ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA
MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN
TESIS
Oleh :
I R A W A T I
057023006/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA
MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh :
I R A W A T I 057023006/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN
Nama Mahasiswa : Irawati
Nomor Induk Mahasiswa : 057023006
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si) (Ir. Evi Naria, M.Kes)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)
Telah diuji pada Tanggal : 14 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr.Retno Widhiastuti, M.Si
PERNYATAAN
ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA
MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Juli 2009
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.
Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.
Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.
ABSTRACT
Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.
The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.
The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.
It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
”Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2009”.
Penulisan tesis ini juga dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini izinkanlah penulis
untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
3. Dr.Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Ketua dan Prof. Dr.Dra. Ida Yustina, M.Si
sebagai Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S, Ketua Komisi pembimbing, dan Ir. Evi Naria,
M.Kes sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan
pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan
5. dr. Surya Dharma, M.P.H, dan dr.Taufik Ashar,M.K.M selaku dosen pembanding
tesis ini.
6. Para Dosen dilingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. dr. Mukhtar, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen.
8. dr. Elli Fonna, selaku Kepala Puskesmas Juli Kabupaten Bireuen.
9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan
Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada Ibunda dan suami serta ananda tercinta serta seluruh keluarga yang telah
memberi dorongan dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terbatas
kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan tesis
ini, oleh karenanya kritik dan saran semua pihak sangat penulis harapkan sehingga
tesis ini dapat bermanfaat bagi Puskesmas Juli dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen umumnya.
Medan, Juli 2009
Irawati
RIWAYAT HIDUP
Irawati dilahirkan di Bireuen pada tanggal 29 Oktober 1966, merupakan anak
ke enam dari enam bersaudara dari pasangan ayahanda Muhammad Noor dengan
Ibunda Ainulmardhiah. Telah menikah dengan Azwary Asyek dan dikaruniai satu
orang putri bernama Azzuhra Azwary. Saat ini menetap di Jln. Sultan Malikussaleh
no.24 Bireuen.
Menamatkan Sekolah Dasar Negeri No. 20 Pekanbaru tahun 1979, SMP
Negeri 1 Bireuen tahun 1982, SMA Negeri 1 Bireuen tahun 1985, dan FK- Unsyiah
Darussalam, Banda Aceh tahun 1996.
Pengalaman bekerja, tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 sebagai staf RSU.
Datu Beru Takengon. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 sebagai staf Puskesmas
Jeumpa Kabupaten Bireuen. Tahun 2000 sampai sekarang sebagai staf Dinas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
2.1.3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria ... 9
2.1.4. Diagnosis Malaria ... 16
2.1.5. Malaria Relaps ... 17
2.1.6. Karakteristik Penderita... 23
2.2.Perilaku Kesehatan... 25
2.2.1. Bentuk Perilaku... 27
2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan... 28
2.2.3. Perilaku Penderita dalam Pemberantasan Malaria... 33
2.3.Landasan Teori... 34
2.4.Kerangka Konsep Penelitian... 36
BAB 3. METODE PENELITIAN... 37
3.1.Jenis Penelitian... 37
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
3.2.1. Lokasi Penelitian... 37
3.2.2. Waktu Penelitian ... 37
3.3.Populasi dan Sampel ... 38
3.3.1. Populasi... 38
3.4.Metode Pengumpulan Data... 38
3.4.1. Alat Pengumpul Data ... 38
3.4.2. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 38
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 39
3.5.Variabel dan Definisi Operasional... 41
3.6.Metode Pengukuran ... 43
3.6.1. Tingkat Pengetahuan... 43
3.6.2. Sikap ... 43
3.6.3. Tindakan Penderita ... 44
3.6.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 45
3.6.5. Lingkungan Luar Rumah ... 45
3.6.6. Kejadian Malaria Relaps... 46
3.7.Metode Analisa Data... 46
BAB 4. HASIL PENELITIAN... 47
4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47
4.1.1. Kondisi Geografis ... 47
4.1.2. Demografi ... 47
4.1.3. Sarana dan tenaga Pelayanan Kesehatan ... 49
4.1.4. Kondisi Kesehatan ... 50
4.1.5. Distribusi Penderita Malaria ... 51
4.2.Distribusi Karakteristik Responden Penelitian ... 52
4.2.1. Umur dan Jenis Kelamin... 52
4.2.2. Pendidikan... 52
4.2.3. Pekerjaan... 53
4.3.Distribusi Perilaku Responden Penelitian... 53
4.3.1. Pengetahuan ... 53
4.3.2. Sikap ... 54
4.3.3. Tindakan ... 55
4.4.Distribusi Faktor lingkungan Responden Penelitian... 56
4.4.1. Lingkungan Dalam Rumah ... 56
4.4.2. Lingkungan Luar Rumah ... 56
4.4.3. Kejadian Malaria Relaps... 57
4.5.Analisis Bivariat... 57
4.5.1. Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Relaps ... 57
4.5.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps ... 58
4.5.3. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59
4.5.4. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59
4.5.6. Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps ... 61
4.5.7. Hubungan Tindakan dengan Kejadian Relaps ... 62
4.5.8. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 62
4.5.9. Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 63
4.6.Analisis Multivariat ... 64
4.6.1. Pemilihan Variabel ... 64
4.6.2. Penentuan Variabel yang Dominan... 65
BAB 5. PEMBAHASAN... 67
5.1.Karakteristik Penderita Malaria ... 67
5.1.1. Pengaruh Umur terhadap Kejadian Malaria Relaps... 67
5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 68
5.1.3. Pengaruh Pendidikan terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 69
5.1.4. Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Relaps... 70
5.2.Pengaruh Perilaku terhadap Kejadian Malaria Relaps... 70
5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Malaria Relaps 71 5.2.2. Pengaruh Sikap terhadap Kejadian Malaria Relaps... 72
5.2.3. Pengaruh Tindakan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 73
5.3.Pengaruh Lingkungan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 76
5.3.1. Pengaruh Lingkungan Dalam Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 76
5.3.2. Pengaruh Lingkungan Luar Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 77
5.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Relaps pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli ... 78
5.4.1. Pekerjaan... 79
5.4.2. Pengetahuan ... 80
5.4.3. Tindakan ... 81
5.4.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 83
5.5.Keterbatasan Penelitian... 84
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 85
6.1. Kesimpulan ... 85
6.2. Saran ... 86
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 40
3.2. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran Variabel Penelitian... 41
4.7. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Juli... 49
4.8. Distribusi Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 49
4.9. Jenis dan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 50
4.10.Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51
4.11.Sepuluh Penyakit Utama Rawat Jalan di Puskesmas Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51
4.12.Distribusi Penderita Malaria Menurut Waktu Penemuan (Bulan)
di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 52
4.13.Distribusi Responden Menurut Kelompk Umur dan Jenis Kelamin
Di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53
4.14.Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di
Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53
4.15.Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 54
4.16.Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 55
4.18.Distribusi Responden Menurut Tindakan Di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 56
4.19.Distribusi Faktor Lingkungan Dalam Rumah Responden Di Kecamatan 57 Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008...
4.20.Distribusi Faktor Lingkungan Luar Rumah Responden Di Kecamatan
Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 57
4.21.Distribusi Responden menurut Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan
Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 58
4.22.Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 59
4.23.Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 59
4.24. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Relaps di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 60
4.25.Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps
di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61
4.26.Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Malaria Relaps
di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61
4.27.Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan
Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62
4.28.Hubungan Tindakan dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan
Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62
4.29.Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 63
4.30.Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps
di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 64
4.31.Hasil Uji Bivariat Untuk Identifikasi Variabel yang Perlu
4.32.Hasil Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli
Tahun 2008 ... 65
4.33.Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
3.1. Kuesioner Penelitian ... 92
3.1. Uji validitas dan reliabilitas ... 98
3.1. Hasil Analisis Univariat ... 101
3.1. Hasil Analisis Bivariat ... 103
3.1. Hasil Analisis Multivariat dengan Uji regresi Logistik ... 113
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.
Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.
Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.
ABSTRACT
Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.
The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.
The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.
It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria sebagai salah satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO dalam Murphy (2005),
malaria menduduki ranking 5 dari 10 penyakit utama penyebab kecacatan dan
kematian di negara-negara paling miskin di dunia. Penyakit ini tidak hanya
menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan
kematian, di samping menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya.
Angka kesakitan malaria di Indonesia sejak empat tahun terakhir belum
menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Angka kesakitan di Jawa dan Bali
yang diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) sedikit naik dari 0,15‰ tahun
2004 menjadi 0,16 ‰ pada tahun 2007. Sementara angka kesakitan di luar Jawa dan
Bali yang di ukur dengan Annual Malaria Incidence (AMI) telah menurun dari 21,2
‰ tahun 2004 menjadi 19,67 ‰ pada tahun 2007, namun angka tersebut masih
sangat jauh dari target nasional menuju Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan
Depkes RI yaitu AMI 5‰ (Depkes RI, 2003).
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam angka kesakitan malaria dalam empat
tahun terakhir juga telah menurun dengan AMI 5,23 ‰ tahun 2000 menjadi 4,94 ‰
gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, angka kesakitan malaria kembali
menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 32,12 ‰ pada tahun 2005 menjadi
36,02 ‰ tahun 2006 kemudian turun menjadi 27,23‰ pada tahun 2007 (Dinkes
NAD, 2007).
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan kategori Low Incidence Area (LIA).
Gambaran situasi penyakit malaria menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 12,79
‰ pada tahun 2003 menjadi 14,05 ‰ pada tahun 2004 (Dinkes. Kabupaten Bireuen 2007).
Bencana tsunami 26 Desember 2004 berdampak langsung baik fisik maupun
non fisik terhadap masyarakat kabupaten Bireuen yang tinggal di 9 Kecamatan dari
17 Kecamatan yang ada . Dampak turunan dari kejadian tersebut dikhawatirkan akan
terjadi kenaikan kasus penyakit menular di antaranya malaria. Kekhawatiran akan
terjadinya kenaikan kasus malaria antara lain disebabkan tingginya mobilitas
penduduk dan banyaknya terjadi perubahan lingkungan yang diduga kuat akan
memperluas atau menjadi tempat perindukan nyamuk penular malaria dan di wilayah
tersebut yang kemungkinan ada sumber penular.
Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tahun 2005 pemerintah pusat
pendistribusian kelambu berinsektisida permethrin, dan penyemprotan rumah dengan menggunakan alpha cypermethrin (fendona 5 wp) dengan dosis 0,03 gr/m2.
Untuk meningkatkan kualitas kemampuan manajemen pemberantasan malaria,
juga dilakukan pelatihan tenaga pengelola malaria kabupaten dan puskesmas.
Kegiatan penanggulangan malaria dan monitoring yang terus-menerus dilakukan
menjadikan kekhawatiran akan terjadinya kejadian luar biasa malaria di wilayah
Kabupataen Bireuen terutama di daerah-daerah yang terkena tsunami tidak menjadi
kenyataan, meskipun masih ada kenaikan kasus malaria di beberapa tempat.
Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan
menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian
kesakitan dapat berlangsung berulang kali. Seorang penderita malaria bisa
mengalami serangan ulang sebanyak 35 – 40 kali selama periode 3 – 4 tahun
(Barnas, 2003).
Serangan ulang malaria antara lain berkaitan dengan eliminasi parasit fase
eritrosit yang tidak sempurna karena pengobatan yang tidak adekuat dengan
obat-obatan skizontisida darah, reaktifasi bentuk hipnozoit, rendahnya respon imun atau
adanya reinfeksi dengan plasmodium baru (Cogswell, 1992).
Masih tingginya angka kejadian relaps pada penderita malaria di Indonesia
antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang masih rendah serta sikap
pencegahan dan pencarian pengobatan yang kurang baik pada saat kejadian malaria
Hasil penelitian Ludji (2005) di Kecamatan Kupang Timur Nusa Tenggara
Timur, mengatakan bahwa faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
pengetahuan dan sikap mempengaruhi kesembuhan penderita malaria melalui
keteraturan menelan obat.
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen (2008)
situasi penyakit malaria di Kabupaten Bireuen setelah bencana gempa dan tsunami
terlihat berfluktuasi. Insiden malaria turun dari 14,05‰ tahun 2004 menjadi 13,82 ‰
pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 17,30 ‰ tahun 2006 dan 18,15‰ tahun
2007.
Insidens malaria tertinggi di Kabupaten Bireuen terjadi di Kecamatan Juli yang
termasuk kategori Medium Insiden Area, dengan AMI sebesar 36,27 ‰ pada tahun
2005 meningkat menjadi 37,40 ‰ pada tahun 2006, kemudian turun menjadi 32,42
‰pada tahun 2007 (DinkesKab. Bireuen ).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan di 7 desa dengan
kategori Medium Insiden Area di Kecamatan Juli terlihat bahwa tingginya jumlah
penderita di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga
karena terjadinya serangan ulang/kekambuhan atau relaps pada penderita lama.
Jumlah penderita relaps meningkat dari 24,2% pada tahun 2006 menjadi 31,4%
tahun 2007. Dari laporan kasus malaria per desa di Puskesmas Juli selama periode
terjadi pada laki-laki berumur antara 25-40 tahun (82,2%) dan bekerja sebagai
petani (61,7%).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di
Kecamatan Juli tahun 2008.
1.2Permasalahan
Meskipun kejadian malaria telah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya
namun Kecamatan Juli masih merupakan daerah rawan malaria dengan kategori
Medium Insiden Area. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya
disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps
dari 24,2% tahun 2006 menjadi 33,8% pada tahun 2007.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu diketahui beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita
malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.
1.4Hipotesis
1. Ada pengaruh karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin,
pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di
2. Ada pengaruh perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap
kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
3. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria
di Kecamatan Juli.
1.5Manfaat Penelitian
1. Memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam
perencanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten
Bireuen khususnya di kecamatan Juli.
3. Menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk pengambilan keputusan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Malaria
2.1.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan
gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa
dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ
misalnya otak, hati dan ginjal. (Prabowo, 2004)
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus
Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium
penyebab malaria pada manusia, yaitu (Depkes, 2005):
1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan
malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian).
2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3) Plasmodium malariae,penyebab malaria quartana
4) Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang
dijumpai.
2.1.3 Gejala malaria
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam
prodromal berupa, malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual,
diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan ini sering
terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan P.falciparum dan P.malariae keluhan
prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak ( Harijanto, 2000).
Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon matang (sporolasi).
Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan schizon tiap 48 jam maka
periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (P. Malariae)
pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Gejala klasik
malaria biasanya terdiri atas 3 (tiga) stadium yang berurutan, yaitu (Depkes, 2005):
1. Stadium dingin (Cold stage)
Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan
lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang muntah. Periode ini berlangsung antara
15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2. Stadium demam (Hot stage)
Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas
badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah
turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari
fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih,
3. Stadium berkeringat (Sweating stage)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini berlangsung 2-4
mutlak, karena dalam kenyataannya gejala sangat bervariasi antar manusia dan antar
Plasmodium.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan
lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan
ibu hamil. Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat
adalah anemia karena P.falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit
yang berlebihan. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time) dan
gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang
(Mansjoer, 2001).
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria
kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi
malaria. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan
terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen
eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2000).
Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan oleh
P.falciparum. Pada infeksi P.falciparum dapat menimbulkan malaria berat yang
menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciprum stadium aseksual dengan
2.1.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria
1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)
Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi
memerlukan 2 macam siklus, yaitu:
1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)
Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan
skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000
merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah
merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat
menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan
dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari
siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term
relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai
beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali
sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila
pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P.
malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).
2)Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)
Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk
kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit
tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P.
malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular
penyakit bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi
berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax
dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan
P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).
2. Vektor Malaria
Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di
Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah
dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria. Di setiap daerah dimana terjadi
transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang
menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari
rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2005).
Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan
untuk pertumbuhan telur nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses
penularan malaria (Depkes RI, 1999).
Menurut Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai
penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu:
a) Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.
b) Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.
d) Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan.
e) Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.
f) Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan.
g) Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.
Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus,
A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya
Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis,
A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2005).
Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi
oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan
nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan tersebut diletakkan di
luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Depkes, 2003).
3. Faktor Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006),
manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah
yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan
menularkan kepada orang lain.
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan
dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan
nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons
imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah
risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap
kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi
terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons
immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000).
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut
Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :
1) Lingkungan fisik
Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan
transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada
suhu 26,7°C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11
hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang
optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu
b. Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak
berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah
untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk
jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.
c. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan
terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras
hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan
memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.
d. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan
ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada
saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam
atau ke luar rumah.
e. Ketinggian
Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini
berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m
diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami
perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian
Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m
diatas permukaan laut (di Bolivia).
f. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih
menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh
maupun yang terang.
g. Arus air
A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir
lambat,sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai
air tergenang.
2) Lingkungan biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau
melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan
larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau
dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak
tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.
3) Lingkungan kimiawi
Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan
12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera
Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.
4) Lingkungan sosial budaya
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana
vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.
Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan
menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah
dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).
Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah
kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang
berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang
memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik
Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai risiko
tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan
bekerja di luar rumah malam hari.
2.1.5 Diagnosis Malaria
Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada
gejala klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium darah dan uji
itu positif malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dengan
mikroskop dan deteksi antigen (Harijanto, 2000).
Meskipun sangat sederhana pemeriksaan darah tepi dengan mikroskop
merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan terpenting yang tidak boleh
dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil pemeriksaan darah tepi adalah jenis
dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).
Deteksi antigen digunakan apabila tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa
preparat darah tepi atau pada daerah yang sulit dijangkau dan keadaan darurat yang
perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi antigen adalah
immunokromatografi dengan kertas dipstick yang dikenal dengan Rapid Diagnostic
Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi antigen dari P. falciparum dan non falciparum
terutama P. vivax (Tjitra, 2005).
2.1.6 Malaria Relaps
Istilah relaps telah digunakan secara luas dalam dunia kedokteran yang
berarti kambuh atau adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah serangan
pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit malaria,
namun sedikit lebih spesifik (Cogswell,1992).
Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat :
1) Rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah
(daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu
2) Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur
eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi
banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah
serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).
1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps
Marchoux dalam Cogswell (1992) menjelaskan mekanisme terjadinya relaps
pada penyakit malaria sebagai berikut:
1) Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam
peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati
tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang
menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu ( beberapa bulan hingga 5 tahun)
menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses
ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau
rekurens ( recurrence).
2) Dalam perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase
eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama
berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari
waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik
dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Pada malaria
falciparum, rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan
Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai pada P. malariae yang disebabkan
oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan.
2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps
Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan
dengan keadaan berikut:
1) Tidak efektifnya respon imun dari penderita
Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun
dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat
infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan
rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi
tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang
imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh
P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).
2) Pengobatan yang tidak sempurna
Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses
skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Karena merasa sudah sehat
penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain
adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan
tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus P. vivax dan
P. ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan
3) Reinfeksiatau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang
Penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah
endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah
penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah
pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung
berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan
nyamuk yang infektif (Omunawa, 2002).
3. Dampak Malaria Relaps terhadap Pembangunan Kesehatan
Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan
menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian
kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan fisik bagi
penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif yang terkena,
mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama.
Dalam jangka pendeknya, kerugian mudah diperhitungkan dengan hilangnya
hari produktif dari seseorang yang menderita malaria. Bila seorang pekerja terkena
malaria, paling tidak dia akan kehilangan hari kerja 3 sampai 5 hari. Bila nilai hari
produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang
biasanya memperoleh penghasilan Rp25.000 per hari, saat menderita malaria akan
kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp75.000 sampai Rp125.000.
ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss
penderita tadi (Sahli, 2004).
Menurut Gani (2000), kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat
malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di beberapa Kabupaten/Kota.
Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia
akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas
angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata (Achmadi, 2005).
4. Pencegahan
Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam
penanggulangan malaria. Menurut Barnas (2003) cara terbaik untuk mencegah
terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di
daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan
profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah malaria.
Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang
perlu dilakukan adalah:
1) Mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai
baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari,
saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau
keluar rumah di malam hari.
Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada
rumah yang tidak dipasang kawat kasa 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan
rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan
repellent malam hari kemungkinan risiko 3,2 kali dibandingkan masyarakat dengan
kebiasaan menggunakan repellent malam hari.
Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Piyarat (1986), ditemukan bahwa
penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara kontinu cenderung mempunyai
risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu
secara kontinu.
2) Pengobatan yang adekuat
Penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan
aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primakuin. Pengobatan
radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan
bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai
penularan (Depkes, 2006).
Pemberian primakuin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat
diberikan primakuin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk
menyelesaikan pengobatan secara lengkap (Guerin, 2002).
2.1.7 Karakteristik Penderita
1. Umur
Penyakit malaria pada umumnya dapat menyerang semua golongan umur, dan
anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria. Namun bayi di daerah
endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara
transplasental. Telah diamati bahwa ada pengaruh spesies Plasmodium terhadap
penyebaran malaria pada berbagai kelompok umur, yaitu : P. vivax lebih banyak
dijumpai pada kelompok umur muda, kemudian diikuti oleh P. malaria dan P.
falciparum (Harijani, 1992).
2. Jenis Kelamin
Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, perbedaan angka kesakitan
malaria pada laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain pekerjaan, pendidikan, migrasi penduduk dan kekebalan (Depkes RI, 1999).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons
imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah
risiko untuk terjadinya infeksi malaria (Harijanto, 2000).
3. Pendidikan
Cuming et al (Azwar, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai
individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan
watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan,
pengetahuan, dan keterampilan. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar
seseorang yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap
informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi suatu informasi-informasi atau
masalah yang dihadapi.
Penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin (2004), di Kabupaten Bireuen,
menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar terjadi pada kelompok umur
15–49 tahun (36,4%), menyerang lebih banyak laki-laki (56,8%), dan terbanyak
berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dan pendidikan responden dengan kejadian malaria.
4. Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh
manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja
yang menghasilkan uang bagi seseorang (Depdikbud, 1999).
Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan
derajat keterpaparan tersebut serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan juga akan
berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada
pekerjaan tertentu (Notoatmodjo, 2003a).
Hal ini sesuai dengan penelitian Piyarat (1986) yang menyatakan bahwa orang
malaria karena dihutan merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk
Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi.
Dibuktikan juga oleh hasil penelitian Budarja (2001) bahwa ada hubungan
yang bermakna antara jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja
pada malam hari) dengan kejadian malaria.
2.2. Perilaku Kesehatan
Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada
dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya
sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku
kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status
kesehatan individu maupun masyarakat.
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon
ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan,
Becker dalam Notoatmodjo (2005) membedakan perilaku kesehatan sebagai
berikut:
1) Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain
makan dengan menu seimbang, melakukan kegiatan fisik secara teratur dan cukup,
tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba, istirahat
yang cukup, mengatasi atau mengendalikan stres dan memelihara gaya hidup positif
untuk kesehatan.
2) Perilaku sakit (Illness behavior).
Perilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus perilaku sakit adalah
faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala
(menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi gejala
dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit (Sarwono, 2004).
3) Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)
Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan
lingkungannya. Jika penyakit itu membutuhkan ketrampilan khusus maka bantuan ini
dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse.
Untuk mencapai kesembuhan maka harus minum obat sesuai dengan anjuran dokter,
mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak pelayanan kesehatan
jauh, sulitnya transport, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat
dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya masyarakat dan minimnya
informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).
2.2.1. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini
berbentuk dua macam, yakni ( Notoatmodjo, 2005):
1) Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak
terlihat secara langsung oleh orang lain seperti berfikir, tanggapan atau sikap
batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat
mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya
ke puskesmas untuk diimunisasi. Dari contoh tersebut tampak bahwa ibu telah
tahu manfaat imunisasi meskipun ia belum melakukannya secara konkret.
Perilaku seperti ini disebut covert behavior (perilaku terselubung).
2) Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada contoh diatas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau
fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi. Oleh karena perilaku mereka ini sudah
2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (2005) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks
dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam
Notoatmodjo (2005) membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan),
meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas.
Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam
perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan
pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:
1) Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(knowledge)
2) Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi yang diberikan (attitude)
3) Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan
materi pendidikan yang diberikan (practice)
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada
domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang
berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada
subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si
subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang
telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh
lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek tadi. Namun
menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru
tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain
tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yang sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo (2005) mengungkapkan
pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru)
di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2) Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
3) Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
4) Trial, dimana subyek telah mulai mencoba perilaku baru.
5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak
senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam
Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
antara lain:
1) Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2) Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan
3) Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu
lain untuk menggunakan kelambu pada malam hari agar terhindar dari gigitan
nyamuk, atau mendiskusikan bagaimana mencari pengobatan penyakit malaria
adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap
pencegahan dan pengobatan malaria bagi keluarga atau masyarakat sekitarnya.
4) Bertanggung jawab (Resposible)
Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko,
adalah merupakan sikap yang paling tinggi, misalnya seseorang mau menjadi
kader malaria desa secara sukarela, meski mendapat tantangan dari keluarganya.
Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan
hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.(Sangat setuju, setuju, tidak
setuju, sangat tidak setuju).
3. Tindakan (Practice)
Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Agar
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, dukungan (support) pihak
1) Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat
memilih jenis obat malaria yang tepat untuk pengobatan penyakit malaria.
2) Respon terpimpin (Guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh
adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat
menggunakan obat malaria dengan benar, mulai dari dosis yang dianjurkan,
mengetahui efek samping obat dan sebagainya.
3) Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.
4) Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik, dan sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni
2.2.3. Perilaku dalam Pengendalian Malaria
Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada
kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat.
Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu, perilaku ideal
(ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang
diharapkan (expected behaviour).
Bentuk perilaku ideal yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu
atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain:
1) Perilaku ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah :
a. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai
obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup
b. Menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu waktu tidur malam hari
c. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah
d. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan
memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari
e. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah
nyamuk masuk ke dalam rumah
f. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan
genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk
g. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai.