• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

5. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan

Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan fase-fase atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Sebab pada umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir dialami oleh semua orang, dimana selama masa perkembangan pada umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu pada kira-kira tahun ketiga atau keempat, dan permulaan masa pubertas.

Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:24

1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang biasa disebut “masa kanak-kanak”);

2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua yang biasa disebut “masa keserasian bersekolah”;

3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut “masa kematangan”.

24

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 22-23.

Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Anak-anak yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau diidentifikasi oleh orangtua, guru, petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan pekerja-pekerja lain yang dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi untuk memprediksikan perilaku anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana yaitu:25

1. Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan mempunyai resiko lebih tinggi;

2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang dihargai;

3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya, pembolos;

4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara, kurang disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;

5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang sudah mulai memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai alkohol;

6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;

25

Clemens Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn and Bacon Fourth Edition, 1985, hlm.71.

7. Social adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan kekacauan di sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain.

Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam memyatakan kesetiaanya.

Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu:26

1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak;

2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan anak yang tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak tersebut besar kemungkinan melakukan delinquency;

3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas untuk bermain dan belajar yang sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan anak. Disamping itu, orangtua mereka kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dikarenakan keterbatasan

26

Ibid, hlm. 70-71 yang dikutip dari hasil Interview with Kathleen Salle from first Judicial Districk Juvenile Court Services, Waterloop, Lowa.

ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang menyenangkan. Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-anak mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan pakaian, mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan sebagainya;

4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam

delinquency adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. Adanya pengaruh keluarga yang berantakan (broken home) dengan perilaku nakal anak, pernah dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika Serikat. Banyak hasil penelitian memberikan dukungan bahwa delinquency

disebabkan oleh suatu keadaan broken home. Diantaranya George B. Mangold, menyatakan bahwa broken home diperkirakan sebagai salah satu penyebab

delinquency yang paling sering .

Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan

broken home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward didapat kesimpulan bahwa:27

1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih tinggi daripada tidak broken home;

27

L. Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency : A Metamorphosis of the Impact of Broken Homes Social Problems, London, 1991, hlm. 87-88.

2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada bentuk-bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi pada kriminal serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang; 3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan

delinquency atau tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua lebih kuat daripada karena orangtua meninggal;

4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency;

5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau perempuan.

Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut dapat disimak pada tabel berikut:28

POLA PERLAKUAN ORANG TUA PERILAKU ORANGTUA PROFIL TINGKAH LAKU ANAK 1. Overprotection (terlalu melindungi)

1. Kontak yang berlebihan dengan anak;

2. Perawatan/ pemberian bantuan kepada anak yang terus-menerus, meskipun anak yang sudah mapu merawat dirinya sendiri; 3. Mengawasi kegiatan anak

secara berlebihan;

4. Memecahkan masalah anak.

1. Perasaan tidak aman; 2. Agresif dan dengki; 3. Mudah merasa gugup;

4. Melarikan diri dari

kenyataan;

5. Sangat tergantung; 6. Bersikap menyerah;

7. Ingin menjadi pusat

perhatian;

8. Lemah dalam “ego strenght”. Aspiratif dan toleransi teradap frustasi;

9. Kurang mampu

mengendalikan emosi;

10. Menolak tanggung 28

jawab;

11. Kurang percaya diri; 12. Mudah terpengaruh; 13. Peka terhadap kritik; 14. Bersikap “yes men”; 15. Egois/selfish; 16. Suka bertengkar;

17. Troublemaker (pembuat onar);

18. Sulit dalam bergaul; 19. Mengalami “homesick”

2. Permissiveness

(Pembolehan)

1. Memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha;

2. Menerima gagasan/pendapat;

3. Membuat anak merasa

diterima dan merasa kuat;

4. Toleran dan memahami

kelemahan anak;

5. Cenderung lebih suka

memberi yang diminta anak daripada menerima.

1. Pandai mencari jalan keluar;

2. Dapat bekerjasama; 3. Percaya diri;

4. Penuntut dan tidak sabaran.

3. Rejection (Penolakan)

1. Bersikap masa bodoh; 2. Bersikap kaku;

3. Kurang memperdulikan kesejahteraan anak; 4. Menampilkan sikap

permusuhan atau dominasi terhadap anak.

1. Agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal);

2. Submissive (kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut); 3. Sulit bergaul; 4. Pendiam; 5. Sadis. 4. Acceptance (Penerimaan)

1. Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak;

2. Menempatkan anak dalam posisi penting di dalam rumah;

3. Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak; 4. Bersikap respek terhadap

anak;

5. Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau

1. Mau bekerjasama (kooperatif);

2. Bersahabat (friendly); 3. Loyal;

4. Emosinya stabil;

5. Ceria dan bersikap optimis;

6. Mau menerima tanggung jawab;

7. Jujur;

8. Dapat dipercaya;

pendapatnya;

6. Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya.

yang jelas untuk mencapai masa depan;

10. Bersikap realistik (memahami kekuatan dan

kelemahan dirinya secara objektif).

5. Domination

(Dominasi)

Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan

sangat berhati-hati;

2. Pemalu, penurut, inferior dan mudah bingung; 3. Tidak dapat bekerjasama.

6. Submission

(Penyerahan)

1.Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak;

2.Membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.

1. Tidak patuh;

2. Tidak bertanggung jawab; 3. Agresif dan teledor/lalai; 4. Bersikap otoriter;

5. Terlalu percaya diri.

7. Punitiveness/ Overdicipline (Terlalu disiplin) 1.Mudah memberikan hukuman; 2.Menanamkan kedisiplinan secara keras. 1. Impulsif;

2. Tidak dapat mengambil keputusan;

3. Nakal;

4. Sikap bermusuhan dan agresif.

Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan perkembangan psikologis anak tersebut. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.

Dalam kondisi seperti inilah banyak remaja yang meresponinya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti: kriminalitas, meminum minuman keras, penyalahguanaan obat terlarang, tawuran dan pergaulan bebas.

Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada anak/remaja:29

1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama);

2. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga); 3. Sikap perlakuan orangtua yang buruk terhadap anak;

4. Perceraian orangtua;

5. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir); 6. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol;

7. Diperjualbelikannya minuman keras atau obat-obatan terlarang secara bebas; 8. Hidup menganggur;

9. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok; 10. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang; 11. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno;

12. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai-nilai moral).

Sementara itu, Muhidin mengkategorikan sebab-sebab kenakalan anak-anak menjadi tiga kelompok, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor masyarakat:30

1. Faktor individu. Di antara faktor individu ini adalah kondisi biologis seperti cacat fisik, kelemahan biologis yang mengakibatkan pertumbuhan dan tingkah laku abnormal. Anak-anak yang mengalami kemunduran mental

29

Ibid, hlm. 212.

30

Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1997, hlm. 57-58.

(mentally retarded) dan pertumbuhan intelegensi di bawah normal,

psychopathic, neorosa memungkinkan anak-anak melakukan tindakan sosial. Bentuk-bentuk lain yang mengakibatkan tingkah laku kenakalan anak termasuk ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh rasa rendah diri, temperamen yang tidak terkontrol dan konflik-konflik dalam diri. Sebab-sebab lain dari kenakalan yang termasuk faktor individu adalah kebiasaan pada waktu kecil yang selalu dalam keadaan ketakutan dan penyalahgunaan alkohol dan narkotika;

2. Faktor keluarga. Pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan keluarga seperti perceraian, rumah tangga yang mengalami perpecahan sehingga anak-anak menjadi terlantar. Anak-anak yang tanpa mendapatkan kasih sayang dan perawatan yang wajar, keluarga yang selalu bertengkar, tanpa disiplin serta kondisi perumahan yang tidak memadai, kurangnya waktu luang dan rekreasi serta kurangnya pendidikan moral dan agama dalam keluarga juga menyebabkan kenakalan;

3. Faktor masyarakat. Pengaruh dari gangster dan street corner association

(kelompok anak jalanan) yang disebabkan oleh kurangnya rekreasi yang sehat dan community centre atau youth centers yang mendorong anak untuk berkumpul dan berkenalan dengan peminum, penjudi, dan prostitut. Juga pengaruh negatif dari film, majalah, buku, dan surat kabar.

Dokumen terkait