• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR DIAGRAM

1.1 Latar Belakang

Bahasa tidak dapat dipisahkan dari orang yang menuturkannya. Walaupun perwujudan pertuturan itu adalah hasil kegiatan seseorang sebagai individu, tetapi bahasa tidak dapat wujud dalam sebuah masyarakat jika tidak digunakan oleh kelompok individu dalam hubungan mereka satu sama lain seperti yang dikatakan (Omar, 2008:3) bahwa bahasa adalah hak milik bersama kelompok individu, bukan kepunyaan satu individu tertentu. Di dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, dan bahasa itu terdiri atasbahasa tulis, bahasa lisan dan bahasa isyarat.Komunikasilisan yang dilakukan oleh individu yang satu dengan individu lainnya selalu diiringi atau menggunakan fitur-fitur prosodi. Laksman (1995: 183) berpendapat istilah intonasi sering digunakan dalam pengertian yang luas sebagai persamaan kata prosodi sedangkan dalam pengertian sempit intonasi adalah salah satu jenis prosodi yang mengandung gerakan-gerakan nada. Malmberg (1974: 201) juga berpendapat bahwa intonasi merupakan tekanan musikal, dimana suatu tuturan diucapkan dengan mengubah-ubah tinggi nada dasar.

Keberadaan fitur prosodi yang mengikuti gelombang bunyi mempunyai beberapa fungsi. Menurut Rietveld dan Heuven (2001)fitur prosodi dalam tuturan mempunyai empat fungsi yang berbeda, yaitu fungsi leksikal, fungsi demarkatif, fungsi informatif, penanda sikap dan emosi. Keempat fungsi ini dapat dilihat secara jelas melalui persepsi yang ditimbulkan terhadap untaian bunyi satuan

bahasa.Crystal (1989:171) juga berpendapat bahwa intonasi dan ciri suprasegmental/prosodi itu mempunyai beberapa fungsi yang berbeda yaitu merupakan penanda emosional, penanda gramatikal, penanda struktur informasi, penanda tekstual, penanda psikologi, dan penanda indeksikal.

Berbicara mengenai suprasegmental, tentu berkaitan dengan bunyi bahasa karena bunyi bahasa dibedakan antara bunyi segmental dan suprasegmental.Bunyi segmental adalah bunyi yang terdapat secara berurutan, sedangkan bunyi suprasegmental adalah bunyi bahasa yang menyertai bunyi segmental tersebut.Runtunan bunyi merupakan arus ujaran yang sambung menyambung dan terus menerus yang diselang selingi oleh jeda, dan disertai dengan intensitas suara, frekuensi, durasi dan sebagainya.Struktur melodis dan struktur temporal atau ritme adalah ciri akustik yang menyertai sebuah tuturan (van Heuven, 1994:3).Kita dapat melihat bahwa bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar di dalam arus ujaran disebut bunyi segmental yaitu bunyi yang dapat disegmentasikan, sedangkan bunyi yang tidak dapat disegmentasikan, seperti cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi (Rahyono, 2009:43).

Menurut Yusuf (1998), secara fisik bunyi bahasa manusia sangat variatif dan sukar diduga sehingga penelaahan terhadapnya selain memerlukan peralatan yang canggih juga membutuhkan pengamatan yang menyita waktu dan tenaga. Pemakaian alat-alat mutakhir, seperti sound spectrograph digital untuk ketepatan penganalisisan bunyi bahasa, mengisyaratkan bahwa seorang ahli penelitian bunyi bahasa harus mempunyai keterampilan yang khusus, profesional, dan peka terhadap perkembangan teknologi. Kemudian ada pertanyaan tentang bagaimana

manusia beroleh kemampuan berbicara,atau bertutur serta bagaimana struktur dan sistem bunyi bahasa, memerlukan penelaahan yang sifatnya multidisiplin.

Cara bertutur, cara menulis, dan isyaratadalah cara untuk berkomunikasi di dalam masyarakat bahasa. Cara bertutur berhubungan dengan bunyi bahasa yang juga berhubungan dengan fonetik. Penelitian fonetik dibagi menjadi tiga sub bidang utama yaitu penelitian terhadap sistem alat yang menghasilkan bunyi bahasa serta proses yang berkaitan dalam menghasilkan bunyi yaitu fonetik artikulatori; penelitian terhadap gelombang bunyi yang dihasilkan dari pengucapan dan sistem penyiaran gelombang melalui udara di sebut fonetik akustik; penelitian terhadap pendengaran gelombang bunyi bahasa dan alat-alat pendengaran seperti telinga dan anggota-anggota lain yang terlibat dalam sistem pendengaran yaitu fonetik auditori (Chaiyanara, 2006:21).

Penelitian tentang suprasegmental atau prosodi masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Penelitian prosodi baru dilakukan pada bahasa Indonesia dan beberapa bahasa Melayu antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Pane (1950), Halim (1969), Samsuri (1971), van Heuven (1994), Laksman (1995), Ode (1997), Ebing (1997), Remijsen (2002), Rahyono (2003), Sugiyono (2003), Stoel (2005), Roosman (2006), Syarfina (2008, 2009),Syarfina dan Silvana Sinar (2010), serta penelitian Rohani Ganie (2014).

Yanti (2010) mengatakan penelitian terhadap emosi masih banyak dilakukan dari sudut pandang psikologi, antropologi dan filsafat. Selanjutnya dikatakan emosi secara psikologi dipandang sebagai unsur yang mendasar dari pengalaman manusia, atau sesuatu yang innate, sedangkan antropologi memandang emosi sebagai gagasan kebudayaan akibat hasil interaksi antara

situasi sosial, perasaan, dan perilaku manusia; sedangkan filsafat memandang emosi sebagai unsur yang selalu mengiringi akal dan pikiran manusia. Dari uraian ini terlihat emosi selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia.Pengalaman yang baik atau buruk dapat diungkapkan secara verbal dan non verbal.Emosi dasar seperti marah, kesal, senang, cemas, sedih dapat diungkapkan melalui kata-kata (verbal) dan gerak-gerik, perilaku, dan mimik (nonverbal).Penelitian emosi yang dikaji dengan pendekatan fonetik akustik pun sangat langka dilakukan oleh para peneliti. Padahal, emosi yang umumnya lahir dari tuturan suatu bahasa (verbal), perlu dilihat dari aspek frekuensi, durasi, dan intonasi ujaran dari tuturan emosi tersebut. Pada saat seorang penutur emosi, bagaimana frekuensi, durasi, dan intonasi ujarannya tentunya berbeda ketika seseorang yang tidak dalam suasana emosi.

Di sisi lain, semua bahasa di dunia ini, tentu mempunyai unsur emosi yang berkaitan dengan ucapan atau tuturan penuturnya, seperti emosi marah, sedih, dan senang. Dalam hal ini, tidak terkecuali bahasa Melayu dialek Langkat. Sampai saat ini, belum ada yang meneliti mengenai emosi marah, sedih, dan senang terhadap bahasa Melayu Langkat yang dikaji melalui fonetik akustik, yaitu dengan cara mengukur frekuensi, durasi, dan intonasi disaat penutur mengucapkan kata-kata emosi tersebut.

Oleh karena itu peneliti akan mendeskripsikan intonasi dan durasi tuturan bahasa Melayu Langkat pada emosi dasar yaitu emosi marah, emosi sedih, dan emosi senang yang mempunyai fungsi sebagai penanda/ungkapan emosional:

1. Penanda/ungkapan emosi marah, yaitu merupakan suasana hati untuk menyerang atau mencerca seseorang atau sesuatu.

2. Penanda/ungkapan emosi sedih, yaitu sesuatu yang mendorong perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang itu menangis atau sedih. 3. Penanda/ungkapan emosi senang, yaitu sesuatu yang mendorong

perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang itu tertawa atau senang.

Tuturan-tuturan emosi dapat dilihat dalam contoh berikut ini: 1. Tuturan emosi marah,

[pdeh ati ambaŋleh klakuaatang oraŋ tua]

‗Pedih hatiku melihat kelakuannya pada orangtua‘

[ksal amba, dah lama bena amba nuŋgu ŋko di sinin]

‗Kesalsaya, telah lama saya menanti engkau di sini‘

[maja aja krjamu, so siaŋ gini blum juga baŋket]

‗Apa saja kerjamu, sudah siang begini belum juga bangun‘

[lama bena ko dataŋ, lteh amba nuŋgu]

‗Lama sekali kaudatang, capai /capek aku menunggu‘

2. Tuturan emosi sedih,

[preh kali atine, ia gugor dalam ŋelakukan tugasa]

‗Sedih sekali hati ini, ia gugurdalam melakukantugasnya‘

[naŋes, ŋleh tuboh oraŋ naŋ so mati]

Menangis, melihatjenazah orang yangsudah meninggal dunia‘

[sdeh bena atiku,krna ialah yaŋ slalu pduli taŋ aku]

‗Sedihbetul hatiku, karena dialah yang selalu perduli padaku‘

‗Sedih akumelihat mayat yang bergelimpangan‘

3. Tuturan emosi senang,

[snaŋ bena, ambamndeŋarkabara jo]

‗Senang sekali, aku mendengar kabar itu‘

[puas atiku ŋleh ana-ana jaŋ patuh pada oraŋ tua]

‗Senang hatiku melihat anak-anak yang patuh pada orang tuanya‘

Bahasa Melayu Langkat sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia yang digunakan khusus di Sumatera Utara tepatnya di Langkat, berfungsi sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan, dan lambang identitas masyarakat Melayu Langkat.Ketiga fungsi itu terealisasi dalam kegiatan-kegiatan anggota masyarakat dalam berkomunikasi antarsesamanya.Masyarakat Melayu terdiri atas dua golongan, yakni golongan bangsawan dan golongan kebanyakan (Husny, 1975:109).Sesuai dengan pendapat itu, Omar (1985:84) juga mengatakan bahwa pada masyarakat Melayu terdapat dua golongan bahasa, yaitu bahasa diraja dan bahasa orang kebanyakan.Kedua golongan itu berbeda berdasarkan atas adat-istiadat, gelar kebangsawanan, kedudukan (status) peranan dan pemakaian bahasa. Perbedaan unsur eksternal itu, menyebabkan bahasa Melayu Langkat memiliki kecenderungan perbedaan kualitas prosodi.Kualitas prosodi bangsawan diduga berbeda dengan golongan kebanyakan.Diduga bahwa kualitas prosodi bahasa Melayu Langkat dari satu generasi ke generasi berikutnya menurun. Bahasa Melayu Langkat sebagai identitas diri dan pembentuk budaya harus dipertahankan oleh penuturnya agar bahasa Melayu dapat bertahan sampai akhir zaman, seperti pepatah mengatakan takkan hilang Melayu di bumi. Generasi muda khususnya di Tanjung Pura kurang menguasai bahasa Melayu, seperti yang

peneliti dapatkan ketika peneliti berkunjung ke Tanjung Pura untuk menjaring data. Berbagai faktor menjadi penyebab penurunan ataupun pengikisan kompetensi bahasa Melayu Langkat.Pengaruh itu adalah pengaruh lingkungan di sekitar Tanjung Purayang sudah banyak dipengaruhi oleh penduduk sekitar dan bukan penduduk asli suku Melayu, mereka suku-suku lain yang ada di Indonesia, seperti suku Jawa, Minang, Karo dsb.

Pemilihan penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam masyarakat Melayu Langkat terdapat kelompok-kelompok sosial.Kelompok-kelompok sosial tersebut dalam berinteraksi sehari-hari berbeda di dalam menuturkan atau mengungkapkan emosinya kepada seseorang, apakah itu emosi senang, marah, sedih, benci, kagum, cinta, dan cemas.Ekspresi emosi di dalam bahasa Melayu Langkat juga direalisasikan penutur melalui unsur prosodi atau suprasegmental. Diduga dalam pertuturan sehari-hari pola intonasi emosi kelompok bangsawan lebih rendah atau lebih halus dibandingkan dengan kelompok orang kebanyakan.

Penelitian terhadap keberadaan bahasa ini relatif sedikit, khususnya terkait dengan penelitian intonasi emosi. Dari beberapa penelitian ini, sepengetahuan peneliti belum ada peneliti yang khusus melakukan penelitian tentang intonasiemosi bahasa Melayu Langkat tersebut.Hal ini tentu saja menjadi dorongan yang kuat bagi peneliti untuk menemukan fenomena-fenomena menarik yang terkait dengan intonasi emosi pada bahasa Melayu Langkat.

Di samping itu, alasan pemilihan bahasa Melayu Langkat sebagai penelitian didasari oleh beberapa alasan. Pertama, alasan keberagaman latar belakang bahasa yang dimiliki oleh masyarakat. Jika diperhatikan dari latar

belakang bahasa pertama yang dikuasai, masyarakat Melayu Langkat pada umumnya berlatar belakang bahasa Melayu, bahasa Karo, bahasa Indonesia, dan bahasa lainnya. Hal itu sesuai dengan profil sosiolinguistik Kabupaten Langkat, yang ditandai oleh terdapatnya bahasa Karo dan bahasa Batak sebagai bahasa daerah, yang dipakai oleh komunitas penutur pribumi di wilayahnya masing-masing. Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah lain, yang dikuasai oleh penduduk yang merupakan pendatang dari pelbagai daerah dan akhirnya menetap di wilayah Langkat. Kedua, karena peneliti sendiri merupakan suku bangsa Melayu, sehingga tidak ada hambatan emosional dan psikologis antara peneliti dan subyek yang diteliti. Dengan demikian, data yang diperoleh diharapkan merupakan data alamiah, akurat, konkret, dan bukan hasil rekayasa. Antara peneliti dengan informan dan responden saling mempercayai karena sudah saling mengenal dan saling percaya. Dengan keadaan seperti itu, peneliti mendapatkan kemudahan untuk melakukan pengecekan, konfirmasi, dan penggalian data secara lebih memadai agar beroleh data yang diharapkan. Ketiga, informan dan responden dapat dikondisikan untuk bersedia direkam suaranya serta bersedia mengisi kuesioner secara utuh, jujur, terbuka, dan sesuai dengan kenyataan. Hal itu turut dipertimbangkan mengingat kesediaan responden untuk mengisi kuesioner secara utuh dan lengkap sangat dibutuhkan dalam penjaringan data. Oleh karena itu, dengan pertimbangan ada hubungan emosional yang baik antara peneliti, informan, dan responden, tentunya hasil penelitian dapat lebih memuaskan.

Dokumen terkait