• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kontaminasi Bakteri Escherichia col

Dalam dokumen HANIFATUN NISA A FKIK (Halaman 101-127)

Bab VI Pembahasan

6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kontaminasi Bakteri Escherichia col

pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah Dasar Kecamatan Cakung Tahun 2016

1) Mencuci Tangan dengan Sabun

Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu bagian dari higiene dan sanitasi penjamah makanan. Higiene dan sanitasi penjamah makanan merupakan kunci kebersihan dan kualitas makanan yang aman dan sehat. Tangan penjamah makanan dapat menjadi media penyebaran foodborne disease karena buruknya praktik personal hygiene ataupun kontaminasi silang. Tangan penjamah makanan dapat memungkinkan kontaminasi bakteri ketika tidak mencuci tangan setelah buang air besar atau saat menyentuh bahan makanan mentah seperti daging dan langsung mengolah bahan makanan lainnya seperti sayuran (Aycicek dkk, 2004). Menurut Food Standards Agency (2015), untuk menghindari kontaminasi silang, mencuci tangan diperlukan ketika akan mengolah makanan, setelah menyentuh bahan makanan mentah, setelah buang air besar, dan setelah membuang sampah.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 70% penjamah makanan tidak melakukan praktik mencuci tangan dengan sabun. Sebagian penjamah makanan hanya mencuci dengan air saja tanpa menggunakan sabun dan beberapa tidak

85

menggunakan air mengalir untuk mencuci tangan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara praktik mencuci tangan dengan sabun dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue 1,00.

Rendahnya praktik mencuci tangan dengan sabun yang dilakukan oleh penjamah makanan dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai keamanan pangan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan penjamah makanan, dimana 36,7% responden merupakan tamatan SD dan 61,7% responden belum pernah menerima penyuluhan mengenai higiene sanitasi makanan dari pihak dinas kesehatan maupun puskesmas setempat. Masih banyaknya penjamah makanan yang belum mendapatkan penyuluhan mengenai higiene sanitasi makanan disebabkan karena merupakan pedagang yang baru berjualan atau pedagang musiman yang belum terdata oleh pihak sekolah/puskesmas setempat dan hanya berjualan pada saat tertentu.

Pada penelitian ini sebagian besar penjamah makanan (51,7%) memiliki sarana berjualan berupa bangunan kantin/kios, sehingga memiliki fasilitas sanitasi untuk mencuci tangan, peralatan dan bahan makanan yang memenuhi syarat. Sebanyak 86,2% penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa gerobak, fasilitas sanitasi yang dimiliki tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa bangunan kantin/kios, hanya 35,4% fasilitas sanitasi yang dilimili tidak memenuhi syarat.

Sebanyak 48,3% responden dalam penelitian ini merupakan penjamah makanan yang berjualan dengan sarana berupa gerobak keliling yang berjualan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga tidak memiliki fasilitas untuk mencuci tangan yang memenuhi syarat. Pedagang tersebut hanya memiliki satu

86

ember yang digunakan untuk mencuci tangan dan mencuci peralatan. Sedangkan pada penjamah makanan yang berjualan di kantin sekolah memiliki fasilitas tempat cuci tangan yang sudah disediakan oleh pihak sekolah, sehingga mereka dapat melakukan praktik mencuci tangan dengan sabun. Beberapa sekolah yang menjadi lokasi dalam penelitian ini memiliki tempat khusus yang diperuntukkan untuk pedagang kaki lima berjualan yang dilengkapi juga dengan fasilitas cuci tangan. Sabun yang digunakan untuk mencuci tangan merupakan jenis sabun batang, sabun colek dan sabun cair yang juga digunakan untuk mencuci peralatan.

Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada hubungan antara praktik mencuci tangan dengan sabun dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar penjamah makanan (80%) sudah menggunakan alat bantu penyajian makanan berupa penjepit, sendok, garpu dan tusukan, sehingga tidak terjadi kontak langsung antara tangan dan makanan yang dijual. Sebanyak 75% makanan jajanan yang dijual oleh penjamah makanan yang tidak menggunakan alat bantu penyajian makanan, positif terkontaminasi bakteri E.coli. Sedangkan pada penjamah makanan yang menggunakan alat bantu penyajian makanan hanya 37,5% makanan jajanan yang dijual, positif terkontaminasi bakteri E.coli.

Tangan merupakan media yang paling banyak menjadi perpindahan bakteri dari satu tempat ke tempat lain. Praktik mencuci tangan yang benar dan efektif dapat membantu mencegah penyebaran bakteri berbahaya dari tangan ke dalam makanan, meja tempat pengolahan makanan, dan peralatan (Food Standards Agency, 2015). Mencuci tangan harus menggunakan air yang mengalir dan sabun, menggosok tangan dan kuku selama kurang lebih 20 detik. Saat mencuci

87

tangan perlu diperatikan pula menggosok ujung-ujung jari, kuku, ibu jari, pergelangan tangan dan sela-sela tangan. Setelah itu keringkan dengan menggunakan handuk/lap yang bersih dan kering atau menggunakan kertas tissue. Air hangat dan sabun lebih baik dapat menghilangkan lemak, bakteri dan kotoran. Apabila tidak terdapat air hangat, air dingin dapat dipakai untuk mencuci tangan dengan tetap menggunakan sabun (WHO, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Burton dkk (2011) menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun lebih efektif dalam menghilangkan bakteri pada tangan dari pada mencuci tangan dengan air saja. Segala jenis sabun dapat digunakan untuk mencuci tangan, baik itu sabun mandi, sabun antiseptik maupun sabun cair. Sabun antiseptik mengandung zat antibakteri umum seperti Triklosan yang resisten terhadap organisme tertentu (Kemenkes RI, 2014). Air yang digunakan untuk mencuci tangan harus air yang bersih dan mengalir. Menurut Permenkes No. 1096 tahun 2011, air tersebut juga harus memenuhi persyaratan air bersih dan pipa penyaluran air tidak terjadi kebocoran maupun tidak berhubungan dengan saluran pembuangan air limbah atau terkontaminasi dengan air kotor.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggorowati (2014) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara mencuci tangan dengan kontaminasi E.coli pada jajanan di pasar tradisional sekitar Kota Klaten dengan Pvalue sebesar 0,52. Penelitian yang dilakukan oleh Baluka dkk (2015) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara praktik mencuci tangan dengan kontaminasi makanan di kantin Universitas Makarere, Uganda dengan Pvalue >0,05.

88

Namun penelitan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2014) yang diketahui bahwa terdapat hubungan antara praktik mencuci tangan dengan sabun dengan kontaminasi E.coli pada sambal yang disediakan di kantin UNS dengan Pvalue sebesar 0,008. Penelitian Sneed dkk (2015) yang juga menunjukkan bahwa penjamah makanan yang tidak mencuci tangan dengan sabun berisiko 2,36 kali dapat mengkontaminasi makanan daripada penjamah makanan yang mencuci tangan dengan sabun.

Oleh karena itu, mencuci tangan dengan sabun merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh penjamah makanan. Mencuci tangan dengan sabun merupakan kegiatan yang ringan dan sering disepelekan, namun efektif dalam upaya mencegah kontaminasi pada makanan. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sabun yang mengandung anti bakteri karena lebih efektif membunuh kuman dibanding sabun biasa (Cahyaningsih dkk, 2009). 2) Menggunakan Alat Bantu Penyajian Makanan

Salah satu aspek higiene sanitasi penjamah makanan lainnya adalah menggunakan alat bantu penyajian makanan. Sentuhan tangan merupakan penyebab yang paling umum terjadinya kontaminasi makanan. Mikroorganisme yang melekat pada tangan akan berpindah ke dalam makanan dan akan berkembang biak dalam makanan, terutama makanan jadi. Untuk menghindari perpindahan mikroorganisme pada tangan ke dalam makanan, diperlukan alat bantu untuk ambil makanan. Alat bantu digunakan untuk mengambil makanan matang atau melakukan pengemasan makanan agar tidak terjadi kontak langsung dengan tangan penjamah makanan. Selain itu, menurut Moehyi (1992) memegang makanan secara langsung selain tampak tidak etis, juga akan mengurangi kepercayaan pelanggan.

89

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 80% penjamah makanan menggunakan alat bantu saat mengambil dan menyajikan makanan matang. Alat bantu yang paling banyak digunakan berupa penjepit. Alat bantu lain yang digunakan, antara lain tusukan, garpu, sendok, dan sumpit. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara menggunakan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,044. Pedagang makanan yang tidak menggunakan alat bantu penyajian makana berisiko 5,00 kali lebih besar dapat menyebabkan kontaminasi bakteri E.coli daripada pedagang yang tidak menggunakan alat bantu penyajian makanan matang.

Banyaknya jumlah penjamah makanan yang sudah menggunakan alat bantu penyajian makanan disebabkan karena sebagian besar makanan merupakan jenis makanan yang dimasak terlebih dahulu sebelum disajikan. Sehingga alat bantu tersebut digunakan agar tangan tidak terbakar akibat mengambil makanan yang baru matang. Beberapa penjamah makanan (38,3%) juga sudah mengikuti pelatihan mengenai keamanan pangan yang dilakukan oleh dinas kesehatan dan puskesmas setempat, sehingga hal tersebut dapat menambah pengetahuan penjamah makanan tentang kemungkinan terjadinya kontaminasi akibat menyentuh makanan langsung dengan tangan.

Menyentuh makanan dengan tangan langsung tanpa menggunakan alat bantu dapat mingkatkan risiko terjadinya proses kontaminasi pada makanan (Setyorini, 2013). Alat bantu yang dapat digunakan untuk mengambil makanan antara lain penjepit, spatula jaring, sarung tangan, garpu, dan sendok (Green dkk, 2007). Selain untuk membantu mengambil makanan matang, alat bantu

90

seperti penjepit dapat berfungsi untuk menghindari makanan kontak langsung dengan tangan. Untuk mempermudah proses pengambilan makanan, diperlukan ukuran penjepit yang sesuai (EATS, 2016).

Selain menggunakan penjepit atau alat bantu ambil makanan lainnya, penjamah makanan juga dapat menggunakan sarung tangan untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri dari tangan ke dalam makanan (Michaels, 2002). Sarung tangan tidak berarti dapat menggantikan cuci tangan, tetapi hal ini dimaksudkan untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan (Toronto Public Health, 2004). Namun, beberapa penjamah makanan tidak menggunakan sarung tangan saat mengambil makanan dengan alasan terganggu untuk melaksanakan pekerjaannya dan belum terbiasa (Marpaung dkk, 2012).

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Green dkk (2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri pada restauran di kota Atlanta, Amerika Serikat dengan Pvalue <0,001. Penelitian yang dilakukan oleh Badrie dkk (2003) juga menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri pada pedagang kaki lima di Trinidad, India dengan Pvalue <0,01.

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2014) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara menggunakan alat bantu penyajian makanan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan yang dijual di kantin UNS dengan Pvalue 1,00. Penelitian yang

91

dilakukan oleh Marlina (2007) juga menunjukkan hasil yang sama, dimana tidak ada hubungan antara praktik menggunakan alat bantu ketika mengambil makanan dengan kandungan E.coli pada tempe penyet di warung Tembalang dengan Pvalue 0,276.

Untuk menghindari terjadinya kontaminasi bakteri dari tangan ke dalam makanan yang akan dijual, penjamah makanan harus menggunakan alat seperti sendok, penjepit dan garpu pada saat proses penyajian makanan ataupun pengemasan. Penjamah makanan juga dapat menggunakan sarung tangan dari plastik transparan yang tipis dan sekali pakai untuk menyajikan makanan jika tidak menggunakan alat bantu (Pujiati dkk, 2015).

3) Cara Mencuci Peralatan Penanganan Makanan

Salah satu aspek higiene sanitasi peralatan yaitu cara pencucian peralatan penanganan makanan. Peralatan merupakan salah satu media kontaminasi bakteri ke dalam makanan. Cara pencucian peralatan yang tidak benar akan menyebabkan bakteri yang terdapat pada peralatan berpindah pada makanan yang akan diolah. Berdasarkan Permenkes No. 1096 tahun 2011, fasilitas jasaboga harus memiliki tempat khusus untuk mencuci tangan, peralatan dan bahan makanan. Peralatan pengolahan dan penanganan makanan harus dicuci dengan menggunakan air mengalir dan sabun (EATS, 2016).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa 66,7% cara pencucian peralatan yang dilakukan oleh penjamah makanan tidak memenuhi syarat. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara cara pencucian peralatan penanganan makanan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di Sekolah Dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,783.

92

Penjamah makanan belum melakukan praktik pencucian peralatan dengan cara yang benar, dimana sudah menggunakan sabun, namun tidak menggunakan air yang mengalir. Beberapa kantin yang disediakan oleh pihak sekolah dasar di Kecamatan Cakung telah menyediakan sarana fasilitas sanitasi berupa tempat untuk mencuci tangan, peralatan dan bahan makanan. Pada fasilitas tersebut juga sudah disediakan sabun untuk mencuci peralatan dan sponge untuk membersihkan sisa makanan dalam peralatan tersebut.

Sedangkan pada penjamah makanan yang berjualan diluar sekolah, sebagian besar (73%) mencuci peralatan dengan menggunakan air pada ember yang digunakan secara berulang kali dan diletakkan di bagian bawah gerobak, selain untuk mencuci peralatan makan, air dalam ember tersebut juga digunakan untuk mencuci tangan. Penjamah makanan menggunakan air pada ember untuk mencuci peralatan dikarenakan lebih praktis dan tidak perlu sering mengambil air pada sumber air bersih. Namun beberapa pedagang mencuci peralatan setelah mereka sampai di rumah karena jenis makanan yang dijual adalah berupa makanan camilan/snack yang sudang matang sebelum dijual.

Walaupun sebagian besar penjamah makanan berjualan dengan sarana bangunan kantin/kios yang telah dilengkapi oleh fasilitas sanitasi yang disediakan oleh pihak sekolah, beberapa diantaranya masih mencuci peralatan menggunakan air dalam ember yang telah ditampung. Penjamah makanan tersebut beralasan karena lebih praktis dan dapat langsung mencuci peralatan daripada harus membawa peralatan tersebut ke fasilitas sanitasi. Selain itu, jumlah fasilitas sanitasi yang sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah pedagang yang berjualan.

93

Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan. Hal ini dapat disebabkan karena walaupun penjamah makanan tidak menggunakan air mengalir saat mencuci peralatan, penjamah makanan telah menggunakan sabun untuk mencuci peralatan tersebut. Sabun yang digunakan untuk mencuci peralatan tersebut merupakan jenis alkali yang dapat membersihkan dan menghilangkan sisa makanan, lemak dan minyak yang menempel pada peralatan yang dapat berpotensi menjadi media perkembangbiakkan bakteri (Marriott dan Gravani, 2006).

Menurut Kemenkes RI (2011) pencucian peralatan harus menggunakan sabun/detergen, air panas dan air bersih serta memberikan sanitizer berupa larutan kaporit 50 ppm atau iodophor 12,5 ppm. Langkah-langkah pencucian peralatan yang baik menurut Washington State Departement of Health (2013), yaitu dengan membersihkan bak tempat pencucian peralatan, membuang sisa makanan yang menempel pada peralatan ke tempat sampah, membilas peralatan dengan air, memberikan sabun, kemudian bilas dengan air bersih, memberikan sanitizer dan terakhir tiriskan peralatan hingga kering dan diletakkan pada tempat yang bersih dan terlindung dari pencemaran. Penggunaan sikat dan sponges untuk mencuci peralatan dapat membantu menghilangkan sisa makanan maupun material deposit lainnya yang terdapat pada peralatan penanganan makanan.

Kain lap/serbet yang digunakan untuk mengeringkan peralatan yang telah dicuci harus bersih, kering, dan tidak digunakan untuk keperluan lainnya. Selain itu kain lap/serbet harus dicuci setiap hari dan disanitasi dengan bahan sanitaiser yang sesuai (Pratiwi, 2014). Selain itu, peralatan harus dicuci dengan menggunakan air yang mengalir. Menurut Permenkes No. 1096 tahun 2011, air

94

tersebut juga harus memenuhi persyaratan air bersih dan pipa penyaluran air tidak terjadi kebocoran maupun tidak berhubungan dengan saluran pembuangan air limbah atau terkontaminasi dengan air kotor. Pedagang kaki lima diketahui mencuci peralatan menggunakan air yang dipakai berulang-ulang. Air yang dipakai berulang-ulang dapat berpotensi menyebabkan kontaminasi bakteri ke dalam makanan ketika akan diolah menggunakan perlatan yang dicuci menggunakan air yang dipakai berulang-ulang tersebut (Badrie dkk, 2003).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih dkk (2009) dimana menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian peralatan dengan kontaminasi E.coli di warung makan Desa Caturtunggal dengan Pvalue sebesar 0,481. Pada penelitian yang dilakukan oleh Atmiati (2012) menunjukkan hal yang sama, dimana tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi alat dengan kandungan E.coli pada es buah yang dijual oleh pedagang kaki lima di Temanggung dengan Pvalue 0,431. Berdasarkanan penelitian yang dilakukan oleh Schilegelova dkk (2010), menunjukkan bahwa kontaminasi mikroba justru mengalami peningkatan setelah dilakukan praktik pencucian peralatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Indrawani dkk (2010) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cara pencucian alat dengan kontaminasi E.coli pada makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima di sepanjang jalan Margonda, Depok dengan Pvalue sebesar 0,1979.

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aristin dkk (2014), dimana proses pencucian peralatan pengolahan makanan yang tidak memenuhi syarat berhubungan dengan kontaminasi bakteri pada lalapan dengan Pvalue sebesar 0,004. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Wibawa (2008) diketahui bahwa ada hubungan antara higiene sanitasi

95

peralatan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada makanan jajanan di sekolah dasar Kabupaten Tangerang dengan Pvalue sebesar 0,039. Menurut penelitian Sofiana (2009) juga menunjukkan adanya hubungan antara sanitasi peralatan dengan kontaminasi E.coli di SD Kecamatan Tapos, Depok dengan Pvalue sebesar 0,045.

Cara pencucian peralatan yang tidak memenuhi syarat dapat berisiko menyebabkan kontaminasi pada makanan. Pencucian peralatan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin sebelum sisa makanan kering, karena makanan kering yang menempel pada permukaan peralatan akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, kebersihan bak pencucian juga perlu diperhatikan karena bak yang kotor juga dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi antara bak dengan peralatan (Cahyaningsih dkk, 2009).

4) Jenis Sarana Berjualan

Jenis sarana berjualan merupakan salah satu aspek higiene sanitasi sarana penjaja yang perlu diperhatikan karena jenis sarana dapat memengaruhi keamanan makanan yang dijualnya. Terdapat 2 jenis cara berjualan makanan jajanan, yaitu dengan bergerak (ambulatory) dan tidak bergerak (stationary). Pedagang makanan jajanan yang berjualan dengan bergerak (ambulatory) menggunakan sarana berupa gerobak, baik yang didorong, menggunakan sepeda, motor ataupun mobil, atau pedagang tersebut berkeliling sambil membawa dagangannya. Sementara pedagang makanan jajanan yang berjualan dengan cara tidak bergerak (stationary) menggunakan sarana bangunan semi permanen seperti bangunan kantin maupun kios kecil (WHO, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 51,7% penjamah makanan menggunakan sarana berjualan berupa bangunan kantin dan kios. Hasil

96

uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis sarana berjualan dengan kontaminasi bakteri E.coli pada PJAS di sekolah dasar Kecamatan Cakung tahun 2016 dengan Pvalue sebesar 0,775.

Pada penelitian ini, bangunan kantin dan kios yang menjadi sarana berjualan berada di dalam lingkungan sekolah sedangkan penjamah makanan yang menggunakan sarana berupa gerobak keliling berada di luar lingkungan sekolah. Kantin merupakan suatu ruang yang berada di sekolah dimana menyediakan makanan pilihan yang sehat untuk siswa yang dilayani oleh petugas kantin, sedangkan kios merupakan sebuah toko kecil/warung (Sofiana, 2009). Jenis gerobak keliling yang digunakan oleh penjamah makanan berupa gerobak yang di dorong, menggunakan sepeda, motor serta berupa gerobak yang dipikul.

Sebagian besar penjamah makanan (83,3%) yang berjualan dengan sarana bangunan kantin dan kios sudah dilengkapi dengan fasilitas sanitasi berupa tempat untuk mencuci tangan, bahan baku, dan peralatan dengan sumber air bersih yang mengalir dan sabun. Selain itu, sebagian besar penjamah makanan (71,4%) yang berjualan dengan sarana bangunan kantin dan kios memiliki tempat penyimpanan makanan matang yang memenuhi syarat.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar penjamah makanan (55,2%) yang menggunakan sarana berjualan berupa gerobak keliling memiliki pendidikan akhir SD. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa bangunan kantin dan kios, sebanyak 45,7% memiliki pendidikan akhir SMA. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkatan pengetahuan dan produktivitas tenaga kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka perilaku dan produktivitas juga akan meningkat. Seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan

97

peluang motivasi, sikap, disiplin dan produktivitas yang lebih tinggi (Notoatmodjo, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara tingkat pendidikan dengan kebersihan pada penjamah makanan. Menurut Marsaulina (2004) menyimpulkan adanya hubungan antara kebersihan dengan pendidikan, terutama setelah mencapai tingkat SMP.

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar penjamah makanan (88,2%) yang berjualan dengan sarana gerobak keliling merupakan laki-laki. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa bangunan kantin dan kios sebanyak 87,1% merupakan perempuan. Banyaknya jenis kelamin laki-laki pada penjamah makanan yang menggunakan sarana berjualan gerobak keliling dikarenakan jenis kelamin laki-laki lebih kuat daripada perempuan dalam mendorong gerobak jualannya. Beberapa penelitian mengaitkan antara perbedaan perilaku seseorang berdasarkan jenis kelamin. Menurut survei observasi mengenai keamanan makanan di Amerika Serikat terhadap 2.130 penduduk menunjukkan adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam hal mencuci tangan, dimana kaum wanita lebih sering mencuci tangannya daripada pria dengan presentase sebesar 74%. Selain itu kaum wanita dinilai mempunyai perhatian lebih terhadap higiene dan sanitasi daripada pria dikarenakan lebih sering berhubungan dengan proses pengolahan makanan ketika berada di rumah (Timmreck, 2005).

Dari hasil penelitian juga dapat diketahui bahwa 50,9% penjamah makanan yang berjualan dengan gerobak keliling memiliki tempat penyimpanan makanan matang yang terbuka. Sedangkan pada penjamah makanan yang berjualan di kantin dan kios sebagian besar (71,4%) memiliki tempat penyimpanan makanan

Dalam dokumen HANIFATUN NISA A FKIK (Halaman 101-127)