• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Petugas Ground Handling terhadap Penggunaan APT di Avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Petugas Ground Handling terhadap Penggunaan APT di Avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi dan pasar bebas (World Trade Organization/WTO) dan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan salah satu prasyarat

yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara

yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Untuk

mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja

Indonesia telah menetapkan Visi Indonesia Sehat yaitu gambaran masyarakat

Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku

sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta

memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pembangunan Indonesia

dilaksanakan pada segala bidang guna mewujudkan manusia dan masyarakat

Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materi maupun spiritual

(Depkes RI, 2009).

Keadaan yang disebutkan di atas menyebabkan penggunaan mesin-mesin,

pesawat-pesawat, instalasi-instalasi modern serta bahan berbahaya semakin

meningkat. Hal tersebut disamping memberi kemudahan proses produksi dapat pula

menambah jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja. Maka akan terjadi pula

(2)

berbahaya, serta peningkatan intensitas kerja operasional tenaga kerja. Masalah

tersebut diatas akan sangat mempengaruhi dan mendorong peningkatan jumlah

maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan pencemaran

lingkungan, sehingga dinggap sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dan

kedisiplinan untuk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja

(SMK3) (Depnaker RI, 1999).

Tenaga kerja merupakan asset perusahaan yang harus diberi perlindungan

terhadap aspek K3 mengingat ancaman bahaya potensial yang berhubungan dengan

kerja. Pemerintah telah menetapkan kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap

aspek K3 melalui peraturan perundangan. Peraturan perundangan K3 merupakan

salah satu upaya dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja,

peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut

jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja. Selain

peraturan perundangan K3, komitmen perusahaan dalam menerapkan SMK3 juga

tidak kalah penting guna mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan

lain-lain (Silaban, 2008).

K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin

ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur).

Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang

ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1

Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus

(3)

segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di

udara maupun di ruang angkasa (Depnaker RI, 1999).

Upaya kesehatan kerja sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup

sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan, serta pengaruh buruk yang diakibatkan

oleh pekerjaan. Oleh karena itu kesehatan kerja diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab

XII yang terdiri dari Pasal 164 sampai dengan Pasal 166. Upaya kesehatan kerja

meliputi pekerja di sektor formal, yaitu pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja

dan informal, yaitu pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya kesehatan

kerja dimaksud berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan

tempat kerja (Sitompul, 2010).

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga

mengatur tentang kesehatan kerja dalam satu paragraf dengan keselamatan kerja.

Pengaturan tersebut ada dalam Pasal 86 dan 87 UU Ketenagakerjaan. Dalam passal

tersebut antara lain ditentukan sebagai berikut:

a. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas

keselamatan dan kesehatan kerja;

b. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas

kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan

(4)

Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum bahwa status kesehatan

sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan

lingkungan. Sedangkan untuk meningkatkan status kesehatan seseorang diperlukan

lingkungan yang kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari polusi, baik polusi udara

maupun polusi suara. Akan tetapi lingkungan yang bebas polusi sangat jarang kita

temui pada saat sekarang ini. Hal ini terjadi karena bertambahnya urbanisasi

sehubungan dengan bertambahnya transportasi yang pesat dan pertambahan

penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar dan berkekuatan dimana-mana,

bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat diabaikan dari kehidupan kita

yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya yang serius pula terhadap kesehatan

kita (Doelle,1993).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha,

pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di

seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari

jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun

ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang

terkena penyakit akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya

akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat

kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari

US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (GDP) (Depnaker

(5)

Masalah-masalah K3 merupakan bagian penting dalam agenda ILO.

Konferensi Perburuhan Internasional setiap tahunnya membicarakan standar-standar

K3 sebagai bagian dari pendekatan yang terintegrasi dan mencapai persetujuan

mengenai strategi K3 global yang menghimbau dilakukannya suatu aksi yang “jelas

dan terpusat” untuk mengurangi angka kematian, luka-luka dan penyakit akibat kerja,

termasuk akibat kebisingan. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan

pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi,

gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja,

pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan

berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003). Cacat pendengaran akibat kerja

(occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebahagiaan atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau

kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja

(Adriana et al, 2003).

Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk

kota besar. Kebisingan merupakan salah satu faktor penting penyebab terjadinya

stress dalam kehidupan modern. Karena merupakan suatu unsur lingkungan yang

dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan hidup. Untuk

kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan

tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas (Wardhana, 2004).

Pada tahun 2004, lebih dari 275 juta orang di dunia mengalami gangguan

(6)

rendah dan menengah. Penyakit infeksi seperti meningitis, campak, gondok dan

infeksi telinga kronis dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Penyebab umum

lainnya termasuk paparan berlebihan, kepala kebisingan dan cedera telinga, penuaan

dan penggunaan obat-obatan. Setengah dari semua kasus gangguan pendengaran dan

ketulian dapat dihindari melalui pencegahan primer yaitu penggunaan alat pelindung

diri (APD). Sebagian besar dapat diobati melalui diagnosis dini dan manajemen yang

sesuai. Tergantung pada penyebab gangguan pendengaran, dapat ditangani secara

medis, pembedahan atau melalui perangkat seperti alat bantu dengar dan implan

koklea. Produksi alat bantu dengar memenuhi kurang dari 10% dari kebutuhan

global. Di negara-negara berkembang, 1 dari 40 orang yang membutuhkan alat bantu

dengar (WHO, 2012).

Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%,

sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India

(6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup

tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara

itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 2007 terdapat 240

juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 70 sampai 150 juta

diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Alfarisi, 2008).

Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat

berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal

(7)

lingkungan misalnya udara (polusi) dan kebisingan mesin alat transportasi seperti

pesawat terbang. Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini et al (2007) menunjukkan

bahwa kebisingan akibat pesawat terbang di landasan pacu sebesar 87,93 dB, padahal

batas yang ditetapkan menurut Kep- 51/MEN/1999 adalah 85dB.

Pengendalian kebisingan dengan cara penggunaan Alat Pelindung Telinga

(APT) merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan.

APT berfungsi untuk melindungi alat pendengaran (telinga) dan bahaya kebisingan

dan melindungi telinga dari percikan api atau logam yang panas. Secara umum alat

pelindung telinga dapat dibagi menjadi dua yaitdan ear muff. Ear plug

atau sumbat telinga merupakan alat pelindung telinga yang cara penggunaannya

dimasukan pada liang telinga. Sedangkan tutup telinga (ear muff) merupakan alat pelindung telinga yang penggunaanya ditutupkan pada saluran daun telinga

(Suma’mur, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2010) menunjukkan bahwa pekerja

atau petugas ground handling di Bandar Udara Polonia sekitar 20% (20 dari 100 petugas ground handling) mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amel (2012) di PT. Gapura

Angkasa Bandar Udara Polonia mengenai tingkat kebisingan yang diterima oleh para

(8)

Pada pengukuran secara objektif intensitas dan spektrum kebisingan di avron

Bandar Udara Polonia saat aktivitas petugas ground handling diperoleh hasil intensitas 78-105 dB dengan rerata bisingnya adalah 92,1dB. Hal ini telah melebihi

ambang batas kebisingan, yaitu 85dB. Selain itu paparan bising pada petugas ground

handling di bandara Polonia Medan adalah 9 jam / hari dan pemakaian alat pelindung diri khususnya APT pada petugas ground handling di bandara Polonia Medan hanya 12%. Hasil pantauan peneliti terlihat beberapa petugas tidak menggunakan APT saat

menjalankan tugasnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor

penyebab petugas tidak menggunakan APT di avron Bandara Polonia Medan Tahun

2013.

1.2 Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya penggunaan APT

dalam mencegah gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan Tahun

2013.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor

internal (pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan

eksternal (pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3)

(9)

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan faktor internal

(pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan eksternal

(pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3) petugas ground

handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan masukan bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan

mengenai faktor utama yang menyebabkan gangguan pendengaran bagi

petugas ground handling sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan gangguan pendengaran tersebut.

b. Memberikan masukan bagi pihak Bandar Udara Polonia Medan agar

memaksimalkan penggunaan APT bagi petugas ground handling dengan membuat kebijakan sehingga dapat mencegah gangguan pendengaran bagi

petugas tersebut.

c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai

kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini membahas penerapan sistem persamaan linear aljabar Max Plus pada masalah ground handling di Terminal 1 Bandara