• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penyakit Malaria

2.1.6 Malaria Relaps

Istilah relaps telah digunakan secara luas dalam dunia kedokteran yang berarti kambuh atau adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah serangan pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit malaria, namun sedikit lebih spesifik (Cogswell,1992).

Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat :

1) Rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan pertama hilang.

2) Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).

1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps

Marchoux dalam Cogswell (1992) menjelaskan mekanisme terjadinya relaps pada penyakit malaria sebagai berikut:

1) Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu ( beberapa bulan hingga 5 tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau rekurens ( recurrence).

2) Dalam perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Pada malaria falciparum, rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan awal dan ini mungkin menunjukkan adanya suatu resistensi terhadap chloroquine.

Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai pada P. malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan. 2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps

Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan dengan keadaan berikut:

1) Tidak efektifnya respon imun dari penderita

Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

2) Pengobatan yang tidak sempurna

Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Karena merasa sudah sehat penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus P. vivax dan P. ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan relaps jangka panjang (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

3) Reinfeksiatau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang

Penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan nyamuk yang infektif (Omunawa, 2002).

3. Dampak Malaria Relaps terhadap Pembangunan Kesehatan

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan fisik bagi penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif yang terkena, mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama.

Dalam jangka pendeknya, kerugian mudah diperhitungkan dengan hilangnya hari produktif dari seseorang yang menderita malaria. Bila seorang pekerja terkena malaria, paling tidak dia akan kehilangan hari kerja 3 sampai 5 hari. Bila nilai hari produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang biasanya memperoleh penghasilan Rp25.000 per hari, saat menderita malaria akan kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp75.000 sampai Rp125.000. Belum lagi kalau diperhitungkan dengan biaya pengobatan dan jumlah serangan

ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss penderita tadi (Sahli, 2004).

Menurut Gani (2000), kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa Kabupaten/Kota.

Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata (Achmadi, 2005).

4. Pencegahan

Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam penanggulangan malaria. Menurut Barnas (2003) cara terbaik untuk mencegah terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah malaria.

Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang perlu dilakukan adalah:

1) Mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu

saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau keluar rumah di malam hari.

Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada rumah yang tidak dipasang kawat kasa 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan repellent malam hari kemungkinan risiko 3,2 kali dibandingkan masyarakat dengan kebiasaan menggunakan repellent malam hari.

Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Piyarat (1986), ditemukan bahwa penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara kontinu cenderung mempunyai risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu secara kontinu.

2) Pengobatan yang adekuat

Penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primakuin. Pengobatan radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes, 2006).

Pemberian primakuin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat menghancurkan bentuk hipnozoit dan untuk sterilisasi gametocyt P.falciparum

diberikan primakuin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatan secara lengkap (Guerin, 2002).

Dokumen terkait