• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PABRIK BIODIESEL DI KABUPATEN KUANTAN SINGING

8.1 Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi pendirian pabrik biodiesel berbasis

liquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi dibagi menjadi dua yaitu kekuatan dan kelemahan. Masing-masing faktor diuraikan sebagai berikut:

8.1.1 Kekuatan

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam pendirian pabrik biodiesel berbasisliquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi antara lain:

1. Potensi ketersediaan bahan baku limbah cair (liquid wasate) dari pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS)

Perkembangan luas areal kelapa sawit selama dua dekade terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, yaitu dari 290 ribu Ha pada tahun 1980 menjadi 5,5 juta ha pada tahun 2005 atau tumbuh sekitar 12,9% per-tahun. Pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada perkebunan rakyat, yaitu dari 6 ribu ha tahun 1980 menjadi 2,9 juta ha pada tahun 2005 atau tumbuh 32,1% per-tahun. Sedangkan pada perkebunan besar swasta tumbuh 15,6% per-tahun dan perkebunan besar negara hanya tumbuh 5,2% per-tahun.

Dari segi areal, Indonesia memiliki areal perkebunan kelapa sawit nomor satu di dunia. Namun dari segi produksi, Malaysia masih merupakan negara produsen nomor satu di dunia. Tahun 2005, Malaysia memiliki areal perkebunan kelapa swait seluas 3,7 juta ha. Tapi negara jiran ini mampu memproduksi minyak sawit sebesar 14,9 juta ton. Sedangkan Indonesia hanya memproduksi sekitar 12 juta ton. Ini berarti, tingkat produktivitas perkebunan kelapa sawit di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Malaysia, rata-rata produktivitasnya sudah mencapai 4 ton CPO/ha/th. Sedangkan Indonesia baru mencapai 3 ton/ha/tahun.

Tahun 2006 Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang terluas di Indonesia yaitu 1.409.715 ha dengan produksi sebesar 3,3 juta ton/tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau tersebar pada 11 (sebelas) kabupaten. Kabupaten Rokan Hulu memiliki areal yang paling luas bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya, yaitu 338.661 ha atau 22.86 persen dari total jumlah keseluruhan, diikuti oleh Kabupaten Kampar seluas 215.033 ha atau 14.51 persen dan Kabupaten Pelalawan seluas 197.356 ha atau 13.32

persen. Sedangkan Kabupaten yang paling sedikit areal untuk perkebunan kelapa sawit adalah Kota Dumai seluas 19.020 ha atau 1.28 persen.

Namun, dari segi produksi, Kabupaten Kuantang Singingi justru mempunyai jumlah produksi yang paling banyak, yaitu 732.675 ton atau 19.41 persen dari total keseluruhan produksi sawit di Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 627.206 ton atau 16.61 persen dan Kabupaten Kampar sebanyak 520.648 ton atau 13.79 persen. Sedangkan Kabupaten/Kota yang paling sedikit jumlah produksi kelapa sawitnya adalah Kota Dumai sebanyak 5.361 ton atau 0.14 persen.

Hasil dari proses pengolahan kelapa sawit sebanyak 1 ton menghasilkan 140-200 kg CPO tergantung pada kualitas buah. Selain menghasilkan CPO, proses pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan berbagai limbah diantaranya limbah cair (liquid waste), serat, cangkang, tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Pengolahan 1 ton kelapa sawit akan menghasilkan 600-700 kg, 190 kg serat dan cangkang, serta 230 kg TKKS. Sehingga potensi Provinsi Riau sebagai penghasil limbah cair (liquid waste) sebesar 1,98-2,31 miliar ton/tahun. Sedangkan, untuk Kabupaten Kuantan Singingi sebesar 439,61-512,87 juta ton/tahun.

2. Tersedianya sumberdaya manusia yang dapat dibina dan diarahkan untuk menjadi tenaga kerja yang handal.

Berdasarkan data statistik tahun 2004, penduduk kabupaten Kuantan Singingi berjumlah 246.253 jiwa, yang terdiri dari laki-laki berjumlah 124.720 jiwa (50,65 persen) dan perempuan berjumlah 121.533 jiwa (49,35 persen). Jumlah rumah tangga sebesar 60.678 rumah tangga dengan rata-rata penduduk 4,06 per rumah tangga, dengan rata-rata laju pertumbuan penduduk Kabupaten Kuantan Singingi dari tahun 2001 sampai tahun 2005 sebesar 4,8 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang relatif lebih tinggi ini disebabkan oleh perkembangan perekonomian Kuantan Singingi yang cukup signifikan sehingga mendorong migrasi.

Pencari kerja tahun 2005 di Kabupaten Kuantan Singingi berjumlah 11.447 orang, yang terdiri dari 5.571 laki-laki dan 5.876 perempuan. Dari

jumlah pencari kerja tersebut 99 orang tamat Sekolah Dasar (SD), 153 orang tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 5.878 orang tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), 821 orang tamat Program Diploma, dan 4.496 orang lulusan Program Strata Sarjana. Jumlah pencari kerja per tahunnya dapat dilihat pada Tabel 33 berikut ini.

Tabel 33. Jumlah Pencari Kerja di Kabupaten Singingi Tahun 2001-2005. Tahun Jumlah Pencari Kerja Pertumbuhan (%) 2001 368 2002 1.052 65,02 2003 1.517 30,65 2004 4.861 68,79 2005 11.447 57,54

Sumber: Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Kuantan Singingi, 2005.

3. Adanya dukungan pemerintah pusat terhadap penyediaan energi alternatif yang bersumber dari liquid wasate.

Adanya kebijakan nasional yang mensyaratkan kondisi emisi kendaraan harus pada tahap EURO 2. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan sejumlah peraturan seperti:

- Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 2006 tentang Upaya Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati.

- Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasioanal.

- Keputusan Presiden Republik Indonesia No 10 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati. - Rancangan Peraturan Pemerintah No 148 Tahun 2006 tentang

Pemberian Insentif Pajak Untuk Bidang Usaha Bahan Bakar Nabati.

Menurut Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Teknologi dan Sumber Daya Manusia (Evita Legowo), dalam seminar Pengelolaan Energi Nasional yang dilakukan oleh Pusdatin ESDM pada hari Selasa, 19 Desember 2007 yang lalu, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan pemasukan negara dari sub sektor migas, akan tetapi disisi lain jumlah subsidi yang harus disediakan oleh Pemerintah juga

meningkat. Hal ini disebabkan karena disamping Indonesia mengekspor minyak bumi, juga mengimpor BBM. Penerimaan diperoleh dari minyak mentah yang dieskpor, sementara subsidi meningkat karena 57% BBM yang dipasarkan di dalam negeri mengandung komponen subsidi. Realisasi subsidi untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 38.280.385 kilo liter atau Rp. 87.774,57 miliar (dengan asumsi ICP US$ 72,42 dan kurs Rp. 9.215). Jumlah ini mencakup subsidi BBM dan Subsidi LPG masing-masing sebesar 38.224 061 KL (Rp. 87.648,66 miliar) untuk BBM dan 36.324 KL (Rp. 125,91 miliar) untuk LPG.

Selain itu, pada taraf internasional terdapat Protokol Kyoto tentang Clean Development Mechanism (CDM) dan Standardisasi Internasional seperti ISO 14.000 tentang Sistem Pengendalian Lingkungan. Dengan demikian, keberadaan industri biodiesel sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan mulai di perhitungkan dan dianggap memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Sementara itu, sampai saat ini importir Eropa tidak mau membeli produk-produk dari pabrik yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.

4. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan energi alternatif dari liquid waste.

Isu lingkungan yang kian menuntut penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan, menyebabkan munculnya ide-ide penggunaan energi alternatif yang bersumber dari produk tumbuh- tumbuhan. Energi alternatif ini digunakan sebagai pencampur maupun pengganti bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Salah satu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah biodiesel yang bersumber dari limbah cair (liquid waste) kelapa sawit.

Kabupaten Kuantan Singingi memiliki potensi sumberdaya bahan baku limbah cair (liquid waste) kelapa sawit yang sampai saat ini belum termanfaatkan secara maksimal. Para pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi menggunakan liquid waste sebagai pupuk organik dan sebagian lagi dibuang ke sungai melalui proses pensteliran.

Dilain pihak, kebutuhan energi untuk perusahaan perkebunan masih dicukupi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun dari penggunaan limbah cangkang (shell) sebagai penggerak steam turbin.

Banyak usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi untuk menanggapi isu lingkungan tersebut diantaranya dengan melakukan penelitian tentang pemanfaatan limbah kelapa sawit yang dihasilkan. Selain itu sebagian pabrik telah menggunakan campuran bahan bakar alternatif (biodiesel) dengan minyak solar untuk memenuhi kebutuhan energi pabrik.

8.1.2 Kelemahan

Faktor-faktor yang menjadi kelemahan dalam pendirian pabrik biodiesel berbasisliquid waste di Kabupaten Kuantan Singingi antara lain:

1. Keterbatasan infrastruktur penunjang, serta terpusatnya infrastruktur di daerah ibu kota provinsi yaitu Pekanbaru.

Infrastruktur wilayah merupakan aspek yang vital dalam pembangunan daerah baik dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maupun sosial. Infrastruktur wilayah tersebut terdiri dari sistem transportasi, sistem pengairan, energi, telekomunikasi dan prasarana perumahan. Kebutuhan akan infrastruktur wilayah tidak terlepas dari fungsi dari perannya terhadap pembangunan yaitu sebagai pengarah pembentukan struktur tataruang, pemenuhan kebutuhan wilayah, pemacu pertumbuhan suatu wilayah dan pengikat wilayah.

Persoalannya adalah infrastruktur penunjang untuk kegiatan pendukung aktivitas dari pabrik biodiesel berbasis limbah cair (liquid waste) pabrik pengolahan kelapa sawit umumnya terletak di ibu kota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Infrastruktur tersebut antara lain pelabuhan laut, udara dan darat. Fungsi dari infrastruktur tersebut adalah untuk pengangkutan bahan baku serta pendistribusian atau pemasaran produk biodiesel (liquid waste) ke daerah lain.

Bidang transportasi dan perhubungan memegang peranan yang strategis dalam pengembangan wilayah maupun untuk menunjang perkembangan

perekonomian daerah. Untuk lebih jelasnya infrastruktur jalan di Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2005 berdasarkan status, jenis dan kondisi permukaannya dapat dilihat pada Tabel 34 dan 35.

Tabel 34. Kondisi Infrastruktur Jalan Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan Tahun 2005.

Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jenis Permukaan Km % Km % Km % Aspal 124,54 100 79,35 54,54 285,83 14,83 Kerikil - - 66,13 45,46 724,45 37,58 Tanah - - - - 917,32 47,59 Jumlah 124,54 100 145,48 100 1927,60 100

Sumber: Dinas Kimpraswil Kabupaten Kuantan Singingi, 2005.

Tabel 35. Kondisi Infrastruktur Jalan Berdasarkan Status Jalan Tahun 2005

Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jenis Permukaan Km % Km % Km % Baik 118,31 95 100,98 69,30 459,287 23,83 Sedang 6,23 5 38,50 26,46 1175,213 60,97 Rusak - - 6,00 4,24 293,121 15,20 Jumlah 124,54 100 145,47 100 1927,60 100

Sumber: Dinas Kimpraswil Kabupaten Kuantan Singingi, 2005.

2. Belum tersedianya dukungan dari pemerintah daerah yang terkait dengan pemanfaatan energi alternatif yang bersumber dari limbah cair (liquid waste) pabrik pengolahan kelapa sawit.

Peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi mengenai pemanfaatan energi alternatif yang merupakan tindaklanjut dari Kepres No. 5 Tahun 2006 dan Inpres No. 1 Tahun 2006 sampai saat ini belum ada termasuk dalam pengelolaan liquid waste

menjadi biodiesel. Kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap hal ini lebih disebabkan oleh status kabupaten yang masih baru sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan masih terkait dengan aturan-aturan yang menyangkut tata pemerintahan lama. Arah kebijakan utama pembangunan Kabupaten Kuantan Singingi dalam mengemban visi dan mencapai misi pembangunan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2006- 20011 antara lain:

- Pengentasan kemiskinan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan masyarakat.

- Peningkatan pendidikan masyarakat. - Peningkatan kesehatan masyarakat.

- Peningkatan bidang penunjang lainnya seperti infrastruktur, agama, hukum dan HAM, adat dan budaya, serta penyandang masalah kegiatan sosial.

Semua itu masih dalam proses persiapan awal sehingga efektivitasnya masih belum penuh. Sedangkan arah kebijakan umum pada sektor perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2006-20011 yaitu mengembangkan perekonomian yang berorientasi global berdasarkan keunggulan produk perkebunan. Namun, dari sisi pemanfaatan energi alternatif, terutama yang bersumber dari limbah cair (liquid waste) pabrik pengolahan kelapa sawit, belum memiliki arah kebijakan utama maupun yang umum.

3. Pemanfaatan limbah cair (liquid waste) pabrik pengolahan kelapa sawit sebagai pupuk organik oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Khusus untuk limbah cair, PKS memiliki potensi menghasilkan limbah cair per ton TBS yang paling besar dibandingkan dengan limbah lainnya (sekitar 50%). Lubis dan Tobing (1989) menyatakan bahwa setiap proses produksi 1 ton MSM dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000 60.000 mg/l. Limbah cair kelapa sawit (LCPKS) akan menjadi bahan pencemar bila dibuang ke sungai. Keadaan tersebut akan membahayakan kehidupan manusia dan sejumlah biota di sungai. Ditinjau dari segi kandungan haranya, setiap 1 ton limbah PKS mengandung hara setara dengan 1,56 kg Urea, 0,25 kg TSP, 2,50 kg MOP, dan 1,00 kg kieserite (Lubis dan Tobing, 1989). Limbah cair PKS disamping sebagai sumber hara makro dan mikro yang penting bagi tanaman juga merupakan sumber bahan organic yag dapat berperan pada perbaikan sifat kimia dan sifat fisik tanah antara lain peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan

orositas tanah (Huan, 1987). Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk/bahan pembenah tanah di perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar adanya kandungan hara dalam limbah ersebut. Pemanfaatan limbah ini disamping sebagai sumber pupuk/bahan organik juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah sebesar 50-60% (Pamin et al, 1996).

Berbagai hasil penelitian dan pengamatan aplikasi limbah cair pada perkebunan kelapa sawit umumnya melaporkan bahwa aplikasi tesebut secara nyata dapat meningkatkan produksi kelapa sawit (Tabel 36). Hasil percobaan PPKS menunjukkan bahwa kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH per bulan dengan pupuk organik sebanyak 50% dari dosis standar kebun, dapat meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 36% dibanding pada perlakuan tanpa aplikasi limbah cair dengan aplikasi pupuk standar kebun 100%.

PT. PN III juga telah melakukan aplikasi limbah cair PKS di beberapa kebun antara lain kebun Aek Nabara Selatan, Sisumut, Torgamba dan Sei Baruhur. Dosis aplikasi limbah yang digunakan adalah 10 cm ECH/ha/th dengan frekuensi aplikasi setiap dua bulan (setiap aplikasi 185 m3/ha) dan pemberian pupuk an organik dosis standar. Hasil pengamatan produktivitas tanaman kelapa sawit pada aplikasi limbah cair tersebut menunjukkan adanya peningkatan roduktiitas rata-rata sebesar 19,5% (Tabel 37).

Tabel 36. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) pada beberapa Percobaan Limbah Cair. Malaysia Parameter PORIM EBOR RS United Plantation Guthrie Indonesia TBS (kg/ha/thn) 25,8 (160) 20,8 (129) 28,8 (129) 31,8 (116) 29,3 (136) Jumlah Tandan (tandan/ha/thn) - 987 (111) - 1268 (104) 909 (129) Bobot Tandan (kg/tandan) - 21,1 (103) - 25,2 (103) 32,2 (106)

Sumber: Sutarta et al, 2000.

Keterangan: angka dalam tanda kurung menyatakan persen terhadap kontrol (tanaman yang tidak diberi limbah cair kelapa sawit).

Tabel 37. Produktivitas Kelapa Sawit pada areal aplikasi limbah cair (liquid waste) pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) di beberapa kebun milik PT. Perkebunan Nusantara III.

Produktivitas Kelapa Sawit (kg/ha/thn)

Kebun Flatbed Luas Efektif

(ha) 1998 1999

Aek Nabara Selatan 20.170 150 21.920 (105) 24.419 (109) Sisumut 10.335 100 16.284 (133) 14.826 (107) Torgamba 20.202 140 21.904 (155) 19.056 (105) S. Baruhur 16.484 100 20.256 (123) 20.684 (119)

Sumber: Sutarta et al (2000)

Keterangan: angka dalam kurung menyatakan persentase terhadap kontrol (tanaman yang tidak diberi limbah cair PKS).

Kenaikan produksi TBS tersebut disebabkan oleh adanya kenaikan kedua komponen produksi yaitu jumlah tandan dan bobot tandan. Berdasarkan hasil penelitian PPKS, dosis aplikasi limbah cair yang dianjurkan adalah 12,66 mm ECH/bulan yang dikombinasikan dengan 50% dosisi pupuk standar kebun. Dosis 12,66 mm ECH/bulan setara dengan 126.000 liter/ha.

Dokumen terkait