• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Kelapa sawit (elaeis guineensis) merupakan tumbuhan tropis yang tergolong dalam famili Palmae dan berasal dari Nigeria, Afrika Barat (Fauzi, 2002). Selanjutnya Sargeant (2001) menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Namun demikian, kelapa sawit justru hidup subur di luar daerah asalnya seperti di Indonesia dan Malaysia.

Buah kelapa sawit terdiri dari kulit buah yang keras dan licin (exocarp), daging buah (pulp mesocarp), cangkang (shell endocarp) dan inti (kernel endosperm). Exocarp dan mesocarp disebut pericarp yaitu bagian buah yang banyak mengandung Crude Palm Oil (CPO), inti (endosperm) menghasilkan minyak inti sawit (Palm Karnel Oil / PKO). Ukuran buah sawit bervariasi dari 2 sampai 5 cm dengan berat rata-rata 30 gram. Proses pembentukan minyak pada lapisanmesocarpberlangsung selama 24 hari (Setyamidjaja,1991).

Menurut Sastrosayono (2006) kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun atau lebih kurang berumur 30 bulan setelah ditanam di lapangan. Pemanenan dilakukan bila 60% atau lebih buah kelapa sawit yang telah matang panen ditandai dengan adanya buah yang jatuh dari tandannya. Pemanenan yang terlalu cepat, menghasilkan rendemen yang rendah. Sedangkan keterlambatan panen mengakibatkan peningkatan kandungan asam lemak bebas. Selanjutnya Mangoensoekarjo (2005) menyarankan pemanenan lebih baik dilakukan dengan memotong tandan buahnya. Dijelaskan bahwa Tandan Buah Segar (TBS) atau

fresh fruit bunch (FFB) kelapa sawit terdiri dari buah kelapa sawit (74%) dan tandan kosong (26%). Buah kelapah sawit yang diproses di PKS akan menghasilkan: minyak sawit mentah atau CPO (21 – 22%), minyak inti/karnel atau PKO (0,4 – 0,6%), sabut (0,6 – 0,7%) dan tempurung (13 -15%). Sedangkan tandan kosong mengandung air (63%), Crude Palm Oil Parit atau liquid waste

Pericarp, selain menghasilkan CPO juga menghasilkan limbah berupa sabut yang biasanya digunakan sebagai bahan bakar ketel pada PKS (Pabrik Kelapa Sawit). Tandan kosong biasanya dibakar dan digunakan sebagai pupuk. Sabut dan tandan kosong juga dapat digunakan sebagai substrat pertumbuhan mikrobial untuk menghasilkan enzim dan digunakan sebagai pakan ternak dengan kandungan protein tinggi4.

2.2 Biodiesel

2.2.1 Asal Mula Biodiesel

Terjadinya krisis minyak bumi tahun 1973 menimbulkan kembali perhatian pada pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar diesel. Padahal pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar diesel sudah dikembangkan Dr. Rudolf Christian Karl Diesel (1859–1913) yang menciptakan motor diesel. Tahun 1910, Rodolf Diesel, menggunakan minyak kacang tanah sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesinnya pada suatu pameran Pekan Raya Dunia di Paris. Namun dengan tersedianya bahan bakar fosil yang melimpah, maka penelitian dan pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar diesel ditinggalkan orang.

Der Gebrauch von Pflanzenöl als Krafstoff mag heute Unbedeutend sein. Aber derartige Produkte konnen im Laufe der Zeit ebenzo wichting werden wie Petroleum und Diese Köhle-Teer-Produkte von heute

(Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini sepertinya tidak berarti, tetapi pada saatnya nanti akan menjadi penting, sebagaimana penggunaan minyak bumi dan produk batubara pada saat ini) (Karl Diesel tahun 1910).

Saat ini (97 tahun setelah kalimat itu diucapkan) apa yang diyakini Karl Diesel terbukti. Orang heboh melakukan pengembangan bahan bakar nabati. Berbagai penelitian telah dilakukan secara intensif oleh berbagai lembaga riset dari berbagai penjuru dunia dengan menggunakan konsep baru.

Tujuan utama pengembangan biodiesel ini adalah menciptakan green fuel

yang ramah lingkungan. Pengembangan biodiesel yaitu untuk mensubstitusi bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis. Sedangkan bahan dasar biodiesel itu tersedia di alam dan bisa diperbarui. Indonesia secara geografis diuntungkan untuk pengembangan bahan dasar biodiesel, karena memiliki lahan-lahan berjuta- juta hektar yang siap ditanami (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2003).

Menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2004), secara ekonomi pengembangan biodiesel yang berbahan baku kelapa sawit dapat mengontrol

demand and supply produk perkebunan tersebut. Jika kelebihan untuk kebutuhan

4 “Era Bioteknologi dan Sumberdaya Litbang” oleh Prof.Dr.Ir.E. Gumbira.Sa'id, MADev, Direktur

Akademik dan Kemahasiswaan MMA-IPB dan Kepala Laboratorium Bioindustri, Jurusan TIN FATETA-IPB. http://www.bogor.net/mma/mma1.htm (06 Januari 2008)

pangan, seperti minyak goreng, di samping diekspor dapat dipakai untuk bahan bakar minyak, sehingga dapat mengontrol harga CPO.

Sedangkan menurut Pakpahan (2002) di samping nilai lebih yang begitu besar bagi kepentingan bangsa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi pada masa depan, sejauh ini biodiesel masih memiliki titik-titik lemah. Misalnya soal minyak nabati mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar diesel fosil. Hal ini mempengaruhi atomisasi bahan bakar dalam ruang bakar motor diesel. Atomisasi yang kurang baik akan menurunkan daya mesin. Hal ini menyebabkan terjadinya pembentukan deposit yang berlebihan pada ruang bakar dan bagian-bagian motor yang bersentuhan dengan hasil pembakaran. Pembakaran menjadi tidak sempurna.

Oleh sebab itu, viskositas dalam minyak nabati harus diturunkan dulu. Salah satu cara untuk menurunkan viskositas tersebut adalah melakukan modifikasi minyak nabati melalui proses transesterifikasi metil ester nabati atau FAME. Inti dari proses ini adalah bertujuan agar bisa diproduksi bahan bakar yang sesuai dengan sifat dan kinerja diesel fosil. Agar kinerja pada system injeksi motor diesel menjadi sempurnya, bisa saja dilakukan modifikasi sifat-sifat fisika-kimia minyak nabati sesuai dengan sifat-sifat fisika-kimia bahan bakar diesel fosil yakni dengan menggunakan campuran minyak nabati dengan bahan bakar diesel fosil. Tentu saja hal ini tidak cukup, dan untuk mengubah komposisi kimiawinya, dilakukanlah suatu proses sederhana yang disebut proses transesterifikasi. Bahan yang sudah mengalami proses ini disebut FAME, dan FAME ini yang dicampurkan ke dalam solar, sehingga muncul hasilnya, yaitu produk biodiesel B-5 atau B-10, B-20, dan seterusnya (Pakpahan, 2002).

2.2.2 Pembuatan Biodiesel Berbahan Baku Minyak Sawit (CPO)

Biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar yang dibuat melalui proses transesterifikasi. Proses pembuatan biodiesel dari minyak sawit disebut transesterifikasi (trans – ester – ifikasi). Transeterifikasi merupakan perubahan bentuk dari satu jenis ester menjadi bentuk ester yang lain. Dalam proses transesterifikasi diperlukan katalis untuk mempercepat proses. Lemigas sendiri, menggunakan methanol dengan NaOH sebagai katalisnya. Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan ke dalam reaktor yang berisi CPO, lalu diaduk sesuai dengan kondisi operasi yang diinginkan5.

Menurut Darnoko (2001) Biodiesel yang berasal dari crude palm oil

(CPO) harus diolah terlebih dahulu, karena warna asli CPO itu gelap sekali.

5 “Mengenal Biodiesel? Crude Palm Oil?” Warta Utama Edisi No: 5/Thn XLI, Mei 2006. http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1295&Itemid=507

Sedangkan untuk menjadi bahan bakar, maka CPO diproses lebih lanjut dalam proses transesterifikasi. Untuk mempercepat reaksinya digunakan katalis methanol dan ethanol. Dalam produk hasil transesterifikasi, kedua unsur katalis (methanol dan ethanol) tidak keluar, karena fungsinya semata-mata sebagai katalis, yaitu untuk mempercepat proses transesterifikasi. Dari CPO akan keluar dua jenis unsur, yaitu 20% tearin dan 80% olein. Unsur olein direaksikan dalam proses transesterifikasi menggunakan katalis ethanol dan methanol untuk mempercepat reaksi sehingga didapatkan FAME (fatty acid methyl ester).

Selanjutnya dijelaskan oleh Prihandana, et al (2007) bahwa dari proses transesterifikasi akan dihasilkan juga gliserin, tapi gliserin ini tidak bisa dipakai untuk bahan bakar, kecuali untuk kosmetik dan sabun. Dari hasil proses transesterifikasi keluar unsur FAME yang akan digunakan sebagai bahan bakar atau yang dikenal dengan “biodiesel”. Saat ini yang dikembangkan dan dijual oleh Pertamina adalah biodiesel jenis B-5, yang berarti formulasi 5 persen FAME dan 95 persen solar murni. Unsur-unsur FAME dan solar murni di-blending dengan metode blending flash. Prosesnya cepat, sehingga begitu di-blending langsung bercampur. Setelah dicampur, langsung masuk ke inland blending, lalu masuk ke isso tank. Proses pencampuran antara solar murni dan FAME itu berlangsung hanya sekitar 10 menit.

Beberapa teknik baru pada saat ini yang banyak digunakan untuk proses produksi pembuatan biodiesel (asam lemak metil ester) adalah transesterifikasi menggunakan katalis biologis (biocatalyst) dan transesterifikasi tanpa katalis.

Refined fatty oil yang memiliki kadar asam lemak bebas (free fatty oil) rendah, sekitar 2% bisa langsung diproses dengan metode transesterifikasi menggunakan katalis alkalin untuk menghasilkan metil ester dan gliserol. Namun bila kadar asam minyak tersebut masih tinggi, maka sebelumnya perlu dilakukan proses praesterifikasi terhadap minyak tersebut. Kandungan air dalam minyak tumbuhan juga harus diperiksa sebelum dilakukan proses transesterifikasi (Salis et al, 2005).

Transesterifikasi merupakan metode yang saat ini paling umum digunakan untuk memproduksi biodiesel dari refined fatty oil. Metode ini bisa menghasilkan biodiesel (FAME) hingga 98% dari bahan baku minyak nabati. Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang mengandung kadar asam lemak

bebas (free fatty acid - FFA) tinggi (lebih dari 2% ), maka perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%.

Selain untuk menurunkan kadar asam, pada proses praesterifikasi juga perlu dilakukan pengurangan kadar air. Pada prinsipnya, pengurangan kadar air bisa dilakukan dengan dua cara, separasi gravitasi atau separasi distilasi. Separasi gravitasi mengandalkan perbedaan densitas antara minyak dengan air: air yang lebih berat akan berposisi di bagian bawah untuk selanjutnya dapat dipisahkan. Sedangkan separasi distilasi mengandalkan titik didih air sekitar 100oC dan pada beberapa kasus digunakan pula tekanan rendah untuk memaksa air keluar dan terpisah dari minyak (Ramadhas, 2005 dalam Hidayat, 2006).

Menurut Elisabeth (2001) Bila bahan baku minyak yang digunakan merupakan minyak yang telah diproses (refined fatty oil) dengan kadar air dan asam lemak bebas yang rendah, maka proses esterifikasi dengan katalis alkalin bisa langsung dilakukan terhadap minyak tersebut. Transesterifikasi pada dasarnya terdiri atas 4 tahapan, yakni:

1. Pencampuran katalis alkalin (umumnya sodium hidroksida atau potassium hidroksida) dengan alkohol (umumnya methanol). Konsentrasi alkalin

yang digunakan bervariasi antara 0,5 - 1 wt% terhadap massa minyak. Sedangkan alkohol diset pada rasio molar antara alkohol terhadap minyak sebesar 9:1.

2. Pencampuran alkohol+alkalin dengan minyak di dalam wadah yang dijaga pada temperatur tertentu (sekitar 40 - 60oC) dan dilengkapi dengan pengaduk (baik magnetik ataupun motor elektrik) dengan kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm - putaran per-menit). Keberadaan pengaduk sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi methanolisis secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi methanolisis ini dilakukan sekitar 1 - 2 jam.

3. Setelah reaksi methanolisis berhenti, campuran didiamkan dan perbedaan densitas senyawa di dalam campuran akan mengakibatkan separasi antara

metil ester dan gliserol.Metil ester dipisahkan dari gliserol dengan teknik separasi gravitasi.

4. Metil ester yang notabene biodiesel tersebut kemudian dibersihkan menggunakan air distilat untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti methanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah sedangkanmetil ester di bagian atas.

Minyak nabati merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan baik sebagai pengganti maupun subsitusi bahan bakar diesel. Sebagai bahan bakar pengganti, diharapkan minyak nabati dapat menggantikan pemakaian bahan bakar diesel fosil. Dan sebagai substitusi bahan bakar diesel diharapkan minyak nabati dapat mengurangi kebutuhan terhadap bahan bakar diesel fosil. Minyak nabati sebagai bahan bakar diesel menurut jenisnya dapat dibagi atas :

1. Crude vegetable oil (CVO), yaitu minyak nabati mentah hasil pemerasan atau ekstraksi buah atau biji nabati yang telah melalui proses penyaringan dan pembersihan.

2. Refined vegetable oil (RVO), yaitu hasil pemurnian dari CVO.

3. Methyl/ethyl ester vegetable oil yaitu hasil transesterifikasi dari VCO atau RVO.

Dalam pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar diesel dapat dilakukan melalui beberapa pilihan atau alternatif antara lain:

1. Bisa saja CVO murni.

2. Campuran CVO dengan bahan bakar diesel fosil. 3. RVO murni.

4. Campuran RVO dengan bahan bakar diesel fosil. 5. Methyl/Ethyl ester vegetable oil murni.

6. CampuranMethyl/Ethyl ester vegetable oil dengan bahan bakar diesel fosil.

Dokumen terkait