• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

KERANGKA KONSEPTUAL, KERANGKA TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tinjauan Pustaka

3.2.2 Ewald F. Ebing

Penelitian Ebing (1997) berbentuk buku yang berjudul ―Form and Function of Pitch Movements in Indonesian‖ini merupakan penelitian yang bertolak dari hasil penelitian intonasi bahasa Indonesia yang dilakukan Halim (1969), tetapi penelitian Ebing lebih sempurna dan modern karena sudah menggunakan alat eksperimental yaitu komputer sehingga akurasi yang didapat lebih tinggi. Penelitian Ebing bertujuan pada penemuan ciri pokok intonasi bahasa Indonesia, dengan cara merekonstruksi model intonasi bahasa Indonesia.

Ada dua permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian Ebing yaitu bagaimana konfigurasi alir nada yang secara perseptual membentuk model melodis intonasi dalam bahasa Indonesia dan elemen apakah yang diperlukan untuk membentuk model tersebut. Menurut Ebing, intonasi adalah bagian dasar melodi ujaran yang ditentukan oleh sistem linguistik di atas tingkat leksikal. Melalui dua permasalahan utama yang dibahas Ebing ini ditunjukkan bahwa tujuan utama penelitiannya adalah lebih ditekankan pada alir nada yang membentuk model melodi intonasi.

Penjaringan data menggunakan monolog dari informan yang berupa kuasispontan, kemudian dari monolog itu diambil dua puluh empat penggalan wacana yang diolah dan digunakan sebagai stimulus di dalam uji persepsi. Penggalan wacana tersebut bukanlah sebuah kalimat secara utuh tetapi merupakan frasa, klausa, atau kalimat yang tidak lengkap. Sedangkan untuk pengolahan data, Ebing sudah menggunakan IPO-Approach, peralatan yang digunakan sudah lebih baik di bandingkan dengan peneliti-peneliti sebelumnya, sehingga program

PRAAT yang digunakan dapat menganalisis data dengan cara memanipulasi dan memodifikasi parameter intonasi secara akurat.

Simpulan penelitian Ebing, bahwa penutur bahasa Indonesia tidak mampu mengenali variasi-variasi nada secara baik dan cermat. Penutur bahasa Indonesia memiliki toleransi yang tinggi terhadap penyimpangan pola intonasi yang didengarnya dan yang diketahuinya.

Kontribusi penelitian Ebing, menyatakan bahwa tekanan tuturan di dalam bahasa Indonesia tidak mempunyai keharusan untuk meletakkan di mana tekanan itu berada.

3.2.3 B.U. Siregar

Penelitian Siregar (2000) yang berjudul―Fungsi Pragmatika Intonasi di

dalam Bahasa Indonesia: Suatu Kajian Awal‖adalah kajian yang membahas tentang intonasi dari perspektif pragmatika khususnya tentang bagaimana kalimat-kalimat itu menghasilkan proposisi untuk menyampaikan informasi pragmatika. Kajian Siregar ini adalah kajian awal yang mencoba untuk menjelaskan fenomena pragmatika intonasi, dan menjelaskan bahwa proposisi tertentu mungkin dihasilkan oleh struktur yang setensial dan Siregar juga membahas sedikit tentang implikasi teori fungsi pragmatika intonasi setensial dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia, pendapat ini bertolak dari kajian yang dilakukan oleh (Pane 1950; Alisjahbana 1953; Halim 1974, dan Wojowasito 1978).

Kajian ini mencoba membahas tentang intonasi kalimat dalam bahasa Indonesia dari wawasan pragmatika. Beliau mengatakan bahwa intonasi adalah pola perubahan nada kalimat yang dihasilkan penutur ketika berbicara. Pola tersebut dapat membagi suatu tuturan ke dalam satuan yang secara gramatikal

bermakna dan dapat menunjukkan penggunaan yang khusus. Kemudian, di dalam kajian ini Siregar berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

a) Apakah perubahan pola intonasi yang membawa informasi pragmatika dapat dikenali di dalam bahasa Indonesia?

b) Bagaimanakan perubahan pola intonasi pada sebuah ujaran melahirkan proposisi yang membawa informasi, yang secara sintaktis dan semantik tidak berhubungan?

c) Bagaimanakah informasi pragmatika ini diuraikan secara sistematis? d) Apakah implikasi teoretis fungsi pragmatika intonasi kalimat terhadap

pembelajaran dan pengajaran bahasa Indonesia?

Data diperoleh dari wawancara radio, televisi, dan dialog yang ada di dalam film ataupun sinetron Indonesia juga sejumlah informan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memerikan informasi pragmatika yang dapat dikenali melalui perubahan pola intonasi kalimat dalam bahasa Indonesia serta implikasinya terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia.

Siregar mengatakan bahwa secara sintaksis, intonasi dalam bahasa Indonesia dapat memiliki ciri-ciri yang berhubungan kategori dan fungsi kalimat. Intonasi dapat memberikan informasi kategorial, misalnya intonasi deklaratif, interogatif, dan imperatif juga memberikan informasi fungsional. Selain itu intonasi secara semantik dapat mengubah makna kalimat.

Kontribusi penelitian Siregar adalah (a) pola intonasi pada sebuah ujaran dapat melahirkan proposisi yang secara siktaksis dan semantik tidak berhubungan, melalui konteks pertuturan yang sesuai, (b) perubahan pola intonasi yang membawa informasi pragmatika dapat dikenali dan diuraikan secara sistematis

melalui pengkategorian pola intonasi menjadi pola intonasi tak bermarkah dan pola intonasi bermarkah, (c) beberapa tindak ujaran tertentu dapat dilakukan melalui perubahan pola intonasi di dalam bahasa Indonesia, dan (d) fungsi pragmatika intonasi kalimat memiliki implikasi teoretis terhadap pembelajaran dan pengajaran bahasa Indonesia.

3.2.4 Sugiyono

Penelitian Sugiyono (2003) yang berbentuk disertasi berjudul ―Pemarkah

Prosodik Kontras Deklaratif dan Interogatif Bahasa Melayu Kutai‖.Sugiyono melakukannya dengan alat eksperimental, yaitu menggunakan perangkat komputer. Tujuan penelitian Sugiyono adalah untuk mencari parameter prosodi yang menandai kontras di antara ciri akustik dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif bahasa Melayu Kutai. Kemudian penelitian ini mencari toleransi modifikasi setiap ciri akustik yang signifikan yang ada pada modus deklaratif dan modus interogatif.

Permasalahan dalam penelitian Sugiyono yaitu (1) parameter akustik apa yang digunakan pembicara untuk menandai modus di dalam sebuah tuturan, (2) berapakah ambang setiap parameter akustik di dalam tuturan mereka, (3) bagaimanakah pembicara mengkombinasikan setiap parameter akustik dalam merealisasikan tuturan dengan modus tertentu, (4) parameter akustik apa yang dijadikan patokan pendengar di dalam menentukan modus, (5) berapakah ambang perseptual parameter akustik yang dapat memicu persepsi modus tertentu, (6) konfigurasi parameter akustik seperti apa yang dapat memicu persepsi modus tertentu. Sugiyono dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas melakukan

lima eksperimen yaitu dengan cara satu eksperimen produksi dan empat eksperimen persepsi.

Penelitian prosodik kontras deklaratif dan interogatif Bahasa Melayu Kutai ini, Sugiyono memaparkan dan mendiskripsikan pengukuran komponen-komponen melodik yaitu tentang tinggi nada awal, nada akhir, puncak nada dan julat nada, setiap komponen-komponen tersebut dapat ditemukan nilai terendah dan nilai tertinggi pada setiap melodik yang diukur.

Hasil penemuan penelitian Sugiyono ada enam alir nada pokok yang dibahasnya, kemudian temuan lainnya menunjukkan bahwa dalam tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif rentang julat nada tuturan bahasa Melayu Kutai yaitu antar 50,21 Hz dan 366,73 Hz dengan rerata 133,39 Hz. Tinggi nada dasar tuturan laki-laki dan nada dasar tuturan perempuan ditemukan sangat signifikan , yaitu p<0,0001. Modus deklaratif dan modus interogatif pada nada dasar tuturan laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan nada dasar tuturan perempuan yaitu 181,86 Hz berbanding 283,01 Hz.

Kontribusi penelitian Sugiyono adalah bahwa persepsi terhadap pemarkah kontras deklaratif dan interogatif hampir semua varian onset P2 dapat memicu munculnya persepsi kontras. Ekskursi P2 dan nada final menjadi parameter yang menentukan kedeklaratifan dan keinterogatifan tuturan.

3.2.5 F.X. Rahyono

Penelitian Rahyono (2003) berbentuk disertasi yang berjudul ―Intonasi

Ragam Bahasa Jawa Keraton Yogyakarta Kontras Deklarativitas, Interogativitas, dan Imperativitas‖. Penelitian Rahyono bertujuan untuk menemukan pola intonasi deklaratif, introgatif, dan imperatif dalam ragam bahasa Jawa yang digunakan di

keraton Yogyakarta dan untuk menemukan ciri signifikan yang menandai kontras modus kalimat-kalimat itu.

Penelitian Rahyono menggunakan ancangan IPO (Instituut voor Perceptie Onderzoek). Ancangan IPO ini adalah model fonetik eksperimental dengan pendekatan bottom-up. Ancangan IPO bertolak dari signal akustik sampai pada analisis statistik parameter akustik ujaran yang diteliti, dan titik awal dari penelitiannya ini adalah pengukuran frekuensi dasar (Fo), tetapi titik berat pendekatan ini adalah persepsi. Berdasarkan prinsip pendekatan itulah,

IPOmencakup tiga kegiatan pokok, yaitu (1) produksi ujaran, (2) pengolahan data yang berupa analisis akustik, dan (3) uji persepsi. Pola intonasi yang menjadi sasaran penelitian Rahyono, diperoleh melalui sejumlah data ujaran yang diperiksa melalui uji persepsi dan dijaring dari dialog takspontan (dipersiapkan) dan dialog kuasispontan dengan menggunakan teknik rekam.

Data yang diperoleh dari dialog takspontan digunakan sebagai data primer, sedangkan data dialog kuasispontan digunakan sebagai data sekunder. Perekaman data menggunakan alat perekam stereo cassette- recorder Sony WM-D6C dan mikrofon Shure professional unidirectional head-worn dynamic microphone SM10A dan tidak dilakukan di studio rekaman tetapi dilakukan di luar studio. Dialog dilakukan oleh empat orang informan yaitu para abdidalem keraton yang lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, jumlah kalimat sasaran sebanyak 112 tuturan. Setiap penutur menghasilkan tuturan sebanyak 4 (empat) kali tujuh kalimat. Seluruh data ujaran yang telah direkam diklasifikasikan ke dalam modus-modus kalimat dan kalimat sasaran itu pula dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kalimat yang menggunakan unsur-unsur

segmental yang sama dan menjadi tiga tuturan yang digunakan untuk merealisasikan modus kalimat yang berbeda, yakni deklaratif, interogatif, dan imperatif, dan kelompok kedua adalah kalimat dengan modus interogatif dan imperatif yang menggunakan pemarkah modus yang berbeda-beda.

Temuan secara menyeluruh dapatlah dilihat bahwa kontras antara kontur modus deklaratif dan imperatif ditandai oleh landaian garis dasar nada. Modus deklaratif didominasi oleh deklinasi, sedangkan pola modus imperatif didominasi oleh garis dasar nada yang mendatar atau inklinasi. Pada modus imperatif rentang nada pada alir nada subjek dan alir nada final terlihat lebih seimbang. Kemudian pada modus deklaratif rentang nada pada alir nada akhir relatif lebih rendah dibandingkan rentang nada pada alir nada subjek. Selanjutnya kontur pada modus interogatif secara keseluruhan tidak ditentukan oleh landaian garis dasar nada dan penanda modus didominasi oleh pola alir nada final dan oleh keseimbangan rentang nada pada semua alir nada di sepanjang kontur.

Kontribusi penelitian Rahyono adalah tentang identitas modus dan kontras pola intonasi modus deklaratif, interogatif, dan imperatif yaitu setiap modus memiliki pola intonasi dasar dan varian.

3.2.6 T. Syarfina

Syarfina (2008) dalam disertasinya yang berjudul ‖Ciri Akustik Sebagai Pemarkah Sosial, Penutur Bahasa Melayu Deli‖. Syarfina mengkaji bahasa Melayu Deli yang tersebar di wilayah Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Medan Maimun, dan Kecamatan Patumbak dengan tujuan untuk menentukan ciri akustik yang menandai kelompok-kelompok sosial, juga untuk menemukan alir nada kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, serta

ciri akustik apa yang signifikan sebagai penanda modus. Cakupan penelitiannya ada dua bidang yaitu penelitian fonetik eksperimental dan sosiolinguistik, dari

segi eksperimental (menggunakan teori Lehiste, 1970, Hayward 2001, dan ‗t Hart

et al 1990) diawali dengan mendeskripsikan ciri akustik tuturan bahasa Melayu Deli dari segi frekuensi, durasi dan intensitasnya. Hasil pengukuran tersebut digunakan Syarfina untuk penelitian sosiolinguistik dengan menggunakan teori Hymes (1974).

Pengumpulan data tuturan bahasa Melayu Deli direkam (data dijaring dengan menggunakan narasi dan menggunakan tuturan pembawa) dalam tiga modus yaitu modus deklaratif, interogatif, dan imperatif dengan menggunakan alat perekam bermerk SONY Stereo Cassette Corder WM-D6C dan head set mic SHURE model SM 10A sedangkan kaset perekam yang digunakan adalah bermerk Sony dan Maxel yang berdurasi 60 menit. Jumlah penutur 108 orang (54 laki-laki dan 54 perempuan) sebanyak 54 kalimat, sehingga jumlah data yang dituturkan sebanyak 1.944 tuturan. Responden terdiri atas kelas sosial atas, kelas sosial menengah, dan kelas sosial bawah.

Penelitian ini menggunakan alat bantu komputer program PRAAT versi 4.0.27. untuk pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: digitalisasi, segmentasi data, pembuatan salinan kontur, dan Uji statistik.

Semua pendekatan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitiannya yaitu (1) bagaimanakah alir nada (pitch movement) bahasa Melayu Deli pada modus deklaratif, interogatif, dan imperatif? (2) apakah frekuensi, durasi, dan intensitas menandai kelompok sosial penutur bahasa Melayu Deli?,

dan apakah modus deklaratif, interogatif, dan imperatif menandai kelompok sosial penutur bahasa Melayu Deli?

Temuan dari pertanyaan rumusan-rumusan di atas, menyimpulkan bahwa alir nada modus-modus tersebut adalah alir nada naik, turun, turun, naik-datar, datar-turun dan turun-naik. Pola alir nada itu berdasarkan pada kontur-kontur nada kalimat deklaraif, interogatif, dan imperatif pada konstituen pemarkah interogatif, mengkale, pemarkah konfimatoris (-kan), subjek, predikat, keterangan tempat, dan nada final. Sedangkan temuan yang kedua adalah tidak ditemukan adanya perbedaan intensitas dasar pada variabel jenis kelamin, generasi, pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli. Sebaliknya, Syarfina menemukan adanya perbedaan pada tuturan kelas sosial. Kenyaringan berbicara para penutur dari kelas sosial bawah lebih tinggi (78,11 st) daripada tuturan kelas sosial menengah (75,44 st) dan tuturan kelas sosial atas (76,75 st). Juga tidak ditemukan adanya perbedaan intensitas final yang signifikan pada variabel jenis kelamin, generasi, pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli, kecuali pada variabel kelas sosial. Pada tuturan kelas sosial bawah intensitas final adalah (73,24 dB) yang berbeda dengan intensitas final tuturan kelas sosial menengah yaitu (67,72 dB), dan intensitas final kelas sosial atas (74,36 dB). Kemudian pada julat intensitas tertinggi tidak ditemukan perbedaan pada variabel usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli. Julat intensitas tertinggi dalam tuturan kelas sosial bawah yaitu (2,66 dB) yang berbeda dengan julat intensitas tertinggi tuturan kelas sosial menengah (3,17 dB) dan, intensitas final kelas sosial atas (2,94 dB).

Kontribusi penelitian Syarfina adalah ditemukannya pola alir nada kalimat deklaraif, interogatif, dan imperatif bahasa Melayu Deli. Alir nada modus-modus kalimat dalam bahasa Melayu Deli adalah alir nada naik, turun, turun, naik-datar, datar-turun dan turun-naik.

3.2.7 T. Syarfina dan T. Silvana Sinar

Syarfina dan Silvana (2010) dalam bukunya yang berjudul ‖Ciri Akustik

Bahasa Melayu Langkat‖. Syarfina dan Silvana mengkaji bahasa Melayu Langkat dengan tujuan untuk menentukan ciri akustik mana yang signifikan sebagai penanda modus, kemudian apakah ketiga modus tuturan yang diamati menandai kelompok sosial tertentu, juga mencari ciri suprasegmental apa yang menandai kelompok sosial itu. Dalam penelitian ini Syarfina dan Silvana tidak menggunakan teori Sosiolinguistik.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara merekam tuturan bahasa Melayu Langkat yang tinggal di wilayah Langkat dalam tiga modus, yaitu berita, tanya, dan perintah yang berjumlah 108 orang penutur dengan menggunakan perekam audio yang kemudian digitalisasi menggunakan alat program komputer. Kemudian dalam teknik pengumpulan data, data yang terkumpul diolah dengan menggunakan program PraatVersi 4.0.27. Dalam pengolahan data, Syarfina dan Silvana melakukannya dengan beberapa tahap yaitu dengan cara (1) Digitalisasi, (2) Segmentasi data, (3) Pembuatan salinan kontur, dan (4) Uji statistik.

Semua pendekatan yang dilakukan adalah untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian Syarfina dan Silvana yaitu (1) Bagaimanakah ciri akustik tuturan kalimat bahasa Melayu Langkat menurut modusnya? (2) Apakah modus deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif menandai

kelompok-kelompok sosial penutur bahasa Melayu Langkat? (3) Apakah ciri akustik seperti frekuensi, durasi, dan intensitas yang menandai kelompok-kelompok sosial penutur bahasa Melayu Langkat?

Dari rumusan-rumusan di atas peneliti dapat menemukan hasil temuan yaitu frekuensi suara, intensitas suara dan durasi sangat distingtif dalam tuturan Bahasa Melayu Langkat, berarti ciri akustik tuturan bahasa Melayu Langkat dapat menjadi penanda sosial penutur dalam kelompok-kelompok berdasarkan variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, kelas sosial, dan keseringan penggunaan dari bahasa Melayu Langkat.

Kemudian dalam penelitian ini ditemukan bahwa melalui analisis akustik tuturan, nada tertinggi, nada dasar, nada final, nada rendah, durasi dan intensitas dapat dijadikan pemarkah sosial penutur bahasa Melayu Langkat, tetapi perbedaan yang siginfikan hanya ditemukan pada intensitas saja. Ketika perempuan berbicara, frekuensi nada tertinggi, nada dasar, nada rendah dan nada final lebih tinggi daripada tuturan laki-laki, tetapi tidak ditemukan perbedaan pada ekskursi nada final. Pada variabel generasi ditemukan tinggi julat nada, nada dasar, nada final ketika berbicara dan ekskursi nada finalnya lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan usia tua. Secara umum durasi deklaratif lebih besar dibandingkan dengan durasi interogatif, sedangkan durasi deklaratif hampir sama dengan durasi imperatif yang ditemukan pada beberapa variabel yaitu variabel jenis kelamin, generasi, kelas pekerjaan, (nelayan, pedagang dan pegawai), pendidikan (pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Durasi silabel awal dan konstituen selalu lebih panjang dibanding dengan durasi silabel tengah konstituen. Intensitas pada variabel kelamin, generasi, pendidikan, dan penggunaaan bahasa

Melayu Langkat ditemukan perbedaan pada intensitas dasar, final, rendah dan intensitas tertinggi, serta perbedaan ditemukan pada seluruh variabel penelitian ini.

Kontribusi dari penelitian ini, yaitu frekuensi nada tertinggi, nada dasar, nada rendah dan nada final perempuan lebih tinggi daripada tuturan laki-laki, Pada variabel generasi ditemukan tinggi julat nada, nada dasar, nada final ketika berbicara dan ekskursi nada finalnya lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan usia tua.

Dokumen terkait