• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penghambat Pendaftaran Indikasi Geografis Salak Gula Pasir Karangasem

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.2. Tata Cara perolehan Hak Indikasi Geografis

V.2.3. Faktor-Faktor Penghambat Pendaftaran Indikasi Geografis Salak Gula Pasir Karangasem

Efektivitas hukum merupakan suatu kemampuan hukum untuk menciptakan keadaan yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum. Soerjono Soekanto mengemukakan ada lima faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum, yaitu:

1. Faktor hukum. Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Berdasarkan praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika

seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang

saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.

2. Faktor penegak hukum. Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum Apabila peraturan telah mengatur dengan baik, tetapi kualitas penegak hukum kurang baik, maka tentu saja menimbulkan permasalahan. Namun, dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perilaku yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung. Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, Menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan saran atau fasilitas yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

4. Faktor Masyarakat. Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya

mempunyai kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan dalam masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan. Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi- konsepsi yang abstrak mengenai ketentuan yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.

Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Perundang- undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif.

Berdasarkan hasil penelitian pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali kelompok masyarakat pengembang salak gula pasir Karangasem, dapat diketahui bahwa pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis terhadap salak gula pasir Karangasem belum efektif. Hasil penelitian di lapangan yang penulis lakukan melalui wawancara menunjukkan bahwa belum efektifnya pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis terjadi karena dipengaruhi oleh faktor masyarakat serta budaya hukum dari masyarakat yang bersangkutan. Faktor masyarakat berkaitan dengan kesadaran hukum, serta minimnya pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat.

Faktor budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam masyarakat. Masyarakat di Karangasem cenderung menerapkan budaya hukum yang sifatnya masih berkaitan dengan adat, dan kurang menerima atau kurang terbuka terhadap hukum nasional. Sehingga budaya hukum masyarakat tersebut menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis terhadap salak gula pasir Karangasem.

Secara lebih konkrit, sebagaimana yang disampaikan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali maupun kelompok masyarakat di daerah Karangasem, belum efektifnya pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis terhadap salak gula pasir Karangasem dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal mengenai indikasi

36

geografis. Minimnya pengetahuan serta pemahaman masyarakat mengenai hak kekayaan intelektual secara tidak langsung mengakibatkan masyarakat tidak memiliki ketertarikan untuk berkreasi mencoba inovasi-inovasi yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis guna menunjang kehidupan. Hak ekonomi baru tercapai apabila masing-masing daerah memiliki pemahaman serta kehendak untuk lebih giat melindungi potensi indikasi geografis daerahnya melalui pendaftaran indikasi geografis. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat indikasi geografis baru memperoleh perlindungan apabila sudah didaftarkan indikasi geografis.

Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai indikasi geografis juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah selaku pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholders dalam hal ini yaitu

Pemerintah daerah serta instansi terkait kurang aktif dalam melakukan sosialisasi mengenai indikasi geografis. Data di lapangan juga menunjukkan bahwa masyarakat serta pemerintah lebih cenderung mengenal dan memahami hak kekayaan intelektual dalam bidang hak cipta, paten, serta merek dibandingkan dengan indikasi geografis. Padahal indikasi geografis juga merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang sangat berpotensi untuk mensejahterakan perekonomian masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Selain minimnya pengetahuan masyarakat, setelah penulis menjelaskan sedikit mengenai indikasi geografis tersebut, perangkat desa juga mengatakan bahwa salak gula pasir Karangasem yang memiliki potensi untuk itu namun belum didaftarkan karena pihak desa maupun masyarakat beranggapan proses pendaftaran indikasi geografis sangat rumit. Masyarakat membutuhkan proses pendaftaran yang lebih dipermudah dan tuntutan dari pemerintah. Kerumitan tersebut ditemui masyarakat dalam proses pemetaan lokasi (pemetaan wilayah), karena dalam pemenuhan buku persyaratan indikasi geografis, pemetaan lokasi atau peta wilayah menjadi salah satu komponen utama. Kerumitan yang ditemui masyarakat tersebut dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, yang menentukan:

“(1)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mencantumkan persyaratan administrasi sebagai berikut:

a. tanggal, bulan, dan tahun;

b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; dan

c. nama lengkap dan alamat Kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri:

a. surat kuasa khusus, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa;

dan

b. bukti pembayaran biaya.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan yang terdiri atas:

a. nama Indikasi-geografis yang dimohonkan pendaftarannya;

b. nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis;

c. uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan.

d. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan;

e. uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis;

f. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi-geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi-geografis tersebut;

g. uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait;

h. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan; dan

i. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi-geografis.

38

(4) Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e harus mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang.”

Ketentuan tersebutlah yang dianggap rumit oleh masyarakat yang juga dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan masyarakat mengenai prosedur dalam menangani suatu hak kekayaan intelektual. Meskipun hal tersebut dianggap rumit oleh masyarakat, namun sebenarnya peta wilayah tersebut sangat penting, karena melalui peta wilayah tersebut dapat mengetahui batas-batas wilayah yang menghasilkan indikasi geografis. Peta wilayah tersebut juga dapat memberikan gambaran mengenai suatu wilayah sebagai penghasil indikasi geografis sehingga tidak menyesatkan produsen maupun konsumen.

Lebih lanjut lagi, masyarkat juga menganggap prosedur tersebut semakin rumit ketika peta wilayah tersebut harus mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut terlalu mempersulit masyarakat yang ingin mendaftarkan indikasi geografis yang ada di wilayahnya. Terlebih lagi masyarakat yang bersangkutan jauh dari instansi pemerintahan yang dianggap berkaitan dengan pendaftaran indikasi geografis tersebut yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Uraian tersebut merupakan faktor penyebab belum didaftrakannya salak gula pasir Karangasem dalam indikasi geografis berdasarkan perspektif masyarakat yang bersangkutan. Apabila dilihat dari perspektif instansi terkait yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali, faktor penghambat pendaftaran indikasi geografis yakni kurangnya sinergi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Selama ini Pemerintah Daerah sudah melakukan sosialisasi secara rutin setiap tahunnya. Namun karena faktor lokasi yang tidak bisa terjangkau, sehingga sosialisasi tersebut tidak secara merata dapat dilakukan hingga ke pelosok-pelosok desa.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali melakukan sosialisasi hanya disatu titik daerah dan menyarankan kepada pemerintah terkait di daerah tersebut untuk mensosialisakan lebih lanjut ke daerah-daerah yang lebih terpelosok.

Kurangnya sinergi antara masyarakat dan Pemerintah Daerah maupun

Pemerintah Pusat tersebut dapat dilihat dari tidak semua pemerintah daerah yang

mau menjalakan tugasnya dengan baik dalam hal memberikan sosialisasi ke daerah-daerah sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat. Selain itu, meskipun pemerintah sudah datang ke daerah-daerah dan memberikan penyuluhan atau sosialisasi mengenai pentingnya indikasi geografis, banyak masyarakat yang tidak mau datang dan tidak mau mendengarkan dengan baik sosialisasi yang diberikan. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan tidak adanya sinergi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dalam memberikan perlindungan terhadap indikasi geografis karena informasi yang diberikan masih belum merata diketahui oleh masyarakat yang langsung berkaitan dengan indikasi geografis.

Faktor lain yang menyebabkan belum didaftarkannya salak gula pasir Karangasem sebagai indikasi geografis yaitu keengganan masyarakat untuk melindungi indikasi geografis. Meskipun sudah disosialisasikan mengenai indikasi geografis tersebut kepada masyarakat, namun masyarakat tidak mau merespon dengan baik mengenai hal itu. Hanya sedikit masyarakat yang mau memahami arti penting dari indikasi geografis, sebagian besar masih acuh tak acuh, sehingga tidak ada upaya masyarakat untuk melindungi indikasi geografisnya. Padahal dalam perlindungan indikasi geografis peran masyarakatlah yang sangat diperlukan untuk memperoleh perlindungan indikasi geografis. Masyarakat beranggapan prosedur perlindungan tersebut sangat rumit dan memakan waktu lama. Terlebih lagi, karena alasan tempat pendaftaran yang jauh dari daerah mereka menyebabkan masyarakat semakin enggan untuk mendaftarkan produknya dalam indikasi geografis.

Selain faktor-faktor tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya indikasi geografis juga menyebabkan belum didaftarkannya salak gula pasir Karangasem. Meskipun telah dilakukan sosialisasi, banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya indikasi geografis tersebut. Sebagian besar masyarakat menginginkan suatu metode yang lebih simple untuk memperoleh keuntungan ekonomi tanpa menyadari bahwa dengan indikasi geografis tersebut akan membawa keuntungan ekonomi yang lebih tinggi bagi produk mereka.

40

Kurangnya kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor penghambat pendaftaran indikasi geografis. Seperti yang diketahui, dewasa ini kesadaran hukum masyarakat semakin menurun yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan pemerintah dalam menegakkan hukum. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat tidak hanya berpengaruh dalam penegakan hukum pidana tetapi juga berpengaruh terhadap penegakan hukum privat, seperti dalam memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual salah satunya.

Kesadaran hukum yang rendah cenderung berakibat pada kurang efektifnya pelaksanaan hukum di masyarakat. Kesadaran hukum sebagaimana dikemukakan oleh I Gusti Ngurah Dharma Laksana, dkk merupakan kesadaran yang ada pada setiap manusia mengenai hukum, suatu kategori tertentu dari kejiwaan manusia, dengan mana manusia membedakan antara hukum dan bukan

hukum.26 Hukum yang dimaksud dalam hal ini ialah peraturan perundang- undangan yang mengatur hidup masyarakat termasuk memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh masyarakat. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena masyarakat tidak melihat atau tidak menyadari bahwa hukum memberikan perlindungan kepada kepentingan masing-masing.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Kementerian Hukum dan HAM Bali bahwa pemerintah yang bersangkutan telah melakukan sosialisasi mengenai pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual serta telah mensosialisasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut, namun banyak masyarakat yang tidak mau memahami mengenai hukum tersebut. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat itulah yang mengakibatkan tidak efektifnya perlindungan produk yang berpotensi dilindungi indikasi geografis. Masyarakat tidak menyadari bahwa perlindungan hukum suatu produk melalui perlindungan hak kekayaan intelektual dapat memberikan manfaat besar bagi mereka.

Kurangnya kesadaran hukum masyarakat sangat menghambat dalam proses perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya dalam bidang indikasi geografis. Hal ini mengingat bahwa perlindungan indikasi geografis terhadap suatu produk sangat

26 I Gusti Ngurah Dharma Laksana, dkk., 2017, Buku Ajar Sosiologi Hukum, PustakaEkspresi, Tabanan, h.58.

memerlukan partisipasi dan kesadaran masyarakat terhadap kekayaan alam disekitarnya.

Perlindungan indikasi geografis harus melalui pendaftaran yang dilakukan oleh masyarakat bersama dengan pemerintah,sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 20 ara Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menentukan bahwa:

(1) “Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis didaftar oleh Menteri.

(2) Untuk memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan:

a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:

1. sumber daya alam;

2. barang kerajinan tangan; atau 3. hasil industri.

b. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.

(4) Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan, dan penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.”

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa perlindungan indikasi geografis sangat memerlukan kesadaran hukum masyarakat, karena yang harus berperan aktif dalam melakukan pendaftaran indikasi geografis ialah lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan yang bersangkutan. Lembaga yang mewakili masyarakat tersebut tidak lain ialah masyarakat dari wilayah yang bersangkutan dengan syarat mempunyai kepentingan langsung dalam mengurus serta mengusahakan produk yang bersangkutan.

Kurangnya kesadaran hukum masyarakat tentu berpengaruh terhadap perlindungan indikasi geografis produk salak gula pasir Karangasem, karena dalam hal ini kesadaran masyarakat yang sangat diperlukan untuk aktif mengusahakan pendaftaran indikasi geografis tersebut. Lembaga masyarakat yang berasal dari komponen

42

masyarakat tersebut harus aktif sebagai Pemohon pendaftaran indikasi geografis.

Permohonan tersebut diajukan kepada Menteri,kemudian setelah didaftar oleh Menteri barulah indikasi geografis yang bersangkutan memperoleh perlindungan. Oleh karena itulah kesadaran hukum masyarakat dalam hal ini sangat menghambat perlindungan indikasi geografis salak gula pasir Karangasem. Karena tanpa kesadaran masyarakat kekayaan alam yang dimiliki tetap tidak akan memperoleh perlindungan hukum melalui indikasi geografis.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dapat ditari kesimpulan antara lain;

1. Salak gula pasir Sibetan mempunyai syarat untuk mendapatkan hak Indikasi Geografis atas dasar, letak berdasarkan ketinggian, struktur tanah, curah hujan, budaya masyarakatnya walaupun bibitnya sama tapi ditananam di daerah lain menghasilkan buah yang berbeda dengan salak gula pasir Sibetan Karangasem yang isinya tebal, manis, berwana putih kapur tidak cepat busuk.

2. Faktor penghambat pelaksanaan pendaftaran Indikasi Geografis Salak Gula Pasir Sibetan Karangasem sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum masyarakat petani salak masih rendah yang disebabkan kurang dipahaminya pengetahuan tentang proses pendaftaran Indikasi Geografis sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Saran.

1. Untuk melindungi hak masyarakat petani salak Sibetan Karangasem atas hak eksklusiv penggunaan nama Sibetan Karangasem atas produk Salak gula pasir sebagai tanda produk hendaknya masyarakat atau pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem segera mengupayakan pendaftaran Indikasi Geografisnya Salak Gula Pasir Sibetan Kabupaten Karangasem.

2. Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya serta manfaat perlindungan Indikasi Geografis terhadap salak Gula Pasir Sibetan Karangasem Pemerintah melalui Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia hendaknya lebih mengintensifkan sosialisasi tentang pengaturan Indikasi Geografi di daerah Sibetan Kabupaten Karangasem.

Dokumen terkait