• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PABRIK BIODIESEL DI KABUPATEN KUANTAN SINGING

8.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal dalam pendirian pabrik biodiesel berbasis liquid waste

dibagi menjadi dua, yaitu peluang dan ancaman. Kedua variabel tersebut dijabarkan sebagai berikut:

8.2.1 Peluang

Faktor-faktor yang menjadi peluang dalam pendirian pabrik biodiesel berbasisliquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi antara lain:

1. Harga dan kebutuhan energi semakin meningkat.

Dalam sekitar 10 tahun terakhir dari 1994 sampai dengan 2004, penggunaan minyak solar diperkirakan mencapai rata-rata lebih 41 persen dari total penggunaan BBM dalam negeri. Minyak solar tersebut diperoleh dari produksi kilang minyak dalam negeri dan dari impor. Karena harga minyak solar sangat bergantung pada harga minyak mentah dunia maka

dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia diperkirakan akan semakin meningkatkan harga minyak solar.

Minyak solar sebenarnya adalah BBM yang diperuntukkan untuk sektor transportasi. Namun dalam kenyataannya bahan bakar tersebut banyak pula yang dipergunakan untuk sektor-sektor lainnya seperti sektor industri dan pembangkit listrik. Sesuai dengan perkembangan penduduk, kebutuhan minyak solar untuk sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti diperlihatkan pada Tabel 37. Selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2004 total kebutuhan minyak solar untuk semua sektor meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar lima persen per tahun, sehingga total kebutuhan atau penggunaan minyak solar tersebut meningkat lebih dari 1,5 kali lipat selama periode tersebut. Sesuai dengan peruntukkannya, sebagian besar dari dari minyak solar dipergunakan untuk sektor transportasi, disusul untuk sektor industri dan pembangkit listrik. Meskipun pangsa penggunaan minyak solar untuk sektor pembangkit listrik paling kecil, namun kebutuhan minyak solar pada sektor tersebut yang paling pesat pertumbuhannya, yaitu meningkat lebih dari sembilan persen per tahun, sedangkan kebutuhan minyak solar pada sektor transportasi dan industri, masing-masing hanya meningkat 4,26 persen dan 4,69 persen per tahun. Rendahnya pertumbuhan kebutuhan minyak solar pada sektor transportasi, menyebabkan pangsa penggunaannya cenderung menurun, sedangkan pangsa penggunaan minyak solar pada sektor-sektor lainnya cenderung meningkat.

Tabel 38. Kebutuhan Minyak Solar Menurut Sektor Tahun 1994 - 2004.

Transportasi Industri Listrik Tahun Jumlah (.000 kl) (%) Jumlah (.000 kl) (%) Jumlah (.000 kl) (%) Total 1994 8.443,64 52,72 5.664,89 35,37 1.908,81 11,92 16.016,87 1995 9.150,97 53,91 5.993,30 35,31 1.830,73 10,78 16.975,01 1996 10.326,97 54,85 6.264,81 33,27 2.235,72 11,87 18.827,52 1997 11.436,52 52,33 6.384,02 29,21 4.032,16 18,45 21.852,71 1998 10.818,50 54,88 5.877,91 29,82 3.017,71 15,31 19.714,12 1999 11.076,53 54,57 6.162,78 30,36 3.058,21 15,07 20.297,53 2000 12.152,82 55,06 6.674,51 30,24 3.244,92 14,70 22.072,25 2001 12.946,41 55,40 7.047,81 30,16 3.373,57 14,44 23.367,79 2002 12.650,85 52,25 7.015,91 28,98 4.546,07 18,78 24.212,84 2003 12.108,93 50,32 6.833,49 28,40 5.122,02 21,28 24.064,45 2004 12.816,78 48,39 8.956,06 33,81 4.714,89 17,80 26.487,75

Sumber: Diadaptasi dan diolah dari Ditjen. Migas, 1994-2004.

Kecenderungan meningkatnya penggunaan minyak solar pada sektor lain selain transportasi tersebut kemungkinan disebabkan kemudahan dalam memperoleh minyak solar karena tersedia di seluruh Depot di Indonesia, serta perubahan dalam pola industri. Perubahan ini dapat terjadi akibat pergeseran jenis industri yang dahulu memakai jenis energi lain seperti minyak bakar, batubara serta listrik, berubah menjadi pemakai minyak solar yang mungkin dipakai untuk pembangkit listrik diesel sendiri. Sektor industri maupun pembangkit listrik dapat lebih mudah memperoleh walaupun dengan harga yang berbeda dengan solar untuk transportasi. Harga minyak solar untuk transportasi karena masih diatur secara tersendiri lebih murah dibandingkan harga minyak diesel industri terutama sebelum tahun 2004. Meskipun terjadi penurunan pangsa penggunaan minyak solar pada sektor transportasi, tetapi sektor transportasi masih tetap paling dominan dalam penggunaan minyak solar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Mengingat jenis penggunaaannya sektor transportasi sulit untuk menggantikan kebutuhan bahan bakarnya (BBM) dengan jenis bahan bakar yang lain, sehingga jumlah konsumsi sektor transportasi akan sensitif terhadap fluktuasi harga minyak.

Penyediaan minyak solar untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri diperoleh selain dari hasil pengilangan minyak di dalam negeri juga

dari impor. Adanya impor minyak solar tersebut menunjukkan ketidakmampuan kilang minyak dalam negeri untuk memenuhi seluruh kebutuhan minyak solar dalam negeri. Perkembangan besarnya produksi minyak solar baik yang diproduksi dari kilang dalam negeri maupun yang diimpor dapat dilihat pada Tabel 39.

Tabel 39. Perkembangan Produksi dan Impor Minyak Solar dari 1994- 2004. Produksi Import Tahun Jumlah (.000 kl) (%) Jumlah (.000 kl) (%) Total (.000 kl) 1994 11.682 76,50 3.588 23,50 15.270 1995 13.209 78,87 3.538 21,13 16.747 1996 14.212 74,86 4.773 25,14 18.985 1997 13.759 62,81 8.148 37,19 21.907 1998 14.553 74,25 5.048 25,75 19.601 1999 14.751 71,88 5.770 28,12 20.521 2000 15.249 67,95 7.194 32,05 22.443 2001 15.253 65,94 7.879 34,06 23.132 2002 14.944 60,79 9.637 39,21 24.581 2003 15.035 60,16 9.955 39,84 24.990 2004 15.685 55,97 12.339 44,03 28.024

Sumber: Diadaptasi dan diolah dari Ditjen. Migas, 1994-2004.

Tabel 38 dan 39 memperlihatkan perkembangan kebutuhan dan penyediaan minyak solar. yang terdiri atas sektor transportasi, industri dan pembangkit tenaga listrik dari tahun 1994 sampai dengan 2004. Total penyediaan atau konsumsi minyak solar dalam negeri meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar enam persen per tahun. Sebagian besar peningkatan tersebut ditunjang oleh pesatnya kebutuhan yang meningkat dengan pertumbuhan konsumsi minyak solar rata-rata sekitar 5,16 % per tahun, sedangkan pertumbuhan sektor transportasi sebesar 4,26 % per tahun. Dengan pertumbuhan produksi minyak solar dari kilang dalam negeri hanya sekitar tiga persen per tahun, maka selama 10 tahun terakhir ini (1994 – 2004) impor minyak solar meningkat cepat dengan laju pertumbuhan sebesar 13,15 % per tahun. Dari perkembangan selama beberapa tahun ini, terlihat bahwa produksi minyak solar tidak mengalami pertumbuhan yang cukup berarti, sehingga dengan peningkatan kebutuhan

minyak solar, maka impor solar akan makin meningkat yang pada akhirnya akan membebani anggaran pembangunan serta mengurangi ketahanan energi Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikembangkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti minyak solar atau setidaknya mengurangi impor, terutama yang dapat dipenuhi di dalam negeri, antara lain melalui penerapan teknologi GTL (gas to liquid), pencairan batubara, serta BTL (biomas to liquid) yang terdiri dari pengolahan minyak nabati dan pengolahan bahan berbasis selulosa.

2. Proyeksi produksi biodiesel oleh pemerintah Indonesia.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, total kebutuhan biodiesel saat ini mencapai 4.12 juta kiloliter per tahun. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada tahun 2006 baru 110 ribu kiloliter per tahun. Pada tahun 2007 kemampuan produksi direncanakan akan ditingkatkan menjadi 200 ribu kiloliter per tahun. Produsen-produsen lain merencanakan juga akan beroperasi pada 2008 sehingga kapasitas produksi akan mencapai sekitar 400 ribu kiloliter per tahun.

Cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional mentargetkan produksi biodiesel sebesar 0.72 juta kiloliter pada tahun 2010 untuk menggantikan 2 % konsumsi solar yang membutuhkan 200 ribu hektar kebun sawit dan 25 unit pengolahan berkapasitas 30 ribu ton per tahun dengan nilai investasi sebesar Rp1.32 triliun; hingga menjadi sebesar 4.7 juta kiloliter pada tahun 2025 untuk mengganti 5 % konsumsi solar yang membutuhkan 1.34 juta hektar kebun sawit dan 45 unit pengolahan berkapasitas 100 ribu ton per tahun dengan investasi mencapai Rp. 9 triliun.

Dengan asumsi pertambahan produksi biodiesel rata-rata 150 ribu kiloliter per tahun selama periode 2006-2015, dan meningkat menjadi 300 ribu kiloliter per tahun selama periode 2016-2025, maka proyeksi target produksi biodiesel seperti pada Tabel 40.

Tabel 40. Proyeksi Target Produksi Biodiesel s/d Tahun 2025 (dalam ribu kiloliter).

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2025 Produksi 110,0 262,5 415,0 567,5 720,0 1.500 4.700 Pertambahan rata-rata per

thn 152,5 152,5 152,5 152,5 152,5 156,0 320,0

Ket: * Target produksi 2006-2007 cfm. Balitbang Deptan

** Target Produksi 2010 s/d 2025 cfm. Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional *** Proyeksi Target produksi 2008-2009 dengan asumsi pertambahan produksi rata-

rata 150 ribu kiloliter per thn

Saat ini pabrik biodiesel milik BPPT berkapasitas 1.5 ton per hari telah beroperasi di kawasan Puspitek Serpong (Tahun 2006), dan mulai bulan Juli 2006 pabrik biodiesel kedua dengan kapasitas 3 ton per hari milik BPPT juga akan beroperasi. Kedua pabrik tersebut menggunakan multi bahan baku seperti CPO dalam berbagai mutu, minyak jarak, minyak mutu rendah dari limbah pabrik minyak goreng dan kopra. Pabrik pengolahan biodiesel tidak membutuhkan biaya investasi besar sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Sebagai gambaran, pabrik dengan kapasitas produksi 3 ton per hari hanya membutuhkan investasi Rp. 3.9 miliar dan masa pengembalian sekitar 3 tahun.

3. Dibukanya kesempatan kepada pihak swasta untuk berperan dalam kegiatan hulu hingga hilir dalam usaha biodiesel.

Dengan pembukaan pabrik biodiesel yang berbasiskan liquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi akan menimbulkan ketahanan terhadap persediaan energi. Hal ini mengakibatkan sektor industri, listrik, transportasi dan sektor-sektor lain yang sangat tergantung pada kebutuhan energi akan berproduksi secara kontinue. Selain itu persaingan usaha akan menguntungkan karena adanya ketersediaan energi yang kontinue dengan harga yang relatif bersaing.

4. Kenaikan harga minyak dunia.

Biodiesel sampai saat ini masih diposisikan sebagai barang substitusi BBM bukanlah barang yang bersifat indepeden. Artinya permintaan Biodiesel selain tergantung dari harga Biodiesel itu sendiri, juga tergantung dari harga BBM. Jika harga BBM mengalami kenaikan, maka

konsumen akan beralih ke Biodiesel dan berlaku sebaliknya. Harga minyak dunia yang sangat tinggi seperti saat ini, merupakan berkah tersendiri untuk pengembangan Biodiesel di Kabupaten Kuantan Singingi. Meskipun harga minyak dunia saat ini berada pada level 108 US$/barel, tidak menutup kemungkinan bahwa harga minyak dunia akan mengalami penurunan. Kondisi ini didukung oleh data sejarah harga minyak dunia, ketika harga mencapai titik kulminasi maka harga cenderung turun. Penurunan harga minyak dunia akan mempengaruhi harga jual minyak dalam negeri, walaupun harga jual BBM tidak murni diserahkan oleh mekanisme pasar, tetapi jika terjadi penurunan harga minyak dunia, maka pemerintah memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan harga jual minyak dalam negeri.

Data sejarah menunjukkan harga minyak dunia sangat fluktuatif dan sangat dipengaruhi oleh kondisi global. Harga minyak dunia pada awal tahun 1970-an berada pada level 3US$/Barel, tetapi dengan adanya krisis Arab Israel menyebabkan harga minyak naik sebesar lebih dari 300% yaitu menjadi 12US$/barel dan terus bergerak naik menjadi 14US$/barel pada tahun 1978. Krisis Irak-Iran pada tahun 1981 mendorong kenaikan harga minyak pada level 35US$/Barel. Sedangkan sejak tahun 1983-2002, harga minyak berada antara 10US$/barel – 30US$/Barel. Sedangkan dari tahun 2002 sampai saat ini, harga terus merangkak naik pada level 95US$/barel.

Kenaikan harga minyak secara drastis sejak tahun 2002 disebabkan 5 faktor utama (Dartanto, 2005): Pertama, permintaan minyak yang cukup besar dari India dan Cina. Kedua, kondisi geopolitik dinegara-negara OPEC seperti Nigeria, Irak, Iran, Venezuela mendorong penurunan produksi minyak dunia serta meningkatkan resiko usaha dalam upaya eksploitasi minyak. Ketiga, badai Katrina dan Rita yang melanda Amerika Serikat dan merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko.

Keempat, ketidakmampuan dari OPEC untuk menaikkan jumlah produksi.

Kelima, adanya motif spekulasi di future market sehingga mendorong kenaikan harga minyak dunia.

Jika terjadi perubahan dari kelima faktor diatas seperti terjadi kestabilan politik khususnya di Irak dan Nigeria, serta pulihnya kegiatan operasional di Teluk Meksiko, maka penawaran minyak dunia akan bertambah sehingga akan menurunkan harga minyak dunia. Selain itu, patut diketahui bahwa OPEC adalah sebuah organisasi kartel yang memiliki karakteristik yaitu setiap anggota memiliki kecenderungan untuk berbuat kecurangan dalam kuota produksi. Dalam sebuah kartel maka kondisi nash equilibrium

akan terjadi jika semua anggota mematuhi kesepakatan atau seluruh anggota tidak mematuhi kesepakatan. Pada kondisi harga minyak tinggi, anggota OPEC memiliki kecenderungan untuk memproduksi secara besar- besaran sehingga terjadi kelebihan penawaran dan pada akhirnya akan mendorong penurunan harga minyak. Indikasi anggota OPEC dan Non- OPEC berlomba-lomba memproduksi minyak terlihat dari indikasi penurunan harga minyak dari 78,4 US$/Barel menjadi 66.25 US$/Barel dalam kurun waktu 2 bulan (Republika Online, 11/09/2006).

Selain itu, berdasarkan data ramalan EIA dalam Annual Energy Outlook 2006, skenario low price menunjukkan bahwa harga minyak dunia akan mengalami penurunan sampai sekitar 30US$/Barel, sedangkan skenario

High Price harga minyak dunia akan terus merangkak naik mendekatai level 100US$/Barel. Berdasarkan ramalan ini, para pelaku usaha Biodiesel harus mampu mencermati dan menyiapkan diri untuk mengambil langkah- langkah strategis jika harga minyak dunia mengikuti skenario low price.

Selain fluktuasi harga minyak dunia, nilai tukar rupiah juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi masa depan pengembangan Biofuel/Biodiesel di Indonesia. Penentuan harga BBM dalam negeri sebagai barang substitusi dari Biofuel/Biodiesel tidak hanya ditentukan oleh harga minyak dunia saja tetapi juga terkait dengan nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar rupiah terus mengalami apresiasi maka harga jual BBM dalam negeri akan semakin murah. Nilai tukar rupiah selama setahun terakhir relatif stabil dikisaran Rp. 9.000 – 9.500 rupiah/US$. Tetapi seiring dengan perbaikan ekonomi dan peningkatan ekspor Indonesia, maka nilai tukar rupiah diperkirakan akan mengalami apresiasi dibawah Rp. 9.000. Jika harga minyak dunia berada pada level 70 US$/Barel maka harga jual keekonomian BBM dalam negeri adalah berkisar antara Rp. 4.430 – 5.540/liter sangat tergantung dari nilai tukar rupiah. Jika harga minyak dunia pada masa yang akan datang sebesar 45 US$/Barel, maka harga jual keekonomian BBM dalam negeri adalah berkisar antara Rp. 3.040 – 3.450/liter.

Pertanyaan yang akan muncul adalah: Apakah industri Biodiesel di Indonesia mampu bertahan jika kondisi diatas benar-benar terjadi? Tetapi kita tidak perlu terlalu pesimistis, karena masih ada ruang dan waktu bagi industri Biodiesel untuk melakukan inovasi baik dalam bidang produksi maupun pemasaran. Pada sisi produksi, pengusaha harus mampu melakukan efisien dalam proses produksi dengan menekan biaya produksi, mempercepat proses learning by doing, terus melakukan riset untuk mengembangkan Biofuel/Biodiesel dari bahan baku yang murah dan terjamin ketersediannya. Disisi pemasaran, industri Biodiesel harus me- reposisi dari Biofuel/Biodiesel sebagai barang substitusi BBM menjadi barang yang relatif independent atau menjadikan pemakaian Biodiesel sebagai life style. Jika Biofuel/Biodiesel bukan lagi barang substitusi BBM, maka kondisi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah tidak banyak mempengaruhi masa depan Biodiesel.

8.2.2 Ancaman

Faktor-faktor yang menjadi peluang dalam pendirian pabrik biodiesel berbasisliquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi antara lain:

1. Bertumbuhnya energi alternatif lainnya.

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki berbagai sumber jenis tanaman penghasil minyak, misalnya Kelapa Sawit, Kelapa, Jarak Pagar (Jetropha Curcas), Kacang tanah, Biji Matahari dsb. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, Indonesia memiliki kurang lebih 30 jenis tanaman penghasil minyak. Apabila dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh, sumber hayati tersebut memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan bahan bakar dalam hal ini bio-diesel.

Pabrik biodiesel yang ada di Indonesia saat ini adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 3 ton/hari, Pemerintah daerah Riau 8 ton/hari, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (P2KS) 1 ton/hari, PT Energi Alternative Indonesia (Pt. EAI) 1 ton/hari.

Potensi material yang paling siap untuk produksi biodiesel saat ini adalah CPO yang merupakan hasil dari kebun sawit. Indonesia adalah produsen CPO ke dua terbesar setelah Malaysia, dengan produksi thn 2005 diperkirakan mencapai 13.6 juta ton dengan komposisi ekport sekitar 9.66 juta ton dan 3.94 juta ton konsumsi dalam negri. Dari data perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia diprediksi pada tahun 2010 jumlah areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 10 juta Ha, dengan produksi 15 juta ton/tahun. Namun karena minyak kelapa sawit adalah minyak yang bisa dikonsumsi oleh sektor pangan maka peluang terjadi perebutan material antara sektor pangan dan sektor bahan bakar (biodiesel) mungkin terjadi.

Kegiatan budi daya tanaman penghasil minyak non-pangan sangat ini cukup marak dilakukan setelah terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia, serta naiknya harga BBM dalam negri. Jarak Pagar atau Jetropha Curcas dipilih sebagai tanaman yang layak untuk dibudi dayakan karena minyak yang dihasilkan tidak bisa dimakan, sehingga nantinya diharapkan tidak terjadi perebutan material antara industri pangan dan bahan bakar, bisa tumbuh dilahan kritis sehingga memiliki efek reboisasi, batangnya

bisa berfungsi sebagai kayu bakar, serta cukup besar produktivitasnya. Kemampuan produksi tanaman jarak pagar berkisar 5 ton biji/Ha thn, dengan potensi lahan kritis di Indonesia sekitar 20 juta Ha, maka hal ini akan berpotensi menghasilkan biodiesel sebesar 40 juta ton/tahun.

Tabel 41. Contoh Tumbuhan Penghasil Minyak yang ada di Indonesia. Nama

Indonesia

Nama Latin Letak

Minyak

Persen biji kering

Ket

Alpukat Persea Gratissima Daging Buah 40-80 P Bidaro Ximenia Americana Inti biji 49-61 NP

Cokelat Theobroma Cacao Biji 54-58 P

Jagung Zea Mays Biji 30-33 P

Jarak Kaliki Ricinus Communis Biji 45-50 NP

Jarak pagar Jetropha Curcas Inti biji 40-60 NP Kacang

Suuk

Arachis hypogea Biji 35-55 P

Kapok Ceiba Pentandra Biji 24-40 NP

Karet Hevea Brasiliensis Biji 40-50 NP

Kecipir Psophocarpus Tetrag Biji 15-20 P

Kelapa Cocos Nucifera Daging buah 60-70 P

Kelor Moringa Oleifera Biji 30-49 P

Kemiri Aleurites Moluccana Inti biji 57-69 NP Kusambi Sleichera Trijuga Daging biji 55-70 NP Nimba Azadirachta Indica Daging biji 40-50 NP Saga Utan Adenanthera Pavonina Inti biji 14-28 P Sawit Elais Guineensis Serabut dan

daging buah

45-70 dan 46- 54

P

Seminai Madhuca Utilis Inti biji 50-70 P

Wijen Sesamum Arientale Biji 45-55 P

Keterangan: P=Pangan NP=Non Pangan Sumber: Sulistyono, 2007.

2. Isu lingkungan.

Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan. Memasuki awal abad 21, masalah lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan LSM lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk menyatakan perluasan areal kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit dianggap berasal dari lahan hutan yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha dalam bentuk kayu dan

produk kelapa sawit. Hal ini memang tidak sepenuhnya benar karena banyak juga kebun yang berasal dari lahan yang bukan hutan.

Pengusahaan kebun secara monokultur juga dijadikan argumen lain untuk mendukung kekhawatiran bahwa kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Kasus serangan belalang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diyakini berkaitan dengan habisnya hutan di wilayah tersebut akibat kelapa sawit. Masalah banjir juga sering dikaitkan dengan perluasan kelapa sawit. Situasi tersebut akan mempersulit pengembangan kelapa sawit pada masa mendatang. Untuk itu, pengembanan kelapa sawit harus menerapkan konsep berkelanjutan dan menerapkan teknologi dengan dampak lingkugan yang minimal.

3. Konflik lahan.

Masalah lain yang masih harus diantisipasi dalam pengembangan kelapa sawit adalah konflik lahan dan penjarahan, baik itu penjarahan kebun maupun produksi. Masalah ini cukup mengkhawatirkan perusahaan perkebunan, karena masalah ini sudah menyebar lintas wilayah dan komoditas. Nilai kerugian finansial yang ditimbulkan oleh konflik lahan dan penjarahan ini, walaupun bervariasi bergantung sumbernya, sebenarnya sudah sangat besar. Sebuah laporan menyebutkan bahwa kerugian penjarahan di perkebunan sudah mencapai Rp 5 triliun yang diderita oleh sekitar 120 perusahaan perkebunan. Selanjutnya, penyerobotan atau okupasi lahan perkebunan diperkirakan sudah mencapai lebih dari 100 ribu ha. Situasi ini tidak hanya mencemaskan bagi perusahaan yang sudah ada, tetapi juga membuat perusahaan baru membatalkan atau menunda usaha investasi di bisnis perkebunan. Untuk itu, model pembangunan industri minyak sawit harus benar-benar memanfaatkan aspek kesinambungan dan keadilan, khususnya dengan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, masyarakat sekitar sejak awal sudah dilibatkan agar menampung aspirasi mereka tertampung secara fair.

Dokumen terkait