• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2009"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Oleh :

I R A W A T I

057023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(2)

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

I R A W A T I 057023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

Nama Mahasiswa : Irawati

Nomor Induk Mahasiswa : 057023006

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si) (Ir. Evi Naria, M.Kes)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 14 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr.Retno Widhiastuti, M.Si

(5)

PERNYATAAN

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Juli 2009

(6)

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.

Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.

(7)

ABSTRACT

Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.

The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.

It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2009”.

Penulisan tesis ini juga dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini izinkanlah penulis

untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

3. Dr.Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Ketua dan Prof. Dr.Dra. Ida Yustina, M.Si

sebagai Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S, Ketua Komisi pembimbing, dan Ir. Evi Naria,

M.Kes sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan

pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan

(9)

5. dr. Surya Dharma, M.P.H, dan dr.Taufik Ashar,M.K.M selaku dosen pembanding

tesis ini.

6. Para Dosen dilingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. dr. Mukhtar, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen.

8. dr. Elli Fonna, selaku Kepala Puskesmas Juli Kabupaten Bireuen.

9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga

kepada Ibunda dan suami serta ananda tercinta serta seluruh keluarga yang telah

memberi dorongan dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terbatas

kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Akhirnya penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan tesis

ini, oleh karenanya kritik dan saran semua pihak sangat penulis harapkan sehingga

tesis ini dapat bermanfaat bagi Puskesmas Juli dan Dinas Kesehatan Kabupaten

Bireuen umumnya.

Medan, Juli 2009

(10)

Irawati

RIWAYAT HIDUP

Irawati dilahirkan di Bireuen pada tanggal 29 Oktober 1966, merupakan anak

ke enam dari enam bersaudara dari pasangan ayahanda Muhammad Noor dengan

Ibunda Ainulmardhiah. Telah menikah dengan Azwary Asyek dan dikaruniai satu

orang putri bernama Azzuhra Azwary. Saat ini menetap di Jln. Sultan Malikussaleh

no.24 Bireuen.

Menamatkan Sekolah Dasar Negeri No. 20 Pekanbaru tahun 1979, SMP

Negeri 1 Bireuen tahun 1982, SMA Negeri 1 Bireuen tahun 1985, dan FK- Unsyiah

Darussalam, Banda Aceh tahun 1996.

Pengalaman bekerja, tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 sebagai staf RSU.

Datu Beru Takengon. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 sebagai staf Puskesmas

Jeumpa Kabupaten Bireuen. Tahun 2000 sampai sekarang sebagai staf Dinas

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

2.1.3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria ... 9

2.1.4. Diagnosis Malaria ... 16

2.1.5. Malaria Relaps ... 17

2.1.6. Karakteristik Penderita... 23

2.2.Perilaku Kesehatan... 25

2.2.1. Bentuk Perilaku... 27

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan... 28

2.2.3. Perilaku Penderita dalam Pemberantasan Malaria... 33

2.3.Landasan Teori... 34

2.4.Kerangka Konsep Penelitian... 36

BAB 3. METODE PENELITIAN... 37

3.1.Jenis Penelitian... 37

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.2.1. Lokasi Penelitian... 37

3.2.2. Waktu Penelitian ... 37

3.3.Populasi dan Sampel ... 38

3.3.1. Populasi... 38

(12)

3.4.Metode Pengumpulan Data... 38

3.4.1. Alat Pengumpul Data ... 38

3.4.2. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 38

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 39

3.5.Variabel dan Definisi Operasional... 41

3.6.Metode Pengukuran ... 43

3.6.1. Tingkat Pengetahuan... 43

3.6.2. Sikap ... 43

3.6.3. Tindakan Penderita ... 44

3.6.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 45

3.6.5. Lingkungan Luar Rumah ... 45

3.6.6. Kejadian Malaria Relaps... 46

3.7.Metode Analisa Data... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 47

4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

4.1.1. Kondisi Geografis ... 47

4.1.2. Demografi ... 47

4.1.3. Sarana dan tenaga Pelayanan Kesehatan ... 49

4.1.4. Kondisi Kesehatan ... 50

4.1.5. Distribusi Penderita Malaria ... 51

4.2.Distribusi Karakteristik Responden Penelitian ... 52

4.2.1. Umur dan Jenis Kelamin... 52

4.2.2. Pendidikan... 52

4.2.3. Pekerjaan... 53

4.3.Distribusi Perilaku Responden Penelitian... 53

4.3.1. Pengetahuan ... 53

4.3.2. Sikap ... 54

4.3.3. Tindakan ... 55

4.4.Distribusi Faktor lingkungan Responden Penelitian... 56

4.4.1. Lingkungan Dalam Rumah ... 56

4.4.2. Lingkungan Luar Rumah ... 56

4.4.3. Kejadian Malaria Relaps... 57

4.5.Analisis Bivariat... 57

4.5.1. Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Relaps ... 57

4.5.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps ... 58

4.5.3. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59

4.5.4. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59

(13)

4.5.6. Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps ... 61

4.5.7. Hubungan Tindakan dengan Kejadian Relaps ... 62

4.5.8. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 62

4.5.9. Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 63

4.6.Analisis Multivariat ... 64

4.6.1. Pemilihan Variabel ... 64

4.6.2. Penentuan Variabel yang Dominan... 65

BAB 5. PEMBAHASAN... 67

5.1.Karakteristik Penderita Malaria ... 67

5.1.1. Pengaruh Umur terhadap Kejadian Malaria Relaps... 67

5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 68

5.1.3. Pengaruh Pendidikan terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 69

5.1.4. Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Relaps... 70

5.2.Pengaruh Perilaku terhadap Kejadian Malaria Relaps... 70

5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Malaria Relaps 71 5.2.2. Pengaruh Sikap terhadap Kejadian Malaria Relaps... 72

5.2.3. Pengaruh Tindakan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 73

5.3.Pengaruh Lingkungan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 76

5.3.1. Pengaruh Lingkungan Dalam Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 76

5.3.2. Pengaruh Lingkungan Luar Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 77

5.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Relaps pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli ... 78

5.4.1. Pekerjaan... 79

5.4.2. Pengetahuan ... 80

5.4.3. Tindakan ... 81

5.4.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 83

5.5.Keterbatasan Penelitian... 84

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran ... 86

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 40

3.2. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran Variabel Penelitian... 41

4.7. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

di Kecamatan Juli... 49

4.8. Distribusi Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 49

4.9. Jenis dan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 50

4.10.Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51

4.11.Sepuluh Penyakit Utama Rawat Jalan di Puskesmas Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51

4.12.Distribusi Penderita Malaria Menurut Waktu Penemuan (Bulan)

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 52

4.13.Distribusi Responden Menurut Kelompk Umur dan Jenis Kelamin

Di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53

4.14.Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di

Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53

4.15.Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 54

4.16.Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 55

(15)

4.18.Distribusi Responden Menurut Tindakan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 56

4.19.Distribusi Faktor Lingkungan Dalam Rumah Responden Di Kecamatan 57 Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008...

4.20.Distribusi Faktor Lingkungan Luar Rumah Responden Di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 57

4.21.Distribusi Responden menurut Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 58

4.22.Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 59

4.23.Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 59

4.24. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Relaps di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 60

4.25.Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61

4.26.Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61

4.27.Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62

4.28.Hubungan Tindakan dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62

4.29.Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 63

4.30.Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 64

4.31.Hasil Uji Bivariat Untuk Identifikasi Variabel yang Perlu

(16)

4.32.Hasil Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli

Tahun 2008 ... 65

4.33.Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

3.1. Kuesioner Penelitian ... 92

3.1. Uji validitas dan reliabilitas ... 98

3.1. Hasil Analisis Univariat ... 101

3.1. Hasil Analisis Bivariat ... 103

3.1. Hasil Analisis Multivariat dengan Uji regresi Logistik ... 113

(18)

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.

Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.

(19)

ABSTRACT

Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.

The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.

It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria sebagai salah satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama negara-negara

berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO dalam Murphy (2005),

malaria menduduki ranking 5 dari 10 penyakit utama penyebab kecacatan dan

kematian di negara-negara paling miskin di dunia. Penyakit ini tidak hanya

menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan

kematian, di samping menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya.

Angka kesakitan malaria di Indonesia sejak empat tahun terakhir belum

menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Angka kesakitan di Jawa dan Bali

yang diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) sedikit naik dari 0,15‰ tahun

2004 menjadi 0,16 ‰ pada tahun 2007. Sementara angka kesakitan di luar Jawa dan

Bali yang di ukur dengan Annual Malaria Incidence (AMI) telah menurun dari 21,2

‰ tahun 2004 menjadi 19,67 ‰ pada tahun 2007, namun angka tersebut masih

sangat jauh dari target nasional menuju Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan

Depkes RI yaitu AMI 5‰ (Depkes RI, 2003).

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam angka kesakitan malaria dalam empat

tahun terakhir juga telah menurun dengan AMI 5,23 ‰ tahun 2000 menjadi 4,94 ‰

(21)

gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, angka kesakitan malaria kembali

menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 32,12 ‰ pada tahun 2005 menjadi

36,02 ‰ tahun 2006 kemudian turun menjadi 27,23‰ pada tahun 2007 (Dinkes

NAD, 2007).

Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan kategori Low Incidence Area (LIA).

Gambaran situasi penyakit malaria menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 12,79

‰ pada tahun 2003 menjadi 14,05 ‰ pada tahun 2004 (Dinkes. Kabupaten Bireuen 2007).

Bencana tsunami 26 Desember 2004 berdampak langsung baik fisik maupun

non fisik terhadap masyarakat kabupaten Bireuen yang tinggal di 9 Kecamatan dari

17 Kecamatan yang ada . Dampak turunan dari kejadian tersebut dikhawatirkan akan

terjadi kenaikan kasus penyakit menular di antaranya malaria. Kekhawatiran akan

terjadinya kenaikan kasus malaria antara lain disebabkan tingginya mobilitas

penduduk dan banyaknya terjadi perubahan lingkungan yang diduga kuat akan

memperluas atau menjadi tempat perindukan nyamuk penular malaria dan di wilayah

tersebut yang kemungkinan ada sumber penular.

Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tahun 2005 pemerintah pusat

(22)

pendistribusian kelambu berinsektisida permethrin, dan penyemprotan rumah dengan menggunakan alpha cypermethrin (fendona 5 wp) dengan dosis 0,03 gr/m2.

Untuk meningkatkan kualitas kemampuan manajemen pemberantasan malaria,

juga dilakukan pelatihan tenaga pengelola malaria kabupaten dan puskesmas.

Kegiatan penanggulangan malaria dan monitoring yang terus-menerus dilakukan

menjadikan kekhawatiran akan terjadinya kejadian luar biasa malaria di wilayah

Kabupataen Bireuen terutama di daerah-daerah yang terkena tsunami tidak menjadi

kenyataan, meskipun masih ada kenaikan kasus malaria di beberapa tempat.

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan

menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian

kesakitan dapat berlangsung berulang kali. Seorang penderita malaria bisa

mengalami serangan ulang sebanyak 35 – 40 kali selama periode 3 – 4 tahun

(Barnas, 2003).

Serangan ulang malaria antara lain berkaitan dengan eliminasi parasit fase

eritrosit yang tidak sempurna karena pengobatan yang tidak adekuat dengan

obat-obatan skizontisida darah, reaktifasi bentuk hipnozoit, rendahnya respon imun atau

adanya reinfeksi dengan plasmodium baru (Cogswell, 1992).

Masih tingginya angka kejadian relaps pada penderita malaria di Indonesia

antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang masih rendah serta sikap

pencegahan dan pencarian pengobatan yang kurang baik pada saat kejadian malaria

(23)

Hasil penelitian Ludji (2005) di Kecamatan Kupang Timur Nusa Tenggara

Timur, mengatakan bahwa faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,

pengetahuan dan sikap mempengaruhi kesembuhan penderita malaria melalui

keteraturan menelan obat.

Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen (2008)

situasi penyakit malaria di Kabupaten Bireuen setelah bencana gempa dan tsunami

terlihat berfluktuasi. Insiden malaria turun dari 14,05‰ tahun 2004 menjadi 13,82 ‰

pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 17,30 ‰ tahun 2006 dan 18,15‰ tahun

2007.

Insidens malaria tertinggi di Kabupaten Bireuen terjadi di Kecamatan Juli yang

termasuk kategori Medium Insiden Area, dengan AMI sebesar 36,27 ‰ pada tahun

2005 meningkat menjadi 37,40 ‰ pada tahun 2006, kemudian turun menjadi 32,42

‰pada tahun 2007 (DinkesKab. Bireuen ).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan di 7 desa dengan

kategori Medium Insiden Area di Kecamatan Juli terlihat bahwa tingginya jumlah

penderita di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga

karena terjadinya serangan ulang/kekambuhan atau relaps pada penderita lama.

Jumlah penderita relaps meningkat dari 24,2% pada tahun 2006 menjadi 31,4%

tahun 2007. Dari laporan kasus malaria per desa di Puskesmas Juli selama periode

(24)

terjadi pada laki-laki berumur antara 25-40 tahun (82,2%) dan bekerja sebagai

petani (61,7%).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di

Kecamatan Juli tahun 2008.

1.2Permasalahan

Meskipun kejadian malaria telah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya

namun Kecamatan Juli masih merupakan daerah rawan malaria dengan kategori

Medium Insiden Area. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya

disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps

dari 24,2% tahun 2006 menjadi 33,8% pada tahun 2007.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu diketahui beberapa faktor yang

mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita

malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.

1.4Hipotesis

1. Ada pengaruh karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin,

pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di

(25)

2. Ada pengaruh perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap

kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.

3. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria

di Kecamatan Juli.

1.5Manfaat Penelitian

1. Memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam

perencanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten

Bireuen khususnya di kecamatan Juli.

3. Menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk pengambilan keputusan

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria

2.1.1 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari

genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan

gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa

dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ

misalnya otak, hati dan ginjal. (Prabowo, 2004)

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus

Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium

penyebab malaria pada manusia, yaitu (Depkes, 2005):

1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan

malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian).

2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.

3) Plasmodium malariae,penyebab malaria quartana

4) Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang

dijumpai.

2.1.3 Gejala malaria

Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam

(27)

prodromal berupa, malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual,

diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan ini sering

terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan P.falciparum dan P.malariae keluhan

prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak ( Harijanto, 2000).

Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon matang (sporolasi).

Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan schizon tiap 48 jam maka

periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (P. Malariae)

pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Gejala klasik

malaria biasanya terdiri atas 3 (tiga) stadium yang berurutan, yaitu (Depkes, 2005):

1. Stadium dingin (Cold stage)

Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan

lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang muntah. Periode ini berlangsung antara

15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.

2. Stadium demam (Hot stage)

Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas

badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah

turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari

fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih,

3. Stadium berkeringat (Sweating stage)

Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini berlangsung 2-4

(28)

mutlak, karena dalam kenyataannya gejala sangat bervariasi antar manusia dan antar

Plasmodium.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan

lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan

ibu hamil. Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat

adalah anemia karena P.falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit

yang berlebihan. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time) dan

gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang

(Mansjoer, 2001).

Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria

kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi

malaria. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan

terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen

eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2000).

Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan oleh

P.falciparum. Pada infeksi P.falciparum dapat menimbulkan malaria berat yang

menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciprum stadium aseksual dengan

(29)

2.1.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria

1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)

Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi

memerlukan 2 macam siklus, yaitu:

1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)

Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan

skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000

merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah

merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat

menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan

dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari

siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term

relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai

beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali

sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila

pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P.

malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).

2)Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)

Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk

kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit

(30)

tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P.

malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular

penyakit bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi

berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax

dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan

P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).

2. Vektor Malaria

Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di

Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah

dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria. Di setiap daerah dimana terjadi

transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang

menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari

rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2005).

Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan

untuk pertumbuhan telur nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses

penularan malaria (Depkes RI, 1999).

Menurut Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai

penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu:

a) Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.

b) Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.

(31)

d) Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan.

e) Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.

f) Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan.

g) Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.

Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus,

A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya

Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis,

A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2005).

Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi

oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan

nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan tersebut diletakkan di

luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Depkes, 2003).

3. Faktor Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006),

manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah

yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan

menularkan kepada orang lain.

Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan

dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan

nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal

(32)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons

imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah

risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap

kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi

terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons

immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000).

4. Faktor Lingkungan

Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut

Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :

1) Lingkungan fisik

Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan

transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada

suhu 26,7°C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11

hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang

optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin

pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu

(33)

b. Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak

berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah

untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk

jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.

c. Hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan

terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras

hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan

memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.

d. Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan

ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada

saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam

atau ke luar rumah.

e. Ketinggian

Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini

berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m

diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami

perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian

(34)

Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m

diatas permukaan laut (di Bolivia).

f. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.

A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih

menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh

maupun yang terang.

g. Arus air

A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir

lambat,sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai

air tergenang.

2) Lingkungan biologik

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat

mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau

melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan

larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan

mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau

dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak

tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.

3) Lingkungan kimiawi

Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan

(35)

12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera

Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.

4) Lingkungan sosial budaya

Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana

vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.

Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan

mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan

menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah

dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).

Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah

kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang

berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang

memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik

Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai risiko

tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan

bekerja di luar rumah malam hari.

2.1.5 Diagnosis Malaria

Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada

gejala klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium darah dan uji

(36)

itu positif malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dengan

mikroskop dan deteksi antigen (Harijanto, 2000).

Meskipun sangat sederhana pemeriksaan darah tepi dengan mikroskop

merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan terpenting yang tidak boleh

dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil pemeriksaan darah tepi adalah jenis

dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).

Deteksi antigen digunakan apabila tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa

preparat darah tepi atau pada daerah yang sulit dijangkau dan keadaan darurat yang

perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi antigen adalah

immunokromatografi dengan kertas dipstick yang dikenal dengan Rapid Diagnostic

Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi antigen dari P. falciparum dan non falciparum

terutama P. vivax (Tjitra, 2005).

2.1.6 Malaria Relaps

Istilah relaps telah digunakan secara luas dalam dunia kedokteran yang

berarti kambuh atau adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah serangan

pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit malaria,

namun sedikit lebih spesifik (Cogswell,1992).

Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat :

1) Rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah

(daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu

(37)

2) Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur

eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi

banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah

serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).

1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps

Marchoux dalam Cogswell (1992) menjelaskan mekanisme terjadinya relaps

pada penyakit malaria sebagai berikut:

1) Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam

peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati

tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang

menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu ( beberapa bulan hingga 5 tahun)

menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses

ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau

rekurens ( recurrence).

2) Dalam perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase

eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama

berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari

waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik

dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Pada malaria

falciparum, rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan

(38)

Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai pada P. malariae yang disebabkan

oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan.

2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps

Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan

dengan keadaan berikut:

1) Tidak efektifnya respon imun dari penderita

Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun

dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat

infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan

rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi

tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang

imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh

P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

2) Pengobatan yang tidak sempurna

Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses

skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Karena merasa sudah sehat

penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain

adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan

tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus P. vivax dan

P. ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan

(39)

3) Reinfeksiatau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang

Penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah

endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah

penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah

pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung

berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan

nyamuk yang infektif (Omunawa, 2002).

3. Dampak Malaria Relaps terhadap Pembangunan Kesehatan

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan

menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian

kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan fisik bagi

penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif yang terkena,

mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama.

Dalam jangka pendeknya, kerugian mudah diperhitungkan dengan hilangnya

hari produktif dari seseorang yang menderita malaria. Bila seorang pekerja terkena

malaria, paling tidak dia akan kehilangan hari kerja 3 sampai 5 hari. Bila nilai hari

produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang

biasanya memperoleh penghasilan Rp25.000 per hari, saat menderita malaria akan

kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp75.000 sampai Rp125.000.

(40)

ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss

penderita tadi (Sahli, 2004).

Menurut Gani (2000), kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat

malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah

(PAD) di beberapa Kabupaten/Kota.

Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia

akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas

angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata (Achmadi, 2005).

4. Pencegahan

Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam

penanggulangan malaria. Menurut Barnas (2003) cara terbaik untuk mencegah

terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di

daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan

profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah malaria.

Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang

perlu dilakukan adalah:

1) Mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai

baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari,

(41)

saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau

keluar rumah di malam hari.

Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada

rumah yang tidak dipasang kawat kasa 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan

rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan

repellent malam hari kemungkinan risiko 3,2 kali dibandingkan masyarakat dengan

kebiasaan menggunakan repellent malam hari.

Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Piyarat (1986), ditemukan bahwa

penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara kontinu cenderung mempunyai

risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu

secara kontinu.

2) Pengobatan yang adekuat

Penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan

aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan

laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primakuin. Pengobatan

radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan

bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai

penularan (Depkes, 2006).

Pemberian primakuin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat

(42)

diberikan primakuin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk

menyelesaikan pengobatan secara lengkap (Guerin, 2002).

2.1.7 Karakteristik Penderita

1. Umur

Penyakit malaria pada umumnya dapat menyerang semua golongan umur, dan

anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria. Namun bayi di daerah

endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara

transplasental. Telah diamati bahwa ada pengaruh spesies Plasmodium terhadap

penyebaran malaria pada berbagai kelompok umur, yaitu : P. vivax lebih banyak

dijumpai pada kelompok umur muda, kemudian diikuti oleh P. malaria dan P.

falciparum (Harijani, 1992).

2. Jenis Kelamin

Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, perbedaan angka kesakitan

malaria pada laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara

lain pekerjaan, pendidikan, migrasi penduduk dan kekebalan (Depkes RI, 1999).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons

imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah

risiko untuk terjadinya infeksi malaria (Harijanto, 2000).

3. Pendidikan

Cuming et al (Azwar, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai

(43)

individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan

watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan,

pengetahuan, dan keterampilan. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar

seseorang yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap

informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi suatu informasi-informasi atau

masalah yang dihadapi.

Penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin (2004), di Kabupaten Bireuen,

menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar terjadi pada kelompok umur

15–49 tahun (36,4%), menyerang lebih banyak laki-laki (56,8%), dan terbanyak

berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin dan pendidikan responden dengan kejadian malaria.

4. Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh

manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja

yang menghasilkan uang bagi seseorang (Depdikbud, 1999).

Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan

derajat keterpaparan tersebut serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan juga akan

berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada

pekerjaan tertentu (Notoatmodjo, 2003a).

Hal ini sesuai dengan penelitian Piyarat (1986) yang menyatakan bahwa orang

(44)

malaria karena dihutan merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk

Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi.

Dibuktikan juga oleh hasil penelitian Budarja (2001) bahwa ada hubungan

yang bermakna antara jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja

pada malam hari) dengan kejadian malaria.

2.2. Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada

dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya

sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku

kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status

kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon

ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif

(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat

dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan

lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan,

(45)

Becker dalam Notoatmodjo (2005) membedakan perilaku kesehatan sebagai

berikut:

1) Perilaku sehat (healthy behavior)

Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan

seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain

makan dengan menu seimbang, melakukan kegiatan fisik secara teratur dan cukup,

tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba, istirahat

yang cukup, mengatasi atau mengendalikan stres dan memelihara gaya hidup positif

untuk kesehatan.

2) Perilaku sakit (Illness behavior).

Perilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang

sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus perilaku sakit adalah

faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala

(menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi gejala

dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit (Sarwono, 2004).

3) Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)

Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan

lingkungannya. Jika penyakit itu membutuhkan ketrampilan khusus maka bantuan ini

dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse.

Untuk mencapai kesembuhan maka harus minum obat sesuai dengan anjuran dokter,

(46)

mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak pelayanan kesehatan

jauh, sulitnya transport, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat

dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya masyarakat dan minimnya

informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).

2.2.1. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau

seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini

berbentuk dua macam, yakni ( Notoatmodjo, 2005):

1) Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak

terlihat secara langsung oleh orang lain seperti berfikir, tanggapan atau sikap

batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat

mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya

ke puskesmas untuk diimunisasi. Dari contoh tersebut tampak bahwa ibu telah

tahu manfaat imunisasi meskipun ia belum melakukannya secara konkret.

Perilaku seperti ini disebut covert behavior (perilaku terselubung).

2) Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.

Misalnya pada contoh diatas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau

fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi. Oleh karena perilaku mereka ini sudah

(47)

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2005) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks

dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam

Notoatmodjo (2005) membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan),

meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas.

Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam

perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan

pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:

1) Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan

(knowledge)

2) Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi yang diberikan (attitude)

3) Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan

materi pendidikan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada

domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang

berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada

subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si

subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang

telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh

lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek tadi. Namun

(48)

menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru

tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain

tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan yang terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia yang sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo (2005) mengungkapkan

pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru)

di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

2) Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

3) Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya.

4) Trial, dimana subyek telah mulai mencoba perilaku baru.

5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

(49)

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak

senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam

Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan

antara lain:

1) Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari

kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk

menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan

(50)

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu

lain untuk menggunakan kelambu pada malam hari agar terhindar dari gigitan

nyamuk, atau mendiskusikan bagaimana mencari pengobatan penyakit malaria

adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap

pencegahan dan pengobatan malaria bagi keluarga atau masyarakat sekitarnya.

4) Bertanggung jawab (Resposible)

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko,

adalah merupakan sikap yang paling tinggi, misalnya seseorang mau menjadi

kader malaria desa secara sukarela, meski mendapat tantangan dari keluarganya.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara

langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap

suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan

hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.(Sangat setuju, setuju, tidak

setuju, sangat tidak setuju).

3. Tindakan (Practice)

Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Agar

sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu

kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, dukungan (support) pihak

(51)

1) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan

diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat

memilih jenis obat malaria yang tepat untuk pengobatan penyakit malaria.

2) Respon terpimpin (Guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh

adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat

menggunakan obat malaria dengan benar, mulai dari dosis yang dianjurkan,

mengetahui efek samping obat dan sebagainya.

3) Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau

sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4) Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik, dan sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau

bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni

(52)

2.2.3. Perilaku dalam Pengendalian Malaria

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada

kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat.

Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu, perilaku ideal

(ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang

diharapkan (expected behaviour).

Bentuk perilaku ideal yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu

atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain:

1) Perilaku ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah :

a. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai

obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup

b. Menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu waktu tidur malam hari

c. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah

d. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan

memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari

e. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah

nyamuk masuk ke dalam rumah

f. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan

genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk

g. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai.

Gambar

Gambar  1.  Kerangka Konsep Penelitian
Tabel  3.1. Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Tabel  3.2.  Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran dari Variabel Penelitian
Tabel  3.2.  Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran dari Variabel Penelitian (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain studi cross sectional untuk menganalisis pengaruh perilaku hieginetas (pengetahuan, sikap dan tindakan)

Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2011-2012 untuk mengetahui kejadian relaps penderita sindroma nefrotik di Rumah Sakit Umum

Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2011-2012 untuk mengetahui kejadian relaps penderita sindroma nefrotik di Rumah Sakit Umum

Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2011-2012 untuk mengetahui kejadian relaps penderita sindroma nefrotik di Rumah Sakit Umum

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi cross- sectional yang dilaksanakan dari Juli hingga Oktober 2014 dengan pengambilan data dari rekam

Penelitian ini bersifat observasional analitik (non eksperimental) dengan desain studi Cross Sectional , bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang

Penelitian ini menggunakan metode Observasional Analitik dengan pendekatan desain penelitian Cross Sectional study yaitu merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey analitik dengan desain cross sectional, dimana desain mempelajari hubungan faktor obesitas, trauma pada sendi,