalam beberapa kasus yang terjadi antara lain di PT. Bank Mega Syariah Jalan Sutomo Kota Pematangsiantar, PT. Karyabhakti Manunggal Jl. Medan Km.7,5, Pematangsiantar, PT. Fast Food Indonesia, Tbk, PT. Suzuki Finance Indonesia, PT. Angin Timur Sosro dan PT. Adira Finance Jl. Asahan Komplek Mega Land masalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak terjadi.

Hal ini tentu saja membuat buruh menjadi pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu dalam hal ini buruh meminta perlindungan kepada pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan sebagai pembela, buruh juga dapat meminta bantuan Serikat Buruh yang dimasukinya. Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak jelas bertentangan dengan undang-undang ketenagakerjaan. Sehingga berdasarkan undang-undang ini buruh dapat menuntut haknya kepada pihak pengusaha.

Dalam kasus pemutusan hubungan kerja, ada pihak- pihak yang harus berunding antara lain pemerintah sebagai mediator, buruh, pengusaha dan Serikat Buruh.

Dalam perundingan ini akan ditemukan solusi yaitu :

1.Apabila pengusaha terbukti melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ada pembayaran ganti rugi (pesangon) terhadap buruh maka pengusaha harus menarik kembali buruh yang tersebut menjadi pekerjanya. 2.Apabila buruh tersebut tidak menerima tawaran untuk untuk kembali

bekerja maka pengusaha harus membayar pesangon buruh tersebut sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

3. Apabila dalam perundingan tidak ditemukan solusi maka pemerintah yang harus menyelesaikan masalah tersebut dengan pengusaha. Sebab tidak jarang pengusaha berusaha menghindar dari kewajibannya untuk membayar pesangon terhadap buruh.

Kebijakan pemerintah untuk mengatur undang-undang tentang PHK merupakan konversi dari tuntutan buruh yang marak mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaan.

Dalam wawancara dengan Ketua Serikat Buruh Solidaritas Pematangsiantar mengatakan:

Masalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha merupakan masalah yang sangat sering terjadi. Bahkan sampai saat ini banyak kasus buruh yang di-PHK yang sedang kami proses. Undang-undang telah jelas mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Sehingga undang- undang itu yang menjadi dasar untuk melakukan tuntutan kepada pengusaha. Jika kami langsung menanyakan kepada pihak pengusaha maka banyak yang mengatakan bahwa mereka sudah kelebihan pekerja sehingga harus mengurangi jumlah pekerja dan banyak pengusaha yang menghindar saat diminta untuk membayar pesangon dengan alasan beberpa bulan terakhir kami mengalami kerugian sehingga tidak mampu memberikan pesangon kepada pekerja yang kami PHK. Dalam hal ini, masalah PHK harus dibawa

ke pemerintah yaitu Dinas Tenaga Kerja untuk menindaklanjuti penyelesaian PHK tersebut. Kami sebagai Serikat Buruh akan berusaha membela buruh yang di PHK dengan berdasarkan undang-undang sehingga buruh tersebut dapat menerima apa yang menjadi haknya.23

Kondisi ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Pemutusan Kerja Sepihak masih marak terjadi. Dikeluarkannya undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja tidak menjamin pengusaha patuh terhadap undang-undang dan pemerintah juga sering berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Seharusnya pemerintah dapat menjadi pihak yang mampu menekan para pengusaha dan membela kaum buruh. Namun banyaknya tenaga kerja menyebabkan posisi tawar buruh sangat rendah sehingga pemutusan hubungan kerja sepihak pun tidak dapat dihindari.

3. Kebebasan Buruh Berserikat Belum Terwujud

Kaum buruh mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara. Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, buruh berhak membentuk dan mengembangkan Serikat Buruh yang bebas, terbuka, mandiri dan demokratis. Serikat Buruh harus memperjuangkan,

23

melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang seimbang dan berkeadilan sosial.

Dalam pasal 104 UU No.13 Tahun 2004 dijelaskan bahwa “setiap

Dokumen terkait