• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Cyberbullying

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying

Dua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying adalah faktor motivasi internal (motivasi remaja untuk melakukan cyberbullying berdasarkan

pengaruh emosional mereka) dan faktor motivasi eksternal (penyebab seseorang melakukan cyberbullying berdasarkan karakteristik korban dan adanya suatu

kejadian yang spesifik). Faktor-faktor internal meliputi redirect feelings

(mengalihkan perasaan), revenge (balas dendam), make themselves feel better

(membuat diri mereka merasa lebih baik), boredom (kebosanan), instigation

(mempunyai keinginan), protection (perlindungan), jealousy (iri hati), seeking approval (mencari persetujuan), trying out a new persona (mencoba pesona baru), anonymity or disinhibition effect (adanya faktor anonimitas). Faktor-faktor

eksternal meliputi tidak adanya konsekuensi yang nyata, dilakukan tidak secara langsung (not face to face), dan karakteristik korban yang berbeda (Varjas et al.,

2010).

Menurut Li (2010), hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying adalah bullying tradisional, jenis

kelamin, budaya, dan pengguna internet. Penelitian Hoff dan Mitchell (2009), menemukan beberapa faktor penyebab dari tindakan cyberbullying yang

dikelompokkan pada dua kategori utama yaitu cyberbullying yang disebabkan oleh

isu relasi dan yang tidak berkaitan isu relasi. Cyberbullying yang disebabkan oleh

isu relasi seperti putus hubungan, kecemburuan, pada kecacatan, agama dan gender, serta kelompok atau geng. Cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti intimidasi golongan luar kelompok dan penyiksaan pada korban. Menurut teori

Kowalski et al., 2014), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying

ada dua, yaitu:

1. Person Factors (faktor individu)

1) Jenis kelamin. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, menurut penelitian yang dilakukan Hinduja & Patchin (2008), tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam hal perilaku cyberbullying, penelitian lain yang dilakukan Sourander

et al., (2010) menemukan bahwa laki-laki lebih sering melakukan perilaku cyberbullying dibandingkan wanita, namun, wanita biasa lebih sering

dijadikan target untuk cyberbullying. Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa perbedaan gender tergantung pada tempat dimana cyberbullying

sedang terjadi (Hinduja & Patchin, 2008).

2) Usia. Cyberbullying banyak terjadi di usia sekolah menengah, seperti

contoh Williams dan Guera (2007) menemukan bahwa kenaikan

cyberbullying terjadi setelah kelas lima dan puncak selama kelas delapan,

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kowalski, Giumetti et al., (2012)

menemukan bahwa mereka yang pernah mengalami cyberbullying di sekolah menengah dan atas, 43% responden menunjukkan bahwa mayoritas

cyberbullying yang mereka alami telah terjadi selama kuliah.

3) Motivasi. Tidak banyak penelitian yang telah meneliti bagaimana motif seseorang untuk terlibat dalam cyberbullying. Penelitian lain membuktikan

bahwa hubungan antara bullying tradisional dengan cyberbullying, dimana beberapa individu melakukan cyberbullying dalam upaya untuk membalas

cyberbullying untuk menunjukkan keterampilan teknologi, sebagai hal yang

dianggap menyenangkan dan untuk menunjukkan dirinya merasa kuat. Gradiner, Strohmeier, dan Spiel (2012) menemukan bahwa motif yang paling umum adalah kemarahan.

4) Kepribadian. Di sisi korban, beberapa variabel kepribadian telah diidentifikasi sebagai prediktor yang memungkinkan. Variabel yang jelas yang mungkin terkait dengan terjadinya cyberbullying adalah empati. Sejumlah variabel kepribadian lain mungkin akan berperan dalam membuat individu lebih rentan terhadap cyberbullying atau cybervictimization.

5) Keadaan psikologis. Individu yang melakukan dan korban dari

cyberbullying memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, serta

memiliki harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak melakukan cyberbullying. Depresi dan kecemasan dapat menjadi prediktor

keterlibatan dalam cyberbullying, dan dapat menjadi konsekuensi dari

perilaku cyberbullying.

6) Status sosial ekonomi dan penggunaan teknologi. Wang, Lannotti, dan Nansel (2009) menemukan bahwa ada hubungan positif antara status sosial ekonomi dengan cyberbullying. Hal ini diketahui bahwa, individu yang

memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi biasanya memiliki akses yang lebih mudah untuk menggunakan teknologi, sehingga menjadikan individu untuk dapat terlibat dalam perilaku cyberbullying.

7) Nilai dan persepsi. Walrave dan Heirman (2011) mengamati bahwa individu yang melakukan cyberbullying cenderung meminimalkan dampak dari

dapat melibatkan moral disengagement mereka yang di mana mereka

mengartikan tindakan agresif mereka sebagai tindakan yang lebih ramah, konsekuensinya yang tidak nyata, atau karena melihat perilaku tercela dari pihak korban. Sama seperti pelaku yang membenarkan tindakan mereka dengan membuat kesan negatif terhadap korban, demikian juga korban yang menjadi percaya bahwa mereka berhak mendapatkan status sebagai korban yang perlu untuk ditolong.

8) Perilaku maladaptif lainnya, dari penelitian yang dilakukan Ybarra dan Mitchell (2004) menemukan bahwa individu yang terlibat dalam perilaku

cyberbullying lebih sering terlibat pada perilaku maladaptif lainnya, seperti

meminum alkohol dan merokok, dibandingkan individu yang tidak terlibat dengan perilaku cyberbullying.

2. Situational Factors (faktor situasional)

1) Provokasi dan dukungan. Provokasi dapat mengakibatkan sejumlah perilaku termasuk penghinaan, agresi fisik maupun verbal, dan bullying. Hal

ini dapat dilihat sebagai keterkaitan antara bullying tradisional dengan

perilaku cyberbullying. Sebaliknya, penelitian yang di lakukan oleh Fanti (2012), menemukan dukungan sosial dari teman dimungkinkan untuk menurunkan perilaku cyberbullying.

2) Keterlibatan orang tua. Individu yang terlibat cyberbullying dilaporkan

memiliki ikatan emosional yang lemah antara orang tua dengan mereka, dibandingkan dengan mereka yang tidak terlibat dalam cyberbullying. Hukuman dari orang tua dapat menjadi pencegah terhadap perbuatan

3) Suasana sekolah. Suasana sekolah yang tidak ramah dapat membuat frustasi dan rasa tidak nyaman diantara beberapa siswa. Menanggapi hal ini, siswa dapat bertindak agresif dengan melakukan tindakan cyberbullying.

Demikian juga karena kecenderungan yang lebih besar untuk perbuatan

cyberbullying, suasana sekolah yang negatif dapat meningkatkan

kerentanan terhadap korban online, khususnya dikalangan siswa.

4) Anonimitas yang dirasakan. Penelitian Kowalski dan Limber (2007) melaporkan bahwa 50% responden sekolah menengah mereka yang menjadi korban cyberbullying tidak mengetahui identitas pelaku. Ybarra, Diener-

West, dan Leaf (2007) mencatat bahwa 12,6% korban cyberbullying sering

tidak tahu identitas dari pelaku. Anonimitas yang dirasakan oleh pelaku yang mungkin menjadikannya melakukan cyberbullying. Selain itu, anonimitas yang dirasakan mengarah pada disinhibition effect yang

mengarahkan orang untuk mengatakan dan melakukan hal-hal secara anonim tetapi mereka tidak akan mengatakan dan melakukannya secara langsung.

Dokumen terkait