T E S I S
PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG
DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR
DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA SPRAY DAN NEBUL
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
SUDARTO NIM 097107010
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN
RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H.ADAM MALIK
PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG
DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR
DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA SPRAY DAN NEBUL
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Paru
Dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik
Pada Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
SUDARTO NIM 097107010
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
TESIS
PPDS MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN
PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM MALIK MEDAN
Judul Penelitian : PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG
DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK
LENTUR DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA
SPRAY DAN NEBUL DI RSUP H.ADAM MALIK
MEDAN
Nama Peneliti : Sudarto
Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik Pendidikan Dokter
Spesialis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi
Jangka Waktu : 3 (tiga) bulan
Biaya Penelitian : Rp.15.000.000;
Lokasi Penelitian : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Pembimbing : dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru),SpP(K)
dr. Noni Novisari Soeroso, Mked(Paru),SpP
PERNYATAAN
Judul Penelitian: Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan
Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara
Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang
lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan.
Yang Menyatakan,
Peneliti
Telah duji pada
Tanggal 03 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K)
Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)
dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H
dr. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
dr. Pantas Hasibuan, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
dr. Widirahardjo, Sp.P(K)
dr. Pandiaman S Pandia, M.ked(Paru), Sp.P(K)
DR. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.ked(Paru), Sp.P
dr. Parluhutan Siagian, M.ked(Paru), Sp.P
dr. Bintang YM Sinaga, M.ked(Paru), Sp.P
ABSTRAK
Objektif : Untuk membandingkan kenyamanan pasien-pasien yang dilakukan
bronkoskopi serat optik lentur dengan anastesi lokal secara spray
dan nebul di ruang Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H.
Adam Malik Medan
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan
sampel adalah pasien-pasien yang dilakukan bronkoskopi serat
optik lentur dengan anastesi lokal. Sampel berjumlah 64 orang.
Setiap sampel akan di anastesi dengan cara spray ataupun nebul,
jika kurang memadai, operator dapat menambahkan anastesi secara
spray as you go melalui skop bronkoskopi. Sampel dipilih secara
acak untuk ditentukan cara anastesi lokal yang dilakukan
kepadanya. Sebelum pelaksanaan prosedur setiap pasien dilakukan
persiapan prebronkoskopi dan mendapat premedikasi diazepam 5
mg im 3 jam sebelum prosedur dan sulfas atropin 0,25 mg
subkutan 30 menit sebelum prosedur dilakukan. Saat bronkoskopi
berlangsung, pasien dipantau keadaan umumnya dengan
menggunakan oksimeter. Jumlah batuk yang terjadi dihitung mulai
saat bronkoskop di insersikan sampai prosedur bronkoskopi
selesai. Setelah prosedur selesai, pasien diminta menunjukkan
salah satu titik pada garis Visual Analogue Scale (VAS) untuk
mengetahui ketidaknyamanan yang dirasakannya saat prosedur
Hasil : Sampel terdiri dari 64 orang yang terbagi atas 2 kelompok yaitu 32
orang kelompok spray dan 32 orang nebul. Pada kedua kelompok
dilakukan tambahan anastesi dengan spray as you go. Rerata
pengunaan lidokain pada kedua kelompok adalah berbeda secara
statistik (p=0.002) dimana pada kelompok nebuls penggunaan
lidokain (170.94 mg) lebih sedikit dibandingkan kelompok spray
(204.38 mg). Tingkat keberhasilan anastesi pada kedua kelompok
tidak berbeda (p=0.516) dan yang terbanyak adalah pada tingkatan
baik. Frekuensi jumlah batuk yang terjadi pada kelompok spray
adalah antara 0 sampai 10 kali dengan frekuensi terbanyak 0 kali
37.5% dan kelompok nebul antara 0 sampai 9 kali dengan
frekuensi terbanyak 0 kali 25.0%. Rata-rata nilai VAS pada
kelompok spray 1.60 cm dan pada kelompok nebul 1.65 cm
(p=0.288). Skala ketidaknyamanan pada kelompok spray
terbanyak pada skala 1 ( tidak terasa sensasi yang tidak
menyenangkan/ not unpleasant) 68.75% dan pada kelompok nebul
terbanyak juga pada skala 1 sebanyak 59.37% (p=0.325). Uji
Wilcoxon menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna jumlah
batuk (p=0.375) dan nilai VAS pada kedua kelompok (p=0.410).
Kesimpulan : Cara anastesi lokal secara spray maupun nebuls memberikan rasa
nyaman yang sama pada pasien yang dilakukan bronkoskopi serat
optik lentur.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT, sebab
berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
judul ” Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan Bronkoskopi Serat
Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul Di Rumah Sakit
Umum Haji Adam Malik Medan”,
Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan
keahlian di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/
SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam karya tulis ini, namun penulis berharap tulisan ini bisa berguna
dalam prosedur pelaksanaan bronkoskopi.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas
dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru
yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi & Ilmu
Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari
pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang saya hormati :
Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, Sp P (K) sebagai Ketua Departemen
Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam
Malik Medan, yang terus menerus memberikan bimbingan ilmu pengetahuan,
menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan
Prof. Dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp P(K) sebagai koordinator penelitian
ilmiah di Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF
Paru RSUP H Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan,
dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan
penyempurnaan tulisan ini.
Dr. H. Zainuddin Amir,Mked(Paru), Sp P(K) sebagai Ketua TKP PPSD
FK USU yang senantiasa tiada jemunya membantu, mendorong dan memotivasi
serta membimbing dan menanamkan disiplin, ketelitian, berpikir dan berwawasan
ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp P(K) sebagai Sekretaris Departemen
Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam
Malik Medan, yang telah banyak memberikan penulis bimbingan, saran, dorongan
dan nasihat yang bermanfaat dalam menjalani dan menyelesaikan pendidikan.
Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, Mked(Paru),Sp P sebagai Ketua
Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/
SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang banyak memberikan bimbingan,
bantuan, dorongan dan nasehat yang berguna selama penulis menjalani masa
pendidikan.
Dr. Noni N Soeroso,Mked(Paru), Sp P sebagai Sekretaris Program Studi
Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru
RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan,
Yang terhormat Dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp P(K), Dr. Noni N
Soeroso,Mked(Paru), Sp P, Dr.Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD sebagai
pembimbing penulis dalam tulisan ini yang telah banyak memberi bimbingan,
bantuan tehnis, masukan, dan dorongan dalam penyempurnaan penelitian bagi
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Penghargaan dan rasa terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada
yang terhormat Dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp P(K), Dr.
Widirahardjo, Sp P(K), Dr. H. Pandiaman Pandia, Mked(Paru), Sp P(K), Dr
Parluhutan Siagian,Mked(Paru) Sp P, Dr Bintang YM Sinaga, Mked(Paru) Sp P,
Dr. Setia Putra Tarigan Sp P, Dr. Syamsul Bihar, Mked(Paru), Sp P yang telah
banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama menjalani
pendidikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang
terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H Adam
Malik Medan, Kepala Instalsasi Diagnostik Terpadu RSUP HAM yang telah
memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan
menyelesaikan penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program
Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi,
pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, ruang
bronkoskopi RSUP H Adam Malik Medan atas bantuan dan kerja sama yang baik
selama menjalani masa pendidikan.
Dengan penuh rasa hormat tak terhingga dan terima kasih yang tiada
memberikan dukungan, motivasi, bimbingan, kasih sayang dan selalu setia
senantiasa memberi dorongan semangat serta banyak pengorbanan, penulis
ucapkan terima kasih dan penghargaan atas semuanya.
Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan
kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan
pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, Juli 2013
Penulis
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Data Pribadi :
Nama Lengkap : Sudarto
Tempat/tgl lahir : Medan / 08 Januari 1979
Agama : Islam
Alamat : Jl. Rencong No.46 Medan
Riwayat Pendidikan :
SD 060806 tamat 1991
SMP N 11 Medan tamat 1994
SMU UISU Medan tamat 1997
FK USU Medan tamat 2003
Organisasi Profesi : Ikatan Dokter Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ………..………..……… i
TESIS ……… ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
RIWAYAT HIDUP ... xi
DAFTAR ISI ……… xii
DAFTAR ISTILAH ……… xv
DAFTAR GAMBAR ……… xvi
DAFTAR TABEL ……… xvii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ………..………. … 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 6
1.3. Tujuan Penelitian ……… 7
1.3.2. Tujuan Khusus ……… 7
1.4. Manfaat Penelitian ……… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 8
2.1 Bronkoskopi ……… 8
2.1.1 Sejarah Bronkoskopi ……… 8
2.1.2 Jenis Bronkoskopi ……… 9
2.1.3 Indikasi Bronkoskopi ………. 10
2.1.4 Kontraindikasi dan Komplikasi …..…….. 14
2.2 Persiapan Sebelum Bronkoskopi ……… 16
2.3 Anastesi Lokal Pada Bronkoskopi ……… 24
2.4 Lidokain ……… 29
2.5 Penilaian Kenyamanan Pasien ……… 32
2.6 Kerangka Konsep Penelitian ……… 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39
3.1 Desain Penelitian ……… 39
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……….… 39
3.3 Subjek Penelitian ……… 39
3.3.2 Sampel ……… 39
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ……… 39
3.3.3.1. Kriteria Inklusi ……… 39
3.3.3.2. Kriteria Eksklusi ……… 40
3.4 Besar Sampel ……… 40
3.5 Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan – Bronkoskopi di Ruangan IDT RSUP HAM Medan………. 41
3.5.1. Persiapan Pasien ………. 41
3.5.2. Persiapan Alat ………. 42
3.5.3. Cara Kerja Pelaksanaan BSOL dengan – Anastesi Lokal Cara Spray/semprotan – dan Dilanjutkan Spray as you go ……..…….. 43
3.5.4. Cara Kerja Pelaksanaan BSOL dengan- Anastesi Lokal Cara Nebulisasi Lidokain- dan Dilanjutkan Spray as you go ………... 44
3.5.5. Penilaian Visual analog scale dan jumlah batuk …… 45
3.6 Definisi Operasional ……… 47
3.8 Analisis Data ……… 50
3.9 Pengolahan Data ……… 51
3.10 Jadwal Penelitian ……… 51
3.11 Biaya Penelitian ……… 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 53
4.1. Hasil Penelitian ………. 53
4.1.1. Karakteristik Penderita ………. 54
4.1.2. Penilaian Kenyamanan ………. 55
4.2. Pembahasan ………. 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 70
5.1. Kesimpulan ………. 70
5.2. Saran ………. 71
DAFTAR PUSTAKA ……… 72
LAMPIRAN
1. DAFTAR PENDERITA
DAFTAR ISTILAH
AGDA : Analisa Gas Darah Arteri
ASA : Association of Anesthesiologists
BAL : Broncho Alveolar Lavage
BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur
BTS : British Thoracic Society
CO2 : Carbon Dioxyde
EKG : Elektokardiografi
ETT : Endotracheal Tube
IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu
NRS : Numerical Rating Scale
VAS : Visual Analogue Scale
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Bronkoskopi kaku ... 9
Gambar 2.2: Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) ... 10
Gambar 2.3: Penyemprotan rongga mulut dan faring ….………. 26
Gambar 2.4: Mouthpiece nebulizer & Facemask nebulizer …… 28
Gambar 2.5: Struktur kimia lidokain ………. 30
Gambar 2.6: Numerical Rating Scale …………..…………... 34
Gambar 2.7: Face Pain Rating Scale ………..……….. 35
Gambar 2.8: Visual Analogue Scale ………..………..……. 36
Gambar 4.1: Diagram distribusi jenis kelamin ……… 59
Gambar 4.2: Distribusi berdasarkan kelompok umur ………. 60
Gambar 4.3: Tingkat keberhasilan anastesi lokal ……… . 61
Gambar 4.4: Cara pengambilan bahan pemeriksaan ……… 64
Gambar 4.5:Frekuensi jumlah batuk pada kedua kelompok ... 65
Gambar 4.6: Skala keparahan batuk ………. 66
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1: Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ……… 54
Tabel 4.2: Distribusi berdasarkan kelompok umur ……….. 54
Tabel 4.3: Karakteristik subjek berdasarkan berat badan ……… 55
Tabel 4.4: Jumlah dosis lidokain yang digunakan ……….. 55
Tabel 4.5 : Tingkat keberhasilan anastesi lokal ………. 56
Tabel 4.6: Cara pengambilan bahan pemeriksaan dan lamanya waktu BSOL .. 56
Tabel 4.7: Skala keparahan batuk saat BSOL ..……… 57
Tabel 4.8: Skala ketidaknyamanan ………... 58
ABSTRAK
Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal pula sebagai salah satu sektor yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan misalnya kebisingan mesin alat transportasi seperti pesawat terbang. Pada pengukuran secara objektif intensitas dan spektrum kebisingan di avron Bandar Udara Polonia saat aktivitas petugas ground handling diperoleh hasil intensitas 78-105 dB dengan rerata bisingnya adalah 92,1dB.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal petugas ground handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh seluruh petugas ground handling di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik logistic regression.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap .yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan, dengan sikap sebagai variabel dominannya.
Diperlukan peningkatan pengetahuan dan sikap serta tindakan dengan memberikan pendidikan informal melalui pelatihan kerja untuk meningkatkan pemahaman dan tindakan petugas ground handling tentang pentingnya penggunaan APT. Selain itu perlu peningkatan kualitas dan kuantitas penyebaran informasi-informasi mengenai K3 dan memperkuat pengawasan terhadap penggunaan APT. Pihak bandara dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan melakukan pemeriksaan berkala fungsi pendengaran untuk petugas ground handling.
ABSTRACT
Transportation sector has been known as one of the sectors which play a very important role in the entire economic development. However, this sector is also known as one of the sectors which cost negative effects on environment such as noise pollution of the transportation machines like the sound of an airplane. By the objective measurement, the intensity and the spectrum of noise at the avron of Polonia airport at the time of the activities of ground handling personnel showed that the intensity was 78-105 dB with its average noise of 92.1 dB.
The aim of the research was to analyze the correlation of the internal factors and the external factors of ground handling personnel with the use of APT (Ear Protective Device) at the avron of Polonia airport, in 2013. The research was analytic with cross sectional design. The population was all ground handling personnel at the avron of Polonia airport, in 2013, and 96 of them were used as the samples. The data were analyzed by using statistic logistic regression test.
The result of multivatriate analysis showed that knowledge and attitude had the correlation to the influence (p < 0.05) on the use of APT at the avron of Polonia airport Medan, especially attitude as the dominant variable.
It is recommended that knowledge, attitude, and action should be improved by providing informal education, either through employee workshop or through other activities in order to increase the understanding and action of the ground handling personnel about the importance of using APT. Besides, the significant socialization on both quality and quantity of OHS information and also strong supervision are needed. The airport Authors and Medan Port Health Office Class I must regularly check the hearing function of ground handling personnels at airport.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi dan pasar bebas (World Trade Organization/WTO) dan
(General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan salah satu prasyarat
yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara
yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Untuk
mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja
Indonesia telah menetapkan Visi Indonesia Sehat yaitu gambaran masyarakat
Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku
sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pembangunan Indonesia
dilaksanakan pada segala bidang guna mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materi maupun spiritual
(Depkes RI, 2009).
Keadaan yang disebutkan di atas menyebabkan penggunaan mesin-mesin,
pesawat-pesawat, instalasi-instalasi modern serta bahan berbahaya semakin
meningkat. Hal tersebut disamping memberi kemudahan proses produksi dapat pula
menambah jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja. Maka akan terjadi pula
berbahaya, serta peningkatan intensitas kerja operasional tenaga kerja. Masalah
tersebut diatas akan sangat mempengaruhi dan mendorong peningkatan jumlah
maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan pencemaran
lingkungan, sehingga dinggap sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dan
kedisiplinan untuk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja
(SMK3) (Depnaker RI, 1999).
Tenaga kerja merupakan asset perusahaan yang harus diberi perlindungan
terhadap aspek K3 mengingat ancaman bahaya potensial yang berhubungan dengan
kerja. Pemerintah telah menetapkan kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap
aspek K3 melalui peraturan perundangan. Peraturan perundangan K3 merupakan
salah satu upaya dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja,
peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja. Selain
peraturan perundangan K3, komitmen perusahaan dalam menerapkan SMK3 juga
tidak kalah penting guna mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan
lain-lain (Silaban, 2008).
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin
ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur).
Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang
ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus
segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di
udara maupun di ruang angkasa (Depnaker RI, 1999).
Upaya kesehatan kerja sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup
sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan, serta pengaruh buruk yang diakibatkan
oleh pekerjaan. Oleh karena itu kesehatan kerja diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab
XII yang terdiri dari Pasal 164 sampai dengan Pasal 166. Upaya kesehatan kerja
meliputi pekerja di sektor formal, yaitu pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja
dan informal, yaitu pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya kesehatan
kerja dimaksud berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan
tempat kerja (Sitompul, 2010).
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga
mengatur tentang kesehatan kerja dalam satu paragraf dengan keselamatan kerja.
Pengaturan tersebut ada dalam Pasal 86 dan 87 UU Ketenagakerjaan. Dalam passal
tersebut antara lain ditentukan sebagai berikut:
a. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum bahwa status kesehatan
sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan
lingkungan. Sedangkan untuk meningkatkan status kesehatan seseorang diperlukan
lingkungan yang kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari polusi, baik polusi udara
maupun polusi suara. Akan tetapi lingkungan yang bebas polusi sangat jarang kita
temui pada saat sekarang ini. Hal ini terjadi karena bertambahnya urbanisasi
sehubungan dengan bertambahnya transportasi yang pesat dan pertambahan
penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar dan berkekuatan dimana-mana,
bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat diabaikan dari kehidupan kita
yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya yang serius pula terhadap kesehatan
kita (Doelle,1993).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha,
pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di
seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari
jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun
ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang
terkena penyakit akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya
akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat
kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari
US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (GDP) (Depnaker
Masalah-masalah K3 merupakan bagian penting dalam agenda ILO.
Konferensi Perburuhan Internasional setiap tahunnya membicarakan standar-standar
K3 sebagai bagian dari pendekatan yang terintegrasi dan mencapai persetujuan
mengenai strategi K3 global yang menghimbau dilakukannya suatu aksi yang “jelas
dan terpusat” untuk mengurangi angka kematian, luka-luka dan penyakit akibat kerja,
termasuk akibat kebisingan. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan
pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi,
gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja,
pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan
berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003). Cacat pendengaran akibat kerja
(occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebahagiaan
atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau
kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja
(Adriana et al, 2003).
Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk
kota besar. Kebisingan merupakan salah satu faktor penting penyebab terjadinya
stress dalam kehidupan modern. Karena merupakan suatu unsur lingkungan yang
dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan hidup. Untuk
kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan
tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas (Wardhana, 2004).
Pada tahun 2004, lebih dari 275 juta orang di dunia mengalami gangguan
rendah dan menengah. Penyakit infeksi seperti meningitis, campak, gondok dan
infeksi telinga kronis dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Penyebab umum
lainnya termasuk paparan berlebihan, kepala kebisingan dan cedera telinga, penuaan
dan penggunaan obat-obatan. Setengah dari semua kasus gangguan pendengaran dan
ketulian dapat dihindari melalui pencegahan primer yaitu penggunaan alat pelindung
diri (APD). Sebagian besar dapat diobati melalui diagnosis dini dan manajemen yang
sesuai. Tergantung pada penyebab gangguan pendengaran, dapat ditangani secara
medis, pembedahan atau melalui perangkat seperti alat bantu dengar dan implan
koklea. Produksi alat bantu dengar memenuhi kurang dari 10% dari kebutuhan
global. Di negara-negara berkembang, 1 dari 40 orang yang membutuhkan alat bantu
dengar (WHO, 2012).
Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia
termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%,
sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India
(6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup
tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara
itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 2007 terdapat 240
juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 70 sampai 150 juta
diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Alfarisi, 2008).
Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat
berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal
lingkungan misalnya udara (polusi) dan kebisingan mesin alat transportasi seperti
pesawat terbang. Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini et al (2007) menunjukkan
bahwa kebisingan akibat pesawat terbang di landasan pacu sebesar 87,93 dB, padahal
batas yang ditetapkan menurut Kep- 51/MEN/1999 adalah 85dB.
Pengendalian kebisingan dengan cara penggunaan Alat Pelindung Telinga
(APT) merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan.
APT berfungsi untuk melindungi alat pendengaran (telinga) dan bahaya kebisingan
dan melindungi telinga dari percikan api atau logam yang panas. Secara umum alat
pelindung telinga dapat dibagi menjadi dua yaitdan ear muff. Ear plug
atau sumbat telinga merupakan alat pelindung telinga yang cara penggunaannya
dimasukan pada liang telinga. Sedangkan tutup telinga (ear muff) merupakan alat
pelindung telinga yang penggunaanya ditutupkan pada saluran daun telinga
(Suma’mur, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2010) menunjukkan bahwa pekerja
atau petugas ground handling di Bandar Udara Polonia sekitar 20% (20 dari 100
petugas ground handling) mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amel (2012) di PT. Gapura
Angkasa Bandar Udara Polonia mengenai tingkat kebisingan yang diterima oleh para
petugas ground handling menunjukkan bahwa keluhan telinga berdengung pada
petugas ground handling di Bandara Polonia Medan sebesar 52% dan 73% petugas
Pada pengukuran secara objektif intensitas dan spektrum kebisingan di avron
Bandar Udara Polonia saat aktivitas petugas ground handling diperoleh hasil
intensitas 78-105 dB dengan rerata bisingnya adalah 92,1dB. Hal ini telah melebihi
ambang batas kebisingan, yaitu 85dB. Selain itu paparan bising pada petugas ground
handling di bandara Polonia Medan adalah 9 jam / hari dan pemakaian alat pelindung
diri khususnya APT pada petugas ground handling di bandara Polonia Medan hanya
12%. Hasil pantauan peneliti terlihat beberapa petugas tidak menggunakan APT saat
menjalankan tugasnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor
penyebab petugas tidak menggunakan APT di avron Bandara Polonia Medan Tahun
2013.
1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya penggunaan APT
dalam mencegah gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan Tahun
2013.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor
internal (pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan
eksternal (pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3)
petugas ground handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan faktor internal
(pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan eksternal
(pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3) petugas ground
handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan masukan bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan
mengenai faktor utama yang menyebabkan gangguan pendengaran bagi
petugas ground handling sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan
gangguan pendengaran tersebut.
b. Memberikan masukan bagi pihak Bandar Udara Polonia Medan agar
memaksimalkan penggunaan APT bagi petugas ground handling dengan
membuat kebijakan sehingga dapat mencegah gangguan pendengaran bagi
petugas tersebut.
c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai
kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Pelindung Telinga (APT) 2.1.1 Definisi dan Jenis APT
Alat Pelindung Telinga. Selain berguna untuk melindungi pemakainya dari
bahaya percikan api atau logam-logam panas, alat ini juga bekerja untuk mengurangi
intensitas suara yang masuk ke dalam telinga. Ada tiga macam alat pelindung telinga
yaitu:
a. Sumbat telinga (ear plug), dapat mengurangi kebisingan 8-30 dB. Biasanya
digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat
telinga antara lain: Formable type, Costum-molded type, premolded type.
b. Tutup telinga (ear muff), dapat menurunkan kebisingan 25-40 dB. Digunakan
untuk proteksi sampai dengan 110 dB.
c. Helm (helmet), menurunkan kebisingan 40-50 dB (Alfarisi, 2008).
Berikut ini gambar masing-masing APT:
2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemakaian APT
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor karakteristik pekerja. Suma’mur (1989)
menyatakan dalam statistik terlihat bahwa dengan usia muda sering mengalami
kecelakaan kerja bila dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Secara umum
diketahui bahwa kapasitas fisik manusia seperti penglihatan dan kecepatan reaksi
menurun setelah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka pada usia tersebut
mungkin akan lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan
bahaya, dibandingkan dengan pekerja yang berusia muda. Menurut Suma’mur
(1989), angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih meningkat mengikuti pertambahan
umur.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa umur pekerja di bagian produksi Ammonia
PT. PUSRI Palembang umumnya > 41 tahun, yaitu sebesar 63,3%. Umur juga
sebagai salah satu penentu kematangan berfikir dari seorang pekerja.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam kaitannya dengan perilaku selamat diutarakan oleh
Suma’mur (1989) bahwa terdapat kelompok-kelompok tenaga kerja yang oleh karena
alasan-alasan tertentu mendapat perhatian khusus dalam keselamatan kerja. Mereka
itu salah satunya adalah wanita. Ketentuan-ketentuan keselamatan yang bertalian
hal perlunya ketentuan tambahan secara khusus. Contohnya ketentuan pembatasan
untuk wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa jenis kelamin pekerja di bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang seluruhnya (100%) adalah laki-laki. Mayoritas
pekerja di bagian produksi atau keteknikan umumnya adalah lelaki. Hal ini dikaitkan
dengan pekerjaan yang memerlukan kondisi fisik yang kuat. Penelitian lain oleh
Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT.
Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa lama kerja pekerjanya tergolong lama
(6-10 tahun), yaitu sebesar 45,8%.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis yang berlangsung seumur
hidup didalam mentransfer pengetahuan seseorang kepada orang lain. Usaha ini bisa
dilakukan secara formal maupun non formal. Secara formal yakni ditempuh melalui
tingkat-tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi,
terjadi diruang kelas dengan program yang bersifat “structure”. Sedangkan
pendidikan non formal umumnya bersifat “unstructure”. Notoatmodjo (1981)
menyatakan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak didik untuk menuju kedewasaan. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara
berpikir dalam menghadapi pekerjaan, menerima latihan kerja dan juga cara
memotivasi dan memampukan pekerja untuk mengambil tindakan yang efektif dalam
meningkatkan kondisi kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa pendidikan pekerja di bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang umumnya adalah SMA, yaitu sebesar 98,3%. Hasil
analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan pendidikan pekerja di
bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga
untuk mencegah gangguan pendengaran (p=). Pendidikan formal berkaitan dengan
pengetahuan yang diterima oleh pekerja. Bila pendidikannya baik, maka akan baik
pulalah pengetahuannya.
d. Pengetahuan tentang APT
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Lavine, pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri
yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat
ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APT itu sendiri serta potensi
bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat rasa
bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APT, maka diharapkan pekerja
akan memberikan perhatian dalam penggunaan APT (Elfrida, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa pengetahuan pekerja di bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong baik,
yaitu sebesar 53,3%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan
pengetahuan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan
penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001).
Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja
bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pengetahuan
pekerjanya tergolong baik, yaitu sebesar 52,1%.
e. Sikap tentang APT
Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi,
kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang
dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya
pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan
situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan. Karakteristik dari sikap senantiasa
mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal dari komponen afeksi, sedangkan
kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap
adalah relatif konstan dan agak sukar berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti
adanya suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping
itu memiliki evaluasi negatif maupun positif yang bersifat emosional yang
disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini dengan sendirinya berhubungan
dengan objek atau masalah. Pengetahuan dan perasaan yang ada dalam sikap akan
menghasilkan tingkah laku tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa sikap pekerja di bagian produksi Ammonia
PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong positif, yaitu
sebesar 60%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan sikap
pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan
APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001). Penelitian lain oleh
Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT.
Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa sikap pekerjanya tergolong baik, yaitu
sebesar 66,6%.
f. Lama Bekerja
Lama kerja seseorang dapat dikaitkan dengan pengalaman yang didapatkan
ditempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang akan
diperoleh sewaktu bekerja akan lebih banyak. Dalam hal keselamatan dan kesehatan
kerja pengalaman dalam memakai berbagai macam alat kerja secara aman tentunya
akan semakin banyak pula. ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi di Amerika
menemukan, kecelakaan kerja yang terjadi selain disebabkan oleh faktor manusia
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa lama bekerja pekerja di bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang tergolong lama (> 19 tahun), yaitu sebesar 61,7%.
Semakin lama masa kerja, maka akan semakin memahami kondisi lingkungan kerja
dari suatu pekerjaan. Selanjutnya, pekerja akan memiliki pengetahuan yang baik
untuk mengendalikan risiko dari lingkungan kerja tersebut.
g. Pengawasan Pimpinan
Olishifski (1998) menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan rutin
dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan alat pelindung diri yang
dilakukan oleh pengawas yang ditunjuk dan umumnya dirancang sendiri untuk
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja bawahannya. Tenaga kerja harus
diawasi pada waktu mereka bekerja untuk memastikan bahwa mereka terus menerus
menggunakannya secara benar (Dalam Kusuma, 2004).
Menurut Kelman (1958) perubahan perilaku individu dimulai dengan tahap
kepatuhan (compliance), identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi.
Mula-mula individu mematuhi tanpa kerelaan melakukan tindakan tersebut dan seringkali
karena ingin menghindari hukuman (punishment) ataupun sanksi, jika seseorang
tersebut tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dapat
mematuhi anjuran tersebut maka biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini
sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan dilakukan selama masih ada pengawas.
Namun pada saat pengawasan mengendur perilaku itu pun ditinggalkannya lagi
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga memperoleh hasil setengah pekerja menyatakan bahwa tidak ada
pengawasan yang dilakukan oleh manajemen bagian produksi Ammonia PT. PUSRI
Palembang dalam mengawasi pemakaian APD telinga, yaitu sebesar 50%. Bila
pekerja tidak bekerja dalam pengawasan, maka mereka tidak akan merasa punya
kewajiban untuk menggunakan APD telinga. Penelitian lain oleh Kesuma (1998)
tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel
Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan tidak ada pengewasan dalam
pemakaian APT di lokasi kerja tersebut, yaitu sebesar 62,5%.
h. Peraturan Perusahaan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108
menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu upaya
perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan
kegiatan/proses di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.
Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan
penggunaan alat pelindung diri (APD).
Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan
detail dalam bentuk peraturan-peraturan. Kepastian hukum yang kuat akan
memberikan kemantapan dalam pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan
hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan
upaya yang dilakukan dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di
sebuah perusahaan. Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian
penghargaan/hadiah ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi
berperilaku pekerja terutama dalam penggunaan APD.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa kebijakan manajemen untuk bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang menyatakan kurang baik, karena tidak adanya
sanksi, yaitu sebesar 53,3%. Bila suatu tempat kerja tidak diatur dengan manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang baik, misalnya dengan adanya sanksi, maka
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja tersebut juga tidak akan berjalan
baik. Manajemen adalah kontrol pekeja yang dilakukan dengan mengeluarkan
kebijakan perusahaan. Pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk observasi
harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan pengawas. Pengawas biasanya
berada di bagian yang sama dengan pekerja yang menjadi objek pengawasan.
Kemungkinan karena pengawasan hanya dilakukan oleh pengawas lokal maka
pengawas tersebut sendiri kurang tegas menghadapi pekerja yang lebih senior, maka
pengawasan terkesan kurang mengena sasaran. Penelitian lain oleh Kesuma (1998)
tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel
Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan ada peraturan yang mengatur
i. Sistem Informasi K3
Sistem informasi merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perilaku
pemakaian APD pada pekerja. System informasi pemakaian APD biasanya berupa
apakah pekerja pernah memperoleh informasi mengenai APD. Selain itu, kuantitas
dan kualitas informasi tersebut juga sangat mempengaruhi pemakaian APD.
Misalnya saja, jika informasi APD sangat jarang ditemui oleh pekerja, maka pekerja
cenderung pemakaian APD nya rendah (Suma’mur, 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat
pelindung telinga menunjukkan bahwa sistem informasi K3 bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang untuk penggunaan APD telinga yang dilihat dari
ada atau tidaknya tanda bahaya bila tidak menggunakan APD telinga tergolong
cukup baik, yaitu sebesar 91,7%. Semakin baik sistem informasi K3 di suatu
perusahaan, maka akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang akan
diterima oleh mereka.
2.2 Telinga
2.2.1 Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi
karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan
Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu
gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan
mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium Sewaktu
menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal ini menyebabkan
terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka
saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan
potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak (Ganong, 2003).
Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan berubah
dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel rambut
yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah sel-sel yang
mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut yang
terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval adalah sel-sel yang
mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah. Otak
menginterpretasikan suatu suara berdasarkan neuron-neuron yang diakftifkan. Otak
menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi impuls neuron dan jumlah
neuron aferen yang melepaskan potensial aksi (Higler, 2000).
Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam melalui
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk
pendengaran normal, disebut hantaran osikular. Gelombang bunyi juga menimbulkan
getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra rotundum. Proses ini, yang
tidak penting untuk pendengaran normal, disebut hantaran udara. Hantaran jenis
cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang cukup besar terjadi apabila kita
menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar langsung ke tengkorak. Jaras
ini juga berperan dalam penghantaran bunyi yang sangat keras (Ganong, 2003).
2.3 Kebisingan
2.3.1 Definisi Kebisingan
Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang secara fisis merupakan
penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis seperti misalnya
udara. Secara fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai akibat propagasi
energi getaran dari suatu sumber getar yang sampai ke gendang telinga. Kebisingan
dapat juga diartikan bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya,
sehingga secara umum kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang merugikan
manusia dan lingkungan. Bising dikategorikan pada polutan lingkungan atau
buangan yang tidak terlihat, tapi efeknya cukup besar. Sedangkan definisi dari bunyi
sendiri merupakan bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan
dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh
sumber bunyi yang mengalami getaran (Alfarisi, 2008).
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No: Kep-48/MENLH/11/1996).
Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula
2.3.2 Mekanisme Kebisingan
Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul
karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh
beberapa benda yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang
dipukul. Sewaktu fluktuasi tekana udara ini membentur gendang pendengaran
(membran timpani) dari telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai
jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses
tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai suara. Pada
kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseorang berpindah dari satu lokasi ke
lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu
relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan
belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara
efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan terganggu (Tambunan, 2005).
Suara bising akan dapat terjadi apabila ada 3 (tiga) hal yaitu : sumber bising,
media/udara, dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara
dalam bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengar/penerima.
Kebisingan tidak akan terjadi tanpa adanya media/udara. Pengurangan kebisingan
dapat dilakukan dengan jalan penggunaan isolasi/isolator antara sumber dan penerima
(Doelle, 1993).
Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya
bekisar antara 20-20.000Hz dan dengan frekuensi suara sekitar 80 dB (batas aman)
didengar. Batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan
suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Doelle, 1993). Pajanan
terhadap suara atau bunyi yang melampaui batas aman di atas dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan terjadinya ketulian sementara atau permanen (Chandra, 2007).
2.3.3 Jenis Kebisingan
Kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar yaitu :
1. Kebisingan tetap (steady noise)
2. Kebisingan tidak tetap (non steady noise)
A. Kebisingan Tetap (steady noise)
Kebisingan tetap (steady noise) dibedakan menjadi dua, yaitu: (Tambunan,
2005)
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frekuensi noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam,
contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.
b. Broad Band Noise
c. Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama
digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah
broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada
murni).
B. Kebisingan Tidak Tetap
Kebisingan tidak tetap (non steady noise) dibedakan menjadi tiga, yaitu :
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.
b. Intermitten noise
Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang
terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu
lintas.
c. Impulsif noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi
(memekakkan telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan
senjata api dan alat-alat sejenisnya.
2.3.4 Sumber-sumber Bising
Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal
atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik
bersifat sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian
bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok :
a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang
dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.
b. Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan
seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air,
kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk
bising transportasi yang paling penting diketahui bahwa makin besar
kendaraan akan semakin keras suara bising yang dihasilkan (Doelle, 1993).
2.3.5 Pengukuran Kebisingan
Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu :
a. Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan
membandingkan dengan suara yang intensitasnya diketahui.
b. Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan
memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan
energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan
yang ditangkap.
c. The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu
kebisingan yang sangat fluktuatif, misalnya kebisingan lalu-lintas.
d. Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan
dengan spektrum frekuensi yang luas (Oloan, 2005).
e. Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara
30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari
mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound
Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti
A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang
melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih
dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D
digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran
kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet (Sihar, 2005).
2.3.6 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas (NAB) seperti
pada tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Intensitas dan Waktu Paparan Bising yang Diperkenankan
Pemaparan tiap hari (jam) Batas suara (dB)
16 80
8 85
4 90
2 95
1 100
½ 105
¼ 110
Sumber : Depkes RI, 1999
Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih
diperbolehkan adalah 85 dB A. Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan
maupun diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada
siang hari, petang hari dan malam hari. Siang hari adalah waktu yang digunakan oleh
kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian. Petang hari adalah waktu yang
digunakan oleh kebannyakan orang untuk istirahat di rumah tetapi belum tidur.
Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk tidur.
Pembagian waktu pagi, siang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan
kehidupan masyarakat setempat. Biasanya pagi hari adalah pukul 06.00 - 09.00, siang
hari adalah pukul 14.00 – 17.00 dan malam hari adalah pukul 17.00 – 22.00 (Kep
2.3.7 Gangguan Kebisingan pada Pendengaran a. Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan
Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi
lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu
keras seperti pada awal pemaparan.
b. Peningkatan ambang dengar sementara
Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan
kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang
pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4.000 Hz, tetapi bila
pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara
akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu
pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap
individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing
individu.
c. Peningkatan ambang dengar menetap
Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama
terjadi pada frekuensi 4.000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat
permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap
dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan
baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak
dilakukan pemeriksaan audiogram.
Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu
yang cukup lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ
corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi
mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat
mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan
pendengaran yang permanen. Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami
penurunan intensitas adalah antara 3.000-6.000 Hz dan kerusakan alat corti untuk
reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekuensi 4.000 Hz (4 K notch). Ini
merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak
disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
audiometri.
Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyabar
ke frekuensi percakapan (500-2.000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai merasakan
ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya (Tri, 2005).
2.3.8 Pembagian Efek Kebisingan terhadap Pendengaran
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2
a. Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch” yang curam
pada frekuensi 4.000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.
Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat
sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising
biasanya pendengaran dapat kembali normal.
b. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)
Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran
akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau
kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau mana lainnya ketulian akibat bising.
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu
bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga
kepada :
a. Tingkat suara bising
b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuansi 4.000 Hz dan perlahan-lahan
meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,
tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2.000 Hz dan
3.000 Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan
frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang
sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3.000-6.000 Hz, dan setelah beberapa
waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi.
Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.
2.3.9 Pengendalian Kebisingan
Kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara (Chandra, 2007).
Dikenal beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu :
a. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan
yang dikeluarkan sumbernya
b. Menutupi sumber suara
c. Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara
d. Menghalangi merambatnya suara (penghalang)
e. Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lainnya berada dari suara
f. Melindungi telinga dari suara (Doelle, 1993)
Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan
sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan tutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi
oleh pekerja, karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu
penyuluhan terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi
2.4 Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup berperilaku karena mereka semua mempunyai aktivitas
masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan
yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati dari luar (Notoatmodjo, 1993).
2.4.1 Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan
perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan
faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
2.4.2 Bentuk Perilaku
Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia
itu ke dalam tiga domain yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor
(pshycomotor) (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :
a. Pengetahuan (knowledge)
b. Sikap (attitude)
c. Praktek atau tindakan (practice).
2.4.3 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisa (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),