• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kesiapsiagaan

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapsiagaan Rumah Tangga .1 Faktor Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan objek yang sangat penting untuk terbentuknya prilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Soenaryo, 2002)

terjadi setelah seorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif adalah :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pemgetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahanyang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam bentuk konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,tetapi masih dalam suatu stuktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Nasution (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam masyarakat antara lain:

1. Sosial Ekonomi

Lingkungan Sosial akan mendukung tingginya pengetahuan sosial. Bila ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi maka pengetahuan akan tinggi juga. 2. Kultur (Budaya dan Agama)

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi yang baru akan sering sesuai atau tidak dengan budaya yang ada atau agama yang dianut.

3. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal baru dan akan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut.

4. Pengalaman

Pengalaman disinii berkaitan dengan umur dan pendidikan individu. Pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan lebih luas. Sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil

langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya.

Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana (Priyanto, 2006).

Riset yang dilakukan di New Zealand memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Dengan pengetahuan akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempa bumi atau bencana lain (Priyanto, 2006)

Menurut Ma`mun (2007) pengetahuan lingkungan hidup perlu diberikan kepada anak-anak dan keluarga sehingga mereka belajar mencintai alam, contoh menanam pohon dirumah, tidak membuang sampah kesungai, tidak tinggal dibantaran sungai karena dapat menimbulkan permasalahan banjir dan lain-lain. 2.3.1.1. Pengetahuan tentang Kearifan Lokal

Menurut Dekens (2007), Pengetahuan tentang kearifan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berperan meningkatkan kapasitas mereka untuk

mengurangi risiko bencana mencakup, sekurang-kurangnya, aspek-aspek berikut ini:

1. Pengetahuan sejarah dan lingkungan: Masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang sejarah dan sifat banjir di daerah mereka sendiri dengan mengamati dan mengalami sendiri peristiwa banjir, dengan dasar pengamatan sehari-hari atas lingkungan di sekitar mereka, adanya ikatan erat dengan lingkungan hidup agar dapat bertahan hidup, dan akumulasi pemahaman tentang lingkungan hidup yang disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini penting karena pengalaman dan pemahaman masa lalu tentang banjir pasti akan mempengaruhi pengalaman dan pemahaman di masa kini. Salah satu contoh berkaitan dengan kapasitas orang untuk mengamati lingkungan sekitarnya di Chitral Pakistan. Di sana, salah satu strategi beradaptasi dengan banjir bandang diperoleh dengan dasar pengetahuan lokal, yakni kemampuan untuk membaca lingkungan alam, dan karenanya membuat interpretasi tentang dimana tempat membangun, atau tidak membangun, rumah, kantor, dsb. Akibatnya, permukiman di Chitral didirikan di daerah yang relatif aman kendati risiko sangat tinggi akibat banjir bandang dan bencana alam lainnya di distrik itu.

2. Pengetahuan organisasional: Kemampuan merencanakan, mengawasi, dan menilai didasari oleh pelbagai transaksi, persepsi, kepercayaan, dan pengalaman masa lalu tentang banjir. Orang sering dapat mengantisipasi banjir dengan cara mengamati tanda-tanda peringatan alam (misalnya

perubahan warna air, perubahan awan).Mereka juga dapat mengidentifikasi tempat-tempat mana saja yang aman bagi manusia dan ternak peliharaan, serta pengaturan waktu (misalnya, jika tiba saatnya untuk memasukkan kayu bakar dan makanan lebih dulu, singkirkan harta milik yang berharga, lalu tinggalkan rumah).

3. Pengetahuan tentang proyek pembangunan: Kepercayaan orang tentang akan adanya pihak-pihak dari daerah, negara, atau internasional yang akan mengulurkan tangan ketika mereka mengalami bencana akan berpengaruh pada bagaimana orang akan menanggapi keterlibatan pihak-pihak itu.

4. Pengetahuan teknis: Contoh strategi teknis sebagai upaya beradaptasi dengan banjir antara lain langkah-langkah yang berkaitan dengan pembangunan rumah, langkah perlindungan dinding, gudang atas, air minum, dan transportasi, serta langkah-langkah yang diambil untuk mengalihkan aliran sungai. Sebagai contoh, di Terai Timur, Nepal, orang menerapkan berbagai strategi sederhana untuk mendirikan rumah (misalnya meninggikan undakan, memperkuat dan memperkokoh dinding dengan timbunan lumpur, pagar bambu, dsb.), membangun gudang penyimpanan makanan, atau membangun lantai untuk menghindarkan barang-barang kecil, makanan, ternak kecil, dan juga manusia dari air banjir.

5. Pengetahuan non-teknis: Contoh strategi adaptasi yang bersifat non teknis antara lain tindakan yang diambil berkaitan dengan mobilitas ruang dan sosial (misalnya, Kemampuan untuk mengandalkan dukungan sanak saudara dan

tetangga, strategi-strategi diversifikasi usaha), keamanan pangan, penyelenggaraan sistem keuangan mikro, pengelolaan sumber daya alam (misalnya, peraturan tentang menggembalakan ternak dan penebangan pohon, reorganisasi pola tanam dan pengolahan tanah, penerapan strategi baru bercocok tanam semisal menanam di sepanjang sungai, atau menanam sayuran di tepian sungai untuk mengurangi dampak banjir, kepercayaan dan sikap batin terhadap perubahan sehingga mampu belajar dari kesalahan masa lampau dan dari peristiwa bencana banjir, serta terbangunnya relasi-relasi institusional dengan pihak di luar lingkaran masyarakat setempat).

6. Strategi komunikasi: Ini mencakup komunikasi secara lisan maupun tertulis tentang peristiwa banjir di masa lampau maupun tentang yang akan datang, serta adanya sistem peringatan dini (misalnya, siulan, teriakan, lari menuruni bukit).

Semua orang mempunyai pengetahuannya sendiri, yang bersifat keseharian dan lokal, tentang lingkungan sekitar mereka. Tingkat pengetahuan lokal juga bergantung pada sifat suatu masyarakat (misalnya, masyarakat migran mempunyai pengetahuan lebih sedikit daripada masyarakat yang telah tinggal di suatu daerah secara turun-temurun. Namun, kelompok masyarakat nomad bisa jadi mempunyai pengetahuan lokal tentang lebih dari satu daerah saja).

Orang-orang yang dianggap ahli dalam kelompok masyarakat dan beberapa kelompok sosial tertentu juga memiliki pengetahuan spesialis lokal, yakni mereka memiliki keahlian penting tertentu yang tidak diketahui semua orang dan yang dapat

bermanfaat bagi kesiapsiagaan menghadapi bencana. Contohnya antara lain masyarakat nelayan yang setiap hari hidup berdekatan dengan air. Dengan demikian, tak aneh jika mereka mahir berenang dan peka terhadap perubahan air (ICIMOD, 2007)

Kelompok lainnya lagi mungkin memiliki pengetahuan tentang perkayuan dan anyaman bambu, keterampilan yang berguna dalam pengerjaan meninggikan lantai demi menghindari banjir seperti yang ditemukan di Terai, Nepal. Beberapa pemimpin adat disegani dan memiliki keterampilan berkomunikasi yang membuat mereka mampu berbicara di depan publik dan menyampaikan pesan peringatan (misalnya “harap Anda meninggalkan rumah sekarang juga!”) yang akan dipercayai dan diikuti semua penduduk (ICIMOD, 2007)

Masyarakat di Chitral juga telah menerapkan strategi-strategi untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap serangan banjir bandang. Sebagai contoh, penduduk setempat telah mampu mempelajari tanda-tanda awal akan terjadinya banjir bandang yang merusak. Tanda-tanda itu semisal warna, bau, dan ciri-ciri air sungai pegunungan, disamping juga kemampuan meramalkan berdasarkan konstelasi bintang. Pada tahun 2005, sebanyak 106 rumah di kampung Brep hancur karena Luapan Banjir Danau Es (Glacial Lake Outburst Flood). Kendati demikian, tidak ada korban jiwa satu pun karena penduduk berhasil menafsirkan perilaku aliran sungai sebagai pertanda awal, dan seisi kampung berhasil menyelamatkan diri tepat pada waktunya.

Pengetahuan tentang kesiapsiagaan menghadapi banjir diwariskan secara lisan dengan cara belajar sambil melakukan (learning by doing), setiap hari mengamati keadaan alam sekitar, menceritakan dongeng, dan internalisasi praktik-praktik tertentu secara turun-temurun. Penyebaran pengetahuan ini berlangsung pada dua tingkatan: di antara anggota masyarakat misalnya, peringatan dini tentang akan datangnya banjir, dan di antara generasi misalnya, menyampaikan pengetahuan dan pelajaran yang dipetik dari peristiwa banjir dimasa lalu (Dekens, 2007)

Pada masyarakat yang banyak mengandalkan tradisi lisan, peristiwa masa lampau, termasuk bencana banjir, ditanamkan ke dalam ingatan melalui cerita dongeng, lagu, syair, peribahasa, kegiatan dan upacara ibadat, ritual, dan sebagainya. Sebagai contoh, biasanya, lagu dan puisi merupakan bagian penting dalam kebudayaan Nepal dan Terai. Salah satu contohnya adalah peribahasa: “Ular dan sungai tidak pernah berjalan lurus”. Bentuk sungai di Terai Timur, Nepal, bisa dibandingkan dengan gerak ular, yang merujuk pada sifat sungai di daerah itu: saluran-saluran air sangat tidak stabil, setiap saat bisa berubah arah dan mengubah keadaan (ICIMOD, 2007).

Beberapa lagu yang dikumpulkan dalam studi kasus di Nepal seluruhnya bercerita tentang banjir, sementara lainnya menyebut soal banjir di samping masalah-masalah lain yang dihadapi penduduk. Pada beberapa kasus, lagu dan peribahasa menjadi gudang simpanan (atau bisa juga dilihat sebagai relay, penerus) atas peristiwa banjir di masa lampau dan dapat membantu merangsang pembelajaran, ingatan, dan kreativitas penduduk. Lagu dan peribahasa juga berperan dalam

penyampaian strategi penanganan bencana, membentuk pengetahuan bersama, dan membagikan pemahaman yang sama tentang perubahan sehubungan dengan peristiwa banjir yang kadang sering kadang jarang (ICIMOD, 2007)

Lagu dan peribahasa juga dapat membantu membangun kesadaran berkomunitas dan solidaritas di dalam kampung dan/atau dalam beberapa kelompok yang terkait. Para penyanyi dan pengarang lagu setempat adalah tokoh kunci pembawa pengetahuan dan agen perubahan yang memainkan peran vital dalam pembentukan kesadaran kelompok masyarakat. Ibadat, sesaji, dan upacara tertentu membantu mereka dalam memahami dan mengingat kejadian banjir di masa lampau serta meredakan kegelisahan akan bahaya bencana di masa mendatang. Sebagai contoh, masyarakat Kalash, salah satu etnik minoritas di Distrik Chitral, Pakistan, menyelenggarakan upacara bersama yang disebut lavak natek yang agaknya menstimulasikan unsur-unsur peristiwa banjir melalui gerak-gerik dan adegan simbolik (misalnya. berlari menuruni bukit sambil berteriak) sebagai peristiwa katarsis bagi seluruh kelompok masyarakat (Dekens, 2007)

Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang bertangung jawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti institusi adat: Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggung jawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut (CSO-NAD, 2007).

Beberapa orang yang dituakan di desa mampu memprediksi lebih akurat tentang waktu terjadinya banjir, sehingga musim cocok tanam disesuaikan untuk menghindari bersamaan dengan datangnya banjir. Pengetahuan ini belakangan semakin hilang di desa-desa, terutama pasca tsunami terjadi perubahan besar pada kondisi alam, sehingga ilmu tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa di Aceh sudah sulit memperkirakan tanda-tanda alam (CSO-NAD, 2007).

2.3.2. Sikap

Menurut Notoadmodjo (2005), Sikap merupakan juga respons tertutup seseorang terhadap simulasi atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004)

Menurut Notoadmodjo (2005), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu: Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek; Kehidupan emosional

atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Dari atasan-atasan sikap menurut (Krech et al., 1982), (Cambell, 1950), Allpor, 1954), (Cardno, 1955) dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan presdiposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Menurut Notoatmodjo (2005) sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: (1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek; (3) kecenderungan untuk bertindak (tred to behave). Ketiga komponen ini secara

bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap berita bencana yaitu terlihat dari kesediaan dan perhatiaannya terhadap berita di media serta seminar.

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan dalam berdiskusi mengenai suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang petugas yang mengajak petugas atau pihak lain untuk menilai resiko bencana yang ada didaerah masing-masing serta melakukan mitigasi terhadap resiko bencana tersebut.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek.

Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat tersebut karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia (Priyanto, 2006).

Sikap yang baik untuk mencegah banjir yaitu: tidak membuang sampah/ limbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase, tidak membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit palung aliran sungai, tidak tinggal dalam bantaran sungai; tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal-hal lain diluar rencana peruntukkannya, menghentikan penggundulan hutan di daerah tangkapan air, menghentikan praktek pertanian dan penggunaan lahan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi air dan tanah (Bakornas PB, 2006).

Menurut Yusuf (2005), ada empat faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap; (1) faktor pengalaman khusus, (2) faktor komunikasi dengan orang lain, (3) faktor modal yaitu dengan melalui mengimitasi, (4) faktor lembaga sosial (Instutional) yaitu sumber yang mempengaruhi. Perubahan sikap dipengaruhi (1) pendekatan teori belajar, (2) pendekatan teori persepsi, (3) pendekatan teori konsistensi, (4) perdekatan teori fungsi.

Dokumen terkait