BAB IV PEMBAHASAN
4.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Campur kode dalam interaksi belajar mengajar di SD Negeri 175780 Aeknauli Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan jika dianalisa melalui teorinya Thelander dalam Chaer dan Leoni Agustina (2004:115) yang menjelaskan bahwa perbedaan alih kode dan campur kode, bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi masing-masing, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
Sama halnya dengan alih kode, campur kodepun disebabkan oleh masyarakat mitra tutur yang multilingual yang artinya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Namun tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara atas pengetahuan asing yang diketahuinya.
Ciri lain dari campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, hal ini disebabkan unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipnya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan kovergensi kebahasaan yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat menguraikan data hasil peneiltian yang dapat diuraikan sebagai berikut :
4.2.1 Faktor Peran
Status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur dapat meyebabkan terjadinya peristiwa campur kode. Guru dan murid berada dalam status peran yang sama yaitu peran pendidikan, jadi peristiwa campur kode yang terjadi di dalam pembicaraan mereka ataupun dengan orang diluar mereka dapat disebabkan oleh faktor pendidikannya.
Di bawah ini dapat dilihat contoh percakapan campur kode karena faktor peran penutur yang mencampurkan dua bahasa yakni bahasa bahasa Batak dan bahasa Indonesia.
Latar belakang : Di kantor kepala sekolah
Konteks : Percakapan antara kepala sekolah dengan salah satu orang tua murid yang membicarakan tentang kehadiran murid yang bersangkutan.
Peristiwa tutur :
Kepala sekolah : “Nga ro hamu amang!” (Bapak sudah datang!).
Orang tua siswa : “Nunga bah, aha ma ibu si hataanta haroa?” (Sudah, apa ibu yang kita bicarakan rupanya)
Kepala sekolah : “Taringot kehadiran ni anak muna do amang marsingkola,ai jotjot do ibana absen.”
(Tentang kehadiran anak anda ke sekolah, sering kali dia absen).
Orang tua siswa : “Ima dah ibu hira na so adong do memang hubereng rohana marsikkola nunga sai ni jujuan nian.”
(Itulah bu sepertinya tidak ada niatnya untuk sekolah padahal sudah kami suruh).
Kepala sekolah : “Molo masala si songon on dang holan tanggung jawab ni hami guru on, ingkon dohot do peran muna selaku orang tua.”
(Kalau masalah begini bukan hanya tanggung kami guru, harus ikut peran kalian selaku orang tua). Orang tua siswa : “Toho do i ibu, hami pe nunga tung loja mamodai, alai
nang pe songoni tong do ulahan muse mandok anggiat muba rohana i.”
(Itu benar ibu, kami pun sudah capek menasihatinya, namun biar pun begitu tetap kami ulangi menasehati mudah-mudahan berubah hatinya.”
Kepala sekolah : “Olo, holan ido amang si hataan asa hubaen hami surat panggilan orang tua.”
(Ya, hanya itu pak yang ingin dibicarakan sebab kami Membuat surat panggilan orang tua).
Penjelasan :
Tuturan diatas merupakan pembicaraan antara kepala sekolah dengan salah satu orang tua murid. Dalam pembicaraan itu kepala sekolah menggunakan bahasa Batak dengan lawan bicaranya yaitu orang tua siswa, yang tanpa disadari pada waktu kepala sekolah berbicara dengan lawan tuturnya sering menyelipkan bahasa Indonesia di dalamnya. Dari pembicaraan tersebut kalau dilihat dari pribadi pembicara yaitu seorang guru dengan latar belakang hidup di dunia pendidikan tentu saja dia menunjukkan identitasnya sebagai guru maka dia menyelip kata-kata dari bahasa Indonesia yang berhubungan dengan pendidikan.
Di dalam pembicaraan diatas fenomena campur kode jelas terlihat dalam interaksi tersebut. Dalam peristiwa ini juga jelas terlihat bahwa faktor penyebab peristiwa campur kode ini adalah karena faktor peran, peran sangat berpengaruh pada seseorang untuk melakukan campur kode.
Contoh kedua
Latar belakang : Ruangan Kelas IV
Konteks : Percakapan antar murid di dalam ruangan yang membahas tentang penaikan kelas.
Peristiwa tutur :
Murid I : “Niko, annon molo penaikan kelas hita sabangku dah!” (Niko, nanti kalau penaikan kelas kita satu bangku yah!). Murid II : “Ah, si Banglas do donganhu.”
(Ah, si saya si Banglas kawanku). Murid I : “Didok ibu olo do tinggal kelas i.”
(Kata ibu mungkin dia akan tinggal kelas). Murid II : “Ala ni aha?”
(Kenapa?).
Murid I : “Ala sering ibana absen.” (Karena dia sering absen).
Murid II : “Hata-hatana doi, asa unang sai absen do ra si Banglas.” (Hanya perkataan saja itu, agar si Banglas tidak absen lagi).
Murid I : “Dang huboto bah, olo do ra.” (Tidak tahu lah, mungkin juga).
Murid II : “Tabereng ma ari aha molo pas manjalo rapor.” (Kita lihat saja lah nanti waktu pembagian rapor).
Penjelasan :
Tuturan di atas merupakan percakapan antara dua orang murid dengan menggunakan bahasa Batak Toba. Namun tanpa mereka sadari mereka menyelipkan beberapa kata dari bahasa Indonesia. Dari percakapan di atas juga dapat diketahui bahwa latar belakang pribadi kedua pembicara adalah murid yang tinggal di lingkungan pendidikan, sehingga kata-kata atau istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia sering mereka selipkan di dalam percakapan mereka meskipun mereka berbahasa Batak Toba.
Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa peran sangat mempengaruhi seseorang untuk melakukan campur kode.
4.2.2 Penutur dan Pribadi Penutur
Dalam suatu peristiwa tutur, penutur terkadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasanya karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara terkadang melakukan campur kode antar bahasa yang satu ke bahasa lain karena kebiasaan atau kesantaian.
Berikut adalah contoh yang terjadi di dalam interaksi belajar mengajar dengan menggunakan bahasa Batak tetapi sesekali menyelip kata dari bahasa Indonesia.
Latar belakang : Kantor guru
Konteks : Percakapan antara guru dengan seorang murid pada waktu sedang latihan berpidato.
Peristiwa tutur :
Guru : “Nunga diapil ho be teks ni pidato i ?” (Sudah kamu hafal teks pidato itu?). Murid : “Nunga Bu.”
(Sudah Bu).
Guru : “Holan nga iboho kata-kata nai nga mantap i, tinggal mansesuaihon tu gerak-gerikna nama.”
(Jika kamu telah mengerti kata-katanya itu sudah bagus, tinggal menyesuaikan dengan geral-geriknya.)
Murid : “Andigan do ibu perlombaan ni haroa?” (Kapan ibu perlombaannya?)
Guru : “Minggu na ro ari senin, makana ingkon hatop do pidato on”
(Minggu depan hari senin, makanya harus cepat pidato ini).
Murid : “Olo Bu.” (Iya Bu).
Guru : “Coba majo praktekhon sahali.” (Coba lah dulu praktekkan sekali) Penjelasan :
Peristiwa di atas menunjukkan adanya pembicaraan antara seorang guru dengan murid. Dalam tuturan tersebut mereka menggunakan bahasa Batak dalam percakapannya dan sesekali menyelipkan kata-kata dari bahasa Indonesia. Dalam
hal ini si guru dan juga murid bercampur kode di dalam pembicaraannya disebabkan karena kebiasaan atau kesantaian di dalam berbicara. Terasa janggal dalam hatinya jika harus menggunakan kata dari bahasa Batak untuk kata seperti teks, pidato, perlombaan, coba, mantap dan sebagainya.
Contoh kedua
Latar belakang : Ruangan Kelas
Konteks : Percakapan guru dan murid pada waktu belajar matematika.
Peristiwa tutur :
Guru : “Nunga digambar hamu be?” (Sudah kalian gambar?) Murid : “Nunga Bu.”
(Sudah bu).
Guru : “Saonari gunting gambar i, nunga?” (Sekarang gunting gambar itu, sudah?).
Murid : “Nunga Bu”
(Sudah Bu)
Guru : “Lipat ma gambari sesuai ukuranna, ingkon pas sisi na unang adong na lobi manang hurang.”
(Lipat gambar tersebut sesuai ukurannya, harus pas sisinya jangan ada yang lebih atau kurang).
(Berapa kali dilipat Bu?).
Guru : “Sahali jo parjolo, setelah dilipat baen garis di tonga- tonga ni pangalipatan i.”
(Sekali dulu pertama, setelah itu buat garis di tengah- tengah lipatan itu).
Guru : “Nunga dibaen?” (Sudah dibuat?). Murid : “Nunga Bu.”
(Nunga Bu).
Guru : “Coba ma ganti-ganti posisi lipatan i, selanjutna baen garis di tonga-tonga.”
(Coba lah ganti lipatannya, selanjutnya buat garis di tengah).
Guru : “Piga hali ma na boi ibana dilipat molo sarupa lipatanna?”
(Berapa kali dia bisa dilipar dengan sama lipatannya?). Murid : “Tolu hali Bu.”
(Tiga kali Bu).
Guru : “Jadi molo tolu hali ibana boi dilipat berarti jumlah ni simetri lipatna tolu.”
(Jadi jika tiga kali dia bisa dilipat berarti jumlah simetri lipatnya adalah tiga).
(Jadi apa tadi nama gambar ini?). Murid : “Persegi Bu.”
(Pesegi Bu).
Guru : “Attong piga ma hape simetri lipat ni persegi?” (Jadi berapa simetri lipat dari persegi?).
Murid : “Tolu Bu.” (Tiga Bu). Penjelasan :
Percakapan di atas merupakan percakapan dengan menggunakan bahasa Batak Toba tetapi terdapat pencampuran beberapa kata atau frasa dari bahasa Indonesia antara lain kata gambar, lipat, posisi, coba, jumlah, simetri lipat, selanjutnya dan persegi. Dalam percakapan di atas dapat dianalisa bahwa penggunaan kata atau frasa dari bahasa Indonesia disebabkan karena kebiasaan si penutur menyelipkan kata-kata dari bahasa Indonesia dan penutur sepertinya akan merasa janggal jika dia menjelaskannya dengan bahasa Batak Toba.
Penutur dan pribadi penutur dapat menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode. Di dalam percakapan di atas kebiasaan guru yang sering menyelipkan kata dari bahasa lain ke bahasanya lah yang menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode di dalam percakapan di atas.
4.2.3 Faktor Bahasa
Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkan bahasanya dengan bahasa lain, sehingga terjadilah campur kode. Hal itu ditempuh dengan cara untuk menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun bahasa asing, sehingga mudah untuk dipahami.
Berikut adalah contoh percakapan yang terjadi di dalam interaksi belajar mengajar yang terdapat peristiwa campur kode yang disebabkan oleh faktor bahasa yaitu istilah-istilah (kata-kata) sulit dijelaskan di dalam bahasa Batak maka diselipkan kata dari bahasa Indonesia maupun dari bahasa Asing.
Latar belakang : Ruangan kelas
Konteks : Percakapan yang terjadi di ruangan kelas sesama murid Peristiwa tutur :
Murid I : “Las, bereng ma laptop ni ibu acer merekna.” (Las, lihat lah laptop ibu itu mereknya acer). Murid II : “Memang songoni goar ni laptop.”
(Memang seperti itu merek laptop).
Murid I : “Dang, na di abangku dang songoni toshiba do goarna.” (Tidak, punya abangku Toshiba mereknya).
Murid II : “Dang hea hubegei songoni.”
(Tidak pernah saya dengar yang begitu).
Murid I : “Na tingki mulak abangku diajari do au marinternet.” (Pada waktu abangku pulang saya diajari internet).
Murid II : “Pintor marinternet hape maniop mouse pe so diboto ho.” (Berinternet megang mouse ajapun kamu tidak tahu). Murid I : “Bah, ho do dang diboto ho, so adong komputermu.”
(Bah, kamu yang tidak tahu, tidak ada komputermu). Penjelasan :
Percakapan diatas adalah percakapan antara dua orang murid yang membicarakan tentang teknologi informasi yaitu laptop/komputer. Dari percakapan di atas terlihat ada fenomena percampuran yaitu bahasa Batak dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing, dari kata laptop, acer, Toshiba, mouse dan komputer adalah kata-kata yang diselipkan dalam percakapan mereka, terlihat jelas bahwa kata-kata tersebut sulit atau sama sekali tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Batak maka terjadilah percampuran bahasa untuk menjelaskan istilah itu supaya dapat dipahami.
Contoh kedua
Latar belakang : Ruangan kelas
Konteks : Percakapan pada waktu belajar Biologi Peristiwa tutur :
Guru : “Selamat pagi!” (Selamat pagi!) Murid : “Selamat pagi Bu”
(Selamat pagi Bu).
Guru : “Buka buku na tentang fungsi alat tubuh manusia.” (Buka bukunya tentang fungsi alat tubuh manusia) Murid : “Halaman piga bu?”
(Halaman berapa bu?). Guru : “Halaman 22.”
(Halaman 22).
Guru : “Jadi molo secara umum rangka manusia dibagi mai tolu bagian, aha mai?”
(Jadi secara umum rangka manusia dibagi menjadi tiga bagian, apa saja itu?).
Murid : “Rangka kepala, rangka badan dan rangka anggota Gerak.”
(Rangka kepala, rangka badan dan rangka anggota gerak). Guru : “Sintong, jadi molo didok rangka ima penopang,
Isarana ulu adong ma penopangna nadigoari tengkorak, molo di pat adong do rangka ima nadigoari tulang tungkai, tulang paha, tempurung lutut dan sebagainya. (Benar, jadi kalau dikatakan rangka adalah penopang, Penopang badan supaya bisa berdiri ataupun bergerak. Contohnya kepala memiliki penopang yang disebut tengkorak, kalau kaki ada rangkanya antara lain tulang tulang tungkai, tulang paha, tempurung lutut dan sebagainya).
Penjelasan :
Dari percakapan di atas terlihat ada fenomena percampuran kata/frasa maupun kalusa yaitu bahasa Batak dengan bahasa Indonesia seperti tentang fungsi alat tubuh manusia, secara umum rangka manusia,rangka kepala, rangka badan, rangka anggota gerak, penopang,tengkorak,tulang tungkai,tulang paha dan tempurung lutut adalah kata-kata yang diselipkan dalam percakapan mereka, terlihat jelas bahwa kata-kata tersebut sulit atau sama sekali tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Batak maka terjadilah percampuran bahasa untuk menjelaskan istilah itu supaya dapat dipahami.