• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petani Hutan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat akan dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan hasil penelitian pada setiap variabel. Hasil analisis jalur adalah untuk menguji hipotesis 1, yaitu : karakteristik petani hutan rakyat, faktor lingkungan fisik, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani dan lingkungan sosial budaya dan kinerja penyuluh kehutanan terkonfirmasi berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat. Ternyata hipotesis 1 diterima untuk faktor-faktor tertentu saja dan berbeda pengaruhnya baik petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis maupun di Kabupaten Purworejo.

Hasil analisis SPSS menunjukkan pengaruh bersama dari karakteristik petani hutan rakyat (X11), faktor lingkungan fisik (X12), kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani (X13), lingkungan sosial budaya (X14) dan kinerja penyuluh kehutanan (X15) terhadap kinerja petani hutan rakyat (Y11) adalah sebesar 0,708 atau 70,8 persen, sisanya 29,2 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

4.5.1.Pengaruh Karakteristik Petani Hutan Rakyat terhadap Kinerja Petani Hutan Rakyat

Karakteristik individu berpengaruh tidak nyata pada kinerja petani hutan rakyat, baik di Kabupaten Ciamis maupun Kabupaten Purworejo. Hal ini berarti karakteristik petani hutan rakyat tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja petani hutan rakyat. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai koefisien lintas bahwa di Kabupaten Purworejo terdapat kecederungan adanya pengaruh negatif, walaupun tidak nyata, dari karakteristik petani hutan rakyat terhadap kinerja petani hutan rakyat. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan indikator yang merefleksikan karakteristik petani hutan rakyat antara karakteristik petani di Kabupaten Ciamis dengan karakteristik petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo. Indikator-indikator yang merefleksikan karakteristik petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis adalah umur, pendidikan non formal, dan pendapatan. Sedangkan

karakteristik petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo direfleksikan oleh indikator-indikator umur, pendidikan formal, dan pengalaman berusaha tani.

Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian di Irlandia yang dilakukan oleh Frawley et al (1975) yang menyatakan bahwa faktor penting yang menentukan dalam kinerja adalah karakteristik individu dan faktor sosial. Selain itu juga Baugous (2007) yang menyatakan bahwa variabilitas kinerja individu dan langkah-langkah perbedaan individunya tidak ada hubungannya.

Dalam rangka melengkapi pembahasan dideskripsikan juga sebaran karakteristik individu petani hutan rakyat disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran karakteristik individu petani hutan rakyat

Indikator Sebaran Petani Hutan Rakyat di

Kabupaten Ciamis Kabupaten Purworejo

n % n % Umur (tahun) 24-44 31 31,00 14 28,00 45 - 63 56 56,00 29 58,00 64 - 84 13 13,00 7 14,00 Pendidikan formal (tahun) 3 -7 64 64,00 39 78,00 8 - 11 24 24,00 8 16,00 12- 16 12 12,00 3 6,00 Pendidikan non formal (jam) 0-5 98 98,00 42 84,00 6-10 1 1,00 7 14,00 11-16 1 1,00 1 2,00 Pengalaman berusaha tani (tahun) 1-18 40 40,00 30 60,00 19 - 34 50 50,00 13 26,00 35 -52 10 10,00 7 14,00 Pendapatan (Rp/bulan) 90.000 - 1.059.903 79 79,00 46 92,00 >1.059.903 – 2.030.097 18 18,00 4 8,00 >2.030.097 – 3.000.000 3 3,00 0 0,00 Rasio ketergantungan keluarga >0,7 - 1 57 57,00 26 52,00 >0,4 – 0,7 28 28,00 16 32,00 0,1 – 0,4 15 15,00 8 16,00

Umur

Selang umur responden petani hutan rakyat adalah 22 sampai 84 tahun. Rata- rata umur petani hutan rakyat adalah 50 tahun. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan nyata indikator umur di Kabupaten Ciamis dan kabupaten Purworejo. Umur petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo yang memiliki umur diatas 45 tahun hampir 71 persen sedangkan umur petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mencapai 68 persen. Banyaknya petani hutan rakyat di rata-rata umur 50 tahun menunjukkan bahwa berkaitan dengan usaha hutan rakyat kurang diminati oleh golongan umur muda, hal ini ditandai dengan banyaknya generasi muda yang bekerja diluar desanya atau bahkan keluar Kabupaten Ciamis dan Purworejo atau bekerja dalam sektor lain yang lebih menjanjikan.

Menurut undang-undang No 13 Tahun 2003, sebaran umur petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis maupun Kabupaten Purworejo masuk kategori angkatan kerja. Sedangkan berdasarkan usia kerja dibagi juga dalam tiga kategori, yaitu golongan usia muda atau pra dewasa (20-39 tahun), usia dewasa (40-54 tahun), dan yang berumur 55-65 termasuk golongan tua atau purna. Berdasarkan pembagian tersebut petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo sebagian besar termasuk dalam usia kerja dewasa.

Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik, cara berfikir, dan merespons terhadap suatu inovasi dalam menjalankan usahatani hutan rakyat. Petani hutan rakyat yang kebanyakan dari kelompok usia tersebut secara fisik sudah mulai berkurang kemampuannya, pola pikirnya sudah lebih sulit berubah, serta kurang responsif terhadap inovasi yang ditawarkan. Sehingga fakta ini menunjukkan perlunya strategi untuk mengantisipasi serta mengembangkan pengelolaan hutan rakyat melalui upaya mendorong cinta desa kepada generasi muda yang akan melanjutkan gerakan pengelolaan hutan rakyat di masa mendatang.

Umur merupakan salah satu indikator karakteristik petani yang memiliki pengaruh positif tidak nyata terhadap kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo. Artinya pengaruh umur tidak memiliki kontribusi yang berarti bagi kinerja petani hutan rakyat. Berapapun umur petani hutan rakyat,

kinerjanya sama. Hal ini disebabkan bahwa sebaran umur petani hutan rakyat relatif sama. Fakta lapangan menunjukkan bahwa petani hutan rakyat yang berumur tua dan muda saling bekerjasama dalam melakukan aktivitas pengelolaan hutan rakyat, para petani baik yang berusia muda maupun usia tua di kedua kabupaten memiliki kesamaan tujuan dalam mengelola hutan rakyat, sehingga mereka saling bekerjasama dan berinteraksi agar pengelolaan hutan rakyat yang mereka lakukan dapat berjalan dengan baik.

Dengan demikian bahwa pengaruh umur terhadap kinerja petani hutan rakyat berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Robbins (1996) seseorang sangat erat hubungannya dengan kinerja. Alasan yang memperkuat ungkapan ini adalah produktivitas seseorang akan merosot dengan semakin tuanya seseorang, karena kecepatan, kecekatan, kekuatan, koordinasi merosot dengan perjalanan waktu, selain faktor kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual juga akan mengurangi produktivitas.

Penelitian lain, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengemukakan bahwa umur mempengaruhi kemampuan petani. Seiring dengan bertambahnya umur, ada kemampuan yang bertahan atau menetap, ada juga kemampuan yang kemudian menurun kapasitasnya. Kemampuan yang terkait dengan kegiatan mental biasanya relatif menetap atau bahkan lebih tinggi pada orang usia lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup dan kebijakan yang dimiliki. Petani hutan rakyat dengan usia lebih tua memiliki kemampuan mengelola hutan rakyat yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang berusia muda. Dapat dinyatakan bahwa petani hutan rakyat yang lebih tua memiliki pengetahuan, sikap positif, dan keterampilan dan wawasan yang lebih luas dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan dengan petani yang berusia muda. Pendapat lain yang berbeda dengan temuan ini adalah pendapat Salkind (1985) yang menyatakan bahwa umur secara kronologis dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu. Aziz (1995) dan Siahaan (2002) yang menyimpulkan bahwa umur berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat.

Pendidikan formal

Pendidikan formal petani hutan rakyat secara umum 3 sampai 16 tahun. Pada umumnya petani hutan rakyat umumnya hanya mengenyam pendidikan sampai level Sekolah Dasar (SD). Petani hutan rakyat yang mengenyam pendidikan sampai SD di Kabupaten Purworejo sebanyak 78 persen, sedangkan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis sebanyak 65 persen. Dengan demikian sebanyak 22 persen petani di Kabupaten Purworejo yang mengenyam pendidikan sampai lulusan SMP dan lulusan SMA. Sedangkan sebanyak 35 persen petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mengenyam pendidikan SMP dan lulusan SMA. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan formal petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo. Pendidikan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo.

Pendidikan SD merupakan pendidikan jalur formal yang merupakan bagian dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global.

Banyaknya petani yang berpendidikan SD mengakibatkan rendahnya kemampuan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat dengan baik karena dampak dari rendahnya pendidikan akan berimplikasi rendahnya respon petani dalam pengelolaan hutan rakyat dalam menerima inovasi-inovasi dalam teknologi pengembangan hutan rakyat. Rendahnya tingkat pendidikan petani hutan rakyat menuntut perlunya penyuluhan tentang pentingnya pendidikan formal dalam mengembangkan kehidupan petani hutan rakyat yang lebih baik.

Dengan melihat umur petani yang pada umur rata-rata 50 tahun, hal ini mengindikasikan pada zamannya pendidikan formal belum menjadi sebuah

kebutuhan dalam hidup. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang mahal dan masih terbatas serta jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. Namun saat ini keturunan anak petani hutan rakyat sudah dengan mudah mengenyam pendidikan dasar 9 tahun yang gratis. Sehingga diharapkan generasi berikutnya dapat dengan mudah membantu memecahkan permasalahan di bidang kehutanan khususnya dan bidang pertanian pada umumnya.

Pendidikan formal merupakan indikator terpilih dalam variabel laten di Kabupaten Purworejo tidak memiliki pengaruh kinerja petani hutan rakyat. Artinya apapun pendidikan formalnya kinerja yang dihasilkan oleh petani hutan rakyat sama. Hal ini disebabkan oleh pendidikan formal petani hutan rakyat cenderung homogen yaitu pendidikan SD sehingga tidak mampu digunakan untuk menjelaskan variabel terikat.

Hasil penelitian ini berbeda dengan Slamet (2003) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan–perubahan pada perilaku manusia. Hal senada yang dikemukakan Salam (1997), berpendapat bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang dapat melalui atau di luar sekolah dan dapat dialami selama hidup. Dengan demikian melalui pendidikan, pengetahuan dan keterampilan seseorang akan bertambah, dan dengan pengetahuan yang luas dan pendidikan yang cukup, seseorang diharapkan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan produktif. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sosial budaya masyarakat sehingga pilihan akan pentingnya pendidikan bagi satu petani akan berbeda dengan petani lain dengan kondisi sosial budaya masyarakat pada tempat yang berbeda.

Pendidikan non formal

Pendidikan non formal yang dimaksudkan disini adalah lamanya petani hutan rakyat dalam mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan baik oleh dinas kehutanan atau dinas pertanian atau instansi lain. Data menunjukkan bahwa pelatihan yang pernah diikuti tergolong rendah, hanya kisaran 0 - 5 jam. Petani hutan rakyat yang tidak mengikuti pendidikan non formal yaitu 84 persen untuk petani hutan

rakyat di Kabupaten Purworejo dan 98 persen untuk petani di Kabupaten Ciamis. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan non formal petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dengan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo. Petani di Kabupaten Ciamis lebih sering mengikuti pelatihan karena banyaknya pelatihan yang ditawarkan oleh berbagai pihak.

Pendidikan non formal petani hutan rakyat sudah sesuai konstitusi yang ada yaitu termasuk dalam pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dalam ayat 2 dijelaskan pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Indikator pendidikan non formal di Kabupaten Ciamis tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya berapapun banyaknya pelatihan yang diikuti tetapi kinerja yang dihasilkan petani hutan rakyat relatif sama. Hal ini disebabkan oleh jenis pelatihan yang diikuti petani hutan rakyat tidak semuanya berhubungan dengan aspek pengelolaan hutan rakyat sehingga akibat minimnya pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat sehingga pengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat tidak ada peningkatan signifikan.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Ciamis, pelatihan yang diselenggarakan untuk petani hutan rakyat dalam 1 tahun terakhir mencapai 5 pelatihan. Namun demikian, masih sedikitnya partisipasi petani hutan

rakyat dalam mengikuti pelatihan menjadi salah satu fenomena meskipun pelatihan yang ditawarkan cukup banyak. Selain itu rendahnya pendidikan non formal disebabkan oleh luasnya daerah bidang tanggungjawab setiap Dinas Kehutanan dan rendahnya kepedulian dari Pemerintah Daerah setempat dalam pelatihan tentang pengelolaan hutan rakyat akibat minimnya pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan demikian sangat diperlukan kesempatan bagi petani hutan rakyat untuk meningkatkan kemampuan dalam berusahatani melalui kegiatan- kegiatan pelatihan, penyuluhan, dan aktivitas pendidikan non-formal yang lainnya. Hal ini sangat disadari bahwa pendidikan non formal bagi petani hutan rakyat sangat penting dan menjadi dasar utama untuk kemajuan petani hutan rakyat dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat. Hal ini mendorong perlunya ditingkatkan kuantitas dan kualitas pelaksanaan kegiatan pelatihan tentang pengelolaan hutan rakyat baik dimulai dari aspek pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, penanganan hama dan penyakit, penebangan, pengolahan dan pemasaran.

Pengalaman berusaha tani

Pengalaman responden petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat sangat bervariasi. Petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis rata-rata pengalaman usaha hutan rakyatnya mencapai 20 tahun, di Kabupaten Purworejo mencapai 18 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman petani hutan rakyat dalam mengelola usahatani hutan rakyat sudah cukup lama. Dengan demikian karena lamanya pengalaman tersebut mengakibatkan terbentuknya pengetahuan yang berakumulasi tentang pengelolaan hutan rakyat. Berdasarkan hasil uji beda tidak ada perbedaan antara pengalaman berusaha tani petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo.

Indikator pengalaman berusaha tani petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya bahwa lama tidaknya berusaha tani memberikan hasil yang sama dalam kinerja petani hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki petani karena dari

pengetahuan yang berasal dari orang tua mereka yang sudah ada secara turun temurun, sehingga hal ini tidak banyak memberikan pengaruh dengan perbedaan lamanya waktu untuk pengalaman berusaha tani.

Selama menjalankan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara tradisional, pada umumnya petani hutan rakyat kurang dalam melakukan intensitas dan diversifikasi usahatani hutan rakyatnya. Kebanyakan usahatani hutan rakyat belum banyak melakukan pilihan atas komoditas-komoditas selain yang selama ini dilakukan secara turun-menurun. Berbagai alasan yang dikemukakan atas pilihan komoditas yang selama ini ditanam antara lain: adanya kesesuaian dengan lahan, secara ekonomi menguntungkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan, mudah dalam budidayanya,dan sebagainya. Kurang inovatifnya petani hutan rakyat juga disebabkan oleh keterbatasan akses modal yang menyebabkan petani tidak bebas dalam memilih komoditas antara lain: keterbatasan ketersediaan air, pengaruh cuaca, keterbatasan pengetahuan terhadap komoditas yang diinginkan.

Hasil penelitian ini yaitu tentang pengaruh pengalaman berusaha tani terhadap kinerja petani hutan rakyat berbeda dengan penelitian Sarwono (2002) menjelaskan bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu. Artinya bahwa apa yang telah dialami individu akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang datang padanya. Semakin berpengalaman petani hutan rakyat maka petani hutan rakyat akan memiliki pengetahuan usahatani hutan rakyat yang cukup banyak.

Hasil ini juga berbeda dengan Padmowihardjo (1999) bahwa pengalaman merupakan suatu hasil proses belajar dan memiliki pengaruh terhadap perilaku individu yang akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya Sumarlan (2012) menyatakan bahwa panjangnya pengalaman bertani menyebabkan petani dapat melihat dengan cermat dan teliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pertanian.

Pendapatan

Pendapatan responden petani hutan rakyat di lokasi penelitian per bulan berada dalam kisaran Rp. 90. 000 - Rp. 3.000.000 per bulan. Sumber pendapatan berasal dari pertanian, berupa sawah, kebun, ladang dan ada juga dari dagang. Petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo hampir 92 persen memiliki pendapatan yang rendah, sedangkan responden petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis hampir 80 persen juga memiliki pendapatan yang rendah. Sebanyak 8 persen responden petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo memiliki pendapatan yang sedang dan 18 persen responden petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis juga memiliki pendapatan yang sedang. Berdasarkan hasil uji beda terdapat perbedaan nyata antara pendapatan petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan petani hutan rakyat di Kabupaten Purworejo. Perbedaan tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh aksesibilitas dan tingkat kosmopolitan dari petani hutan rakyat. Petani di Ciamis cenderung lebih aktif berhubungan dengan orang luar dibandingkan dengan petani hutan rakyat di Purworejo. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap pola usaha yang dilakukan yang pada akhirnya akan berhubungan pola pendapatan setiap keluarga.

Berdasarkan indikator kemiskinan sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu kelompok miskin bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per kapita/tahun. Berdasarkan data tersebut dengan asumsi harga beras Rp.5000 per kg maka jumlah petani hutan rakyat miskin di Kabupaten Ciamis mencapai 51 persen dan di Kabupaten Purworejo mencapai 68 persen. Hal ini juga sejalan dengan standar menurut BPS (2008) yaitu karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan.

Indikator pendapatan di Kabupaten Ciamis tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Artinya berapapun pendapatan petani hutan rakyat, kinerjanya tetap sama. Hal ini menunjukkan bahwa petani hutan rakyat masih menjadikan usaha tani hutan rakyat sebagai usaha sampingan saja. Selain itu disebabkan oleh masih adanya peluang usaha sektor lain yang lebih menjanjikan, misalnya adanya usaha

ternak ayam dan ikan.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Sumarlan (2012) rendahnya pendapatan petani disebabkan oleh petani kurang menguasai jalur pemasaran, komoditas yang ditanam kurang sesuai dengan permintaan pasar, petani tidak menjual hasil tani dengan berkelompok, petani menjual hasil panen dalam bentuk mentah, penyuluh kurang aktif memberikan informasi pasar, harga saprodi yang mengalami kenaikan dan upah tenaga kerja yang cukup tinggi. Masih rendahnya pendapatan petani hutan rakyat mengindikasikan perlunya pemecahan masalah yang senantiasa turun-temurun. Permasalahannya yaitu di kualitas komoditas yang dijual, volume penjualan dan jalur pemasaran.

Rasio ketergantungan keluarga

Rasio ketergantungan keluarga petani hutan rakyat sebagian besar sebagian tergolong dalam kategori tinggi yaitu 0,1-0,4 dengan rataan 3 orang per keluarga. Rasio tanggungan keluarga ini menunjukkan beban yang ditunjukkan dengan jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung biayanya oleh kepala keluarga petani hutan rakyat tersebut. Masih banyaknya tanggungan keluarga menunjukkan masih banyaknya anak keturunan petani hutan rakyat. Hal ini disebabkan program Keluarga Berencana (KB) di masyarakat pedesaan belum memasyarakat. Rasio ini juga dapat menunjukkan tingkat kemampuan keluarga dalam hal kesejahteraan yang ditunjukkan dengan pendapatan per kapita. Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaaan antara petani Purworejo dan Ciamis dilihat dari indikator rasio ketergantungan keluarga.

4.5.2.Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kinerja Petani Hutan Rakyat

Faktor lingkungan fisik yang yang ditelaah dalam penelitian ini adalah pola komposisi tanaman yang ditanam, luas hutan rakyat, produktivitas hutan rakyat dan rasio tebang tanam hutan rakyat. Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa faktor lingkungan fisik tidak berpengaruh terhadap kinerja petani hutan rakyat. Hal

ini berarti apapun indikator faktor lingkungan fisik, kinerja petani hutan rakyat tetap sama. Faktor lingkungan fisik di Kabupaten Ciamis direfleksikan oleh komposisi jenis tanaman yang ditanam, luas hutan rakyat dan produktivitas hutan rakyat. Sedangkan di Kabupaten Purworejo direfleksikan oleh komposisi jenis tanaman yang ditanam, produktivitas hutan rakyat dan kelestarian hutan rakyat. Dalam melengkapi bahasan berikut selengkapnya disajikan tentang deskripsi sebaran faktor lingkungan fisik dalam Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran faktor lingkungan fisik

Indikator Sebaran Kabupaten Ciamis Kabupaten Purworejo n % n % Komposisi tanaman yang ditanam

Satu jenis pohon 8 8,00 3 6,00

Beberapa jenis pohon 17 17,00 17 34,00 Campuran pohon dan

tanaman pertanian 75 75,00 30 60,00 Luas hutan rakyat (ha) Sempit 95 95,00 46 92,00 Sedang 4 4,00 2 4,00 Luas 1 1,00 2 4,00 Produktivitas hutan rakyat (m3/ha) Sedikit 96 96,00 50 100,00 Sedang 1 1,00 0 0,00 Tinggi 3 3,00 0 0,00 Rasio tebang- tanam hutan rakyat 1:1 62 62,00 42 84,00 1: 2 – 1:3 35 35,00 7 14,00 1:4 – 1:5 3 3,00 1 2,00

Komposisi tanaman yang ditanam

Komposisi tanaman yang ada di hutan rakyat di lokasi penelitian sekitar 70 persen model campuran antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Tanaman kehutanan yang dominan yaitu Sengon dan Jati, ada juga jenis pohon yang lain yaitu Akasia, Mahoni, Kayu Afrika dan Manglid. Sedangkan tanaman pertanian yang ada yaitu Jagung, Kelapa, Cabe, Jeruk, Pisang dan Kapulaga. Sebanyak 23 persen responden petani hutan rakyat memiliki komposisi tanaman hanya didominasi oleh jenis pohon saja dengan komposisi beberapa jenis.

Komposisi tanaman di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo, menunjukkan bahwa petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis lebih banyak yang

Dokumen terkait