• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontaminasi Bakteri Escherichia coli pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Dalam dokumen HANIFATUN NISA A FKIK (Halaman 96-101)

Bab VI Pembahasan

6.2 Kontaminasi Bakteri Escherichia coli pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Konsumsi makanan yang tidak aman dapat menyebabkan terjadinya foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi patogen maupun bahan/senyawa beracun (Anwar, 2004). Kontaminasi patogen dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu kontaminasi langsung (direct contamination) dan kontaminasi silang (cross contamination). Kontaminasi langsung yaitu adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam makanan secara langsung karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja. Sedangkan kontaminasi silang yaitu kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung akibat ketidaktahuan dalam pengolahan makanan, misalnya makanan yang bersentuhan dengan tangan penjamah makanan dan peralatan yang kotor (Nurlaela, 2011).

Pada penelitian ini sampel makanan jajanan yang diperoleh berasal dari pedagang makanan jajanan yang berjualan di sekolah dasar yang berada di Kecamatan Cakung, baik di dalam lingkungan sekolah (kantin) maupun di luar lingkungan sekolah dengan menggunakan sarana berjualan berupa gerobak, baik yang didorong, menggunakan sepeda, motor ataupun mobil, atau pedagang tersebut berkeliling sambil membawa dagangannya. Makanan jajanan yang dijual merupakan jenis makanan sepinggan, seperti nasi goreng, bihun, soto ayam, siomay, nasi uduk, bakso, roti bakar, dan spageti; camilan/snack, seperti keripik, gorengan, donat, agar-agar, cilor, cilok, takoyaki, bolu, cimin, kerak telor, sate

80

sosis, puding, martabak, cakwe, dan pempek; serta minuman, seperti es teh, es sirsak, dan es cokelat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa 55% makanan jajanan yang dijual di Sekolah Dasar Kecamatan Cakung negatif terkontaminasi bakteri Escherichia coli. Makanan jajanan yang paling banyak positif terkontaminasi bakteri E.coli terdapat di kelurahan Cakung Timur sebesar 40,7%. Sedangkan pada kelurahan Pulo Gebang dan Ujung Menteng masing-masing makanan jajanan positif terkontaminasi bakteri E.coli sebesar 29,65%.

Banyaknya makanan jajanan yang negatif terkontaminasi oleh bakteri E.coli dapat disebabkan karena sebagian besar makanan jajanan (66,7%) dijual oleh penjamah makanan dalam kondisi panas atau baru dimasak saat akan disajiakan ke pembeli. Pada makanan jajanan yang dijual dalam keadaan dingin, sebagian besar makanan jajanan (60%) positif terkontaminasi bakteri E.coli, sedangkan pada makanan jajanan yang dijual dalam keadaan panas, hanya 37,5% makanan jajanan yang positif terkontaminasi bakteri E.coli.

Bakteri E.coli merupakan indikator adanya pencemaran fecal dan bakteri patogen dalam makanan dan air. Faktor temperatur dapat mempengaruhi tumbuhnya bakteri dalam makanan. Bakteri E.coli memiliki suhu optimum pertumbuhan 37 oC (Baylis dkk, 2011). Bakteri ini dapat bertahan selama 15 menit pada suhu 60 oC atau 60 menit pada suhu 60 oC. Oleh karena itu, jika bahan makanan yang terkontaminasi dengan E.coli tidak dimasak lebih dari suhu tersebut, maka bakteri akan tetap ada (Puspita dkk, 2014). Menyimpan makanan pada suhu rendah, bukan berarti bakteri akan mati, melainkan hanya membuat bakteri tersebut non aktif dan bila temperatur yang diperlukan untuk tumbuhnya bakteri tersebut memungkinkan, maka bakteri akan aktif kembali (Ningsih, 2014).

81

Selain itu, sebagian besar makanan jajanan yang diuji (85%) merupakan jenis makanan padat seperti makanan sepinggan (jajanan berat) dan snack/camilan. Pada jenis minuman, sebagian besar sampel yang diuji (66,7%) positif terkontaminasi bakteri E.coli, sedangkan pada jenis makanan hanya 41,2% sampel yang positif terkontaminasi bakteri E.coli. Dalam pertumbuhannya, bakteri memerlukan air, sehingga makanan yang mengandung cairan lebih cepat busuk. Air tersebut berperan dalam reaksi metabolik dalam sel dan keluar sel (Sudarna dan Swacita, 2009). Makanan yang berpotensi dan berisiko tinggi terkontaminasi oleh bakteri yaitu makanan yang disajikan dalam keadaan tidak panas, berair, serta dalam meracik makanan tanpa menggunakan penjepit, sarung tangan atau alat bantu lainnya (Setyorini, 2013).

Sebanyak 38,3% penjamah makanan diketahui sudah mendapatkan penyuluhan mengenai keamanan pangan yang dilakukan oleh puskesmas dan dinas kesehatan setempat pada tahun 2015 dan 2016. Sebagian besar makanan jajanan (51,4%) yang dijual oleh penjamah makanan yang tidak mendapatkan penyuluhan tentang keamanan pangan, positif terkontaminasi bakteri E.coli. Sedangkan pada makanan jajanan yang dijual oleh penjamah makanan yang telah mendapatkan penyuluhan tentang keamanan pangan, hanya 34,8% yang positif terkontaminasi oleh bakteri E.coli. Penyuluhan mengenai keamanan pangan dapat meningkatkan pengetahuan penjamah makanan dalam melakukan kegiatan pengelolaan makanan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2014) diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan praktik higiene sebelum dan sesudah penyuluhan pada pedagang di lingkungan SDN Kota Samarinda.

Faktor praktik personal hygiene yang buruk dapat memfasilitasi terjadinya proses kontaminasi bakteri patogen dari lingkungan ke dalam tubuh manusia

82

melalui makanan yang dimakan (Bhaskar et.al, 2004). Penjamah makanan merupakan karier yang dapat menjadi media penularan dari bakteri enteric patogen (Muhonjal et.al, 2014). Pada penelitian ini sebagian besar penjamah makanan (70%) belum melakukan praktik mencuci tangan dengan sabun, namun 80% penjamah makanan sudah menggunakan alat bantu, seperti penjepit, sendok atau garpu saat akan mengambil makanan matang, sehingga terhindar dari kontak dengan tangan secara langsung.

Faktor lingkungan, seperti adanya tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan limbah dan genangan air di sekitar lokasi tempat berjualan akan membuat lalat atau vektor penyakit lainnya dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan (Chumber et.al, 2007). Praktik personal hygiene dan environmental hygiene yang buruk, proses penyimpanan, persiapan, dan pengolahan makanan dan minuman yang tidak tepat, serta peralatan memasak yang tidak bersih juga dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada makanan (Odonkor et.al, 2011).

Pada penelitian ini sebagian besar penjamah makanan (51,7%) memiliki sarana berjualan berupa bangunan kantin/kios, sehingga memiliki fasilitas sanitasi untuk mencuci tangan, peralatan dan bahan makanan yang memenuhi syarat. Sebanyak 86,2% penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa gerobak, fasilitas sanitasi yang dimiliki tidak memenuhi syarat. Sedangkan pada penjamah makanan dengan sarana berjualan berupa bangunan kantin/kios, hanya 35,4% fasilitas sanitasi yang dilimili tidak memenuhi syarat.

Menurut Djaja (2008) kontaminasi makanan dapat terjadi karena pengadaan bahan makanan bukan dari pemasok resmi, pengolahan makanan kurang memperhatikan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), sanitasi dapur pengolahan makanan dan tempat penyajian makanan belum memenuhi

83

persyaratan kesehatan. Kontaminasi makanan dapat bersumber dari peralatan yang tidak bersih, bahan peralatan, cara pencucian, cara pengeringan, sterilisasi pemeliharaan serta penyimpanan alat. Selain itu kontaminasi bakteri juga dapat terjadi karena kontaminasi silang apabila penggunaan wadah atau alat pengolahan dan penyimpanan dipakai bersama-sama (Wibawa, 2008).

Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh oleh Baluka dkk (2015) menunjukkan bahwa 87,8% makanan yang dijual di kantin dan restoran yang terdapat di Uganda negatif terkontaminasi bakteri E.coli. Penelitian yang dilakukan oleh Wibawa (2008) juga menunjukkan hasil yang sama, dimana sebanyak 62,9% makanan jajanan di Sekolah Dasar di Kabupaten Tangerang negatif terkontaminasi oleh bakteri E.coli. Selain itu, pada penelitian Badrie dkk, 2003, sebanyak 88,9% hamburger yang dijual oleh pedangang kaki lima di Trinidad, India negatif terkontaminasi bakteri E.coli.

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniadi dkk (2013) yang menunjukkan bahwa 71% makanan jajanan di kantin sekolah dasar Kecamatan Bangkinang positif terkontaminasi bakteri E.coli. Penelitian Lestari dkk (2015) juga menunjukkan bahwa 52% jus buah di Tembalang positif mengandung E.coli. Selain itu, pada penelitian Hanashiro dkk (2005) diketahui bahwa 55% makanan yang dijual di sekitar rumah sakit dan sekolah di Kota Sao Paulo Brazil positif mengandung bakteri E.coli. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kassenborg dkk (2004) juga diketahui sebanyak 62% hamburger yang dijual di restoran di daerah Minnesota, Amerika Serikat positif mengandung bakteri E.coli.

Untuk mencegah kontaminasi bakteri ke dalam makanan, pihak sekolah diharapkan dapat bekerja sama dengan kelurahan dan masyarakat sekitar agar

84

mendata pedagang yang berjualan di sekitar lingkungan sekolah untuk kemudian dapat dilakukan pembinaan dan pemberdayaan dengan memberikan stimulan berupa kelengkapan sarana dan prasarana untuk berjualan, seperti penyediaan fasilitas sanitasi dan tempat sampah. Selain itu, pemberian pelatihan dan penempelan poster di kantin sekolah mengenai praktik higiene sanitasi makanan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku penjamah makanan mengenai kemanan pangan (Rapiasih dkk, 2010).

Dalam dokumen HANIFATUN NISA A FKIK (Halaman 96-101)