• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Agresivitas

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya : 1. Frustasi

Yang dimaksud dengan frustasi adalah situasi di mana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang di inginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan (Koeswara, 1988). Frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain (Meier, 1983 dalam Dayakisni, 2009). Dollard dan kolega-koleganya (1939, dalam Myers, 2005) menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada tindakkan agresi.

2. Stress

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai definisi stress. Para peneliti dalam bidang fisiologi mendefinisikan stress sebagai reaksi, respons, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal atau perubahan lingkungan (Selye, 1946, Mason, 1971 dalam Koeswara, 1988).

Sedangkan para ahli psikologi, psikiatri dan sosiologi mengonsepsikan stress bukan sebagai respon, melainkan sebagai stimulus. Engle (1993 dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi stress yang lebih lengkap, yang meliputi sumber-sumber stimulus eksternal dan internal: “ stress menunjuk pada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi-kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme”.

3. Media Kekerasan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Black & Bevan (dalam Baron & Byrne, 1993), para relawan yang menonton film kekerasan mempunyai skor lebih tinggi pada pengukuran kecenderungan agresivitas, dibandingkan dengan mereka yang menonton film non-kekerasan. Menurut Berkowitz (1995), meluasnya agresi antara lain disebabkan oleh banyaknya adegan kekerasan yang ditayangkan dalam film-film dan televisi.

Karena 2 dari 3 acara televisi mengandung kekerasan, dampaknya adalah peniruan dan peningkatan agresivitas (Eron, 1987;Gerbner, 1994 dalam dalam Sarwono, 2002). Menonton model agresif dapat melancarkan keinginan agresivitas dan mengajarkan mereka cara baru untuk melakukan agresi (Myers, 2005).

Pengararuh media lainnya khususnya bagi anak-anak adalah video game, menurut Anderson (2004 dalam Myers, 2005) 59% pada anak perempuan

dan 73% anak laki-laki melaporkan bahwa mereka lebih memnyukai permainan yang mengandung unsur kekerasan.

4. Deindividuasi

Menurut Lorenz (dalam Dayaksini, 2009), deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens.

5. Kekuasaan dan Kepatuhan

Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan (compliance) (Dayaksini, 2009). Koeswara (1988) juga menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (Coercieve), memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi.

6. Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan yang ada, dapat mempengaruhi perilaku agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik saja yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit hati (psikis) (Berkowitz, 1983,1989 dalam Sarwono 2002). Kondisi lingkungan sering sekali mempengaruhi mood seseorang (Deaux et al, 1993).

Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi (Griffit, 1971, dalam Sarwono 2002). Dalam penelitian juga terbukti bahwa dalam kurun waktu antara 1967-1971, huru-hara lebih sering terjadi dimusim panas disaat udara panas menyengat dari pada

dimusim gugur, musim dingin atau musim semi (Clarsmith & Anderson dalam Sarwono, 2002).

Faktor lingkungan lainnya adalah rasa sesak dan berjejal (crowding), yang juga dapat memicu agresi. Menurut Flemming, Baum & Weiss (1987, dalam Sarwono 2002), didaerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dengan kekerasan.

7. Provokasi

Provokasi atau verbal attack menurut Deaux et al(1993), secara langsung merupakan pengaruh nyata dalam timbulnya suatu perilaku agresi. Wolfgang (1957, dalam Dayaksini, 2009), mengemukakan bahwa ¾ dari 600 pembunuhan yang diselidiknya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Beck (dalam Dayaksini 2009) mencatat bahwa sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh individu-individu yang mengenal korbannya, dan pembunuhan itu terjadi dengan didahului adanya adu argumen atau perselisihan antara pelaku dan korbannya.

8. Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect)

Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut penelitian Phil & Ross (dalam Dayaksini, 2009), mengkomsumsi alkhohol dalam dosis tinggi meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang di provokasi. Mengkomsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit. Gangguan

kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat (cues) yang samar, sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan interprestasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya.

Laporan dari komisi pengawasan obat-obatan non-medis di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa, mengkomsumsi alkohol yang berlebihan oleh individu yang berkepribadian labil dan atau individu-individu yang memiliki masalah-masalah psikiatris dan neurologis tertentu adalah suatu tindakkan yang bisa mengarahkannya kepada kemunculan tindak kekerasan termasuk agresi seksual (1973, dalam Koeswara, 2002).

9. Arousal yang bersifat umum

Agresi sebenarnya disebabkan oleh ketergugahan (arousal) bersifat umum yang akan meningkatkan kecenderungan munculnya tingkah laku agresif (Deaux et al, 1993). Teori ini dikemukakan oleh Zillman yang disebut dengan excitation transfer theory (Zillman, dalam Deaux et al, 1993). Menurut teori ini, ketergugahan yang dihasilkan dalam suatu situasi, dapat ditransfer kepada berbagai keadaan emosional dan dapat meningkatkan itensitas emosional tersebut.

Secara spesifik, Zillman (dalam Deaux et al, 1993) menyatakan bahwa ekspresi kemarahan (atau berbagai emosi lain) tergantung pada tiga faktor, yaitu:

a) Disposisi atau kebiasaan yang dipelajari seseorang.

b) Beberapa sumber energi dari ketergugahan.

c) Interprestasi yang diberikan seseorang terhadap ketergugahan yang dialami.

10. Pengaruh Kepribadian

Salah satu teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A (kompetitif, cepat tersinggung, selalu terburu-buru dan sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, puas dengan keadaan dirinya, tidak terburu-buru dan sebagainya) (Glass dalam Sarwono, 2002). Pengaruh lainnya dari sifat kepribadian terhadap perilaku agresif adalah sifat pemalu. Orang yang bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang lain dan cenderung mencari kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu tipe pemalu cenderung lebih agresif dari orang yang tidak pemalu (Tangney, 1990; Harder & lewis, 1986 dalam Sarwono, 2002).

11. Efek Senjata

Terdapat dugaan bahwa senjata memainkan peranan dalam agresi tidak saja karena fungsinya mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Suatu penyelidikan antar negara mengenai penggunaan senjata api pada tahun 1973 menyatakan bahwa pada tahun tersebut di Amerika Serikat korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api tercatat 67% sedangkan di Inggris

korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api berjumlah 10% dari seluruh korban agresi (Koeswara, 1988).

Dokumen terkait