• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Penerimaan Diri Perempuan Dewasa Pertengahan

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Menurut Proverawati (2010) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gejala climateric :

a. Faktor psikis

Psikis setiap perempuan yang berada pada tahap climateric tergantung dari kemampuan perempuan untuk menyesuaikan diri. Perubahan psikis seperti kurang konsentrasi, perubahan emosi, dan berkurangnya tenaga, yang berganti-ganti pun dapat mempengaruhi gejala climateric baik berupa gejala fisiologis ataupun psikologis. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa gejala climateric berhubungan dengan kadar estrogen perempuan.

Oleh karena itu, gejala climateric yang berupa gejala-gejala fisiologis dan psikologis tersebut akan dirasakan apabila psikis perempuan tidak stabil.

b. Sosial ekonomi

Keadaan sosial ekonomi dapat mempengaruhi faktor fisik dan kesehatan seseorang. Apabila faktor sosial ekonomi ini berada pada tingkat cukup baik maka akan mengurangi beban fisiologis dan psikologis seseorang itu. Greenwood (1986) menambahkan bahwa perempuan yang memiliki pekerjaan yang menarik, penghasilan tetap, merasa dirinya berguna, ataupun memiliki kesibukan biasanya melaporkan lebih sedikit merasakan gejala climateric. Gejala climateric yang berupa gejala fisiologis dan psikologis dapat berkurang atau jarang dirasakan oleh perempuan karena beban yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi telah terpenuhi.

c. Budaya dan lingkungan

Budaya dan lingkungan yang berada di sekitar perempuan yang berada pada gejala climateric dapat memberikan pengaruh bagaimana mereka bereaksi terhadap gejala climateric ini (Greenwood, 1986). Penilaian di beberapa masyarakat dengan pemikiran bahwa perempuan harus memiliki kecantikan dan keadaan fisik yang harus selalu optimal (Greenwood, 1986). Penilaian inilah yang menyulitkan bagi beberapa perempuan

terlebih mereka yang telah mencapai usia dewasa pertengahan (Greenwood, 1986). Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan dengan lingkungan yang memiliki tuntutan tinggi akan keoptimalan diri akan lebih merasakan gejala climateric. d. Hormonal

Sistem reproduksi pada perempuan saat mulai memasuki climateric mulai mengalami penurunan dalam keberfungsiannya. Mulai menurunnya fungsi sistem reproduksi perempuan disebabkan oleh adanya penurunan jumlah sel-sel folikel telur akibat berkurangnya produksi dari hormon reproduksi perempuan yaitu progesteron, inhibin, dan estrogen (Proverawati, 2010). Akan tetapi, hormon yang memberikan pengaruh yang kuat bagi keberfungsian fisiologis dan psikologis perempuan adalah hormon estrogen.

Menurut Proverawati (2010) pada otak, saat hormon estrogen mengalami penurunan maka hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja dari neurotransmiter (pengantar pesan) yang terdiri atas dopamin, serotonin, dan endorphin. Padahal dopamin, serotonin, dan endorphin memiliki kegunaan di dalam mengatur fungsi motorik dan vasomotor, meregulasi emosi, proses dalam pembelajaran perilaku, kekebalan tubuh, motivasi, suasana hati, aktivitas tidur, persepsi nyeri, suhu tubuh, nafsu makan, ingatan, dan tingkah laku seksual (Proverawati, 2010). Sehingga, akibat

dari menurunnya kadar dopamin, serotonin, dan endorphin sebagai neurotransmiter yang berperan sebagai penstabil dan penjaga bagi fisiologis dan psikologis perempuan menjadi tidak berfungsi normal (Proverawati, 2010). Sehingga menyebabkan terjadinya gejala climateric (Proverawati, 2010).

B. PENERIMAAN DIRI PEREMPUAN DEWASA PERTENGAHAN

1. Definisi Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan kepuasan hidup dan kebahagiaan seseorang dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (Rogers, 1951 & Scott, 1968, dalam Shepard, 1979). Reber dan Reber (2010) mengatakan penerimaan diri merupakan sikap seseorang menerima dirinya terhadap berbagai talenta, berbagai kemampuan dan nilai-nilai diri yang dimiliki, serta sebuah pengakuan realistik terhadap keterbatasan yang dimiliki.

Ryff (1995) mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan sebuah sikap positif yang mengarah kepada pengujian diri apakah ia memiliki kualitas yang positif atau negatif (Birkersteth & Taiwo, 2017). Menurut Hurlock (1974) penerimaan diri merupakan suatu tingkatan yang dimiliki oleh setiap orang mengenai kemampuannya untuk mengetahui dan memahami karakteristik pribadi serta mampu menerima dirinya apa adanya.

Jersild (1971) menambahkan bahwa orang yang menerima dirinya pasti memiliki pandangan yang realistik terhadap kemampuan yang dimiliki dipadukan dengan penghargaan terhadap diri sendiri yang dinilai berharga (Hurlock, 1974; Sheerer, 1949, dalam Cronbach, 1963). Selain itu, orang yang menerima dirinya memiliki kepastian mengenai standar-standar dan keyakinan-keyakinan dirinya tanpa ditekan dengan pendapat yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya dan menilai secara realitas keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya tanpa adanya pandangan diri yang tidak rasional (Hurlock, 1974). Mereka juga menyadari kelemahan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri mereka sendiri atas kelemahan tersebut (Hurlock, 1974).

Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hamidah dan Putri (2012) yang mengatakan bahwa seseorang dikatakan telah memiliki penerimaan diri apabila ia telah mampu memahami dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Supratiknya (1995) pun mengatakan pula bahwa penerimaan diri merupakan penghargaan terhadap diri sendiri, rela mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, serta dapat menerima diri terhadap orang lain.

Sehingga peneliti memberikan kesimpulan bahwa penerimaan diri adalah suatu sikap menerima dan terbuka terhadap segala kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya, merasa telah memiliki kepuasan

hidup dan kebahagiaannya, sehingga tidak hanya terbuka untuk diri sendiri tetapi juga terbuka dengan lingkungan yang dimilikinya (Hurlock, 1974; Shepard, 1979; Reber & Reber, 2010; Supratiknya, 1995; Sheerer, 1949, dalam Cronbach, 1963).

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Sheerer (1949) mengemukakan aspek-aspek dari penerimaan diri antara lain (Cronbach, 1963) :

a. Memiliki kepercayaan atas kemampuan diri untuk dapat menghadapi kehidupan.

b. Menganggap dirinya berharga dan sederajat dengan orang lain. c. Tidak memandang dirinya sebagai orang yang aneh atau

abnormal.

d. Tidak mengharapkan dirinya ditolak atau dikucilkan oleh orang lain.

e. Tidak takut ataupun malu apabila dicela oleh orang lain. f. Bersedia bertanggung jawab terhadap setiap tingkah lakunya. g. Mengikuti standar hidup yang dimilikinya sendiri daripada

mengikuti tekanan dari luar dirinya.

h. Mampu menerima segala pujian, saran, dan kritikan secara objektif.

i. Tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan dirinya maupun penolakan terhadap kelebihannya.

j. Tidak menyangkal kata hati, emosi-emosi, ataupun rasa bersalah atas keterbatasan ataupun kelebihannya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (1974) sebagai berikut :

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri merupakan persepsi seseorang mengenai dirinya, tanpa berpura-pura, bersifat realistis, dan tanpa adanya tipu daya. Orang dengan pemahaman diri positif tidak hanya sekadar menyadari kenyataan mengenai dirinya tetapi benar-benar memahami arti dari setiap kenyataan yang dimiliki oleh dirinya.

Di dalam memahami diri, seseorang tidak hanya bergantung pada kapasitas intelektual yang dimilikinya yang berupa kemampuan daya penerimaan informasi seseorang tersebut terhadap dirinya, tetapi juga berbagai kesempatan yang didapatkan orang tersebut untuk menggali dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pemahaman diri yang positif pasti memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki tanpa mendapatkan tekanan dari orang lain.

Akan tetapi, seseorang memiliki pemahaman diri yang negatif dapat berasal dari penolakan, buruknya kesempatan untuk menggali diri, atau bisa berasal dari keinginan orang tersebut

untuk melihat dirinya yang hanya berdasar pada apa yang ia inginkan dalam dirinya bukan melihat bagaimana dirinya yang sesungguhnya. Saat seseorang tersebut tidak ingin melihat kenyataan dirinya, maka sebenarnya ia menipu dirinya sendiri dan hanya menutupi dirinya dengan berbagai hal yang dia inginkan. Pemahaman diri bersifat negatif akan mendorong ketidakcocokan antara konsep diri idealnya yang berupa pandangan seseorang tersebut terhadap apa yang dirinya inginkan dengan penilaian dari orang lain mengenai dirinya. Ketika konsep diri ideal tidak sesuai dengan penilaian dari orang lain maka penerimaan akan diri yang dimiliki seseorang tersebut akan bersifat negatif karena pemahaman orang tersebut akan dirinya pun bersifat negatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan beriringan satu sama lain.

b. Adanya harapan-harapan yang realistis

Setiap manusia pasti memiliki harapan dalam kehidupannya. Saat harapan-harapan yang ingin dicapainya menjadi kenyataan dengan berbagai kesempatan yang dimiliki seseorang itu, maka seseorang ini berusaha untuk mencapai kepuasan hidupnya. Kepuasan hidup ini merupakan aspek penting bagi penerimaan diri dari seseorang tersebut.

Guna mencapai harapan-harapan tersebut, seseorang perlu memahami beberapa hal antara lain kelebihan dan kelemahan

yang dimilikinya, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal yang menjadi harapan, serta kemampuan (skill) yang dibutuhkan untuk mencapai harapan-harapan tersebut.

Jersild (1965) mengatakan bahwa di dalam seseorang mencapai sebuah harapan maka memerlukan keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”. Pada saat seseorang memiliki sebuah harapan, mereka menyadari bahwa harapan tersebut adalah sesuatu yang harus mereka perjuangkan. Hal ini karena menurut Sheerer (1949) mereka yang memiliki harapan atas hidupnya harus tetap bertanggungjawab atas perilakunya (Cronbach, 1963). Akan tetapi, saat terdapat pembatas antara konsep diri ideal (ideal self) dengan konsep diri yang sesungguhnya (real self) yang didasari pada harapan-harapan yang tidak realistis, maka seseorang tersebut akan menolak dirinya sendiri dan penerimaan diri pun tidak terbentuk positif. c. Perilaku-perilaku sosial yang mendukung

Setiap individu pasti dikelilingi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Tentu lingkungan tersebut dapat memberikan dampak bagi diri individu tersebut. Sehingga seseorang perlu selalu untuk berperilaku baik dan mengikuti norma-norma yang terdapat di lingkungannya. Ketika individu bersikap positif terhadap lingkungan maka individu akan mendapat perlakuan dan diterima oleh lingkungan di sekitarnya. Sikap dari para anggota kelompok

sosial kepada seseorang individu inilah yang dapat membentuk sikap diri pada individu tersebut. Saat sikap diri individu diterima dan didukung oleh kelompok sosialnya, maka penerimaan dirinya terbentuk positif.

d. Kondisi emosi yang menyenangkan dan tidak adanya tekanan Kondisi emosi menyenangkan yang tercipta di dalam diri individu maupun lingkungan sekitar individu, dapat memberikan dampak berupa peningkatan relaksasi diri dan kebahagiaan. Kondisi emosi yang menyenangkan mampu memberikan kontribusi bagi proses evaluasi sosial yang merupakan basis utama dalam evaluasi diri dan penerimaan diri seseorang.

Kondisi emosi individu menyenangkan atau justru adanya tekanan dapat pula dikarenakan faktor hormonal. Hormon tersebut adalah hormon estrogen. Hormon estrogen yang masih diproduksi dengan baik maka dapat menjaga kinerja dari dopamin, serotonin, dan endorphin yang bekerja sebagai pengantar pesan dalam hal salah satunya yaitu regulasi emosi (Proverawati, 2010). Ketika regulasi emosi perempuan berjalan dengan baik tentu membuat perempuan mampu untuk mengenal dan memahami emosi yang dirasakannya (Aris & Rinaldi, 2010).

Saat perempuan mampu memahami emosi tersebut maka dirinya dapat mengatur emosi sedemikian rupa dan akhirnya mampu membentuk perilaku yang tepat (Aris & Rinaldi, 2015).

Apabila perilaku yang ditunjukkan kepada orang lain atau lingkungan bersifat negatif maka perilaku tersebut dapat mempengaruhi reaksi dan evaluasi sosial kepada individu (Hurlock, 1974). Seperti pada paragraf sebelumnya, dijelaskan bahwa evaluasi sosial memberikan kontribusi bagi evaluasi diri yang membentuk penerimaan diri seseorang (Hurlock, 1974). e. Frekuensi pengalaman sukses

Tingkat pengalaman sukses yang dimiliki oleh seseorang dapat menentukan proses penerimaan diri seseorang. Bagi seseorang yang memiliki pengalaman sukses yang lebih besar maka ia akan dengan mudah menerima dirinya. Akan tetapi, bagi seseorang yang memiliki pengalaman yang bersifat gagal lebih besar maka ia akan memilih untuk melakukan penolakan terhadap dirinya. Hal tersebut karena pengalaman sukses lebih penting dan bermakna daripada kegagalan berdasarkan pendapat sosial dan diri sendiri.

f. Adanya identitas diri yang sesuai dengan pendapat sosial

Orang-orang yang memiliki identitas diri positif dari lingkungannya akan lebih memiliki sikap yang positif mengenai kehidupannya. Identitas diri ini sebaiknya terbentuk sejak masa anak-anak. Lingkungan keluarga merupakan penentu utama pembentukan identitas diri yang positif bagi anak, terutama peran dari ibu. Saat identitas diri anak terbentuk maka kepribadian anak

itu pun juga terbentuk. Sehingga ketika seseorang memiliki identitas diri positif dan dilanjutkan dengan sikap hidup yang positif pula, maka hal tersebut dapat membawa diri seseorang ke arah penilaian diri dan penerimaan diri yang sesuai.

g. Perspektif diri

Seseorang yang dapat melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya maka ia memiliki pemahaman pada perspektif dirinya. Seseorang dengan perspektif diri yang positif dapat berasal dari bagaimana kemampuan mengendalikan, mengelola, dan memodifikasi emosi yang dimiliki ke arah yang tepat, sehingga seseorang tersebut dapat mengorganisir dirinya untuk berperilaku yang tepat (Aris & Rinaldi, 2015). Oleh karena itu, seseorang yang memiliki perspektif diri yang positif dapat dikatakan ia memiliki penerimaan diri yang positif pula.

h. Pola asuh

Penerimaan diri seseorang merupakan proses yang tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan terdapat pusat pembentukannya. Pusat pembentukan penerimaan diri sebenarnya berasal dari konsep diri yang dimiliki oleh seseorang. Konsep diri seseorang terbentuk dari pola asuh yang diberikan oleh keluarganya terhadap dirinya. Oleh karena itu, pola asuh yang diharapkan adalah gaya otoritatif atau demokrasi, karena dalam gaya pengasuhan ini anak dilibatkan dan dihargai sebagai

individu. Sehingga anak belajar untuk menghargai dirinya dan merasa bertanggung jawab atas tingkah lakunya. Sehingga konsep dirinya pun terbentuk, di mana konsep diri merupakan dasar pembentukan penerimaan diri.

i. Konsep diri yang stabil

Konsep diri yang stabil merupakan salah satu jalan bagi individu dalam melihat dirinya yang sesungguhnya dan bersifat konstan atau tidak berubah-ubah. Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif dan stabil akan memiliki penerimaan diri yang positif, jika perempuan memiliki konsep diri yang negatif dan kurang stabil maka ia tidak akan memiliki penerimaan diri atas dirinya atau melakukan penolakan diri (Burns, 1993, dalam Hamidah dan Putri, 2012).

Jersild (1965) menambahkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang antara lain :

a. Usia

Menurut penelitian Ryff (1959) pada usia remaja awal hingga akhir kepuasan diri seseorang akan mengalami penurunan, meskipun terdapat beberapa yang mengalami kenaikan walaupun hanya sedikit (Jersild, 1965). Hal ini dikarenakan pada usia ini, seseorang lebih melihat diri dengan cara membandingkannya

dengan kepribadian dari orang lain (Amatora, 1957, dalam Jersild, 1965).

Apabila dibandingkan saat usia remaja, perempuan dewasa pertengahan akan lebih mengenali dan menerima kualitas diri mereka dan merasa positif tentang diri dan kehidupan mereka (Berk, 2012).

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan pun dapat menjadi faktor bagi penerimaan diri seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Sanford (1957) berkaitan dengan tingkat senioritas yang dapat berpengaruh pada penerimaan diri seseorang (Jersild, 1965). Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa tingkat senior walaupun lebih berpotensi untuk mengalami rasa depresi dan tekanan yang cukup berat karena berbagai laporan akhir yang harus dikerjakan, akan tetapi lebih banyak merasa bebas (Jersild, 1965). Hal ini karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimiliki lebih banyak (Jersild, 1965). Sehingga kepuasan diri pun semakin tinggi dan akan lebih menerima dirinya. Berk (2012) pun menambahkan pula bahwa perempuan yang bekerja dan memiliki pendidikan yang baik akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap perubahan yang dapat terjadi pada tahap kehidupan perempuan itu sendiri.

c. Dukungan sosial

Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brandt (1958) yang menemukan bahwa para pelajar kelas 6 hingga 11 akan mengira-ngira seberapa baik diri mereka dengan cara membandingkannya dengan teman-teman sebayanya (Jersild, 1965). Brandt (1958) menemukan bahwa kelompok-kelompok yang dibentuk oleh para remaja akan mempengaruhi penampilan diri seorang remaja terhadap diri mereka sendiri (Jersild, 1965). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan sosial yang diberikan orang lain kepada diri seseorang dapat memberikan penerimaan karakteristik diri seseorang.

d. Keadaan fisik

Kondisi fisik yang dimiliki oleh setiap individu tentu berbeda-beda. Seseorang yang menerima dirinya akan menerima keadaan tubuhnya dan melihat dirinya berdasarkan kualitas kehidupan yang dimilikinya tanpa menghukum diri mereka atas kondiri tubuh yang berada di luar kendali diri mereka (Jersild, 1965). seperti contoh “terdapat seorang perempuan yang memiliki tubuh yang tinggi. Dirinya akan melihat bahwa perempuan dengan tubuh yang lebih rendah akan lebih memiliki banyak keuntungan. Akan tetapi, dirinya justru menampilkan dirinya dengan anggun dalam kehidupannya sehari-hari dan dirinya tidak membungkuk seolah meminta maaf atas tubuhnya yang tinggi tersebut” (Jersild,

1965). Contoh tersebut menggambarkan bahwa perempuan tersebut menerima kondisi fisiknya tanpa menyalahkan diri atas kondisi yang dimilikinya, sehingga penerimaan diri yang dimiliki pun akan bersifat positif.

Dokumen terkait