BAB II. KETERLIBATAN KAUM MUDA DALAM HIDUP
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kaum Muda dalam
2. Faktor Eksternal
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu
organisasi bio-psiko sosio spiritual di mana anggota keluarga terkait dalam suatu
ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan sifatnya
satu dengan yang lain. Keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan
utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan
perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi dan masyarakat sehingga kemajuan
seseorang ditentukan pula oleh pembinaan anak dalam keluarga (Gunarsa, 2006:
277)
Ada berbagai pendapat mengenai pola peranan pembinaan atau
pendampingan orang tua dalam keluarga terhadap anak antara lain adalah otoriter,
otoritatif dan permisif. Orang tua yang menjalankan pembinaan otoriter pada anak
mereka memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya tanpa
mempedulikan pendapat si anak itu sendiri. Mereka menerapkan gaya hukuman
kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Anak
diajarkan untuk mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang tua tanpa
bertanya. Mereka tidak diperbolehkan mengambil keputusan sendiri. Orang tua
juga tidak melakukan komunikasi yang baik dengan mereka. Biasa komunikasi
yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah yaitu dari orang tua ke anak. Dengan
kurangnya komunikasi orang tua dengan anak dapat menyebabkan keterampilan
komunikasi anak itu menjadi berkurang (Gunarsa, 2006: 279).
Pola pengasuhan otoriter inilah yang seringkali membuat anak
memberontak. Terlebih lagi apabila orang tuanya keras, tidak adil dan tidak
menunjukkan afeksi. Hal ini akan semakin rumit apabila orang tua menerapkan
hukum fisik kepada anaknya. Penerapan hukum fisik yang berlebihan akan
mempengaruhi perkembangan kepribadian dan sosial anak. anak mungkin
Sedangkan pola pembinaan atau pendampingan otoritatif orang tua
terhadap anak, pendampingan otoritatif selalu melibatkan anak dalam segala hal
yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan dengan keluarga. Mereka
mempercayai pertimbangan dan penilaian dari kaum muda serta mau berdiskusi
dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan kaum muda.
Orang tua yang otoritatif menekankan pentingnya peraturan, norma, dan
nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan, dan
bernegoisasi. Disiplin yang mereka lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata
merupakan sesuatu yang efektif. Anak yang dibesarkan dengan pola otoritatif
akan merasakan suasana rumah yang penuh rasa saling menghormati, penuh
apresiasi, kehangatan, penerimaan, dan adanya konsistensi pengasuhan dari orang
tua mereka, dengan demikian mereka akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan mereka (Gunarsa, 2006: 280).
Pengasuh permisif dapat dibedakan dengan pengasuh yang mengabaikan
(neglectful) dan pengasuh yang memanjakan (indulgent). Pada pengasuhan yang
mengabaikan, orang tua dengan tidak memperdulikan anaknya, tidak memberikan
ijin bagi anaknya untuk bertindak semau mereka. Para anak dalam hal ini kaum
muda yang dibesarkan dengan pola permisif akan menunjukkan kurangnya
kontrol diri yang dapat menjadi salah satu penyebab delinkuensi (Gunarsa, 2006:
281). Pada pengasuhan yang memanjakan terhadap anak, orang tua sangat
menunjukkan dukungan emosional kepada anak mereka tetapi kurang menerapkan
kontrol pada anak mereka. Mereka mengijinkan anaknya melakukan apa saja yang
diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan kehendak mereka
sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain (Gunarsa, 2006: 281).
Pola pembinaan kaum muda dalam keluarga di atas sangat berpengaruh
terhadap kegiatan dan peranan kaum muda katolik dalam hidup menggereja
mereka. Kurangnya waktu, perhatian, dan dukungan dari orang tua membuat
kaum muda kurang mampu menjalani kegiatan hidup menggereja mereka di
dalam keluarga. Kurangnya kontrol dari orang tua terhadap kaum muda juga dapat
membuat para kaum muda lupa akan tugas dan tanggungjawab mereka sebagai
anak muda yang diharapkan oleh Gereja, kaum muda lebih memilih untuk
bersenang-senang, dan bersikap masa bodoh dengan diri mereka sendiri.
Tidak hanya itu kurangnya kesadaran kaum muda akan dirinya sebagai
anggota Gereja juga membuat mereka enggan untuk terlibat dalam kegiatan hidup
menggereja. Untuk itu, lingkungan keluarga yang baik dan ideal sebaiknya dapat
menjadi suatu komunitas hidup bagi setiap pribadi yang mendiami atau
menghuninya. Dengan demikian karena sangat vitalnya sebuah kehidupan
keluarga maka keluarga bertanggungjawab terhadap proses kelangsungan hidup
setiap pribadi.
Hal ini dapat terlihat dari pembentukan pribadi kaum muda itu sendiri
dalam setiap lingkungan keluarga yang mendapat tempat dan kedudukan yang
utama, di mana keluarga yang harmonis, rukun, damai, tenteram, penuh dengan
suasana cinta kasih dan persaudaraan serta rasa syukur terhadap Tuhan dapat
menjadi teladan bagi setiap anggota keluarga yang lain dan bagi lingkungan
b. Lingkungan Sekolah
Pendidikan kaum muda dijalankan terutama untuk mempersiapkan masa
depan serta dalam rangka upaya alih generasi, namun kenyataan yang terdapat
menunjukkan belum sepenuhnya pendidikan kaum muda berjalan dengan baik.
Hal ini dapat terlihat dari banyaknya permasalahan kaum muda seperti
menurunnya kualitas, krisis kader, kecemasan menatap masa depan, kemerosotan
moral dan kenakalan remaja. Dengan demikian dalam membangun keadaban
publik di mana kaum muda diharapkan sebagai salah satu pelaku utamanya maka,
pendidikan kaum muda di lingkungan sekolah perlu mendapat perhatian yang
serius (SAGKI, 2005: 91).
Lingkungan sekolah sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan,
mengembangkan bakat, minat dan menciptakan kemampuan berketerampilan
serta menemukan daya kereativitas belum sepenuhnya terwujud. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkungan sekolah tidak cukup hanya sebagai komunitas
studi semata, sekolah juga harus mampu memberikan tempat yang nyaman bagi
semua murid yang ingin belajar mencari identitas diri dan mengembangkan
seluruh kemampuan atau potensi yang ada dalam dirinya sendiri.
Lingkungan sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang
mempunyai peranan untuk mengembangan kepribadian anak sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugas di masyarakat. Selain itu
di sekolah, seseorang mendapat pendidikan untuk mencapai pada tahap proses
Karena pada dasarnya pendidikan merupakan hak setiap pribadi manusia dan hal
itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Pendidikan adalah bidang yang harus diutamakan bagi semua kaum muda
karena pendidikan sendiri menjadi masalah yang sangat kompleks dan
menyangkut kehidupan untuk masa depan kaum muda. Pendidikan nasional
bersifat terbuka maka sekolah pun sebagai tempat peserta didik menuntut ilmu
dan mengembangkan potensi diri, diharapkan mampu mengarahkan peserta didik
menjadi manusia yang berkualitas (SAGKI, 2005: 321).
Namun tidaklah demikian dengan pendidikan kita saat ini. Sejak lama
pendidikan di Indonesia menghadapi dua masalah besar yaitu masalah pemerataan
dan mutu. Tidak semua kaum muda dapat mengalami pendidikan yang semestinya
harus mereka terima. Di lingkungan sekolah para guru selalu memandang status
sosial ekonomi siswa, hal ini tidak jarang membuat para siswa yang tidak mampu
selalu di nomor duakan. Hal semacam ini sangat berpengaruh terhadap hidup
menggereja kaum muda, karena mereka juga takut disamakan seperti apa yang
mereka alami di sekolah yaitu mendapat perlakuan dan perhatian yang berbeda.
Hal semacam ini tidak jarang membuat kaum muda enggan untuk terlibat dalam
kegiatan hidup menggereja di sekolah karena mereka merasa selalu di nomor
duakan (SAGKI, 2005: 322).
c. Lingkungan Gereja
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II (LG: art. 9) dibahas mengenai Gereja
orang dan menjalin hubungan antar sesama. Allah membentuk mereka menjadi
umat yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan
suci.
Allah memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya yang juga disebut sebagai
Gereja (jemaat) Allah. Allah menghimpun mereka yang dipenuhi dengan iman
untuk mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan, dasar
kesatuan dan perdamaian. Demikianlah Allah membentuk mereka menjadi Gereja,
supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen yang kelihatan,
menandakan kekuatan yang menyelamatkan (KWI. 1996: 336).
Lingkungan Gereja sebagai komunitas jemaat beriman, harus mampu
menjadi daya tarik agar anggotanya dapat kerasan untuk menghuninya. Untuk itu
Gereja perlu memberi perhatian khusus kepada kaum muda agar turut serta masuk
dalam kesatuan dengan Kristus. Persekutuan dengan Kristus akan membawa
dampak yang luar biasa bagi perkembangan dan pertumbuhan hidup rohani atau
spiritual kaum muda dalam kehidupan sehari-hari. Jalinan kesatuan Gereja dengan
kaum muda tampak nyata dalam setiap kegiatan hidup menggereja yang ada.
Kaum muda sendiri sebagai salah satu bagian dari anggota jemaat beriman perlu
menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah anggota Gereja, maka kaum muda
dengan segala kerendahan hati hendaknya dapat melebur diri dalam kesatuan
dengan Kristus.
Hidup menggereja kaum muda yang hidup dalam transisi dengan segala
akibatnya, seringkali belum diperhitungkan dalam Gereja, sehinga mengalami
yang kurang memberi kepercayaan kepada kaum muda untuk berperan sebagai
“partner”. Kaum muda menganggap orang tua sekarang ini selalu saja
mendominir, memonopoli dan memperbudak kaum muda. Kaum muda hanya
diajak untuk terlibat dalam berkerjasama sementara orang tualah yang menjadi
penentunya (Tangdilintin, 1984: 37).
Di sisi lain yang menyebabkan kurangnya keterlibatan kaum muda dalam
Gereja adalah kaum muda belum seutuhnya diakui menjadi anggota dari Gereja,
mereka baru dipersiapkan menjadi anggota penuh Gereja dan berperan nanti kalau
sudah dewasa. Karena belum mendapat tempat, bertanggungjawab dan peranserta
yang berarti dalam Gereja masa kini, kaum muda memilih sikap pasif. Sikap yang
dicap oleh orang dewasa sebagai kurang sadar akan diri sebagai anggota Gereja,
dan kurang beriman, kurang pengetahuan agama. Sikap semacam itu tanpa
disadari menciptakan iklim tidak sehat bagi kaum muda dalam Gereja, mereka
merasa diri mereka sebagai orang asing, tidak diterima dan dihargai serta tidak
kerasan (Tangdilintin, 1984: 39).
d. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat dalam hal ini merupakan alat kontrol dalam
pergaulan hidup kaum muda, mengingat berkembang pesatnya IPTEK (Ilmu dan
Teknologi) sehingga membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti bagi
masyarakat sekarang ini. Dampak dari perubahan itu menimbulkan pengaruh yang
positif dan negatif bagi kaum muda dalam hidup menggereja. Pengaruh positif ini
melalui internet, mengakses data lewat komputer, dan mendapatkan hiburan
melalui elektronika. Sedangkan pengaruh negatifnya dapat mengakibatkan orang
dalam hal ini adalah kaum muda semakin lupa diri, terlalu egois, tidak memiliki
kepekaan sosial, tidak bisa menempatkan diri bagaimana semestinya, dan bahkan
memiliki orientasi hidup tidak peduli dengan sesama.
Kaum muda merupakan bagian dari anggota masyarakat ini artinya
masyarakat juga ikut ambil bagian dalam mempengaruhi kehidupan kaum muda.
Apabila lingkungan masyarakat memiliki kebiasaan yang baik misalnya; adanya
saling menghormati, menghargai, menyayangi, teratur dalam hidup beragama dan
bermasyarakat maka maka akan berpengaruh baik pada perkembangan hidup
kaum muda. Demikian sebaliknya jika lingkungan masyarakatnya memiliki
kebiasaan yang buruk akan menghancurkan perkembangan hidup kaum muda itu
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seberapa vitalnya lingkungan masyarakat
dalam menentukan perkembangan dan pertumbuhan kaum muda yang ada di
dalamnya (Mulyono, 1992: 30).
Orientasi kaum muda dalam hidup menggereja di lingkup masyarakat
kerap kali kurang memberi kesempatan kepada kaum muda untuk mengemukakan
pendapat dan beragumen secara leluasa. Kaum muda juga sering mendapat cap
yang menyamaratakan dan kurang simpatik dari masyarakat. Kenakalan kaum
muda misalnya yang akhir-akhir ini mewujud dalam perkelahian antar siswa
maupun mahasiswa. Kenakalan kaum muda tersebut tidak menutup kemungkinan
berlatarbelakang dari masalah kaum muda itu sendiri, tetapi ada bahayanya
pihak, kaum muda dipojokkan oleh sistem atau pola hidup dan sikap tertentu
masyarakatnya. Mereka sering tidak menyadari dan bahkan dibiarkan untuk tidak
menyadari bentuk-bentuk sistem yang ada di dalam masyarakat serta kurangnya
pengertian dasar informasi tentang suatu hal dalam relasi sosial (Tangdilinting,
1984: 33).
Pola pembinaan dan pendampingan kaum muda sering kali tidak relevan,
dengan situasi dan kebutuhan kaum muda, pola pembinaan juga tidak memberi
peluang bagi dinamika kaum muda, cenderung menoton dan bersifat pengarahan.
Hal ini tidak jarang mematahkan semangat hidup menggereja kaum muda
sehingga kegiatan menggereja kaum muda hanya berjalan di tempat, kaum muda
merasa takut untuk terlibat dalam kegiatan hidup menggereja di masyarakat
karena merasa takut apa yang mereka lakukan tidak benar dan tidak mendapat
dukungan dari masyarakat. Tidak hanya itu saja, masih adanya generasi tua yang
hendak mempertahankan status quoposisinya hingga menutup kesempatan bagai kaum muda untuk berperan dan memperkembangkan diri dalam setiap kegiatan