• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

3. Pengaruh Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps

Faktor lingkungan rumah responden yang diteliti adalah faktor lingkungan dalam rumah dan lingkungan luar rumah dengan melakukan observasi terhadap kondisi ventilasi, dinding dan lantai rumah yang memudahkan nyamuk keluar masuk serta keberadaan kain kotor, genangan air, kandang ternak dan kolam di halaman rumah.

5.3.1. Pengaruh Lingkungan Dalam Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian malaria relaps terjadi pada sebagian besar (73,1%) responden yang mempunyai lingkungan dalam rumah yang kurang baik. Sedangkan responden yang lingkungan dalam rumahnya baik dan mengalami kejadian malaria relaps hanya 8,8%. Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,001, berarti secara statistik ada hubungan yang signifikan antara lingkungan dalam rumah dengan kejadian malaria relaps.

Berdasarkan hasil obeservasi dilapangan diketahui bahwa sebagian responden menempati rumah bantuan yang merupakan rumah permanen namun tidak seluruhnya terpasang kawat kasa pada ventilasi, 60% responden yang ventilasi rumahnya terpasang kawat kasa dan 31,7% responden tinggal di rumah yang terdapat celah pada dinding atau lantainya. Konstruksi rumah dengan ventilasi yang tidak terpasang kawat nyamuk dan kondisi dinding atau lantai yang memudahkan nyamuk keluar atau masuk juga akan menyebabkan kontak yang sering antara penderita dengan nyamuk sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ulang akan sangat besar.

Hal ini sejalan dengan teori Russel et al dalam Subki (2000), bahwa rumah modern dan higienis tidak mempengaruhi kejadian malaria, justru yang mempengaruhi apakah rumah tersebut terlindung dari nyamuk atau tidak. Didukung oleh penelitian Nahak (2000), yang mendapatkan bahwa buruknya lingkungan tempat tinggal secara statistik berhubungan dengan tingginya angka kejadian malaria.

5.3.2. Pengaruh Lingkungan Luar Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps

Kejadian malaria relaps terjadi pada 38,5% responden yang lingkungan luar rumahnya kurang baik, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan responden yang lingkungan luar rumahnya baik (33,3%). Dari hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,694 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkungan luar rumah berupa adanya genangan air atau kolam dan keberadaan ternak dengan kejadian malaria relaps.

Berdasarkan hasil observasi dilokasi penelitian diketahui 61,7% responden terdapat genangan air dihalaman rumahnya yang sebagian besar merupakan saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang tidak tertata dengan baik, 65,0% responden mengandangkan ternaknya berupa sapi dan kerbau di belakang rumah.

Menurut Depkes RI, (1999) tempat perindukan nyamuk yang potensial adalah genangan-genangan air baik air tawar maupun air payau yang tidak tercemar atau terpolusi dan selalu berhubungan dengan tanah. Adanya genangan air disekitar rumah merupakan tempat yang potensial sebagai tempat perindukan nyamuk yang tentunya akan berpengaruh kepada angka kepadatan jentik.

Tidak ada hubungan lingkungan luar rumah berupa keberadaan genangan air dan ternak dimungkinkan oleh kondisi air tersebut seperti suhu atau pH air tidak sesuai dengan kesukaan nyamuk. Sementara keberadaan ternak yang peletakan kandang dekat dengan rumah responden seharusnya mempengaruhi jumlah gigitan pada manusia, namun hal tersebut juga tergantung dari kesukaan nyamuk menggigit.

Hal ini didukung oleh teori Achmadi (2005) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Wilayah bahwa ditinjau dari kebiasaan makannya, nyamuk penular malaria ada yang bersifat antropofilik yaitu nyamuk yang lebih suka menghisap darah manusia daripada darah hewan, dan ada yang bersifat zoofilik yaitu nyamuk yang lebih suka menghisap darah hewan daripada darah manusia.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Relaps pada Penderita

Malaria di Kecamatan Juli

Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan di Kecamatan Juli yang sampai saat ini masih belum dapat ditanggulangi secara optimal. Ini terbukti dari masih tingginya angka kejadian malaria yang bukan saja disebabkan oleh penderita baru tetapi juga karena banyaknya penderita lama yang kambuh/relaps.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 60 penderita malaria yang berobat pada bulan Januari sampai Juli 2008 di puskesmas Kecamatan Juli, didapatkan sebanyak 22 orang (36,7%) diantaranya mengalami serangan ulang atau relaps. Dari berbagai variabel yang diteliti, setelah dianalisis diketahui ternyata yang berpengaruh terhadap kejadian relaps tersebut adalah sebagai berikut:

5.4.1. Variabel Pekerjaan

Secara statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian malaria relaps (p= 0,011). Dari hasil tabulasi silang antara pekerjaan dengan kejadian malaria relaps diketahui bahwa kejadian relaps dialami oleh sebagian besar responden yang bekerja yaitu sebesar 51,4%, sedangkan pada responden tidak bekerja yang mengalami relaps hanya 16%.

Hal ini dimungkinkan mengingat kebiasaan responden di daerah penelitian, sudah melakukan aktifitas di ladang atau kebun sejak pukul 05.00 pagi (sehabis subuh). Kebiasaan lain adalah pada saat menjelang panen responden melakukan aktivitas malam hari untuk menjaga kebun bahkan menginap di ladang atau kebun. Berdasarkan survey pendahuluan entomologi yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen (2007) ditemukan 3 vektor potensial dalam transmisi malaria di Kecamatan Juli yaitu A.maculatus, A.sundaicus dan A.vagus. Ke 3 jenis vektor tersebut mempunyai aktivitas gigitan pada waktu-waktu tersebut, sehingga memungkinkan responden selalu terpapar dengan gigitan nyamuk infektif serta berpeluang terinfeksi kembali dan menimbulkan relaps.

Hal ini di dukung oleh teori yang disampaikan Notoatmodjo (2003a), bahwa pekerjaan dalam arti luas adalah aktifitas utama yang dilakukan manusia. Dalam kaitannya dengan suatu penyakit pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan.

Ini sesuai dengan hasil penelitian Budarja (2001), bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian malaria. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Saifuddin (2004) di Kecamatan Makmur Kabupaten Bireuen, juga mendapatkan penderita malaria pada umumnya adalah bekerja sebagai petani yaitu sebesar 88,8%.

5.4.2. Variabel Pengetahuan

Terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan responden tentang penyakit malaria terutama cara penularan, pencegahan dan pengobatan malaria serta perkembangan penyakit yang bisa menimbulkan relaps. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden yang berpengetahuan kurang sedikit lebih banyak (51,7%) bila dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik, namun kejadian relaps dialami oleh sebagian besar (67,9%) responden yang pengetahuannya kurang. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang malaria yang mengalami relaps hanya 6,9%.

Dari hasil pengumpulan data di lapangan ditemukan 51,7% responden belum mengetahui dengan benar tentang cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk, 60% responden tidak tahu dengan benar cara penyembuhan penyakit malaria dan hanya 38,3% responden yang tahu bahwa bila obat malaria tidak diminum secara teratur sampai habis akan berakibat penyakit kambuh atau relaps. Ketidaktahuan akan hal-hal tersebut memungkinkan responden tidak melaksanakan dengan baik upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya relaps, dan

hal ini mungkin disebabkan kurangnya penyampaian informasi kepada responden tentang malaria khususnya tentang perjalanan penyakit malaria yang bisa menimbulkan serangan ulang/relaps.

Pengetahuan sangat menentukan seseorang dalam berperilaku, misalnya tindakan pencegahan (health prevention behavior) terhadap malaria, yaitu setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mencegah terjadinya penyakit malaria antara lain, tidur menggunakan kelambu, penggunaan anti nyamuk, pemasangan kasa nyamuk dan minum obat secara teratur sesuai petunjuk serta pembersihan rumah dan lingkungan dari tempat istirahat/perkembangbiakan nyamuk Anopheles.

Beberapa penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Maulana (2003), di Kecamatan Simeulue Timur menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang rendah terbukti secara statistik berpengaruh terhadap angka kejadian penyakit malaria.

5.4.3. Variabel Tindakan

Variabel ini terbukti secara statistik berhubungan dengan kejadian relaps (p = 0,001). Berdasarkan analisis multivariat dengan uji regresi logistik diketahui bahwa tindakan merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.

Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar kejadian relaps dialami oleh responden yang tidak melakukan tindakan pencegahan relaps dengan baik terutama tindakan dalam pengobatan dan tindakan dalam menghindari gigitan nyamuk seperti

tidak memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, tidak menggunakan obat nyamuk atau kelambu secara rutin saat tidur malam hari dan tidak menggunakan pakaian tertutup saat keluar rumah malam hari.

Tindakan responden yang tidak baik selama masa pengobatan terbukti dari adanya responden yang tidak pernah minum obat secara teratur sesuai petunjuk meskipun seluruh responden dalam penelitian ini sudah mendapatkan obat yang sesuai dengan dosis yang tepat dari puskesmas yaitu pengobatan radikal dengan primakuin. Namun kemungkinan penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis karena biasanya setelah 2 – 3 hari minum obat gejala-gejala penyakit berkurang sehingga penderita merasa sudah sehat. Keadaan ini menyebabkan tidak semua stadium parasit dapat dihancurkan yang memungkinkan parasit tersebut aktif kembali dan menimbulkan serangan ulang atau relaps.

Menurut Depkes (2006) bahwa pada umumnya obat-obat anti malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit sehingga mengurangi gejala klinis seperti demam, sakit kepala, mual dan muntah.

Pada infeksi dengan P.vivax dan P.ovale serangan ulang terjadi karena adanya reaktifasi bentuk hipnozoit dan memulai proses skizogoni eksoeritrosit sekunder. Sedangkan pada P.falciparum dan P.malariae yang tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder, terjadinya relaps didebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik. Parasit dapat tetap berada dalam darah selama berbulan-bulan bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu (Cogswell, 1992).

Sementara responden yang tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan baik, seperti tidak memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, tidak menggunakan obat nyamuk atau kelambu secara rutin saat tidur malam hari tidak menggunakan pakaian tertutup saat keluar rumah malam hari akan sangat mendukung terjadinya kontak dengan nyamuk semakin sering dan menyebabkan semakin besar peluang terinfeksi kembali dan menimbulkan serangan ulang atau relaps.

Hal ini didukung teori Omunawa (2002), bahwa penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah endemis adalah karena reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi setelah penderita menyelesaikan pengobatannya.

Data lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mengikuti penyuluhan kesehatan atau penyuluhan malaria masih kurang, bahkan 51,7% responden tidak pernah mengikuti penyuluhan kesehatan yang ada didesa. Hal ini mengakibatkan rendahnya pemahaman responden terhadap penyakit malaria karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan khususnya tentang penyakit malaria. 5.4.4. Lingkungan Dalam Rumah

Secara statistik terbukti bahwa lingkungan dalam rumah berpengaruh terhadap terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli, dimana kejadian relaps terjadi pada sebagian besar responden yang mempunyai lingkungan dalam rumah yang kurang baik.

Pada penelitian ini lingkungan dalam rumah yang kurang baik adalah kondisi rumah dengan ventilasi tidak terpasang kawat kasa serta adanya celah pada dinding atau lantai yang memungkinkan nyamuk keluar masuk dengan mudah. Kondisi seperti itu menyebabkan kontak yang sering antara penderita dengan nyamuk sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ulang akan sangat besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Russel et al dalam Subki (2000), bahwa rumah modern dan higienis tidak mempengaruhi kejadian malaria, justru yang berpengaruh apakah rumah tersebut terlindung dari nyamuk misalnya penggunaan kawat kasa pada pada jendela dan ventilasi.

Dokumen terkait