• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To Follow Up

Setelah 10 tahun periode pengamatan terhadap kohort odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja, pasien yang loss to follow up sebanyak 14,1%. Angka ini lebih rendah dari angka loss to follow up di Indonesia yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu sebanyak 17,3% odha loss to

follow up dari terapi ARV di Indonesia (Depkes, 2014). Median lama mengikuti

terapi ARV sebelum loss to follow up pada penelitian ini tidak tercapai. Karena hanya 25% sampel yang mengalami loss to follow up sebelum akhir pengamatan. Dari 10 tahun pengamatan, 25% sampel tersebut hanya sampai 6 tahun mengikuti terapi ARV sampai akhirnya loss to follow up.

Insiden loss to follow up pada penelitian ini sebesar 5,15 per 100 person

years. Apabila dibandingkan dengan hasil dari penelitian lain, angka insiden ini

lebih rendah, dimana hasil penelitian yang dilakukan Odafe dkk pada tahun 2012 di Nigeria menemukan angka insiden loss to follow up sebanyak 7,9 per 100

person years (Odafe dkk, 2012) sementara di kawasan Asia Pasifik sebanyak 21,4

per 100 person years (Zhou dkk, 2012). Penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian tersebut, tetapi dibedakan oleh cut off point dalam mendefinisikan loss

to follow up yang berbeda-beda. Pada penelitian ini cut off point untuk

menefinisikan loss to follow up adalah odha yang tidak melanjutkan terapi ARV di YKP selama >3 bulan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Odafe

dkk menggunakan cut off point 6 bulan, dan penelitian oleh Zhou dkk menggunakan cut off point 36 bulan. Selain itu adanya beberapa program seperti penjangkauan (outreach) dan dukungan sebaya yang dilaksanakan di YKP berdampak pada rendahnya insiden loss to follow up di YKP dibandingkan Nigeria dan kawasan Asia Pasifik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang secara statistik berhubungan dengan loss to follow up antara lain: umur, adanya PMO, dan fakor risiko penularan. Loss to follow up lebih besar pada odha yang memiliki umur lebih muda. Hal ini sama dengan hasil penelitian lain seperti penelitian di Perancis (Lebouché dkk, 2006), di India (Maru dkk, 2007), di Eropa (Mocroft dkk, 2008), di Guinea Bissau (Hønge dkk, 2013), dan di Togo (Saka dkk 2013). Hal ini kemungkinan dikarenakan umur masih memiliki hubungan yang erat dengan kondisi psikologis seseorang. Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Roura di tahun 2009, penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor individu seperti psikologis memegang peranan yang penting pada kelanjutan terapi ARV. Selanjutnya dikatakan pula bahwa motivasi dan kemampuan diri sendiri untuk berperilaku teratur mengikuti terapi ARV sebagai bagian dari psikologis yang berhubungan dengan usia muda (Roura dkk, 2009). Usia yang lebih muda membuat odha belum siap secara psikologis untuk mengikuti terapi ARV secara teratur selain adanya penolakan psikologis terhadap kondisinya. Hal lain yang kemungkinan berhubungan dengan usia muda adalah mobilisasi. Penelitian yang dilakukan Khrisnan di tahun 2011 menyatakan bahwa usia muda

lebih mudah untuk loss to follow up karena mereka sering berpindah-pindah untuk bekerja atau bersekolah (Krishnan dkk, 2011.).

Loss to follow up pada odha yang tidak memiliki PMO dua kali lebih besar dari odha yang memiliki PMO. PMO selama ini dikenal dan telah banyak diteliti adalah PMO pada pasien TBC. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PMO sangat berkontribusi terhadap kepatuhan pasien TBC untuk meminum obat secara teratur sehingga pasien menjadi sembuh (Krisnawati, 2005; Hana, 2009; Putri, 2010). Konsep ini dapat digunakan pula untuk terapi ARV. Peranan PMO sangat besar karena bertugas mengingatkan odha untuk teratur mengambil ARV di klinik dan meminum ARV secara teratur, sehingga odha tetap bertahan mengikuti terapi ARV. Di Ukraina pernah dilaksanakan penelitian oleh Mimiaga yang meneliti tentang hambatan dan faktor pendukung kepatuhan odha dalam kepatuhan terhadap terapi ARV. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa salah satu faktor pendukung kepatuhan odha dalam mengikuti terapi ARV adalah adanya dukungan dan pengingat minum ARV dari pihak keluarga, teman, atau orang lain yang dekat dengan odha (Mimiaga dkk, 2010). Dalam buku “Interventions to Improve

Adherence to Antiretroviral Therapy: A Review of the Evidence” oleh USAID

(2006) dikatakan bahwa kepatuhan sangat berhubungan dengan dukungan dari keluarga atau teman dekat. Berdasarkan hasil dari review beberapa literatur yang tercantum pada buku tersebut dinyatakan pula bahwa adanya Directly Observed

Treatment (DOT) atau PMO pada terapi ARV di tingkat fasilitas kesehatan yang

disediakan oleh petugas penjangkauan atau anggota keluarga adalah metode yang efektif dan murah untuk membantu meningkatkan kepatuhan odha dalam

mengkonsumsi ARV. Odha yang patuh mengikuti terapi ARV akan menurunkan terjadinya loss to follow up.

Pada penelitian ini loss to follow up lebih rendah pada odha dengan riwayat sebagai pengguna narkoba suntik (penasun) dibandingkan odha dengan kelompok heteroseksual pekerja seks. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil dari penelitian-penelitian lain yang menyatakan loss to follow up yang lebih besar pada odha dengan riwayat penasun dibandingkan faktor risiko lain (Ioannidis dkk, 1997), (Lebouché dkk, 2006), (Lanoy dkk, 2006), (Krishnan dkk, 2011), (Mocroft dkk, 2008), (Keiser dkk, 2012). Akan tetapi dalam penelitian tersebut tidak membedakan antara heteroseksual sebagai PS dan heteroseksual non PS. Dalam penelitian ini heteroseksual dibagi menjadi heteroseksual PS dan non PS karena YKP merupakan klinik yang sebagian besar pasiennya adalah PS. PS yang ada di YKP sebagian besar adalah pendatang yang datang dari luar Bali, sehingga memiliki mobilitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan mereka memiliki risiko yang besar untuk loss to follow up. Selain itu kemungkinan penasun pada penelitian ini adalah penasun yang hidupnya sudah stabil dan telah berhenti menyuntik, hal ini menyebabkan mereka lebih patuh dan mampu bertahan pada terapi ARV.

Penelitian ini menemukan hasil statistik yang signifikan terhadap variabel jenis kelamin pada analisis bivariat, dimana loss to follow up lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Akan tetapi hasilnya menjadi tidak signifikan pada analisis multivariat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian dari beberapa penelitian. Penelitian oleh Saka menunjukkan bahwa loss to follow up lebih besar

pada perempuan dibandingkan laki-laki (Saka dkk, 2013), tetapi penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya (Odafe dkk, 2012), (Hønge dkk, 2013), (Clouse dkk, 2013). Hasil penelitian ini dapat dikaitkan dengan loss to follow up yang lebih besar pada perempuan karena YKP memberikan layanan untuk pekerja seks yang sebagian besar adalah perempuan, dimana pekerja seks di YKP sebagian besar berasal dari luar Bali dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga banyak yang loss to follow up.

Peneliti menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar CD4 saat memulai terapi ARV dengan loss to follow up, sementara hasil penelitian lain menunjukkan hubungan yang signifikan. Odha yang memulai terapi dengan kadar CD4 lebih rendah akan mengalami loss to follow up yang lebih besar (Lanoy dkk, 2006), (Maru dkk, 2007), (Mocroft dkk, 2008), (Gerver dkk, 2010) (Clouse dkk, 2013) (Hønge dkk, 2013). Hal yang sama juga terjadi pada variabel infeksi oportunistik, dimana pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara infeksi oportunistik dengan loss to follow up. Sedangkan hasil penelitian lain menunjukkan bahwa inkfeksi oportunistik seperti TBC dan sarcoma kaposi akan lebih berisiko untuk loss to follow up (Caluwaerts dkk, 2009) (Saka dkk, 2013). Demikian pula dengan variabel tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, berat badan, dan kadar haemoglobin yang tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan secara statstik dengan loss to follow up.

Dokumen terkait