TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Pelindung Telinga (APT) 1 Definisi dan Jenis APT
2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemakaian APT a Umur
Umur merupakan salah satu faktor karakteristik pekerja. Suma’mur (1989) menyatakan dalam statistik terlihat bahwa dengan usia muda sering mengalami kecelakaan kerja bila dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Secara umum diketahui bahwa kapasitas fisik manusia seperti penglihatan dan kecepatan reaksi menurun setelah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka pada usia tersebut mungkin akan lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan bahaya, dibandingkan dengan pekerja yang berusia muda. Menurut Suma’mur (1989), angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih meningkat mengikuti pertambahan umur.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa umur pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang umumnya > 41 tahun, yaitu sebesar 63,3%. Umur juga sebagai salah satu penentu kematangan berfikir dari seorang pekerja.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam kaitannya dengan perilaku selamat diutarakan oleh Suma’mur (1989) bahwa terdapat kelompok-kelompok tenaga kerja yang oleh karena alasan-alasan tertentu mendapat perhatian khusus dalam keselamatan kerja. Mereka itu salah satunya adalah wanita. Ketentuan-ketentuan keselamatan yang bertalian dengan pekerja secara umum berlaku pula bagi pekerja wanita, namun pada beberapa
hal perlunya ketentuan tambahan secara khusus. Contohnya ketentuan pembatasan untuk wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa jenis kelamin pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang seluruhnya (100%) adalah laki-laki. Mayoritas pekerja di bagian produksi atau keteknikan umumnya adalah lelaki. Hal ini dikaitkan dengan pekerjaan yang memerlukan kondisi fisik yang kuat. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa lama kerja pekerjanya tergolong lama (6-10 tahun), yaitu sebesar 45,8%.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup didalam mentransfer pengetahuan seseorang kepada orang lain. Usaha ini bisa dilakukan secara formal maupun non formal. Secara formal yakni ditempuh melalui tingkat-tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi, terjadi diruang kelas dengan program yang bersifat “structure”. Sedangkan pendidikan non formal umumnya bersifat “unstructure”. Notoatmodjo (1981) menyatakan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak didik untuk menuju kedewasaan. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan, menerima latihan kerja dan juga cara menghindari kecelakaan kerja, tersirat pula tujuan dari intervensi pendidikan adalah
memotivasi dan memampukan pekerja untuk mengambil tindakan yang efektif dalam meningkatkan kondisi kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa pendidikan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang umumnya adalah SMA, yaitu sebesar 98,3%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan pendidikan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=). Pendidikan formal berkaitan dengan pengetahuan yang diterima oleh pekerja. Bila pendidikannya baik, maka akan baik pulalah pengetahuannya.
d. Pengetahuan tentang APT
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Lavine, pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APT itu sendiri serta potensi bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan dampak atau
bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APT, maka diharapkan pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APT (Elfrida, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa pengetahuan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong baik, yaitu sebesar 53,3%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001). Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pengetahuan pekerjanya tergolong baik, yaitu sebesar 52,1%.
e. Sikap tentang APT
Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan situasi- situasi dengan siapa ia berhubungan. Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal dari komponen afeksi, sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sikap
merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping itu memiliki evaluasi negatif maupun positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan objek atau masalah. Pengetahuan dan perasaan yang ada dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa sikap pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong positif, yaitu sebesar 60%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan sikap pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001). Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa sikap pekerjanya tergolong baik, yaitu sebesar 66,6%.
f. Lama Bekerja
Lama kerja seseorang dapat dikaitkan dengan pengalaman yang didapatkan ditempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang akan diperoleh sewaktu bekerja akan lebih banyak. Dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja pengalaman dalam memakai berbagai macam alat kerja secara aman tentunya akan semakin banyak pula. ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi di Amerika menemukan, kecelakaan kerja yang terjadi selain disebabkan oleh faktor manusia juga karena masih baru bekerja dan kurang dalam pengalaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa lama bekerja pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang tergolong lama (> 19 tahun), yaitu sebesar 61,7%. Semakin lama masa kerja, maka akan semakin memahami kondisi lingkungan kerja dari suatu pekerjaan. Selanjutnya, pekerja akan memiliki pengetahuan yang baik untuk mengendalikan risiko dari lingkungan kerja tersebut.
g. Pengawasan Pimpinan
Olishifski (1998) menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan alat pelindung diri yang dilakukan oleh pengawas yang ditunjuk dan umumnya dirancang sendiri untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja bawahannya. Tenaga kerja harus diawasi pada waktu mereka bekerja untuk memastikan bahwa mereka terus menerus menggunakannya secara benar (Dalam Kusuma, 2004).
Menurut Kelman (1958) perubahan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan (compliance), identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula- mula individu mematuhi tanpa kerelaan melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman (punishment) ataupun sanksi, jika seseorang tersebut tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dapat mematuhi anjuran tersebut maka biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan dilakukan selama masih ada pengawas. Namun pada saat pengawasan mengendur perilaku itu pun ditinggalkannya lagi (Dalam Elfrida, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga memperoleh hasil setengah pekerja menyatakan bahwa tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh manajemen bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dalam mengawasi pemakaian APD telinga, yaitu sebesar 50%. Bila pekerja tidak bekerja dalam pengawasan, maka mereka tidak akan merasa punya kewajiban untuk menggunakan APD telinga. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan tidak ada pengewasan dalam pemakaian APT di lokasi kerja tersebut, yaitu sebesar 62,5%.
h. Peraturan Perusahaan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108 menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan kegiatan/proses di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan alat pelindung diri (APD).
Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan detail dalam bentuk peraturan-peraturan. Kepastian hukum yang kuat akan memberikan kemantapan dalam pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan peringatan tidak dihiraukan maka perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam
hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan upaya yang dilakukan dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di sebuah perusahaan. Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja terutama dalam penggunaan APD.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa kebijakan manajemen untuk bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang menyatakan kurang baik, karena tidak adanya sanksi, yaitu sebesar 53,3%. Bila suatu tempat kerja tidak diatur dengan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang baik, misalnya dengan adanya sanksi, maka keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja tersebut juga tidak akan berjalan baik. Manajemen adalah kontrol pekeja yang dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan perusahaan. Pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan pengawas. Pengawas biasanya berada di bagian yang sama dengan pekerja yang menjadi objek pengawasan. Kemungkinan karena pengawasan hanya dilakukan oleh pengawas lokal maka pengawas tersebut sendiri kurang tegas menghadapi pekerja yang lebih senior, maka pengawasan terkesan kurang mengena sasaran. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan ada peraturan yang mengatur pemakaian APT di lokasi kerja tersebut, yaitu sebesar 58,3%.
i. Sistem Informasi K3
Sistem informasi merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perilaku pemakaian APD pada pekerja. System informasi pemakaian APD biasanya berupa apakah pekerja pernah memperoleh informasi mengenai APD. Selain itu, kuantitas dan kualitas informasi tersebut juga sangat mempengaruhi pemakaian APD. Misalnya saja, jika informasi APD sangat jarang ditemui oleh pekerja, maka pekerja cenderung pemakaian APD nya rendah (Suma’mur, 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa sistem informasi K3 bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang untuk penggunaan APD telinga yang dilihat dari ada atau tidaknya tanda bahaya bila tidak menggunakan APD telinga tergolong cukup baik, yaitu sebesar 91,7%. Semakin baik sistem informasi K3 di suatu perusahaan, maka akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang akan diterima oleh mereka.
2.2 Telinga