• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEARIFAN

merupakan keputusan penentu yang tidak perlu dibandingkan lagi. Pada bagian ini, peneliti ingin mengutip Basyral Hamidy yang dalam salah satu artikelnya mengutip salah satu artikel Mohammad Natsir yang ber­ judul, Kedudukan Ulama-ulama Dalam Masyarakat yang dimuat dalam Pandji Islam edisi Juni 1939 dan diterbitkan kembali di dalam kumpulan tulisannya yang berjudul, Capita Selecta, 1954, halaman 133­138. Mo­ hammad Natsir antara lain menulis:

“…masjarakat Islam sudah mempunjai pemimpin dan pengandjur mereka dalam hal2 jang berhubungan dengan keagamaan dan penghidupan mereka sehari2. Dalam desa2 dan kampung2 Guru atau Sjech, Angku Sieh di Minangkabau atau Kiai di Djawa dan bermatjam2 nama panggilan pada beberapa tempat, adalah tempat rakjat bertanja, tempat memulangkan sesuatu urusan, tempat meminta nasihat dan fatwa, tempat mereka menaruhkan kepertjajaan.

Bagi mereka, fatwa seorang alim jang mereka pertjajai berarti suatu

kata-kepu-tusan, jang tidak dapat dan tak perlu dibandingkan lagi. Sering kali terbukti,

ba-gaimana susahnja bagi pemerintah negeri mendjalankan satu urusan, bilamana tidak disetudjui oleh alim-ulama jang ada dalam satu daerah.

Sebaliknja pun begitu pula. Beruntunglah salah satu masjarakat, bila mempunjai seorang alim, sebagai pemimpin ruhani jang tahu dan insaf akan tanggungan-nja sebagai penganjur dan penundjuk djalan. Aman dan makmurlah salah satu daerah bilamana pegawai2 pemerintah disitu tahu menghargakan kedudukan alim ulama ang ada di daerah itu.

Ulama bukanlah pemimpin yang dipilih dengan suara terbanjak, bukan jang di-angkat oleh persidangan kongres. Akan tetapi kedudukan mereka dalam kebati-nan rakjat yang mereka pimpin, djauh lebih teguh dan tjuci dari pergerakan jang berorganisasi, atau pegawai pemerintah jang manapun djuga.

Ulama ialah waris nabi-nabi, pemimpin umat jang mendapat pengakuan agama. Dalam mentjapai kemadjuan rakjat umumnja, “korsp” ulama jang bertebaran itu sekali2 tak boleh diabaikan, baik oleh pegawai pemerintah, ataupun oleh pengandjur2 pergerakan kita. Mereka itu adalah satu factor jang penting dalam kerdja pertjerdasan rakjat pada umumnja. Koordinasi pekerdjaan antara ula-ma2, pegawai2 pemerintah dan pemuka2 pergerakan social dan politik, tidak akan diperdapatm bilamana pihak ulama tidak berkehendak turut

memperhati-kan dan menurutmemperhati-kan gelora zaman,…”361

Kutipan panjang di atas menunjukkan arti penting kedudukan ulama bukan saja dalam relasinya dengan pemerintah tetapi lebih penting dari itu dalam hubungannya dengan ummatnya. Dalam konteks relasi ganda itulah para ulama harus mampu memosisikan dirinya secara tepat. Pada saat yang sama, ulama juga dihadapkan dengan persoalan yang tidak kalah peliknya, perubahan sosial yang tidak pernah bisa dibendung apa lagi dihentikan.

164

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU Dalam sejarah yang panjang, ulama di Sumatra Utara khususnya di Mandailing telah menunjukkan kiprahnya dalam pembangunan umat. Peran­peran yang mereka ambil umumnya berkenaan dengan pembi­ naan umat Islam itu sendiri, baik dari sisi akidah, syariatnya dan juga akhlak nya. Media­media yang mereka tempuh tidak hanya bernuansa tradisional seperti tabligh atau halaqah, seperti para penuntut ilmu di Masjid al­Haram.

Mencermati peran ulama dalam mengembangkan hukum Islam di Mandailing, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Syekh Musthafa Husein adalah simpul Islam di Mandailing.362 Nama Syekh Musthafa Hu­ sein dan Musthafawiyahnya adalah puncak dari perkembangan Islam di Mandailing. Bahkan dari Musthafawiyahlah Islam terus berkembang ke berbagai macam wilayah di Sumatra dan sekitarnya.

Ulama­ulama masa lalu juga respons terhadap perkembangan zaman. Hal ini terlihat pada saat mereka mulai merespons model­model pendidik­ an modern dan menerapkannya dalam pendidikan Islam. Hanya saja yang membedakan respons tersebut adalah masalah waktu atau temponya saja.

Ada ulama yang sangat cepat merespons perubahan zaman sepan­ jang tidak bertentangan dengan nilai­nilai syariat. Namun ada juga ulama yang memberikan respons yang sedikit lambat, walaupun pada akhirnya ia tak mampu menolak perubahan tersebut. Ulama pada masa lalu juga memiliki kesadaran akan alat perjuangan. Pada gilirannya mereka memi­ liki satu kesadaran baru bahwa perjuangan sesungguhnya membutuhkan satu alat yang disebut organisasi. Kesadaran berorganisasi sebagai alat perjuangan tampak pada kelahiran NU di Tapanuli Selatan. Semuanya dilandasi pada satu semangat bagaimana menghimpun kekuatan untuk mewujudkan sebuah mimpi bersama, hasanah fi al-dunya dan hasanah fi

al-akhirat.

Pengajian­pengajian dari masjid ke masjid atau dari kampung ke kampung yang dilakukan para ulama Mandailing sebagai usaha untuk mengembangkan dan menanamkan nilai­nilai Islam pada masyarakat Mandailing membuahkan hasil, sehingga dengan begitu pelaksanaan adat dan budaya di kalangan masyarakat Mandailing dengan sendirinya dimasuki nilai­nilai Islam sehingga pelaksanaan adat dan budaya terse­ but terkesan religius.

362 Syekh Musthafa Husein adalah salah seorang ulama terkemuka di Sumatra Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental pesantren Musthafawiyah yang su­ dah berusia 112 tahun, pesantren Musthafawiyah melalui para alim ulama dan murid­mu­ ridnya merupakan orang­orang yang menduduki posisi strategis terhadap perkembangan Islam di Mandailing. Sebelum Syekh Musthafa Husein hadir di Mandailing, ada beberapa ulama yang telah mengawal keberadaan Islam di Mandailing.

165

BAB V  FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PELAKSANAAN HUKUM…

2. Warisan Budaya Terun Temurun

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa masyarakat Man­ dailing dengan kebudayaannya telah ada jauh sebelum datangnya Islam, bahkan juga telah ada sebelum agama Hindu memasuki wilayah Mandai­ ling adat­istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara kelompok (bermasyarakat). De­ ngan begitu kedudukan hukum adat bagi masyarakat Mandailing meru­ pakan sesuatu yang urgen dan diyakini memiliki nilai yang baik. Sehing­ ga dengan begitu, pelaksanaan hukum adat tidak bisa dihilangkan dari masyarakat Mandailing.

Pada saat berkembangnya Islam di Mandailing dan mayoritas ma­ syarakat Mandailing memeluk agama Islam. Pelaksanaan hukum perka­ winan dipengaruhi dua kekuatan hukum yang senantiasa tarik­menarik. Di satu sisi adat­istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan ke­ hidupan, baik itu secara individu maupun secara kelompok (bermasya­ rakat) karena itu merupakan warisan turun­temurun dari para leluhur Mandaiing, di sisi lain agama Islam yang datang kemudian juga memba­ wa tatanan di berbagai aspek kehidupan, yang menuntut ketaatan pula dari para pemeluknya.363

Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehi­ dupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing­masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persen­ tuhan intens yang saling tarik­menarik antara kepentingan adat­istiadat dan agama. Dalam praktiknya hukum adat dan hukum Islam merupakan dua tatanan yang memiliki kekuatan yang sama, sehingga hukum adat tidak bisa menolak hukum Islam dan hukum Islam juga tidak bisa menghi­ langkan hukum adat sehingga pada akhirnya ditemukan sebuah titik temu dalam pelaksanaan hukum khususnya dalam perkawianan sehingga mun­ cullah ungkapan ombar adat dohot ugamo pada masyarakat Mandailing.364

B. PENGARUH PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN

TERHADAP PELAKSANAAN HUKUM PERKAWINAN

MASYARAKAT MUSLIM MANDAILING

1. Pengaruh Ajaran Agama

Masyarakat Mandailing dikenal sebagai masyarakat yang religius

363 Sutan Mahmud Lubis, Tokoh Adat Kecamatan Kota Nopan, wawancara pribadi, Kota Nopan Agustus 2014.

364 Sutan Kumala, Tokoh Adat Kecamatan Ulu Pungkut, wawancara pribadi, Ulu Pungkut Agustus 2014.

166

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU dan dikenal sebagai kota santri, bahkan menurut penulis tidaklah ber­ lebihan jika dikatakan bahwa Mandailing merupakan serambi Mekkah­ nya Sumatra Utara. Sebelum Islam masuk ke Mandailing, masyarakat Mandailing dahulu memeluk sistem kepercayaan lama (animisme) yang disebut Si Pelebegu, kepercayaan Sipelebegu adalah menyembah roh­roh dari para leluhur (nenek moyang) mereka yang disebut Begu. Pada saat masyarakat Mandailing pelaksanaan adat dan budaya merupakan bagian ritual dari kepercayaan Sipelebegu.365 Namun dalam perkembangannya

kemudian, seiring dengan masuknya agama Islam ke Mandailing dan ma­ yoritas telah menjadi pemeluknya yang taat, para ulama Islam terus ber­ usaha untuk mengikis habis kepercayaan animisme Si Pelebegu. Dengan terkikisnya sistem kepercayaan Si Pelebegu, pelaksanaan hukum perka­ winan masyarakat Mandailing diwarnai dengan nilai­nilai keislaman.

Sebelum Islam berkembang di Mandailing ada sebuah larangan se­ orang wanita dinikahi bukan karena nasab, mushaharah dan sesusuan melainkan karena semarga (satu marga).366 Artinya seorang peria yang bermarga Nasution dilarang menikahi wanita yang bermarga Nasution meskipun hubungan nasab, sesusuan dan hubungan mushaharah tidak ada, atau seorang pria yang bermarga Lubis dilarang menikahi wanita yang bermarga Lubis juga. Akan tetapi, setelah Islam berkembang di Mandailing dan mayoritas penduduk Mandailing menganut agama Islam kepercayaan tentang larangan nikah semarga hilang, sehingga seorang pria boleh menikahi wanita yang semarga dengannya.

Begitu juga dengan budaya lainnya. Meskipun pada sekarang ma­ syarakat Mandailing masih ada yang melaksanakan budaya lama misal­ nya mangupa dan gordang sambilan, akan tetapi budaya itu tidak dipa­ hami sebagai bagian dari kepercayaan sipelebegu, budaya­budaya lama dilakukan masyarakat Mandailing dipahami sebagai sarana untuk mem­ pererat hubungan keluarga dan hiburan bukan lagi sebagai persembahan terhadap begu untuk membangkitkan semangat hidup.367

2. Pengaruh Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi pe­ laksanaan hukum perkawinan di Mandailing. Karena sudah mulai ting gi pendidikannya masyarakat sudah melihat dan memahami adat sebagai

365 Sutan Ahmad Nasution, Tokoh Adat Kecamtan panyabungan Kota (Cucu Raja Pidoli Dolok), Wawancara pribadi, Pdoli Dolok. Agustus 2014.

366 M. Soleh Nasution. Ketua Adat Mandailing natal. Wawancara Pribadi, Mompang juni 2014.

367 M. Soleh (Sutan Kumala Bumi/cucu syekh Syihabuddin mompang Julu dan merupa­ kan keturunan raja di Mompang julu). Juni 2014.

167

BAB V  FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PELAKSANAAN HUKUM… pengikut agama. Bukan lagi adat yang utama tapi agama. Sehingga pe­ laksanaan hukum perkawinan berubah.Misalnya perjodohan terhadap boru tulang.

Menikahkan anak dengan boru tulang menjadi prioritas sebagai pe­ nyambung tali persaudaraan sedarah. Dahulu di saat seorang anak dijo­ dohkan terhadap anak namborunya tidak bisa menolak. Namun, di era modern ini dikarenakan pendidikan masyarakat Mandailing sudah tinggi, masyarakat Mandailing cenderung lebih modern dalam memilih jodoh­ nya, bahkan dalam praktik adat Mandailing Natal, khususnya di Kota Pa­ nyabungan ada pemahaman untuk menghindari perjodohan dengan boru

tulang, hal ini disebabkan kedewasan terhadap kualitas persaudaraan.

Ditakutkan jika sewaktu­waktu nanti terjadi permasalahan dalam rumah tangga maka ikatan persaudaraan yang kuat akan menjadi renggang.

3. Pengaruh Pendatang dan Budaya Asing

Dalam hal perubahan disebabkan pengaruh pendatang dan budaya asing dalam pelaksanaan hukum perkawinan Mandailing, maka hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah pernyataan Parluhutan Lubis:368

“…dalam praktiknya pandangan masyarakat terhadap sesuatu dalam perkawin-an berbeda sehingga terkesperkawin-an bahwa pelaksperkawin-anaperkawin-an hukum itu beragam. Perbe-daan itu disebabkan karena perbePerbe-daan cara menilai atau pola pikir misalnya ada suatu masyarakat di kampung tertentu memandang bahwa tuor merupa-kan adat bumerupa-kan hukum Islam, sementara ada masyarakat di desa tertentu lebih memahami bahwa tuor itu adalah hukum Islam, perbedaan pandangan yang berbeda terhadap suatu masalah dalam perkawinan menjadikan pengamalan-pun menjadi berbeda, masyarakat yang lebih dominan memandang tuor seba-gai hukum adat maka tuor itu pun akan ditetapkan sesuai hukum adat yaitu berdasarkan asas sederhana dan musyawarah sehingga dalam masyarakat yang lebih dominan memandang bahwa tuor sebagai adat penetapan maharnya le bih murah dibandingkan masyarakat yang memandang sebagai hukum Islam, misal-nya masyarakat yang asli suku Mandailing dan lahir di Mandailing pelaksanaan hukumnya akan berbeda dengan masyarakat suku pendatang ataupun suku Mandailing yang lahir atau telah hidup lama di daerah lain. Misalnya alak Jawa,

mesku pun alak Jawa di Mandailing on menganut Omabar adat dot Ugamo tapi

dalam pelaksanaannya terutama dalam resepsi perkawinan itu terkesan ber-bau adat jawa sehingga pelaksanaannya terlihat seperti Jawa kemandailing an atau Mandailing kejawaan, ini bisa kita lihat misalnya di daerah Natal yang pen-duduknya banyak dari suku Jawa, di sana dalam pelaksanaan perkawinan ada istilah rewang sementara dalam adat Mandailing tidak mengenal rewang, tau misalnya dalam pembagian warisan, di Mandailing masalah bagas apa pun ce-368 Parluhutan Lubis, tokoh agama dan adat Kecamatan Siabu, wawancara pribadi, Tang­ ga Bosi September 2014.

168

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU

ritanya menjadi bagian anak laki-laki namenekna tapi di Natal tidak masyarakat akan membagi warisan sebagai berdasarkan hukum Islam atau bahkan ada yang melaksanakan waris dengan menggunakan sistem warisan adat Jawa.”

Kutipan panjang di atas menjelaskan bahwa pengamalan yang be­ ragam dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Mandailing disebabkan perbedaan pola pikir masyarakat itu sendiri, dengan kata lain masyarakat yang lebih dominan memandang suatu perbuatan hukum sebagai adat tentunya berbeda dengan masyarakat yang lebih dominan memandang suatu perbuatan hukum sebagai hukum Islam, hal ini sangat terlihat ke­ tika pelaksanaan resepsi pernikahan masyarakat yang lebih dominan me­ mandang perkawinan sebagai adat maka acara resepsi perkawinan pun akan dilaksanakan berdasarkan adat seperti mardikir manortor, markobar, cara menyambut tamu sampai pada marulak ari sementara masyarakat yang lebih dominan memandang perkawinan sebagai hukum Islam maka pelaksanaannya pun akan berbeda mulai dari acara markobar, menyam­ but tamu dan marulak ari.

Hal menarik yang perlu dicermati adalah pernyataan Parluhutan Lubis di atas tentang masyarakat suku pendatang dan masyarakat Man­ dailing yang lahir di luar daerah Mandailing ataupun yang telah lama hidup di luar daerah Mandailing. Meskipun mereka semua memahami makna Ombar adat dohot Ugamo akan tetapi dalam praktiknya mereka tidak terlepas dari adat tradisi suku mereka ataupun kebiasaan di mana mereka tinggal. Suku jawa merupakan suku pendatang yang terbesar di Mandailing sehingga di daerah bagian Natal penduduknya didominasi suku Jawa sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dengan baha­ sa Mandailing, dalam kaitannya dengan hukum perkawinan masyarakat Mandailing suku Jawa yang berdomisili di daerah Natal di samping mer­ eka mengamalkan adat Mandailing mereka juga mengamalkan adat Jawa terlebih­lebih jika salah satu calon mempelai bersuku Jawa dan salah sa tunya suku Mandailing, pelaksanaannya akan terkesan seperti Mandai­ ling ke jawaan ataupun Jawa ke Mandailingan.

Begitu juga dengan masyarakat yang lahir atau lama hidup di luar Daerah Mandailing pelaksanaan perkawinannya akan berbeda dengan masyarakat yang penduduk asli dan tinggal di Mandailing, faktor moder­ nitas dan tradisi asing juga merupakan penyebab beragamnya pelaksa­ naan hukum perkawinan di Mandailing. Namun terlepas dari itu semua dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Mandailing baik masyarakat memandang perkawinan sebagai hukum adat dan pelaksanaannya lebih dominan ke adat ataupun masyarakat yang lebih dominan memandang perkawinan sebagai hukum Islam ataupun karena tradisi suku lain atau­

169

BAB V  FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PELAKSANAAN HUKUM… pun faktor moderinitas masyarakat Mandailing tetap memahami bahwa pengamalan seperti itu telah sesuai dengan adat dan agama, karena da­ lam pemahaman masyarakat Mandailing saat mereka mengamalkan adat berarti mereka telah mengamalkan agama begitu juga sebaliknya saat mereka mengamalkan agama mereka juga telah mengamalkan agama karena dalam pemahaman masyarakat Mandailing adat dan agama itu sejalan, seiring dan tidak bisa dipisahkan (Ombar do Adat Dohot Agama).

C. POLA PELAKSANAAN HUKUM PERKAWINAN

MASYARAKAT MUSLIM MANDAILING

Dalam kajian hukum, teori berlakunya hukum Islam dan adat serta hukum nasional di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua,

perta-ma, hukum Islam yang menyesuaikan diri kepada hukum adat (Teori Re-ceptie),369 artinya hukum Islam akan diterima jika sesuai dengan hukum adat, kedua, hukum adat yang menyesuaikan diri kepada hukum Islam (Receptio A Contario Theorie), artinya hukum adat diterima dan dibenar­ kan jika adat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip­prinsip dasar hukum Islam.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, masyarakat Mandailing telah mempunyai hukum (tradisi) yang mapan dan berlaku dimasyarakat jauh sebelum Islam masuk ke daerah Mandailing. Setelah Islam masuk ke daerah Mandailing, hukum Islam pun diterima dan dianut mayoritas ummat Islam sehingga dalam kehidupan masyarakat Muslim Mandail­ ing ada dua kekuatan hukum berlaku, yaitu hukum adat sebagai tradisi turun­temurun dan hukum Islam yang datang kemudian. Hal inilah yang menyebabkan pelaksanaan hukum perkawinan pada masyarakat Muslim Mandailing Natal beragam.

1. Hukum Mengikuti Adat

Dalam penelitian ini, penulis berupaya melihat dan memilah­milah bagaimana pelaksanaan hukum perkawinan masyarakat Muslim Mandai­ ling Natal. Dalam praktiknya, masyarakat tidak dapat dipisahkan dari adat istiadat. Hal tersebut sudah mengikat secara turun­menurun. Inilah yang membuat masyarakat dalam melaksanakan hukum perkawinan tetap mengikutsertakan adat sebagai bagian dari pelaksanaannya. Tidak jarang juga adat lebih mendominasi dibanding kepatuhan terhadap hu­ kum nasional dan hukum agama.

369 Teori­teori ini sudah dijelaskan di bab I. lihat: Ismail Suny, Hukum Islam dalam

Hu-kum Nasional, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah, 1987) h. 5­6. ; H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12.

170

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU Penerapan yang turun­temurun inilah yang menyebabkan penerap­ an hukum Islam dan hukum nasional seolah­olah mengikut hukum adat. Seperti dalam masalah kawin Malangkahi.370 Dalam Fikih maupun Un­ dang­Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam tidak ditemukan adanya larang melangkahi kakak perem­ puan371 dan disaat seorang adik hendak menikah lebih dahulu tidak ditemukan ketentuan bahwa seorang adik harus mendapat izin kakaknya jika hendak menikah lebih dahulu daripada kakaknya372 seperti yang ada

370 Kawin malangkahi adalah larangan melangkahi kakak perempuan dan jika dilang­

kahi harus membayar denda yang disebut dengan uang langka-langka.

371 Dalam literatur fikih larangan menikahi seorang perempuan wanita yang haram dinikahi disebut dengan al-Nisaa al-Muharramat (wanita yang haram dinikahi) karena ada beberapa ikatan yang menghalangi untuk dinikahi. Ikatan yang dimaksud adalah ikat­ an nasab, ikatan pernikahan dan ikatan sesusuan. Berikut ini penulis akan menerangkan beberapa kriteria tentang wanita yang haram dinikahi. Sebagaimana firman Allah Swt. da­ lam an-Nisaa [4]: 23 yaitu “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu­ibumu; anak­anakmu yang perempuan saudara­saudaramu yang perempuan, saudara­saudara bapakmu yang perempuan; saudara­saudara ibumu yang perempuan; anak­anak perempuan dari sauda­ ra­saudaramu yang laki­laki; anak­anak perempuan dari saudara­saudaramu yang perem­ puan; ibu­ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu­ibu istrimu (mertua); anak­anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu cam­ puri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri­istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut jelas bagi kita bahwa mana saja wanita yang haram untuk dinika­ hi dan mana yang halal untuk dinikahi, kemudian Zakaria al­Anshari dalam kitabnya

as-Sarqawi Ala al-Tahrir mengklasifikasikan para wanita yang haram dinikahi karena dise­

babkan hubungan nasab yaitu menikahi ibu kandung, anak perempuan kandung, saudari kandung, saudara­saudara ayah yang perempuan, saudara­saudari ibu yang perempuan, anak perempuan dari anak saudara laki­laki, anak perempuan dari saudara perempuan, atau disebabkan hubungan sesusuan yaitu seperti hubungan nasab atau karena musharah (semenda) yaitu menikahi istri ayah, istri dari anak laki­laki (menantu), dan suami ibu yang telah dukhul. dan terkadang penyebab keharaman itu karena mengumpulkan seorang per­ empuan dengan ibunya, dengan saudari kandungnya, dengan bundenya, dengan makcik­ nya, dan seorang perempuan bagi orang yang telah mempunyai empat orang istri. Lihat Za­ karia al­ Anshari, Syarqawi ala al- Tahrir, juz II, (Surabaya: al­Hidayah, t.th.), hlm. 214­ 215.

372 Dalam literatur fikih klasik maupun yang kontemporer dan juga dalam Kompilasi Hu­ kum Islam (KHI), tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang perempuan yang melangkahi kakak perempuannya. Dalam hukum Islam, wanita yang hendak menikah harus mendapat izin dari walinya sebagaimana hadis ‘Aisyah r.a.:

اَهُحاَكِنَف ٌلِطاَب اَهُحاَكِنَف ٌلِطاَب اَهُحاَكِنَف اَهِّيِلَو ِنْذِإا ِرْيَغِب ْتَحَكَن ٍةَأاَرْما اَمُّيَأا َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّل َص ِهَّللا َلوُسَر َّنَأا َةَشِئاَع ْنَع ٌلِطاَب

Dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal” lihat: Muhammad bin Hibban Abu Hatim, Sahih Ibnu Hibban, Juz9, hadis No: 4074 (Beirut: Muassat al­Risalah, 1993), hlm. 384. Lihat juga Muhammad Bin Yazid Abu Abdullah al­Qazwani, Sunan Ibnu Majah, juz 1, hadis No. 1880, (Beirut: Dar al­Fikr, t.th.), hlm. 605.

Dokumen terkait