• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI

D. Landasan Teori

Adapun kajian pustaka merupakan sesuatu yang penting dalam lapa­ ngan penelitian. Hal ini terkait dengan teori­teori yang digunakan dalam sebuah penelitian. Selain itu pula, kajian pustaka menggambarkan ten­ tang penelitian­penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti yang lain dalam bidang yang sama. Oleh karena itu, kajian pustaka merupakan unsur penting dalam suatu penelitian.

Pada hakikatnya dalam penelitian ilmiah, eksistensi kajian teoretis sangat menentukan ketajaman analisis sebuah penelitian. Sebab seluruh masalah dan kasus­kasus yang diteliti harus punya landasan dan pijakan teori, baik itu terjadi kontradiktif antara teori dan praktik, maupun seba­ liknya. Sehingga semakin banyak teori yang digunakan menjadikan hasil penelitian itu mendalam dan teruji.

41 Lihat, Abdullah Ahmad An­Na’im, Islam dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa

De-pan Syariah (Terj.), (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 263­267.

17

BAB I  REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI MANDAILING NATAL

1. Teori Aplikatif (Applicative Theory): Teori Mashlahah

Untuk teori aplikatif (applicative theory), penulis menggunakan te­ ori mashlahah (nazhariyyah al-mashlahah). Menurut hemat penulis, teori penegakan mashlahah dan konstitusi dapat dijadikan pijakan untuk ter­ wujudnya penegakan hukum Islam.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori

mashla-hah yang dikemukakan kalangan fuqaha untuk menjelaskan penegakan

hukum Islam. Penulis tentu tidak dapat mengabaikan penggunaan teori hukum Islam yang juga digunakan oleh kalangan ulama terdahulu dan pemikir hukum Islam modern. Di antara tokoh­tokoh ulama dan pemikir Muslim yang telah memperkenalkan teori mashlahah adalah Imam al­ Syatibi, al­Ghazali, dan Najamuddin al­Thufi.

Teori mashlahah yang pertama dikemukakan oleh Imam al­Syatibi, yang dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam yang banyak menjelaskan teori mashlahah dalam karyanya, al-muwafaqat, melalui konsep tujuan hukum syara’ (maqashid al-syari’ah). Perumusan tujuan syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum

(mash-lahah al-‘ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum syariah yang

paling utama dan sekaligus menjadi shalihah li kulli zaman wa makan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehi­ dupan manusia yang adil, bermartabat, dan bermaslahat. Berdasarkan teori ini, pelaksanaan hukum perkawinan di Mandailing Natal hendak­ nya diaplikasikan sesuai dengan prinsip­prinsip, asas­asas, dan tujuan hukum syara’, meskipun ada realitas adat yang berkembang di dalam­ nya, namun tidak bertentangan dengan asas­asas syar’i, terlebih Mandai­ ling Natal adalah daerah yang mayoritas Muslim taat dan militan pada mazhab. Imam al­Syatibi memberikan rambu­rambu untuk mencapai tujuan­tujuan syariat yang bersifat dharuriyyah, dan tahsiniyyah, dan ber­ isikan lima asas hukum syara’ yakni: (a) memelihara agama/hifzh al-din; (b) memelihara jiwa/hifzh al-nafs; (c) memelihara keturunan/hizh al-nasl; (d) memelihara akal/hifzh al-aql; dan memelihara harta/hifzh al-maal.43

Sepanjang dinamika kompetensi peradilan agama tersebut mam pu men­ jamin bagi tercapainya tujuan­tujuan hukum syara maka kemas lahatan menjadi tujuan akhir. Teori mashlahah yang diperkenalkan al­Syatibi da­ lam konsep maqashi al-syari’ah ini tampaknya masih relevan untuk men­ jawab segala persoalan hukum di masa depan.

Adapun teori mashlahah yang kedua dikemukakan oleh Imam al­ Ghazali. Ia dikenal sebagai ulama pemikir yang memiliki suatu kesadaran

43 Al­Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al­Kutub al­Ilmiyah, t.th.), Juz. II, hlm. 7.

18

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU yang tinggi bahwa teks­teks Al­Qur’an dan Sunnah Nabi sengaja dihadir­ kan untuk tujuan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Kemaslahatan adalah tujuan dari aturan­aturan Islam.” Imam al­Ghazali (w. 1111 M) menyebutnya dengan istilah maqashid al-syari’ah.44 Ia juga merumuskan bahwa kemaslahatan terbagi ke dalam lima prinsip dasar (al-kulliyah al-khams), yaitu hifzh al-din (memelihara keyakinan/agama),

hifzh al-nafs (memelihara jiwa), hifzh al-‘aql (memelihara akal/pikiran), hifzh al-‘rdh (memelihara kehormatan/keturunan atau alat­alat reproduk­

si), dan hifzh al-maal (memeliahra kekayaan atau properti). Menurutn­ ya, istilah mashlahah makna asalnya merupakan menarik manfaat atau menolak mudarat. Akan tetapi, yang dimaksud mashlahah dalam hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut mashlahah.

Oleh karenanya al­Ghazali menyatakan bahwa setiap mashlahah yang bertentangan dengan Al­Qur’an, Sunnah atau ijma’ adalah batal dan ha­ rus dibuang jauh­jauh. Setiap kemaslahatan yang sejalan dengan tindak­ an syara’ harus diterima untuk dijadikan pertimbangan dalam pene tapan hukum Islam. Dengan pernyataan ini, al­Ghazali ingin menegaskan bahwa tidak satu pun hukum Islam yang kontra dengan kemaslahatan, atau de­ ngan kata lain tidak akan ditemukan hukum Islam yang menyengsara­ kan dan membuat mudarat umat manusia.45 Atas pertimbangan maslahat inilah para ulama di Mandailing tidak menghapus serta­merta adat yang telah ada dan tertanam pada jiwa masyarakat Mandailing. Sebelum Is­ lam datang, masyarakat Mandailing telah memiliki tatanan hukum adat yang mapan, ketika Islam datang dan diterima oleh mayoritas masyarakat Mandailing para ulama selaku teladan di tengah­tengah masyarakat tetap mempertahankan adat ada, adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dijalankan sebagaimana biasanya, sementara adat yang tidak se­ jalan dengan hukum Islam erlahan diperbaiki, para ulama memasukkan nilai­nilai Islam ke dalam adat sehingga adat tersebut tetap bisa diper­ tahankan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. hal inilah yang merupakan salah satu sebab perkembangan hukum Islam di Mandailing begitu pesat sehingga masyarakat Mandailing mayoritas memeluk agama Islam dan dikenal sebagai masyarakat yang religius.46

44 Al­Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al Ushul, (Beirut: Dar Ihya al­Turats al­Arabi, t.th.), vol. I, hlm. 281.

45 Ibid.

46 Sikap arif dan bijaksana yang diperlihatkan oleh para malim kampung membuat ma­ syarakat mengikuti dan mencontoh perilaku para malam Kampung, sehingga ketela danan para ulama menjadi faktor penting dalam perkembangan Islam di Mandailing. Hal inilah

19

BAB I  REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI MANDAILING NATAL

Adapun teori mashlahah yang ketiga Najamuddin al­Thufi menjelas­ kan teori mashlahah sebagai salah satu objek penting dalam khazanah pemikiran hukum Islam (ijtihad). Dalam pandangan al­Thufi, asal usul kata mashlahah artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk men­ capai keuntungan. Pengertian dari keuntungan berdasarkan syariat ada­ lah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar’i, baik berupa ibadah maupun adat. Sehingga, mashlahah dalam hal per­ dagangan adalah untuk mendapatkan keuntungan berdasarkan pada tu­ juan dari perbuatan dagang dan melaksanakan kehendak syariat pada waktu yang bersamaan. Mashlahah menurut al­Thufi dipandang lebih dari sekadar metode hukum, melainkan juga alat untuk mencapai tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah). Seperti halnya disebut al­Syatibi (al-muwafaqat) bahwa mashlahah merupakan fundamen teori maqashid

al-syari’ah. Al­Thufi juga menjelaskan kedudukan mashlahah selain se­

bagai tujuan hukum syara’ juga merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi hukum Islam. Landasan teori yang dibangun oleh al­Thufi dida­ sarkan pada sketsa historis perkembangan hukum Islam, mulai dari masa pertumbuhan dan pembangunannya hingga pada masa pertengahan dan modern. Salah satu teori yang memperhatikan mashlahah secara mutlak, baik terhadap masalah hukum Islam yang ada nashnya maupun masalah hukum yang tidak ada nashnya adalah dalam bidang fiqh al-mu’amalah. Pemikiran al­Thufi tentang mashlahah fi fiqh al-mu’amalah termasuk da­ lam kategori mashlahah al-mursalah.47

Teori mashlahah al-Thufi dalam bidang hukum muamalah dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah mashlahah, sebagaimana telah kami tetapkan. Mashlahah dan dalil­dalil syariat lainnya, terkadang senada yang dicontohkan oleh rasul pada masyarakat kafir Quraisy di Mekkah khususnya dan Ma­ syarakat Arab pada umumnya, keteladanan yang ada pada diri Rasul mendapat respons baik dari masyarakat Arab, Rasul dicintai dan diikuti oleh masyarakat Arab, begitu juga dengan para khulafa a-Rasyidin keteladanan mereka juga menjadi contoh bagi masyarakat, se hingga masyarakat mengikuti pelaksanaan para khulafa ar­rasyidin. Lihat: Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam Iman dan sejarah Dalam peradaban Dunia, (Jakarta: Para Madina, 2002), hlm. 46.

Hal serupa diungkapkan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Ibnu Rusyd dan

Aver-roisme. Iqbal menjelaskan salah satu perkembangan Islam di Andalusia adalah keteladanan

para ulama salah satunya adalah Ibnu Rusyd, keteladanan Ibnu Rusyd dalam keseharian dan perhatiannya yang besar terhadap Ilmu pengetahuan khususnya di bidang fikih dan filsafat membuat ia dicintai dan diikuti banyak orang. Keberhasilan Ibnu Rusyd dalam mengembangkan agama dan pemikiran di bumi Andalusia merupakan sejarah besar dan catatan penting dalam perkembangan Islam khususnya di Barat. Baca: Muhammad Iqbal,

Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 47.

47 Mustafa Zaid, al-Mashlahah fi at-Tasyri’I al-Islami wa Najamuddin al-Thufi, (Mesir: Dar al­Fikr al­Arabi), 1954), hlm. 113­127­132.

20

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nash, ijma’, qiyas, dan mashlahah mengenai ketetapan hukum dharuri yang berjumlah lima. Hukum­hukum kulli yang dharu­ ri tersebut, misalnya dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang­orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum khamar dihukum dera, dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, serta contoh­contoh lainnya yang serupa dengan hal dalil­dalil syariat yang menggunakan penyelesaian dengan

mashla-hah. Jika ternyata tidak sejalan dan bertentangan dengan norma­norma

syariat, maka penyelesaian hukumnya dapat dilakukan melalui perpadu­ an antara Al­Qur’an, Sunnah, Ijma’, qiyas, mashlahah, dan sebagainya.48

2. Urf, Hukum Adat/Kebiasaan

Adat kebiasaan atau dikenal dengan istilah ‘urf adalah suatu yang dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus­menerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan.49

Undang­Undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2) berbunyi bahwa ne­ gara mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak­hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Repub­ lik Indonesia. Kemudian diperkuat lagi pada Pasal 2 8 1 ayat (3) mene­ rangkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihor­ mati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selanjutnya dalam penjelasan Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada satu romawi (1. Umum) ten­ tang Dasar Pemikiran huruf i (1) penyelenggaraan otonomi daerah dilak­ sanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemera taan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan beberapa Undang­ undang yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat adat dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, termasuk dalam penyelesaian sengketa yang timbul di dalamnya.50 Pasal 2 ayat (9) Undang­undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas me­

48 Yusdani, Al-Thufi dan Teorinya Tentang Maslahat, Makalah disampaikan pada Acara Bedah Metodologi Kitab Kuning Seri Usul al­Fiqh Humanis yang diadakan oleh Pusat Studi Islam UII, Selasa, 7 September 2004 bertempat di Ruang Sidang I Kampus UII Jl. Cik Ditiro No. 1 Yogyakarta.

49 M. Hasbullah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: USU Press, 2002), hlm. 32.

50 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cet. ke­1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 182.

21

BAB I  REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI MANDAILING NATAL

nyebutkan bahwa negara hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

Soecipto Rahardjo mengemukakan bahwa ada tiga fungsi nilai­nilai hukum adat di tengah­tengah masyarakat, yakni:

a. Pembuatan norma­norma, baik yang memberikan peruntukan, mau­ pun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang. b. Penyelesaian sengketa­sengketa.

c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal ter­ jadinya perubahan­perubahan.51

Hukum adat dijalankan dengan berbagai cara melalui lembaga­lem­ baga adat yang ada di setiap desa, sehingga hukum adat itu menjadi suatu sarana untuk melakukan kontrol sosial yang berfungsi legal.52 Para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, banyak sekali memperhatikan ke­ pada adat istiadat setempat, fatwa­fatwa Imam Abu Hanifah misalnya, berbeda dengan fatwa­fatwa dari murid­muridnya lantaran perbedaan kebiasaan mereka masing­masing; Imam Syari’i telah pindah ke negeri Mesir mengganti fatwanya sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan dipraktikkannya di negara baru, hingga fatwa­fatwa beliau itu dapat dibedakan sewaktu masih berada di Baghdad dengan fatwa beliau sesu­ dah pindah ke Mesir. Mengingat pentingnya keberadaan adat ini, maka lahirlah sebuah kaidah dalam masyarakat: “adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum.” Setiap perbuatan yang diterima oleh mayoritas masya­ rakat, dikategorikan sebagai perbuatan yang baik di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, sebab tidak mungkin orang banyak bersepakat dalam ma salah keburukan atau ketidakbaikan.53

Setiap adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat serta ti­ dak melanggar ketentuan syariat, harus tetap dipelihara dan diamalkan. Sebaliknya, adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan syariat, wa­ laupun banyak dikerjakan orang, tetap tidak boleh diamalkan, lantaran di dalam Hadis di atas diberi predikat hasanah, (baik), yang sudah ba­ rang tentu menurut ukuran syariat dan logika.54

Syariat Islam sendiri memelihara adat kebiasaan orang Arab yang baik, seperti mewajibkan membayar denda sebagai ganti hukuman qishas,

51 Soecipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 126.

52 Pamusuk Harahap, Hukum Adat Adalah Ajaran dalam Kekerabatan Masyarakat Kota

Padang sidimpuan, (Padang Sidimpuan: T.p. 2004), hlm. 3.

53 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet. ke­10 (Bandung: Al MA’arif, 1993), hlm. 518.

22

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU bila si pembunuh tidak dituntut oleh keluarga si terbunuh untuk dijatuhi hukuman qishas atau menetapkan adanya kafaah dalam perkawinan.

‘Urf atau adat kebiasaan ialah apa­apa yang telah dibiasakan oleh

masyarakat dan dijalankan terus­menerus, baik berupa perkataan mau­ pun perbuatan.55

‘Urf itu berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘urf itu dibentuk

dari kebiasaan­kebiasaan orang­orang yang berbeda­beda tingkatan me­ reka. Adapun ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus daripada mujtahidin. Orang­orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma’ itu.

‘Urf itu ada 2 (dua) macam, yakni:56

1. ‘Urf shahih adalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang­orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat ke­ biasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau utang, adat kebiasaan seseorang yang melamar seorang wanita dengan membe­ rikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar dan lain sebagai­ nya.57

2. ‘Urf fasid adalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang­orang berlawanan dengan ketentuan syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misal­ nya kebiasaan­kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan­kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan ma­ cam­macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil perjudian dan se­ bagainya.58 ‘Urf fasidah tidak harus diperhatikan, karena memelihara­ nya berarti menentang dalil syara’ dan membatalkan hukum syara’.

3. Teori tentang Perubahan Hukum

Pendekatan pertama, penulis mengadopsi teori perubahan hukum dari Lawrence Meir Friedmann. Penulis melihat bahwa masyarakat Man­ dailing Natal memberlakukan hukum sebagai kehidupan dengan melihat unsur­unsur perkembangan budaya sebagai cara menerima perubahan hukum, maka hukum akan dilihat dari beberapa unsur sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture).59

55 Ibid., hlm. 109.

56 Ibid., hlm. 110­111.

57 Thaib, Tajdid, hlm. 33.

58 Ibid., hlm. 34.

23

BAB I  REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI MANDAILING NATAL a. Struktur

Makna yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum ada­ lah institusi­institusi penegakan hukum, seperti: kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, serta hierarki peradilan dari terendah (pengadilan nege­ ri, pengadilan agama, dan lain­lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institu­ si­institusi penegakan hukum tersebut.60 Maka dalam pendekatan peneli­ tian ini, kecenderungan masyarakat melihat hukum perkawinan di Man­ dailing Natal melalui kehidupan budaya sering terasa dikotomis dengan hukum Islam yang diajarkan baik dalam fikih dan perkembangannya. Maka legalitas hukum dalam bentuk penegakan hukum perkawinan akan menjadi sebuah sikap etik untuk menerapkan hukum Islam yang juga diadopsi oleh negara sebagai bagian dari hukum di Indonesia.

b. Substansi

Yaitu aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk­produk yang dihasilkannya berupa keputusan­ke­ putusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup

(living law) dan bukan hanya aturan­aturan yang ada dalam kitab un­

dang­undang (law books). Hal yang menjadi masalah dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indone­ sia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat ke dalam bentuk undang­undang dan mengabaikan sama sekali hukum di luar itu serta memandang bahwa prosedur hukum se­ bagai segala­galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.61 Dalam penelitian ini, substansi hukum akan sangat berkaitan dengan fungsi hukum yang muncul bagi masyarakat. Apakah fungsi tersebut berguna bagi individu, atau bagai struktur adat dan budaya untuk menjaga orisinalitas adat. Di samping juga menjadikan agama sebagai bagian dari hukum tersebut. c. Kultur Hukum

Yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagai­ mana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum juga merupakan suatu ekspresi dari tingkat kesadaran hukum sur sistem hukum, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal

culture). Lihat Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2002).

60 Ibid., hlm. 76.

24

HUKUM PERKAWINAN MUSLIM: ANTARA FIKIH MUNAKAHAT DAN TEORI NEO-RECEPTIE IN COMPLEXU masyarakat yang belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.62 Dalam penelitian ini, kultur hukum akan terlihat dari kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Hal ini akan sangat berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap kepatuhan hukum.

Adapun teori selanjutnya adalah teori perubahan hukum yang me­ nempatkan berbagai perkembangan sebagai sarana teori perubahan se­ perti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound.63 Bisa saja kita sebut seperti kehidupan modern dan perubahan kebutuhan sebagai teori perubahan sosial. Pound menjelaskan bahwa hukum dapat diperankan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engeneering). Hukum­ hukum yang dibuat oleh kekuasaan dapat berakibat langsung atau tidak langsung terhadap perubahan masyarakat.64 Selain itu, hukum dapat juga digunakan oleh penguasa sebagai alat pembangunan.65 Sebagai contoh adalah adanya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diaman­ demen menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 merupakan sebagian indikator bahwa kebijakan politik hukum di Indone­ sia telah berpengaruh positif, baik secara langsung maupun tidak. Dalam penelitian ini nantinya akan terlihat apakah modernitas dan perkembang­ an teknologi serta kebutuhan masyarakat sebagai alasan perubahan hu­ kum di samping kesadaran masyarakat terhadap keharusan mematuhi hukum yang legal.

Menurut Kierkegaard,66 Allah sama sekali jauh dan berbeda dengan yang lain khususnya manusia (the wholly other god). Ia tersembunyi dari kemampuan rasio manusia untuk mengerti. Tokoh filsuf Muslim seper­ ti Suhrawardi dan Mulla Sadra, keduanya dikenal sebagai eksistensialis. Kendati di antara keduanya ada perbedaan pendapat. Misalnya, menurut Suhrawardi esensilah yang lebih prinsipiel dan eksistensi (wujud), sebuah ajaran yang sering disebut ishalat al-mahiyyah atau prinsipialitas esensi, sebagai lawan dari ishalat al-wujud, yang menyatakan bahwa wujudlah yang prinsipiel, yang lebih fundamental, sedangkan esensi hanyalah per­ sepsi mental saja.

Berkenaan dengan hal tersebut, penulis lebih mendukung teori per­

62 Ibid.

63 Roscoe Pound, The Law Theory of Social engeneering, dalam Tom Cambell, Tujuh Teori

Sosial: Sketsa, Penilaian dan Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 13.

64 Ibid., hlm. 107; lihat juga Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Ang­

kasa, 1980), hlm. 112 dst.

65 A.A.G Peters dan Koesriani Siswosubroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, hlm. 207.

66 Walaupun terdapat tokoh dinamika kompetensialis lain yang cukup terkenal (seperti Martin Heidegger, Friedrich Nietzche, Fedor Dostoevsky, Karl Jaspers, Albert Camus dan Jean Paul Sartre), Kierkegraad tetap masih dianggap sebagai perintis di abad ke­19.

25

BAB I  REALITAS MASALAH PERKAWINAN ISLAM DI MANDAILING NATAL

ubahan hukum yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al­Jauziyyah. Me­ nurut teori ini, pelaksanaan hukum perkawinan masyarakat Mandailing Natal merupakan akumulasi dari perubahan sosial dan hukum dalam masyarakat yang menghendaki hukum Islam berlaku di samping ada

Dokumen terkait