• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang

Keberhasilan program terapi ARV dapat dilihat dari angka kepatuhan, penurunan jumlah viral load, serta kelangsungan hidup odha (Gerver dkk, 2010). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah berkurangnya angka kejadian AIDS dan kematian akibat AIDS pada pasien HIV. Hal ini dapat tercapai jika semua odha yang menerima terapi ARV patuh berobat dan mengikuti terapi dengan rajin. Namun kenyataannya, masih banyak odha yang tidak mengikuti terapi dengan rajin atau loss to follow up.

Di berbagai negara telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV, diantaranya:

2.4.1 Jenis Kelamin

Beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan antara jenis kelamin dan risiko loss to follow up menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Mosoko

dkk di Cameroon menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow

up dibandingkan perempuan (HR 1,33; 95% CI: 1,18-1,50) (Mosoko dkk, 2011).

Sedangkan hasil dari penelitian oleh Saka dkk yang dilakukan di Togo dari tahun 2008 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada perempuan lebih besar daripada laki-laki (OR = 1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka dkk, 2013). Dalam penelitian oleh Odafe dkk pada tahun 2012, dinyatakan bahwa kemungkinan laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up dikarenakan perempuan cenderung lebih memperhatikan masalah kesehatan dibandingkan laki-laki. Selain itu telah ada layanan kesehatan khusus bagi perempuan terutama masalah kesehatan reproduksi dan anak, sementara belum ada layanan kesehatan yang dikhususkan untuk laki-laki (Odafe dkk, 2012).

2.4.2 Umur

Umur yang semakin muda akan meningkatkan risiko odha untuk loss to

follow up. Menurut hasil penelitian oleh Saka dkk (2013) loss to follow up lebih

berisiko pada odha yang memulai terapi ARV pada umur di bawah 35 tahun (OR = 1,6; 95%CI: 1,2-2,2). Kemungkinan odha loss to follow up pada umur yang lebih muda dikarenakan penolakan psikologis bahwa mereka telah terinfeksi HIV mereka mencoba mencari alternatif pengobatan lain. Sedangkan penelitian oleh Honge dkk menunjukkan bahwa odha dengan umur <30 tahun lebih berisiko untuk loss to follow up (Honge dkk, 2013).

2.4.3 Pendidikan, Pekerjaan, dan Pendapatan

Menurut hasil penelitian oleh Khrisnan dkk pada tahun 2011 loss to follow

berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Pendapatan yang rendah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi loss to follow up pada odha. Penelitian yang dilakukan oleh Maru dkk di India menunjukkan bahwa odha yang memiliki pendapatan yang rendah akan lebih berisiko untuk loss to follow

up, dan ada pula interaksi yang signifikan antara pendapatan yang rendah dengan

kadar CD4 yang rendah saat memulai terapi. Odha dengan kadar CD4 yang rendah yang dibarengi dengan pendapatan yang rendah akan lebih meningkatkan risiko untuk loss to follow up dibandingkan pengaruh kedua faktor ini secara mandiri (Maru dkk, 2007). Salah satu pekerjaan yang rentan terhadap loss to

follow up adalah pekerja seks perempuan (PSP). Mereka biasanya hidup

berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dan jauh dari keluarga yang mendukung sehingga risiko untuk loss to follow up akan lebih tinggi.

2.4.4 Adanya pengawas minum obat (PMO)

Salah satu faktor yang mempengaruhi odha loss to follow up adalah adanya pengawas minum obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita dalam minum obat secara teratur. Keberadaan PMO mungkin lebih dikenal dengan PMO pada pasien TBC. PMO bertugas mengawasi dan memantau pasien agar meminum obat TBC secara teratur sampai pengobatannya tuntas. Dalam kaitannya dengan TBC, keberadaan PMO sangat penting. Telah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PMO sangat berkontribusi terhadap kepatuhan pasien TBC untuk meminum obat TBC sehingga pasien menjadi sembuh (Krisnawati, 2005; Hana, 2009; Putri, 2010). Konsep ini dapat digunakan pula untuk odha, dimana odha yang sedang

dalam terapi ARV di Yayasan Kerti Praja sebagian besar telah didampingi PMO. PMO pada terapi ARV memiliki tugas yang hampir sama dengan PMO pada pasien TBC. PMO dapat membantu mengingatkan odha untuk meminum ARV secara teratur sesuai jadwal sehingga tetap bertahan pada terapi ARV yang dijalani dan mengurangi risiko loss to follow up. Berdasarkan hasil dari review beberapa literatur yang tercantum pada buku “Interventions to Improve Adherence

to Antiretroviral Therapy: A Review of the Evidence” oleh USAID (2006) tersebut

dinyatakan pula bahwa adanya Directly Observed Treatment (DOT) atau PMO pada terapi ARV di tingkat fasilitas kesehatan yang disediakan oleh petugas penjangkauan atau anggota keluarga adalah metode yang efektif dan murah untuk membantu meningkatkan kepatuhan odha dalam mengkonsumsi ARV. Odha yang patuh mengikuti terapi ARV akan menurunkan risiko loss to follow up.

2.4.5 Kadar CD4

Penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk pada sejumlah program terapi ARV di wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan menemukan bahwa odha yang memulai terapi ARV pada kadar CD4 < 25 sel/mm3 memiliki risiko yang lebih besar untuk loss to follow up dibandingkan odha yang memulai terapi ARV pada kadar CD4 50 sel/mm3 (HR: 1,48; 95% CI: 1,23–1,77) (Martin dkk, 2008). Sementara penelitian oleh Gerver dkk di UK pada tahun 2010 menunjukkan bahwa odha yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 <200 sel/mm3 dibandingkan kadar CD4 > 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to follow up yang lebih besar (OR = 1,99, 95% CI:1,05-3,74). Serupa dengan hasil penelitian tersebut, penelitian oleh Lanoy dkk juga menunjukkan bahwa odha yang memulai

terapi ARV dengan kadar CD4 < 200 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to

follow up yang lebih besar dibandingkan dengan kadar CD4 >200 sel/mm3 (Lanoy dkk, 2006). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah peningkatan jumlah CD4. Mereka yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 lebih tinggi cenderung akan lebih rajin datang ke klinik dan meneruskan terapi ARV karena

trend CD4 akan cenderung meningkat karena sudah merasakan manfaat terapi

ARV. Sebaliknya apabila trend CD4 cenderung turun maka kemungkinan odha akan mencari pengobatan lain dan tidak meneruskan terapi. Hal ini menunjukkan adanya masalah kesehatan yang kompleks dan tekanan psikososial (Khrisnan dkk, 2011).

2.4.6 Berat badan

Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan seseorang. Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi atau kadar hemoglobin yang normal akan memperoleh kondisi sehat yang lebih baik, hal ini menyebabkan odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARVnya karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Body mass index (BMI) <18.5 kg/m2 menurut hasil penelitian oleh Honge dkk yang dilakukan di Guinea-Bisaau merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan loss to

follow up (HR:1,32, 95% CI 0,97-1,79) (Honge dkk, 2013).

2.4.7 Kadar hemoglobin

Faktor lain adalah hemoglobin, dimana penelitian oleh Zhou dkk yang dilakukan di 18 site di kawasan Asia Pasifik menyatakan bahwa odha dengan kadar hemoglobin yang rendah berisiko untuk loss to follow up (Zhou dkk, 2012).

2.4.8 Infeksi oportunistik yang menyertai

Faktor lain adalah adanya infeksi oportunistik, dimana hasil dari penelitian oleh Saka dkk menunjukkan bahwa risiko loss to follow up yang lebih besar pada odha yang memiliki infeksi oportunistik saat pertama kali memulai terapi (OR = 2,3; 95%CI: 1,5-3,1) (Saka dkk, 2013). Adanya infeksi oportunistik menunjukkan bahwa odha telah berada pada stadium yang lebih parah. Hal ini kemungkinan menyebabkan odha menghentikan terapi atau mencari alternatif pengobatan lain. 2.4.9 Faktor risiko penularan

Odha dengan riwayat pengguna narkoba suntik merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan loss to follow up. Hasil penelitian oleh Lebouche dkk menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada odha dengan riwayat pengguna narkoba suntik lebih besar daripada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki (LSL) (OR=5,3; 95% CI 2,7-10,5) (Lebouche dkk, 2006).

2.4.10 Jarak tempat tinggal dengan layanan

Ada pula yang menyatakan bahwa jarak antara tempat tinggal dengan layanan mempengaruhi loss to follow up. Penelitian oleh Mosoko dkk di tahun 2011 menunjukkan bahwa odha yang tinggal > 150 km dari layanan memiliki risiko untuk loss to follow up yang lebih besar (HR=1,41, 95% CI :1,18-1,69)(Mosoko et al. 2011). Hal ini dikarenakan kesulitan yang dirasakan odha untuk menjangkau layanan yang dirasa jauh, sehingga mereka enggan untuk meneruskan terapi.

Dokumen terkait