• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH

A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum MA 1.Faktor Agama (ideologi)2

4. Faktor Budaya

Pendidikan beserta kurikulumnya adalah sebuah lingkungan, menurut Hasan Langgulung lingkungan inilah yang berusaha mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya kepada setiap anggotanya –para siswanya dalam pendidikan– dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban, lanjut Langgulung, dapat mati seperti orang perseorangan. Orang disebut mati bila nyawanya putus. Budaya dan peradaban disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi dari generasi ke generasi dan tidak lagi diamalkan setiap hari oleh penganut-penganutnya.45 Hal ini dikuatkan, oleh Tilaar, kebudayaan tanpa pendidikan akan punah.46 Dengan demikian pendidikan beserta kurikulumnya merupakan media pelestarian budaya dan peradaban. Ketika budaya dan peradaban berkembang, secara otomatis pendidikan beserta kurikulumnya akan mengikutinya, atau sebaliknya.

44

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 188. 45

Langgulung, Pendidikan Islam pada A bad ke 21 (Jakarta: Pustaka Al-H{usna Baru, 2003), 75.

46

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 8.

Menurut Tilaar, Tanpa kebudayaan, tanpa lembaga-lembaga sosial, tidak mungkin seorang individu berkembang atau menjadi individu yang inovatif.47 Demikian pula Thomas R. Rochon, menurutnya, lembaga politik juga berpotensi merubah budaya.48 Sebab meminjam perkataan Langgulung, kebudayaan adalah faktor luar yang harus dikendalikan dari dalam –potensi manusia yang berupa fitrah. Ibarat sebuah mata uang, tegas Langgulung, adalah bermuka dua, satu muka disebut potensi yang satu disebut din, yang satu berkembang dari dalam tiap individu, sedang yang satu lagi dipindahkan (transmission) dari orang ke orang, dari generasi ke generasi, jadi bersifat dari dalam ke luar.49 Harus ada kecerdasan dari dalam untuk menyikapi dan mengolah kebudayaan.

Dalam hal budaya, yang menurut penulis perlu diperhatikan dalam kurikulum pendidikan khususnya madrasah, Langgulung, menjelaskan; dalam mensikapi budaya, ada yang menerima dan menolak, jika budaya itu baik dan tidak bertentangan dengan inti pokok ajaran Islam –dalam madrasah– maka dapat diterima, dan jika sebaliknya, maka ditolak. Dalam hal adaptasi, ada dua kecenderungan, yaitu assimilasi dimana kebudayaan Yunani dan Persi itu diasimilasikan atau dicernakan oleh kebudayaan Islam supaya dapat berpadu dengan kepribadian Islam. Kecenderungan yang kedua, akomodasi dimana si peminjam, dalam hal ini kaum Muslimin, membuka diri terhadap budaya baru itu kalau perlu

47

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 417.

48

Indikator ini terjadi ketika kasus pelecehan seksual yang diperankan oleh Senat Komite Yudisial mendengarkan tuntutan Profesor Hill melawan Judge Thomas sebelum berhadapan dengan publik. Tanpa mendengarkan kesaksian Anita Hill tuntutan tidak akan didengarkan. Dan tanpa kekerasan kampanye pemilihan umum, para senat komite juga tidak akan turun mendengarkan secara jelas kecemasan publik secara langsung. “Anda tidak hanya mengambil kasus itu”, yaitu menceritakan tuduhan untuk para senator supaya meresponnya dengan menentukan usaha-usaha supaya memunculkan sensitifitas mereka pada isu pelecehan seksual. Proses politik Amerika merespon keduanya antara konfrontasi publik dengan Anita Hill dan Clarence Thomas dan untuk membuktikan bahwa para senat Amerika memonitor reakasi publik. Penjelasan lebih lanjut, baca Thomas R. Rochon, Culture Moves, Ideas, A ctivism, and Changing V alues (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1998), 200.

49

156

menyesuaikan diri dengan kehendak pendatang itu supaya betah hidup dalam lingkungan budaya Islam. Ini merupakan kecenderungan golongan filosof-filosof Muslim.50 Apa yang diuraikan Langgulung, merupakan sikap kita –kurikulum madrasah– terhadap budaya yang datang. Untuk mensikapi hal tersebut, pastilah kita –kurikulum madrasah– harus mempunyai filter yang kuat, sehingga tidak salah mentransformasi budaya. Perlu direkam pengakuan Michael S. Merry, yang menyatakan sesungguhnya tidak seperti Yahudi, Sikhis dan Hindu, Islam adalah merupakan agama yang universal, diantara misinya adalah menerima perbedaan budaya, etnis, politik atau afiliasi bahasa. Sehingga berkembangnya sekolah Islam menjadi sekolah yang pluralis, demikian Merry.51

Dalam beberapa peradaban Barat dapat dilihat gejala ini, seperti gejala

asimilasi pada zaman Stalin di Rusia, tetapi pada zaman Kruschov kecenderungan akomodatif lebih menonjol. Begitu juga di Komunis Cina, pusat kecenderungan

asimilatif, dapat dilihat pada revolusi kebudayaan pada tahun 60-an, sedang semenjak Komunis Cina dipimpin oleh Deng Xiao Peng kecenderungan akomodatif mulai menonjol.

Gerakan Muhammad Ali di Mesir, mencapai puncaknya di Turki di bawah Kemal Attaturk bukanlah gerakan adaptasi, tetapi adopsi dengan pengertian mengambil; bulat-bulat dari Barat dan membuang warisan budaya sendiri, sebab mereka berpendapat kalau ingin maju tirulah orang Barat dan buang yang kita punya sebab itulah sumber kemunduran. Kalau orang Barat pakai cepiau maka pakailah

cepiau, sampai-sampai di Turki diusahakan penghapusan tulisan Arab. Adzan sendiri diucapkan pakai bahasa Turki. Di Iran sendiri terjadi gerakan modernisasi melalui jalan yang sama, yaitu adopsi, di bawah dinasti Pahlevi, yang mengikis pengaruh

50

Langgulung, Pendidikan Islam pada A bad ke 21, 82-83. 51

Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach (Macmillan: Palgrave, 2007), 162.

Islam dari masyarakat Iran.52 Berdasarkan teori transmisi kebudayaan dan contoh transmisi kebudayaan baik negara Islam maupun negara Barat, maka jelas, terjadinya transmisi kebudayaan pada suatu negara, kelompok maupun lembaga pendidikan tertentu, akan mengubah content materi yang akan dipelajari khususnya dalam kurikulum. Dengan demikian maka budaya menjadi faktor terjadinya pergeseran kurikulum. Hal ini dapat diketahui pula, bahwa secara umum, filter budaya dalam kurikulum madrasah adalah ajaran Islam –al-Qur’an dan al-Hadis– ini tentunya berbeda dengan filter kurikulum di sekolah umum.

Terkait dengan Indonesia, Tilaar menegaskan, selama Orde Baru nilai-nilai moral yang merupakan inti dari kebudayaan dan pendidikan telah diredusir menjadi nilai-nilai indoktrinasi yang tanpa arti dan sekedar menjadi semboyan untuk melindungi kebobrokan hidup para pemimpin.53 Seperti halnya penjelasan di atas, bahwa filter budaya kurikulum madrasah adalah al-Qur’an dan Hadis, maka nilai-nilai ini harus dikembalikan lagi dalam kurikulum madrasah, sehingga tidak dipolitisasi.

Realitas yang terjadi pada masa Orde Baru, ternyata berbeda dengan Era Reformasi. Masih terkait dengan pernyataan Tilaar, pada Era Reformasi, pendidikan mempunyai visi baru, membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia.54 Kenyataan transformasi budaya pada masa Orde Baru dengan Orde Reformasi ternyata, berbalik seratus delapan puluh derajat, dimana pada masa Orde Baru nilai moral untuk menfilter budaya diindoktrinasi oleh kekuasaan politik, tetapi pada Orde Reformasi justeru mendambakan identitas masyarakat madani berdasarkan budaya Indonesia. Realitas yang demikian, pastilah berpengaruh pada kurikulum, khususnya kurikulum

52

Lihat, Langgulung, Pendidikan Islam Pada Abad ke 21, 79. 53

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 10.

54

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 11.

158

madrasah, sehingga jelas terjadi pergeseran kurikulum MA dari zaman Orde Baru ke zaman Orde Reformasi.

Dokumen terkait