• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penyakit Malaria

2.1.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria

1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)

Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan 2 macam siklus, yaitu:

1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)

Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000 merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P. malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).

2)Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)

Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit (tergantung spesies). Pertumbuhan ini membutuhkan waktu 48 jam untuk malaria

tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P. malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular penyakit bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).

2. Vektor Malaria

Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria. Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2005).

Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria (Depkes RI, 1999).

Menurut Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu: a) Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.

b) Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.

d) Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan. e) Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.

f) Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan. g) Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.

Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus, A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2005).

Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Depkes, 2003).

3. Faktor Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006), manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan menularkan kepada orang lain.

Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental (Anies, 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000). 4. Faktor Lingkungan

Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :

1) Lingkungan fisik

Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada suhu 26,7°C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.

b. Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria. c. Hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.

d. Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.

e. Ketinggian

Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria.

Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia).

f. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.

g. Arus air

A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat,sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai air tergenang.

2) Lingkungan biologik

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.

3) Lingkungan kimiawi

Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya

12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.

4) Lingkungan sosial budaya

Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).

Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.

Dokumen terkait