• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

LOSS TO FOLLOW UP

PADA ODHA

YANG MENERIMA TERAPI ARV

DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI

TAHUN 2002 – 2012

DESAK NYOMAN WIDYANTHINI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

ii

TESIS

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

LOSS TO FOLLOW UP

PADA ODHA

YANG MENERIMA TERAPI ARV

DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI

TAHUN 2002 – 2012

DESAK NYOMAN WIDYANTHINI NIM. 1292161003

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

LOSS TO FOLLOW UP

PADA ODHA

YANG MENERIMA TERAPI ARV

DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI

TAHUN 2002 – 2012

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana

DESAK NYOMAN WIDYANTHINI NIM. 1292161003

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)
(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji pada Pada Tanggal 9 Juni 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Rektor

Universitas Udayana, No.: 0183 / UN 14.4 / HK / 2014, Tanggal 28 Januari 2014

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH 2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD

3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA(K) 4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si

(6)
(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puii syukur penulis panjatkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya/karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Perkenankanlah pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebsesar-besarnya kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, pembimbing I sekaligus sebagai Direktur di Yayasan Kerti Praja yang merupakan tempat penelitian, Pembimbing Akademik, dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universits Udayana yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, perhatian, dan dukungan selama penulis mengikuti program pasca sarjana, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

Ucapan yang sama pula penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepana penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA(K), Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si. selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, saran, sanggaan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada The Kirby Institute, University of New South Wales yang telah memberikan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(8)

viii

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Mamak dan Bapak yang telah mendukung penulis dalam melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana baik berupa dukungan moril maupun finansial, serta kepada Kiki yang senantiasa memberikan dukungan disaat penulis merasakan jenuhnya menulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih pada kakak-kakak tercinta, Opank, Ade, Bli Putu dam Bli Gde yang selalu memberikan semangat dan dukungan, serta ponakan-ponakan tercinta Depu, Icha, dan Marchia yang telah menjadi penghibur dan pembuat tawa.

Semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

(9)

ix

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV

DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN 2002 – 2012

HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan global. Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1995 telah mampu menurunkan kematian dan memperpanjang usia orang dengan HIV/AIDS (odha). Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menilai keberhasilan program pengobatan ARV, dengan salah satu indikator keberhasilannya adalah jumlah odha yang loss to follow up. Odha yang loss to follow up atau berhenti memakai ARV akan meningkatkan resistensi terhadap ARV, meningkatkan risiko untuk menularkan HIV pada orang lain, serta meningkatkan risiko kematian pada odha. Tujuan penelitian ini akan dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha di Bali.

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan analisis data sekunder yang dilakukan dengan mengekstraksi rekam medis odha yang memulai terapi ARV pada tahun 2002 sampai dengan 2012 di Yayasan Kerti Praja (YKP). YKP adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali yang telah melakukan sejumlah program mengenai HIV&AIDS. Cox Proportional Hazard Model digunakan untuk menilai hubungan antara beberapa variabel dengan loss to follow up. Variabel yang dianalisis adalah; usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, adanya pengawas minum obt (PMO), kadar CD4, berat badan, hemoglobin, infeksi oportunistik, dan risiko penularan HIV. Semua variabel tersebut adalah kondisi saat pertama kali memulai terapi. Loss to follow up adalah odha yang tidak melanjutkan terapi ARV di YKP selama > 3 bulan, atau tidak diketahui keberadaan maupun status penggunaan ARVnya, atau putus obat. Sebagai kriteria inkusi adalah odha yang memiliki lebih dari satu kali kunjungan ke YKP.

Sampel dalam penelitian ini adalah 548 odha. Dari jumlah tersebut, 77 (14,1%) diantaranya loss to follow up dan 471 (85,9%) tidak loss to follow up. Insiden loss to follow up adalah 5,15 per 100 person years . Pada analisis multivariat, loss to follow up 1,8 kali lebih tinggi pada odha yang tidak memiliki PMO dibandingkan yang memiliki PMO (HR=1,8; 95 % CI=1,11-2,87; p=0,016). Loss to follow up 0,3 kali lebih rendah pada odha dengan riwayat penasun dibandingkan kelompok heteroseksual sebagai pekerja seks (HR=0,4; 95 % CI=0,79-0,67; p=0,002). Loss to follow up lebih rendah pada odha yang berumur di atas 32 tahun (HR=0,6; 95 % CI=0,34-0,95; p=0,031).

(10)

x

Tiga variabel yang secara statistik terbukti memiliki hubungan dengan loss to follow up adalah adanya PMO, umur, dan faktor risiko penularan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk merumuskan program care support and treatment (CST) terutama dalam hal pendampingan dan pemberian konseling yang lebih intensif pada kelompok yang berisiko.

(11)

xi

ABSTRACT

FACTORS ASSOCIATED WITH LOSS TO FOLLOW UP AMONG PLHIV

WHO RECEIVE ARV THERAPY

IN AMERTHA CLINIC, KERTI PRAJA FOUNDATION, BALI YEAR 2002 - 2012

HIV/AIDS is a global health problem. The discovery of antiretroviral drugs (ARVs) in 1995 has been able to reduce mortality and extend the life of people living with HIV/AIDS (PLHIV). Monitoring and evaluation is needed to assess the success of ARV treatment programs, with one indicator of success is the number of PLHIV that loss to follow-up. Patients were loss to follow-up or stop taking ARVs will increase resistance to antiretroviral drugs, increasing the risk of transmitting HIV to others, as well as increase the risk of death among PLHIV. This study will provide an overview of the factors associated with loss to follow-up on PLHIV in Bali.

Longitudinal study to analysis secondary data was conducted by extracting medical records of HIV patients who had started ART between 2002 until 2012 at Kerti Praja Foundation (YKP). YKP was one of non government organization (NGO) in Bali who has carried out a number of programs concerning HIV&AIDS and STI prevention and treatment. Cox Proportional Hazard Model was used to assess relationship between variables with of loss to follow-up. Variables included in the analyses were; age, sex, education level, occupation, the presence of supervisor of ART, CD4 count, weight, hemoglobin, history of opportunistic infection, and mode of HIV transmission. All variables are variables at baseline. Lost to follow-up was defined as when the patients did not come to seek ART in at least 3 months at the scheduled visit, could not track down, or stop the treatment. Patients were included in analysis if they had more than one visit YKP clinic.

The total sample is 548 PLHIV. Of the 548 PLHIV, 77 (14,1%) were lost to follow up and 471 (85,9%) were retained in treatment, died, or moved away. Incidence rate of loss to follow up was 5,15 per 100 person years. In multivariate analysis, patients who didn’t have supervisor of ART 1.8 times more likely to loss to follow-up (HR=1,8; 95% CI=1,11-2,87; p=0,016). Patients with history of injecting drugs were less likely to loss to follow-up compared with those with a history of heterosexual transmission mode as sex workers (HR=0,3; 95% CI=0,17-0,67; p=0,002). Patients with aged above 32 years old were less likely to loss to follow-up (HR=0,6; 95% CI=0,34-0,95; p=0,031).

Three variables are statistically proven to have a relationship with loss to follow-up are supervisor of ARV, age, and risk factors of transmission.

(12)

xii

The results of this study are expected to be input to formulate a program of support and care treatment (CST), especially in terms of mentoring and the provision of more intensive counseling on risk groups.

Keywords : Survival analysis, HIV positive individuals, ARV Therapy, Lost to follow- up

(13)

xiii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PERSYARATAN GELAR ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... v

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... vix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 HIV/AIDS ... 12

2.2 Terapi ARV ... 15

2.3 Efek Loss to Follow Up Terapi ARV ... 18

2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang Menerima Terapi ARV ... 20

(14)

xiv

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN ... 32

3.1 Kerangka Berpikir ... 32

3.2 Konsep Penelitan ... 35

3.3 Hipotesis Penelitian ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4.3 Penentuan Sumber Data ... 38

4.4 Variabel Penelitian ... 40

4.5. Instrumen Penelitian... 42

4.6. Prosedur Pengumpulan Data ... 43

4.7. Analisis Data ... 45

BAB V HASIL PENELITIAN... 48

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 48

5.2 Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To Follow Up ... 51

5.3 Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To FollowUp ... 53

BAB VI PEMBAHASAN ... 55

6.1 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To FollowUp ... 55

6.2 Keterbatasan Penelitian ... 60

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 61

7.1 Simpulan ... 61

(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN ... 67

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

2.1 Target Terapi Antiretroviral ... 16

2.2 Rekomendasi untuk Memulai Terapi ARV... 16

4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41

5.1 Komparabilitas Sampel Penelitian ... 49

5.2 Hasil Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to Follow Up ... 51

5.3 Hasil Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to Follow Up ... 53

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

3.2 Konsep Penelitian ... 35 5.2 Kurva Kaplan Meir Loss to Follow Up ... 50

(18)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

AIDS = Acquired Immuno Deficiency Syndrome ARV = Antiretroviral

ASI = Air Susu Ibu

CD4 = Cluster of differentiation 4

CDC = Centers for Disease Control CFR = Case Fatality Rate

HIV = Human Immunodeficiency Virus HBM = Health Belief Model

IMS = Infeksi Menular Seksual KPA = Komisi Penanggulangan AIDS LSL = Lelaki Seks dengan Lelaki odha = Orang dengan HIV/AIDS Penasun = Pengguna narkoba suntik

PDP = Perawatan, dukungan dan pengobatan PMO = Pengawas Minum Obat

TAHOD = Treat Asia HIV Observational Database UPPI = Unit Perawatan Intermediit Penyakit Infeksi VCT = Voluntary Counselling and Testing

WHO = World Health Organization PSP = Pekerja Seks Perempuan

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Pengmpulan Data

Lampiran 2 Ethical Clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Lampiran 3 Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Provinsi Bali Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Kota Denpasar Lampiran 5 Hasil Output STATA

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sejak pertama kali ditemukan di tahun 1981 HIV/AIDS telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Menurut laporan UNAIDS (2013) secara global jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 35,3 juta. Infeksi baru di tahun 2012 diperkirakan 2,3 juta dan meninggal sebanyak 1,6 juta. Dengan penambahan jumlah kasus sebanyak 700.000, dibandingkan tahun 2001 infeksi baru pada tahun 2012 telah menurun sebanyak 33%. Untuk kawasan Asia dan Pasifik, jumlah kasus baru di tahun 2012 diperkirakan sebanyak 350.000 dengan penurunan 26% dari tahun 2001.

Penurunan infeksi baru tersebut adalah karena perubahan perilaku seksual masyarakat dan pengobatan dengan terapi antiretroviral (ARV). Menurut laporan UNAIDS (2013) sejak tahun 2000 telah terjadi perubahan perilaku seksual yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS pada usia muda, penurunan jumlah usia dibawah 15 tahun yang telah melakukan hubungan seksual, peningkatan pemakaian kondom pada multiple sex partner, dan meningkatnya jumlah usia muda yang melakukan tes HIV. Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengobatan terapi ARV mampu menurunkan risiko penularan HIV/AIDS

(21)

2

Sejak ditemukan kasus pertama di Indonesia tahun 1987 (pada seorang turis Belanda yang sedang berlibur di Bali) kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 179.775 kasus pada tahun 2013 (Depkes, 2014). Laporan UNAIDS (2013) untuk HIV/AIDS di kawasan Asia dan Pasifik menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia dengan peningkatan infeksi baru HIV/AIDS. Antara tahun 2001 dan 2012 infeksi baru HIV/AIDS di Indonesia meningkat 2,6 kali. Perkiraan jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Propinsi Bali sampai dengan tahun 2013 sebanyak 12.044 kasus, dimana Propinsi Bali berada di urutan kelima (dalam hal jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan) setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, dan Jawa Barat. Prevalensi kasus AIDS di Bali sebesar 102,42 per 100.000 penduduk, menempati urutan kedua setelah prevalensi kasus AIDS di Papua (Kemenkes, 2014).

Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1995 telah mampu menurunkan kematian dan memperpanjang usia orang dengan HIV/AIDS (odha). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit ataupun membunuh virus dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun terapi ARV mampu menghentikan progresivitas penyakit HIV/AIDS dengan menekan replikasi HIV, memulihkan sistem imun dengan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, menurunkan angka kesakitan dan kematian, sehingga meningkatkan kualitas hidup odha. ARV mampu meningkatkan

(22)

harapan masyarakat sehingga saat ini paradigma HIV/AIDS sebagai penyakit yang fatal dan mematikan telah berubah. HIV/AIDS telah diterima sebagai penyakit kronik yang dapat dikendalikan (Depkes, 2006). Meskipun mampu menurunkan risiko penularan HIV, terapi ARV dikhawatirkan dapat meningkatkan perilaku seksual dan menyuntik berisiko. Dalam penelitian oleh Fu dkk dinyatakan bahwa terdapat dua hipotesis yang mendukung perilaku seksual berisiko setelah terapi ARV dimulai, yaitu: 1) adanya perbaikan terhadap status klinis dapat meningkatkan keinginan untuk berperilaku yang berisiko; dan 2) sikap atau pengetahuan yang rendah tentang penularan HIV selama mengikuti terapi ARV. Penelitian ini tidak menemukan bukti kompensasi perilaku yang berisiko setelah memulai terapi ARV, namun perilaku berisiko baik perilaku seksual maupun menyuntik dapat meningkat setelah pemakaian ARV jika sebelum mengikuti terapi odha telah memiliki perilaku berisiko (Fu dkk, 2012). Program penanggulangan AIDS di Indonesia terdiri dari 4 komponen dalam upaya untuk menuju 3 zero, yaitu: Zero new infection, Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination. Empat komponen tersebut meliputi: pencegahan; perawatan, dukungan dan pengobatan; mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi; dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Komponen yang kedua, yaitu perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang meliputi penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi odha. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan

(23)

meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV. Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV) (Depkes, 2011).

Sampai dengan 31 Desember 2013 tercatat jumlah odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 73.774 orang, dimana 96% diantaranya adalah dewasa dan 4% adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut hanya 53% yang masih mengikuti terapi ARV, sementara 18,5% meninggal, 7,7% pindah, 2,9% berhenti, dan 17,3% loss to follow up (Kemenkes, 2014).

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2007 dikemukakan bahwa pemberian ARV pada odha diindikasikan untuk: a) odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 200 sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika pasien datang dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 dan stadium klinis 3 atau 4 tanpa memandang jumlah CD4; c) perempuan hamil dengan HIV diberikan pada stadium klinis 1 atau 2 dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3, stadium klinis 3 dan kadar CD4 < 350 sel/mm3, dan stadium klinis 4 tanpa memandang jumlah CD4; d) odha dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika terdapat gejala TB aktif dan jumlah CD4 <350 sel/mm3; sementara tidak ada rekomendasi khusus pada odha dengan Koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum pernah mendapat terapi ARV. Sedangkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2011 merekomendasikan pemberian terapi ARV untuk: a) odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 350

(24)

sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV diberikan pada odha dengan stadium klinis 2 bila CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4; c) terapi ARV diberikan pada semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis; d) odha dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan tanpa melihat jumlah CD4; dan e) odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4 (Kemenkes, 2011). Kriteria terbaru Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) menyebutkan bahwa inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4 pada mereka yang HIV (+) yaitu: ibu hamil, pasien koinfeksi TB, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (Penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten. Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan diberikan informasi dan konseling tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV, kesanggupan dan kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Menurut Nasronudin (2007) dalam pemberian terapi ARV ada sepuluh prinsip yang perlu dijadikan acuan, yaitu: indikasi, kombinasi, pilihan obat, kompleksitas, resistensi, informasi, motivasi, monitoring, target pengobatan, dan efikasi. Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menilai keberhasilan program pengobatan ARV, dimana indikator keberhasilannya adalah: a) kepatuhan sesuai

(25)

petunjuk (adherence); b) penurunan jumlah viral load setelah 6 bulan memulai terapi; c) peningkatan kualitas hidup atau penurunan jumlah kematian akibat AIDS, dan d) jumlah odha yang loss to follow up ( Kemenkes, 2011 dan Martin dkk, 2008).

Berbagai penelitian telah dilakukan di berbagai negara untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi odha yang loss to follow up terhadap terapi ARV. Namun hasil penelitian-penelitian tersebut tidak menunjukkan hasil yang konsisten (Odafe dkk, 2012; Honge dkk, 2013 ). Menurut hasil penelitian tersebut faktor-faktor yang mempengaruhi odha yang loss to follow up antara lain : kadar CD4 saat pertama kali memulai terapi (Martin dkk, 2008; Caluwaerts dkk, 2009; Gerver dkk, 2010; Clouse dkk, 2013), umur (Caluwaerts dkk, 2009; Honge dkk, 2013; Saka dkk, 2013), jenis kelamin (Odafe dkk, 2012; Honge dkk, 2013), risiko penularan (Ioannidis dkk, 1997; Lanoy dkk, 2006; Krishnan dkk, 2011;), dan pendidikan (Krishnan dkk, 2011).

Tempat-tempat pelayanan ARV di Indonesia ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 451/Menkes/SK/XII/2012 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan AIDS yaitu sebanyak 358 rumah sakir di seluruh Indonesia. Untuk propinsi Bali layanan terapi ARV dilaksanakan di RS Sanglah dan beberapa RS daerah lainnya. Salah satu layanan ARV yang bukan merupakan RS di propinsi Bali adalah Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja karena klinik ini adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pionir dalam layanan VCT dan ARV di Indonesia. Karena tidak termasuk dalam SK Menteri tersebut klinik Amertha menjadi satelit dari RS Sanglah. Dalam artian permintaan

(26)

atau supply ARV dan laporan pasien dilaksanakan di RS Sanglah . Selain VCT dan layanan ARV, kegiatan lain yang dilakukan di Yayasan Kerti Praja berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS adalah penjangkauan (outreach) di lapangan, pembagian kondom, dukungan sebaya, skrining/pemeriksaan berkala IMS, pelatihan keterampilan bagi odha dan pekerja seks, serta penelitian-penelitian yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Di klinik Amertha, odha yang memenuhi syarat akan mendapat terapi ARV dengan pemantauan jumlah CD4 secara berkala. Sampai dengan 11 Januari 2014 telah tercatat 787 pasien telah menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja, dimana 52,99% diantaranya masih mengikuti terapi ARV, 19,06% telah pindah, 17,28% berhenti mengikuti terapi, dan 10,67% telah meninggal (www.kertiprajafoundation.com, 2013). Pasien yang loss to follow up atau berhenti memakai ARV akan meningkatkan resistensi terhadap ARV, meningkatkan risiko untuk menularkan HIV pada orang lain, serta meningkatkan risiko kematian pada odha. Untuk mengurangi persentase jumlah loss to follow up perlu dilakukan penelitian tentang sebab-sebab terjadinya loss to follow up. Namun penelitian seperti ini agak sulit dilaksanakan terutama untuk odha karena sebagian besar alamatnya tidak diketahui atau mereka hidup berpindah-pindah (mobile). Pendekatan lain adalah dengan memperkirakan faktor-faktor penyebab loss to follow up berdasarkan data yang tersedia di tempat layanan. Penelitian seperti ini pernah dilaksanakan di Bali, yaitu pada tahun 2012. Bali menjadi salah satu site dari 18 site penelitian TAHOD (Treat Asia HIV Observational Database) yang dilaksanakan di wilayah Asia Pasifik, namun hasil penelitiannya dilaporkan secara agregate sehingga

(27)

tidak memperlihatkan data Bali secara spesifik. Penelitian TAHOD tersebut mengunakan data di RSUP Sanglah dimana sebagian besar sampelnya adalah ibu rumah tangga dan odha yang tinggal menetap. Sedangkan pada penelitian ini, dimana penelitian akan dilakukan di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja yang sebagian besar sampelnya adalah pekerja seks perempuan dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Penelitian ini akan dapat memberikan gambaran yang lebih spesifik terhadap odha yang loss to follow up di Bali dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga praktisi di lapangan dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan efektivitas program terapi ARV. Selain itu penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada bidang keilmuan terkait sehingga bisa digunakan sebagai acuan oleh peneliti selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Adakah hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.2 Adakah hubungan antara umur dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

(28)

1.2.3 Adakah hubungan antara tingkat pendidikan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012 ?

1.2.4 Adakah hubungan antara jenis pekerjaan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.5 Adakah hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.6 Adakah hubungan antara kadar CD4 dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.7 Adakah hubungan antara berat badan odha dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.8 Adakah hubungan antara kadar hemoglobin dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.2.9 Adakah hubungan antara infeksi oportunistik yang menyertai dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

(29)

1.2.10 Adakah hubungan antara faktor risiko penularan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002–2012.

1.3.2Tujuan Khusus

Penelitian ini untuk mengetahui:

1. Karakteristik odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012, meliputi: a) jenis kelamin; b) umur; c) pendidikan; d) pekerjaan; e) adanya pengawas minum obat (PMO); f) kadar CD4; g) berat badan; h) kadar hemoglobin; i) infeksi oportunistik yang menyertai; j) faktor risiko penularan saat pertama kali memulai terapi ARV 2. Hubungan antara beberapa variabel berikut pada odha yang menerima terapi

ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012 dengan loss to follow up, yaitu: a) jenis kelamin; b) umur; c) pendidikan; d) pekerjaan; e) pengawas minum obat (PMO); f) kadar CD4; g) berat badan; h) kadar hemoglobin; i) infeksi oportunistik yang menyertai; dan j) faktor risiko penularan.

(30)

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Praktis

Dapat menjadi masukan untuk penentu kebijakan dalam merumuskan program care support and treatment (CST) dan tata laksana pasien dalam program terapi ARV.

1.4.2Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan pengetahuan tentang faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha dengan terapi ARV.

2. Dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya, terutama yang berkaitan dengan ARV dan HIV/AIDS.

(31)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrom merupakan sekumpulan gejala yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Menurut Centers for Disease Control (CDC) dalam Depkes (2006) seseorang yang terinfeksi HIV dapat dikatakan menderita AIDS jika dia telah menunjukkan gejala dari suatu penyakit yang merupakan akibat dari penurunan daya tahan tubuh atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3. Seseorang yang telah

terinfeksi HIV/AIDS disebut dengan odha yaitu orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Depkes RI, 2006).

2.1.2 Terminologi Penularan HIV

HIV ditemukan pada cairan semen, sekresi serviks/vagina, limfosit, sel-sel dalam plasma bebas, cairan serebrospinal, air mata, saliva, air seni, serta air susu. Meskipun demikian bukan berarti semua cairan ini dapat menularkan infeksi HIV karena konsentrasi HIV dalam cairan-cairan tersebut sangat bervariasi. Berdasarkan penelitian, hingga saat ini cairan yang dapat menularkan HIV adalah darah dan air mani/cairan semen dan serviks/vagina, serta air susu ibu yang dapat menularkan HIV dari ibu ke bayinya. Dengan kata lain HIV dapat tersebar melalui hubungan seksual yang berisiko (baik homoseksual maupun heteroseksual),

(32)

penggunaan jarum suntik yang telah tercemar HIV, kecelakaan kerja pada sarana pelayanan kesehatan (misalnya tanpa sengaja tertusuk jarum bekas pakai yang telah tercemar HIV), transfusi darah, donor organ, tindakan medis invasif, serta pada janin dari ibu yang telah terinfeksi HIV (baik pada saat mengandung, melahirkan maupun saat pemberian air susu ibu). Sampai saat ini baik lewat penelitian maupun laporan kasus, belum ada bukti bahwa HIV dapat menular melalui kontak sosial, alat makan, toilet, kolam renang, udara di dalam ruangan, atau oleh gigitan nyamuk/serangga (Depkes, 2006).

Epidemi HIV merupakan masalah serius yang menjadi tantangan kesehatan masyarakat dunia. Secara umum kecenderungan epidemik terdiri dari tiga pola, yaitu : (1) Epidemi meluas (generalized epidemic), yaitu keadaan dimana HIV telah menyebar di populasi (masyarakat umum) yang ditunjukkan dengan prevalensi lebih dari 1% diantara ibu hamil, (2) Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic), yaitu HIV yang menyebar di kalangan sub populasi tertentu (seperti LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya) yang bisa dilihat dari prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut, dan (3) epidemic rendah (low epidemic) yaitu HIV telah ada namun belum menyebar luas pada sub populasi tertentu, prevalensi masih dibawah 5% pada sub populasi yang dianggap berisiko (KPA, 2013).

2.1.3 Epidemi HIV/AIDS

Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke Kementrian Kesehatan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 28.317 kasus. Jumlah ini terus meningkat menjadi 30.121

(33)

kasus di tahun 2012, dan menjadi 34.645 kasus pada tahun 2013. Meskipun jumlah kasus yang dilaporkan mengalami peningkatan, tetapi case fatality rate (CFR) AIDS mengalami penurunan yaitu 3,58% pada tahun 2011, menjadi 3,79% tahun 2012, dan 1,67% pada tahun 2013. Proporsi kasus AIDS yang terjadi sejak 1987 sampai dengan tahun 2013 lebih banyak terjadi pada laki-laki (55%) dibandingkan perempuan (30%), dimana sebagian besar kasus AIDS terjadi pada kelompok usia produktif yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun (34%), kelompok umur 30-39 tahun (29%), dan pada kelompok umur 40-49 tahun (11%). Dilihat dari faktor risikonya, sebagian besar penularan kasus AIDS adalah melalui heteroseksual yaitu sebanyak 63%, dan penularan melalui jarum suntik sebanyak 16% (Depkes,2014).

Prevalensi HIV di Indonesia dari beberaa tempat sentinel pada tahun 2006 berkisar antara 21%-52% pada penasun, 1-22% pada PSP, dan 3%-17% pada waria. Sejak tahun 2000 prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub populasi berisiko tertinggi tertentu. Penyebaran HIV yang sudah pada tahap meluas (melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum dengan prevalensi > 1%) terjadi di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (KPA, 2013). Dari tahun 1987 sampai dengan Agustus 2013 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Provinsi Bali adalah 8563 kasus, dengan proporsi kasus terbanyak adalah di Denpasar (40,67%), kemudian Kabupaten Buleleng (18,33%), dan Kabupaten Badung (14,45%). Proporsi kasus HIV/AIDS di Bali masih didominasi oleh kelompok heteroseksual (78%), penasun (10%), homoseksual (5%), dan perinatal (3%). Berdasarkan jenis kelamin, 64%

(34)

diantaranya adalah laki-laki, sedangkan 36% adalah perempuan. Kasus paling banyak pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebesar 39%, kelompok umur 30-39 tahun, sebesar 36%, dan kelompok umur 40-49 tahun sebesar 14% (Dinkes Provinsi Bali, 2014).

2.2Terapi ARV

Terapi antiretroviral (ARV) ditemukan pada tahun 1995. Terapi ARV dapat menekan replikasi HIV, dimana obat ini bekerja dengan mengurangi viral load sampai serendah-rendahnya, sehingga mampu mengurangi kematian akibat AIDS. Dalam Nasronudin (2007) disebutkan tujuan dari terapi ARV adalah :

a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan angka kematian akibat AIDS

b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin c. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal

d. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma <50 kopi/ml.

(35)

Tabel 2.1

Target Terapi Antiretroviral

Target Uraian Klinis Imunologis Virologis Terapeutik Epidemiologis

Kualitas hidup penderita ditingkatkan seoptimal mungkin dan dipertahankan tetap optimal selama mungkin. Umur harapan hidup penderita diharapkan dapat diperpanjang selama mungkin sejauh diupayakan oleh manusia secara wajar, rasional, dan manusiawi

Status imun yang terganggu diusahakan untuk dipulihkan. Jumlah limfosit total diusahakan dan dipertahankan >1200 dan atau CD4 ditingkatkan dan dipertahankan >500sel/mm3

Jumlah virus dapat ditekan paling tidak di bawah 400 kopi per ml atau idealnya di bawah 50 kopi per ml dan dipertahankan tetap rendah selama mungkin

Obat ARV dapat diterima oleh tubuh penderita dengan efek samping dan resistensi seminimal mungkin

Transmisi infeksi HIV menurun bermakna. Perjalanan epidemiologi HIV harus dapat diubah

Sumber : Nasronudin, 2007

Untuk memulai terapi ARV ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya pemeriksaan kadar CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada odha dewasa menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa tahun 2011:

(36)

Tabel 2.2

Rekomendasi untuk Memulai Terapi ARV

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah Sel CD4 Rekomendasi

ODHA dewasa Stadium klinis 1 dan 2

> 350 sel/mm3 Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan

Stadium klinis 3 dan 4

< 350 sel/mm3 Mulai terapi

Pasien dengan ko-infeksi TB Stadium klinis 1, 2, 3, atau 4 Berapapun jumlah sel CD4 Mulai terapi

Pasien dengan ko-infeksi Hepatitis B Kronik aktif Stadium klinis 1, 2, 3, atau 4 Berapapun jumlah sel CD4 Mulai terapi

Ibu Hamil Stadium klinis 1, 2, 3, atau 4

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi

Sumber : Kemenkes RI, 2011

Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2007 merekomendasikan pemberian ARV pada; a) odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 200 sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika pasien darang dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 dan stadium klinis 3 atau 4 tanpa memandang jumlah CD4; c) perempuan hamil dengan HIV diberikan pada stadium klinis 1 atau 2 dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3, stadium klinis 3 dan kadar CD4 < 350 sel/mm3, dan stadium klinis 4 tanpa memandang jumlah CD4; d) odha dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika terdapat gejala TB aktif dan jumlah CD4 <350 sel/mm3; sementara tidak ada rekomendasi khusus pada odha dengan Koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum pernah

(37)

mendapat terapi ARV. Sedangkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2011 merekomendasikan pemberian terapi ARV untuk; a) odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 350 sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV diberikan pada odha dengan stadium klinis 2 bila CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4; c) terapi ARV diberikan pada semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis; d) odha dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan tanpa melihat jumlah CD4; dan e) odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4 (Kemenkes, 2011).

Peraturan-peraturan mengenai pemberian terapi antiretroviral senantiasa diperbaharui. Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada bagian III (Upaya, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan ) point 4 disebutkan bahwa “Inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4, dapat diberikan kepada mereka yang HIV (+) yaitu: Ibu hamil, pasien koinfeksi TB, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi Hepatitis B dan C, pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (Penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten”.

(38)

2.3Efek Loss to FollowUpTerapi ARV

Penggunaan ARV pada odha merupakan salah satu upaya untuk memperpanjang harapah hidup odha. ARV bekerja dengan menekan progresifitas penyakit HIV, menekan replikasi virus, sehingga mampu menurunkan viral load dan meningkatkan jumlah CD4. Meskipun ARV belum mampu menyembuhkan penyakit atau membunuh HIV, namun terapi ARV telah mampu memulihkan sistem imun pasien. Hal ini mengakibatkan infeksi oportunistik menjadi jarang, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS, sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup odha (Depkes, 2006).

Secara umum pemberian terapi ARV diberikan dalam bentuk kombinasi yang harus dikonsumsi seumur hidupnya. Odha yang menerima terapi ARV rentan mengalami loss to follow up karena loss to follow up memiliki hubungan yang erat dengan ketidakpatuhan odha dalam mengkonsumsi ARV (Honge dkk, 2013). Odha yang loss to follow up akan memberikan efek, baik itu efek klinis maupun program terapi ARV. Pada tingkatan klinis, kelanjutan terapi ARV odha yang loss to follow up tidak akan dapat dievaluasi. Bagi odha yang memutuskan untuk berhenti mengikuti terapi, akan memiliki risiko kematian yang lebih besar. Hal ini disebabkan sistem imun yang awalnya dikendalikan oleh terapi ARV akan menjadi semakin buruk, sehingga odha rentan terhadap infeksi oportunistik dan berakibat pada kematian (Zhou dkk, 2012). Selain itu HIV akan menjadi resisten dan akan menjadi kebal terhadap ARV. Akibatnya jika odha memutuskan untuk kembali mengikuti terapi, kemungkinan odha akan mengalami kegagalan terapi di lini 1 sehingga harus beralih ke lini 2. Akan tetapi apabila odha sudah sampai di

(39)

lini 2 tetapi kembali terjadi kegagalan terapi, ini berarti ARV sudah tidak mampu mengendalikan replikasi HIV. Dengan kata lain akan terjadi resistensi obat sehingga ARV tidak lagi dapat berfungsi atau terjadi kegagalan terapi ARV (Mahardining, 2010). Selain itu, adanya loss to follow up akan mengakibatkan risiko penularan yang lebih tinggi. Odha yang tidak mengikuti terapi ARV atau berhenti mengikuti terapi ARV akan memiliki risiko untuk menularkan virusnya pada orang lain. Pada tingkat program, loss to follow up akan menyebabkan kesulitan untuk mengevaluasi efektivitas terapi ARV (Gerver dkk, 2010).

2.4Faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang Menerima Terapi ARV

Keberhasilan program terapi ARV dapat dilihat dari angka kepatuhan, penurunan jumlah viral load, serta kelangsungan hidup odha (Gerver dkk, 2010). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah berkurangnya angka kejadian AIDS dan kematian akibat AIDS pada pasien HIV. Hal ini dapat tercapai jika semua odha yang menerima terapi ARV patuh berobat dan mengikuti terapi dengan rajin. Namun kenyataannya, masih banyak odha yang tidak mengikuti terapi dengan rajin atau loss to follow up.

Di berbagai negara telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV, diantaranya:

2.4.1 Jenis Kelamin

Beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan antara jenis kelamin dan risiko loss to follow up menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Mosoko

(40)

dkk di Cameroon menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up dibandingkan perempuan (HR 1,33; 95% CI: 1,18-1,50) (Mosoko dkk, 2011). Sedangkan hasil dari penelitian oleh Saka dkk yang dilakukan di Togo dari tahun 2008 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada perempuan lebih besar daripada laki-laki (OR = 1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka dkk, 2013). Dalam penelitian oleh Odafe dkk pada tahun 2012, dinyatakan bahwa kemungkinan laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up dikarenakan perempuan cenderung lebih memperhatikan masalah kesehatan dibandingkan laki-laki. Selain itu telah ada layanan kesehatan khusus bagi perempuan terutama masalah kesehatan reproduksi dan anak, sementara belum ada layanan kesehatan yang dikhususkan untuk laki-laki (Odafe dkk, 2012).

2.4.2 Umur

Umur yang semakin muda akan meningkatkan risiko odha untuk loss to follow up. Menurut hasil penelitian oleh Saka dkk (2013) loss to follow up lebih berisiko pada odha yang memulai terapi ARV pada umur di bawah 35 tahun (OR = 1,6; 95%CI: 1,2-2,2). Kemungkinan odha loss to follow up pada umur yang lebih muda dikarenakan penolakan psikologis bahwa mereka telah terinfeksi HIV mereka mencoba mencari alternatif pengobatan lain. Sedangkan penelitian oleh Honge dkk menunjukkan bahwa odha dengan umur <30 tahun lebih berisiko untuk loss to follow up (Honge dkk, 2013).

2.4.3 Pendidikan, Pekerjaan, dan Pendapatan

Menurut hasil penelitian oleh Khrisnan dkk pada tahun 2011 loss to follow up lebih banyak pada odha dengan pendidikan yang lebih rendah. Pekerjaan

(41)

berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Pendapatan yang rendah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi loss to follow up pada odha. Penelitian yang dilakukan oleh Maru dkk di India menunjukkan bahwa odha yang memiliki pendapatan yang rendah akan lebih berisiko untuk loss to follow up, dan ada pula interaksi yang signifikan antara pendapatan yang rendah dengan kadar CD4 yang rendah saat memulai terapi. Odha dengan kadar CD4 yang rendah yang dibarengi dengan pendapatan yang rendah akan lebih meningkatkan risiko untuk loss to follow up dibandingkan pengaruh kedua faktor ini secara mandiri (Maru dkk, 2007). Salah satu pekerjaan yang rentan terhadap loss to follow up adalah pekerja seks perempuan (PSP). Mereka biasanya hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dan jauh dari keluarga yang mendukung sehingga risiko untuk loss to follow up akan lebih tinggi.

2.4.4 Adanya pengawas minum obat (PMO)

Salah satu faktor yang mempengaruhi odha loss to follow up adalah adanya pengawas minum obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita dalam minum obat secara teratur. Keberadaan PMO mungkin lebih dikenal dengan PMO pada pasien TBC. PMO bertugas mengawasi dan memantau pasien agar meminum obat TBC secara teratur sampai pengobatannya tuntas. Dalam kaitannya dengan TBC, keberadaan PMO sangat penting. Telah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PMO sangat berkontribusi terhadap kepatuhan pasien TBC untuk meminum obat TBC sehingga pasien menjadi sembuh (Krisnawati, 2005; Hana, 2009; Putri, 2010). Konsep ini dapat digunakan pula untuk odha, dimana odha yang sedang

(42)

dalam terapi ARV di Yayasan Kerti Praja sebagian besar telah didampingi PMO. PMO pada terapi ARV memiliki tugas yang hampir sama dengan PMO pada pasien TBC. PMO dapat membantu mengingatkan odha untuk meminum ARV secara teratur sesuai jadwal sehingga tetap bertahan pada terapi ARV yang dijalani dan mengurangi risiko loss to follow up. Berdasarkan hasil dari review beberapa literatur yang tercantum pada buku “Interventions to Improve Adherence to Antiretroviral Therapy: A Review of the Evidence” oleh USAID (2006) tersebut dinyatakan pula bahwa adanya Directly Observed Treatment (DOT) atau PMO pada terapi ARV di tingkat fasilitas kesehatan yang disediakan oleh petugas penjangkauan atau anggota keluarga adalah metode yang efektif dan murah untuk membantu meningkatkan kepatuhan odha dalam mengkonsumsi ARV. Odha yang patuh mengikuti terapi ARV akan menurunkan risiko loss to follow up.

2.4.5 Kadar CD4

Penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk pada sejumlah program terapi ARV di wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan menemukan bahwa odha yang memulai terapi ARV pada kadar CD4 < 25 sel/mm3 memiliki risiko yang lebih besar untuk loss to follow up dibandingkan odha yang memulai terapi ARV pada kadar CD4 50 sel/mm3 (HR: 1,48; 95% CI: 1,23–1,77) (Martin dkk, 2008). Sementara penelitian oleh Gerver dkk di UK pada tahun 2010 menunjukkan bahwa odha yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 <200 sel/mm3 dibandingkan kadar CD4 > 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to follow up yang lebih besar (OR = 1,99, 95% CI:1,05-3,74). Serupa dengan hasil penelitian tersebut, penelitian oleh Lanoy dkk juga menunjukkan bahwa odha yang memulai

(43)

terapi ARV dengan kadar CD4 < 200 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to follow up yang lebih besar dibandingkan dengan kadar CD4 >200 sel/mm3 (Lanoy

dkk, 2006). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah peningkatan jumlah CD4. Mereka yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 lebih tinggi cenderung akan lebih rajin datang ke klinik dan meneruskan terapi ARV karena trend CD4 akan cenderung meningkat karena sudah merasakan manfaat terapi ARV. Sebaliknya apabila trend CD4 cenderung turun maka kemungkinan odha akan mencari pengobatan lain dan tidak meneruskan terapi. Hal ini menunjukkan adanya masalah kesehatan yang kompleks dan tekanan psikososial (Khrisnan dkk, 2011).

2.4.6 Berat badan

Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan seseorang. Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi atau kadar hemoglobin yang normal akan memperoleh kondisi sehat yang lebih baik, hal ini menyebabkan odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARVnya karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Body mass index (BMI) <18.5 kg/m2 menurut hasil penelitian oleh Honge dkk yang dilakukan di Guinea-Bisaau merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan loss to follow up (HR:1,32, 95% CI 0,97-1,79) (Honge dkk, 2013).

2.4.7 Kadar hemoglobin

Faktor lain adalah hemoglobin, dimana penelitian oleh Zhou dkk yang dilakukan di 18 site di kawasan Asia Pasifik menyatakan bahwa odha dengan kadar hemoglobin yang rendah berisiko untuk loss to follow up (Zhou dkk, 2012).

(44)

2.4.8 Infeksi oportunistik yang menyertai

Faktor lain adalah adanya infeksi oportunistik, dimana hasil dari penelitian oleh Saka dkk menunjukkan bahwa risiko loss to follow up yang lebih besar pada odha yang memiliki infeksi oportunistik saat pertama kali memulai terapi (OR = 2,3; 95%CI: 1,5-3,1) (Saka dkk, 2013). Adanya infeksi oportunistik menunjukkan bahwa odha telah berada pada stadium yang lebih parah. Hal ini kemungkinan menyebabkan odha menghentikan terapi atau mencari alternatif pengobatan lain. 2.4.9 Faktor risiko penularan

Odha dengan riwayat pengguna narkoba suntik merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan loss to follow up. Hasil penelitian oleh Lebouche dkk menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada odha dengan riwayat pengguna narkoba suntik lebih besar daripada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki (LSL) (OR=5,3; 95% CI 2,7-10,5) (Lebouche dkk, 2006).

2.4.10 Jarak tempat tinggal dengan layanan

Ada pula yang menyatakan bahwa jarak antara tempat tinggal dengan layanan mempengaruhi loss to follow up. Penelitian oleh Mosoko dkk di tahun 2011 menunjukkan bahwa odha yang tinggal > 150 km dari layanan memiliki risiko untuk loss to follow up yang lebih besar (HR=1,41, 95% CI :1,18-1,69)(Mosoko et al. 2011). Hal ini dikarenakan kesulitan yang dirasakan odha untuk menjangkau layanan yang dirasa jauh, sehingga mereka enggan untuk meneruskan terapi.

(45)

2.5Perilaku

2.5.1 Pengertian Perilaku

Menurut Notoatmodjo dalam Maulana (2009) perilaku merupakan perwujudan dari hasil interaksi antara pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Perilaku akan dapat diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku merupakan faktor kedua terbesar yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat setelah faktor lingkungan.

Apabila dilihat dari segi biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas makhluk hidup yang bersangkutan, dimana semua makhluk hidup baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan memiliki perilaku masing-masing karena semua memiliki aktivitas. Perilaku manusia merupakan tindakan atau aktivitas manusia yang bisa diamati oleh pihak luar baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari segi psikologis, menurut Skinner dalam Maulana (2009) menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi seseorang terhadap rangsangan yang datang dari luar (stimulus), pengertian ini dikenal dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons). Skinner membedakan respon menjadi dua jenis, yaitu :

a. Respondent response atau reflexive, merupakan tanggapan yang ditimbulkan oleh rancangan stimulus tertentu yang menimbulkan respon yang relatif tetap. Keberadaan respon ini sangat terbatas dan susah untuk dimodifikasi.

b. Operant response atau instrumental response, merupakan respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

(46)

Perilaku odha terhadap terapi ARV sangat mempengaruhi kelangsungan terapi ARV yang dijalaninya. Beberapa perilaku tersebut akan dapat dijelaskan pada teori atau model perilaku kesehatan.

2.5.2 Teori atau Model Perilaku Kesehatan

Timbulnya perilaku didasarkan pada tingkat kebutuhan manusia, artinya perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Maslow dalam Maulana (2009) manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu physiological needs, safety needs, social needs or the belonging and love, the esteem needs, dan self actualization needs. Tingkat dan jenis kebutuhan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahan satu dengan lainnya.

Perilaku manusia dapat dibentuk sesuai dengan harapan yang dikehendaki. Ada berbagai teori tentang faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku. Teori-teori tersebut antara lain :

a. Teori Lawrence Green (1980)

Teori yang dinyatakan oleh Green (1980) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :

1. Faktor predisposisi (predisposing factor). Faktor ini merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio demografi.

Faktor pengetahuan odha terhadap terapi ARV baik manfaat maupun efek sampingnya, sikap dan kepercayaan odha terhadap dokter yang merawat serta

(47)

manfaat dari terapi ARV yang diterima merupakan faktor predisposisi odha untuk rajin atau teratur menjalani terapi ARVnya.

2. Faktor pendukung (enabling factor), yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan. Sarana kesehatan di tempat layanan ARV, jauh dekatnya tempat layanan, serta fasilitas di tempat layanan merupakan beberapa faktor pendorong yang mempengaruhi loss to follow up pada odha atau tetap menjalankan terapinya. 3. Faktor pendorong (reinforcing factor), yang memperkuat perilaku termasuk

sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat.

Perilaku odha terhadap terapi ARV diperkuat juga oleh sikap dan perilaku dokter atau perawat di tempat layanan, adanya orang atau kelompok lain yang mendapat terapi ARV di tempat yang sama, atau adanya dukungan dari tokoh masyarakat setempat, atau adanya pengawas minum obat (PMO).

Teori Green dapat dirumuskan sebagai berikut :

B = Behaviour F = fungsi

PF = Predisposing factor EF = Enabling factor RF = Reinforcing factor

b. Health Belief Model (HBM) B = f (PF, EF, RF)

(48)

Health Belief Model (HBM) telah dikembangkan sejak tahun 1950an sebagai upaya menjelaskan kegagalan partisipan masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit oleh ahli psikologi sosial di Amerika. HBM digunakan juga untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara rasional dalam situasi yang tidak menentu. HBM merupakan model kognitif yang digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan (Maulana, 2009).

HBM mengemukakan bahwa kemungkinan seseorang melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi oleh beberapa keyakinan, yaitu :

1. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness). Hal ini berhubungan dengan sejauh mana seseorang menganggap penyakit atau kesakitan merupakan ancaman bagi diriya. Apabila ancaman yang dirasakan meningkat maka perilaku pencegahan terhadap risiko juga akan meningkat. Dalam hal terapi ARV jika seorang odha menganggap bahwa HIV yang dideritanya merupakan ancaman yang sangat mematikan bagi dirinya, maka perilakunya mungkin akan teratur mengkonsumsi ARV. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan didasarkan pada beberapa hal, yaitu:

a) Kerentanan yang dirasakan (perceived vulnerability). Merupakan keyakinan seseorang bahwa ia rentan atau berisiko terhadap masalah kesehatan tertentu.

b) Keseriusan yang dirasakan (perceived severity). Persepsi tentang tingkat keseriusan atau keparahan jika penyakit dibiarkan atau tidak ditangani.

(49)

Odha mungkin akan merasa jika ia tidak teratur mengkonsumsi ARV maka HIV dapat berkembang menjadi AIDS dan menyebabkan kematian yang lebih cepat.

2. Keuntungan dan kerugian (benefits and cost). Merupakan pertimbangan seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan atau tidak berdasarkan keuntungan dan kerugian perilakunya. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan odha bahwa dengan konsumsi ARV secara teratur dapat menurunkan risiko kematian akibat AIDS.

3. Keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position). Merupakan petunjuk untuk berperilaku yang diduga tepat untuk memulai proses perilaku. Keyakinan ini diperoleh dari informasi dari luar atau nasehat mengenai permasalahan kesehatan seperti kampanye, nasehat orang lain, media massa, dan sebagainya. Penilaian terhadap permasalahan kesehatan terdahulu merupakan petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk memulai proses perilaku.

Beberapa faktor di atas seperti ancaman, keseriusan, kerentanan, pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain : 1) variabel demografi; seperti umur, jenis kelamin, latar belakang budaya, 2) variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, kelas sosial, dan tekanan sosial, dan 3) variabel struktural; seperti pengetahuan dan pengalaman sebelumnya (Maulana, 2009).

(50)

Perilaku dibentuk berdasarkan pada teori belajar social/Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Bandura tahun 1977. Menurut teori ini pada dasarnya pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan menggunakan contoh atau model (dalam Maulana, 2009). Dalam Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Bandura dinyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh harapan dan insentif.

1. Harapan

Harapan dibagi menjadi tiga jenis (Rosenstock dkk., 1988), yaitu :

a) Harapan tentang isyarat lingkungan (yaitu keyakinan tentang bagaimana peristiwa terhubung - tentang apa yang menyebabkan apa) .

b) Harapan tentang konsekuensi dari tindakan diri sendiri (yaitu pendapat tentang bagaimana perilaku individu kemungkinan akan mempengaruhi hasil) yang biasa disebut sebagai ekspektasi hasil .

c) Harapan tentang kemampuan diri sendiri untuk melakukan perilaku diperlukan untuk mempengaruhi hasil. Hal ini disebut ekspektasi efikasi (self-efficacy)

2. Insentif

Insentif (atau penguatan) didefinisikan sebagai nilai objek tertentu atau hasil. Hasilnya mungkin status kesehatan, penampilan fisik, persetujuan lain, keuntungan ekonomi, atau konsekuensi lainnya. Perilaku diatur oleh konsekusensi atau penguatan, tetapi hanya konsekuensi yang mampu dimengerti dan dipahami oleh individu tersebut.

(51)

32

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Faktor yang berhubungan dengan odha loss to follow up lebih tepat bila dijelaskan dengan perilaku, sebab loss to follow up merupakan tindakan odha terkait perilakunya dalam mengikuti terapi ARV.

Terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan loss to follow up, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi: pengetahuan, status sosio demografi (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan), kepercayaan terhadap dokter yang merawat, serta manfaat yang dirasakan dengan terapi ARV. Laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up dibandingkan dengan perempuan karena perempuan cenderung lebih memperdulikan masalah kesehatannya sehingga mereka lebih patuh dalam mengikuti terapi. Odha lebih muda lebih berisiko untuk loss to follow up dikaitkan dengan penolakan psikologis di usia yang masih muda. Mereka akan susah menerima kondisinya yang telah terinfeksi HIV, kondisi ini menyebabkan mereka lebih labil sehingga menjadi loss to follow up selama mengikuti terapi ARV. Demikian pula dengan pendidikan, risiko loss to follow up akan lebih tinggi pada odha dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Odha dengan pendidikan lebih tinggi cenderung berpikir jangka panjang, akan

(52)

memikirkan ancaman yang akan didapat jika tidak melanjutkan terapi, lebih mudah menerima informasi baik dari media massa, kampanye, atau nasehat orang lain sehingga mempengaruhi perilakunya untuk tetap rajin mengikuti terapi. Pekerjaan berkaitan dengan pendapatan yang diterima. Odha dengan pendapatan rendah akan cenderung loss to follow up terhadap terapi ARV. Salah satu pekerjaan yang memiliki risiko loss to follow up adalah pekerja seks perempuan, karena mereka hidup berpindah-pindah dan jauh dari keluarga yang bisa memberikan dukungan.

2. Faktor pendukung (enabling factor), meliputi: sarana dan prasarana yang disediakan di layanan ARV dan jarak antara tempat tinggal dengan layanan kesehatan penyedia ARV.

3. Faktor pendorong (reinforcing factor), meliputi sikap dan perilaku dokter atau perawat di tempat layanan, adanya teman yang ikut mendapat layanan ARV di tempat tersebut, adanya dukungan keluarga dan tokoh masyarakat setempat, serta adanya pengawas minum obat (PMO). PMO merupakan orang yang bertugas untuk mengingatkan odha untuk minum ARV secara teratur. Keberadaan mereka diharapkan turut membantu agar odha teratur minum ARV sehingga menekan risiko untuk loss to follow up.

Selain faktor perilaku ada pula faktor klinis yang mempengaruhi loss to follow up. Dari aspek klinis beberapa faktor yang memiliki pengaruh dengan loss to follow up antara lain kadar CD4 saat pertama kali memulai terapi ARV. Kadar CD4 merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi odha yang loss to follow up. Odha yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 yang lebih tinggi

(53)

dikaitkan dengan peningkatan kadar CD4 yang lebih tinggi sehingga odha untuk menjalani terapi dengan teratur semakin baik. Hal ini berkatan dengan faktor benefits yang telah dirasakan oleh odha sehingga ia melanjutkan terapinya.

Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi atau kadar hemoglobin yang normal akan memperoleh kondisi sehat yang lebih baik, hal ini menyebabkan odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARVnya karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV.

Adanya infeksi oportunistik menunjukkan bahwa odha telah berada pada stadium yang lebih parah. Hal ini kemungkinan menyebabkan odha menghentikan terapi atau mencari alternatif pengobatan lain. Selain itu odha dengan risiko penularan melalui jarum suntik (pengguna narkoba suntik), yang tinggal jauh dari tempat layanan (>150 km), dan merokok memiliki risiko loss to follow up yang lebih besar dibandingkan faktor risiko penularan lainnya.

(54)

3.2 Konsep Penelitian PERILAKU Gambar 3.2 Konsep Penelitian Faktor predisposisi (predisposing factor): 1. Pengetahuan 2. Jenis kelamin 3. Umur 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Pendapatan 7. Kepercayaan terhadap dokter yang merawat 8. Manfaat yang

dirasakan dengan terapi ARV. Faktor pendukung (enabling factor):

1. Sarana dan prasarana yang disediakan di layanan ARV

2. Jarak antara tempat tinggal dengan layanan kesehatan penyedia ARV

Faktor pendorong (reinforcing factor): 1. Sikap dan perilaku

dokter atau perawat di tempat layanan

2. Adanya teman yang ikut mendapat layanan ARV di tempat tersebut

3. Adanya dukungan keluarga dan tokoh masyarakat setempat 4. Adanya pengawas

minum obat (PMO).

1. Kadar CD4 2. Berat badan 3. Kadar hemoglobin 4. Infeksi Oportunistik

5. Faktor risiko penularan

Loss to follow up KLINIS Menerima terapi ARV Keterangan : Diteliti Tidak diteliti

(55)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up yang diteliti adalah: jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, adanya pengawas minum obat (PMO), kadar CD4, berat badan, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik, dan faktor risiko penularan.

1.3Hipotesis Penelitian

Dari kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1.3.1 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012

1.3.2 Ada hubungan antar umur terhadap loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012

1.3.3 Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012

1.3.4 Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012

1.3.5 Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012

Referensi

Dokumen terkait

yangberupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian ( galenik ), atau campuran dari bahantersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

Berdasarkan langkah-langkah penelitian yang terdiri dari lima siklus yang telah dilakukan dalam pembelajaran Essay Writing , dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran

“Biarlah kita bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak- anak manusia, sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga,

Hambatan tersebut juga dapat terjadi bersamaan dengan hambatan maupun gangguan lainnya, misalnya hambatan penginderaan seperti tuna netra, tunarungu,

Berdasarkan temuan penelitian, secara umum dapat disimpulkan bahwa ragam bahasa yang digunakan presenter saat membawakan acara adalah ragam bahasa santai. Pemakaian

Karena kendala itu tidak teramati dari awal oleh pemerintah, maka upaya yang dilakukan untuk menggerakan kembali pabrik etanol tidak dianggap sebagai usaha bersama

Tiga aksesi kapas yaitu KI 487, KI 489, dan KI 494 yang memiliki persentase tanaman mandul jantan masing-masing 60,8%, 57,5%, dan 65% telah digunakan sebagai donor sifat