• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
276
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA

PENELITIAN KORELASIONAL

Oleh :

BELLA NABILA WIJAYA KRISNAWAN NIM. 131411133020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA

PENELITIAN KORELASIONAL

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperwatan (S. Kep) Pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan

Universitas Airlangga

Oleh :

BELLA NABILA WIJAYA KRISNAWAN NIM. 131411133020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang

pendidikan di Perguruan Tinggi manapun

Surabaya, 31 Juli 2018 Yang Menyatakan

(4)

PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Airlangga. Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Bella Nabila Wijaya Krisnawan

NIM : 131411133020

Program Studi : Pendidikan Ners Fakultas : Keperawatan Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Airlangga Hak Bebas Royalti Non – eksklusif (Non exclusive Royalty Free Right) atas karya saya yang berjudul: “Hubungan antara Persepsi

Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya” beserta perangkat yang

ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non – esklusif ini Universitas Airlangga berhak menyimpan, alihmedia / format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama

tetap dicantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Surabaya, 31 Juli 2018 Yang menyatakan

(5)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA

Oleh:

Bella Nabila Wijaya Krisnawan NIM.131411133020

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 JULI 2018

Oleh

Pembimbing Ketua

Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep NIP. 198509112012122001

Pembimbing

Praba Diyan R, S.Kep.Ns., M.Kep NIP. 198611092015042002

Mengetahui

a.n Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya

Wakil Dekan I

(6)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA

Oleh:

Bella Nabila Wijaya Krisnawan NIM. 131411133020

Telah diuji

Pada tanggal 31 Juli 2018

PANITIA PENGUJI

Ketua :

Elida Ulfiana, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………)

NIP. 197910132010122001

Anggota :

1. Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………)

NIP. 198509112012122001

2. Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………) NIP. 198611092015042002

Mengetahui

a.n Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya

Wakil Dekan I

(7)

MOTTO

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

(Asy Syarh ayat 5-6)

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya." (Al Baqarah ayat 286)

"Jadilah seperti orang asing atau perantau di dunia ini." (HR. Bukhari)

“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua ....”

(H.R. At-Tirmidzi, Al-Hakim, & Ath-Thabrani)

“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga.”

(H.R. Muslim)

If Your Dream is Alive,Then One Day it Will Come True

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, hidayah dan limpahan karunia–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Hubungan antara Persepsi Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Keperawatan (S. Kep) di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya dan penghargaan yang setinggi – tingginya penulis ucapkan kepada Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep. selaku pembimbing I dan Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns., M.Kep. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, arahan serta motivasi dalam penulisan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu bersama ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Nursalam, M. Nurs., (Hons), selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

2. Dr. Kusnanto, S.Kp., M. Kes., selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Elida Ulfiana, S.Kep.Ns., M.Kep selaku ketua penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak Setho Hadisuyatmana, S.Kep.Ns., M.NS (CommHlth&PC) selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam menyempurnakan skripsi ini.

5. Ibu Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep.Ns., MANP dan Ibu Ilya Krisnana, S. Kep., Ns., M. Kep. selaku dosen wali yang selalu memberikan motivasi serta semangat di masa perkuliahan saya.

6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR yang telah mendidik dan membimbing serta memberikan ilmu selama masa perkuliahan.

7. Drs. Shohib, MM selaku kepala sekolah SMAN 3 Surabaya, Dra. Nuri Maria Ulfa, M.Pd. selaku kepala sekolah SMAN 4 Surabaya, Drs. H.Moch.Shadali, MM.Pd selaku kepala sekolah SMAN 9 Surabaya, Drs.H. Nurseno, M.Pd selaku kepala sekolah SMAN 10 Surabaya, dan Dra. Marlina Kusmawati, M.M selaku kepala sekolah SMAN 11 Surabaya yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di sekolah, serta kepada guru bimbingan konseling dan staf sekolah yang telah membantu dan memfasilitasi proses pengambilan data penelitian di sekolah.

(9)

9. Bapak Djoko Krisnawan dan Ibu Waslinah selaku orang tua saya selaku orang tua saya yang selalu memberikan cinta, kasih dan sayangnya serta motivasi dan selalu menyebut nama saya dalam setiap doanya.

10.Kepada keluarga besar, saya uncapkan terima kasih banyak yang tidak terhingga atas semua dukungan baik moril maupun materiil serta semangat untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.ABCS (Ayu Tria Kartika Putri, Citra Intan Trisnalia dan Senja Putrisia F.E.) yang selalu ada untuk memberikan dukungan, bantuan, semangat, motivasi, dan canda tawa selama masa perkuliahan.

12.Cuawak Squad (Licha, Indah, Tessa, Venni, Anna, Citra, Thaliah, Senja, Ayu) yang telah memberikan dukungan, bantuan, semangat, motivasi, dan canda tawa dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

13.Keluarga Kosan Mulyorejo Tengah 52-54 (Elisa, Dwida, Dinda, Nisa, Karina, mba mel, dinana, laila, nana) yang telah memberikan ilmu, dukungan, semangat dan motivasi selama proses pengerjaan skripsi ini.

14.Teman – teman di Tangerang, Tunasel, Elastico, serta sahabat saya (Dyah dan Debby) yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.

15.Teman – teman seperjuangan A14, yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat.

16.Teman – teman seperjuangan kelas A1 dan A2 saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.

17.Teman – teman ROKAI (Avin, Retty) dan KKN Glagahwangi 57 saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.

18.Semua kucing-kucingku, lagu, film, anime, game yang menemani saya dalam mengerjakan skripsi ini dan membantu saya menghilangkan kejenuhan.

19.Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberi motivasi dan bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah membantu penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi profesi keperawatan. Aamiin Allaahumma Aamiin

Surabaya, 31 Juli 2018

(10)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN ADOLESCENT PERCEPTION TOWARD PEER ROLE AND MORAL DISENGAGEMENT WITH CYBERBULLYING

BEHAVIOR OF HIGH SCHOOL STUDENTS IN SURABAYA

A Correlation Study

By : Bella Nabila Wijaya Krisnawan

Introduction: The use of the internet often abusing the media by cyberbullying, including teenagers. One of the factors that influence cyberbullying in adolescents are peer role and moral disengagement. The purpose of this study is to analyze the relationship between adolescent perceptions of peer role and moral disengagement with cyberbullying behavior in high school students in Surabaya. Method: This research used correlational design with cross sectional approach. The total sample is 346 high school students in Surabaya done by purposive sampling. Independent variable of this research are adolescent perception toward peer role and moral disengagement, dependent variable from this research is cyberbullying behavior. Data collection was using an online questionnaire by using google forms Peer Group Role Questionnaire, Moral Disengagement Scale, Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument and analyzed by Spearman's rho's correlation test with significance value α ≤ 0.05. Results: The results show a sufficient relationship between adolescent perception of peer role with cyberbullying offending behavior (p=0.000; r=-0.518) and weak relationship with cyberbullying victimization value (p=0.000; r=-0.296), strong relationship between adolescent perception of moral disengagement with cyberbullying behavior offending value (p=0.000; r=0.721) and sufficient relation with cyberbullying victimization value (p=0.000; r=0405). Discussion: Adolescent perceptions of high peer roles and low moral disengagement reduce the involvement of cyberbullying behavior in high school students in Surabaya. School nurses are expected to provide health education about knowledge for adolescents, regarding the importance of preventing cyberbullying behavior and how to overcome it.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul dan Prasyarat Gelar ... i

Surat Pernyataan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Lembar Persetujuan ... iv

Lembar Penetapan Panitia Penguji ... v

Motto ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan ... 9

1.3.1Tujuan Umum ... 9

1.3.2Tujuan Khusus ... 9

1.4 Manfaat ... 10

1.4.1Teoritis ... 10

1.4.2Praktis ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Remaja ... 12

2.1.1Definisi Remaja ... 12

2.1.2Batasan Usia Remaja ... 13

2.1.3Ciri-ciri Remaja ... 14

2.1.4Tahap Perkembangan Masa Remaja ... 17

2.1.5Tugas Perkembangan Remaja ... 19

2.2 Cyberbullying ... 21

2.2.1Definisi Cyberbullying ... 21

2.2.2Karakteristik Cyberbullying Offending dan Victimization ... 23

2.2.3Metode dan Bentuk Aktivitas Cyberbullying ... 25

2.2.4Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying ... 28

2.2.5Dampak Cyberbullying ... 32

2.3 Peran Teman Sebaya ... 34

2.3.1Definisi Teman Sebaya ... 34

2.3.2Macam-macam Teman Sebaya ... 35

2.3.3Fungsi Teman Sebaya ... 37

2.3.4Dampak Positif dan Negatif Teman Sebaya ... 39

2.4 Moral Disengagement ... 40

2.4.1 Pengertian Moral Disengagement ... 40

2.4.2Mekanisme Moral Disengagement ... 41

2.5 Teori General Aggression Model (GAM) ... 44

(12)

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ... 57

3.1 Kerangka Konseptual ... 57

3.2 Hipotesis ... 60

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 61

4.1 Desain Penelitian ... 61

4.2 Populasi, Sampel, dan Sampling ... 61

4.2.1Populasi ... 61

4.2.2Sampel ... 62

4.2.3Besar Sampel ... 63

4.2.4Sampling ... 63

4.3 Variabel Penelitian ... 64

4.3.1Variabel Independen ... 64

4.3.2Variabel Dependen ... 64

4.4 Definisi Operasional ... 65

4.5 Alat dan Bahan ... 67

4.6 Instrumen Penelitian ... 67

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 72

4.8 Uji Validitas dan reliabilitas ... 73

4.8.1Uji validitas ... 73

4.8.2Uji Reliabilitas ... 76

4.9 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 77

4.10 Cara Analisi Data ... 78

4.11Kerangka Operasional ... 82

4.12Masalah Etika ... 83

4.13Keterbatasan Penelitian ... 86

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 87

5.1 Hasil Penelitian ... 87

5.1.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 87

5.1.2Karakteristik Demografi Responden ... 92

5.1.3 Distribusi Data Variabel yang Diukur ... 93

5.2 Pembahasan ... 97

5.2.1 Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya pada Siswa SMA di Surabaya ... 97

5.2.2Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement pada Siswa SMA di Surabaya ... 100

5.2.3 Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya ... 102

5.2.4Hubungan Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya dengan Perilaku Cyberbullying ... 104

5.2.5Hubungan Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying ... 110

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ... 116

6.1 Simpulan ... 116

6.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian ... 49

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Setiap Sekolah ... 64

Tabel 4.2 Definisi Operasional ... 65

Tabel 4.3 Blue Print Kuesioner Peran Peer Group... 68

Tabel 4.4 Penggolongan Kriteria Skor Berdasar Mean Hipotetik ... 69

Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Peran Peer Group ... 69

Tabel 4.6 Blue Print Kuesioner Moral Disengagement ... 70

Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Moral Disengagement ... 71

Tabel 4.9 Blue Print Kuesioner Perilaku Cyberbullying ... 71

Tabel 4.11 Nilai interval untuk Cyberbullying Offending dan Victimization ... 72

Tabel 4.13 Hasil Uji Validitas Kuesioner Peran Peer Group ... 74

Tabel 4.15 Hasil Uji ValiditasKuesioner Moral Disengagement Scale... 74

Tabel 4.17 Hasil Uji Validitas Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument (Offending) ... 75

Tabel 4.19 Hasil Uji Validitas Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument (Victimization) ... 75

Tabel 4.21 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian... 76

Tabel 4.23 Analisis Statistik Variabel ... 79

Tabel 4.25 Interpretasi Hasil Uji Korelasi ... 79

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden di SMAN 3 Surabaya, SMAN 4 Surabaya, SMAN 9 Surabaya, SMAN 10 Surabaya, SMAN 11 Surabaya ... 92

Tabel 5.2 Distribusi Data Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya di SMA Kota Surabaya ... 93

Tabel 5.3 Distribusi Data Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 93

Tabel 5.4 Distribusi Data Perilaku Cyberbullying Offending Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 94

Tabel 5.5 Distribusi Data Perilaku Cyberbullying Victimization Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 94

Tabel 5.6 Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya dengan Perilaku Cyberbullying di SMA Kota Surabaya ... 95

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Teori General Aggression Model (GAM) Anderson &

Bushman (2002) ... 46 Gambar 2.2 Teori General Aggression Model (GAM) (Anderson &

Bushman, 2002) yang dimodifikasi oleh Kowalski et al.

(2014). ... 48 Gambar 4.1 Kerangka Operasional Hubungan antara Persepsi Remaja

terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penjelasan Penelitian Bagi Responden ... 131

Lampiran 2 Lembar Informed Assent... 133

Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data Responden ... 134

Lampiran 4 Kuesioner Peran Peer Group... 137

Lampiran 5 Kuesioner Moral Disengagement Scale ... 139

Lampiran 6 Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument ... 141

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Reabilitas ... 143

Lampiran 8 Tabulasi Data Demografi Responden ... 156

Lampiran 9 Tabulasi Data Khusus Persepsi Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya ... 172

Lampiran 10 Tabulasi Data Khusus Persepsi Remaja Terhadap Moral Disengagement ... 192

Lampiran 11 Tabulasi Data Khusus Perilaku Cyberbullying Remaja ... 211

Lampiran 12 Hasil Analisis Data ... 143

Lampiran 13 Sertifikat Kelayakan Etik ... 253

Lampiran 14 Surat Ijin Penelitian ... 254

(16)

DAFTAR SINGKATAN

ANOVA : Analysis of Variance

DepKes : Departemen Kesehatan

E-mail : Electronic Mail

GAM : General Aggression Model

IM : Instant Messaging

IPA : Interaction Process Analysis

KEMKOMINFO : Kementrian Komunikasi dan Informatika

MDS : Moral Disengagement Scale

PASW : Predictive Analytics SoftWare

PEOU : Perceived Ease of Use

RI : Republik Indonesia

SEM : Structural Equation Modelling

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMPP : Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan

SMS : Short Message Service

SPSS : Statistical Product and Service Solutions

UKS : Unit Kesehatan Sekolah

UNICEF : United Nations Children's Fund

WHO : World Health Organization

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Setiap tahunnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat

berkembang dengan pesat, termasuk penggunaan internet. Margono et al., (2014)

berpendapat bahwa Indonesia memiliki potensi pertumbuhan penggunaan media

sosial sebagai media komunikasi untuk berbagi informasi. Penggunaan internet

dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif penggunaan

internet diantaranya membantu dalam mencari informasi dan menyelesaikan tugas

(Mayangsari, 2015). Dampak negatif dari penggunaan internet dan teknologi

komunikasi lainnya adalah pengunaannya dijadikan media baru dalam

mengintimidasi seseorang atau biasa disebut cyberbullying (Margono, Yi & Raikundalia, 2014). Menurut İçellioğlu & Özden (2014), cyberbullying menjadi

masalah penting yang muncul bersamaan dengan meningkatnya penggunaan

internet dan perangkat teknologi lainnya. Kowalski et al., (2014) menyimpulkan

dari penelitian sebelumnya bahwa baik korban maupun pelaku cyberbullying dapat

memunculkan perilaku maladaptif, kecemasan dan depresi, penurunan harga diri,

kontrol diri rendah, kesehatan fisik yang buruk, kesepian, keinginan mencederai

diri, dan bunuh diri.

Data statistik dari Kementrian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2013,

pengguna internet di Surabaya mencapai sekitar 965 ribu pengguna. Menurut survei

yang dilakukan oleh Kaman (2007) tentang cyberbullying di 40 negara termasuk Indonesia pada 2005 sampai 2006, hasilnya adalah Indonesia menempati peringkat

(18)

Survei yang dilakukan oleh Ipsos tahun 2012 dengan melibatkan 18.687 orang di

24 negara termasuk Indonesia, menemukan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia

tentang cyberbullying cukup tinggi yaitu 91%, dari jumlah tersebut sebanyak 53%

responden mengetahui bahwa telah terjadi cyberbullying di lingkungan sekitarnya

dan sebanyak 60% responden mengatakan bahwa cyberbullying paling banyak

terjadi di media sosial Facebook (Gottfried, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh

Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan UNICEF pada

tahun 2011 hingga 2013 yang dirilis Februari 2014 yang melibatkan 400 anak dan

remaja di 11 provinsi di Indonesia dengan rentang usia 10 hingga 19 tahun

menyatakan sebagian besar remaja di Indonesia telah menjadi korban

cyberbullying. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sebanyak 42%

responden menyadari adanya perilaku cyberbullying dan 13% responden mengaku telah menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman.

Cyberbullying merupakan salah satu jenis bullying yang terjadi melalui internet,

telepon genggam, atau teknologi informasi lainnya (Huang & Chou, 2010).

Cyberbullying didefinisikan sebagai perilaku yang disengaja dan diulang-ulang

yang mencakup penghinaan, cyber-stalking, pengucilan, penganiayaan, dan pelecehan yang dilakukan melalui komputer, telepon seluler dan perangkat

elektronik lainnya. Berbagai media tersebut digunakan sebagai tindakan agresif

oleh kelompok atau individu kepada orang lain, dan korban tidak dapat dengan

mudah menghindarinya (Hinduja & Patchin, 2009). Mesch (2009) dalam Notar,

Padgett & Roden (2013), cyberbullying paling sering muncul dari masalah hubungan (perpisahan, iri, intoleransi, dan perselisihan) dan korban mengalami

(19)

Willard (2007), jenis cyberbullying dibagi menjadi tujuh yaitu; flaming, harassment, denigration, impersonating, outing and trickery, exclusion, dan

cyberstalking.

Sarwono (2004) menyatakan bahwa remaja belum mampu memilah aktivitas

internet maupun media komunikasi yang bermanfaat, Qomariyah (2011) juga

menambahkan bahwa remaja juga cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan

sosial mereka tanpa mempertimbangkan terlebih dulu efek positif atau negatif yang

akan diterima saat melakukan aktivitas internet tertentu. Salah satu faktor yang

mungkin mempengaruhi perilaku cyberbullying di kalangan remaja adalah

pengaruh dari teman sebaya atau peer group. Menurut Sarwono (2004), remaja

berada pada tahap krisis identitas, cenderung mempunyai rasa keingintahuan yang

tinggi, selalu ingin mencoba hal-hal baru, dan mudah terpengaruh dengan

teman-teman sebayanya (peer group). Kelompok teman sebaya pada remaja biasanya

memiliki pengaruh lebih besar terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih

seorang remaja, dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang

memang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Hinduja & Patchin, 2013).

Pernyataan di atas dibuktikan dari penelitian oleh Pradana (2015) yang hasilnya

semakin positif peran peer group dengan remaja, maka perilaku cyberbullying pada

remaja semakin rendah. Perilaku cyberbullying tidak akan dilakukan oleh remaja

yang memiliki hubungan yang dekat dengan peer group, dan apabila terjadi

perselisihan mereka menyelesaikannya dengan cara bermusyawarah. Namun,

dalam penelitian ini masih ditemukan siswa yang beranggapan bahwa memiliki

kelompok peer group sebagai hal yang membanggakan dan siswa cenderung lebih

(20)

atau guru. Selain itu, siswa cenderung mengarah kepada pengaruh buruk peer group, seperti perilaku negatif dari kesenangan siswa yang membahas keburukan orang lain dengan kelompok peer group mereka (Pradana, 2015).

Faktor lainnya seperti moral disengagement juga dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying (Mayangsari, 2015). Bandura (1999) mendifinisikan moral disengagement sebagai suatu proses pemikiran sosial di mana rata-rata orang

mampu melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain (Hymel,

Rocke-henderson, & Bonanno, 2005). Penelitian yang baru dilakukan di China

membuktikan bahwa moral disengagement yang lebih tinggi, memungkinkan

berkaitan dengan perilaku cyberbullying (Yang et al., 2018). Bauman (2010)

berpendapat bahwa dunia teknologi mungkin menjadi sebuah konteks sosial yang

mendorong moral disengagement seseorang untuk melakukan cyberbullying. Hal ini dikarenakan karakteristik dari komunikasi online seperti anonimitas, jarak, tidak

terlihatnya korban cyber dan dianggap hanya sebagai lelucon, sehingga pelaku cyberbullying tidak sepenuhnya menyadari tingkat keparahan yang dilakukannya

(Tanrikulu & Campbell, 2015).

Teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1950, 1963) menjelaskan bahwa

remaja masuk ke dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity confusion. Di dalam tahap ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial moratorium, yaitu suatu transisi para remaja, dari anak-anak yang masih

membutuhkan tuntunan, menuju ke masa dewasa dimana remaja mulai

menanggung beban tanggung jawabnya sendiri. Pada tahap ini remaja yang berhasil

dalam mengatasi krisis jati dirinya maka akan membentuk pribadi yang sukses dan

(21)

konflik kebutuhan dan krisis identitas di dalam dirinya akan terjatuh ke dalam suatu

kondisi yang disebut sebagai identity confusion. Para remaja yang kehilangan identitas dirinya dan tidak berhasil dalam meregulasi konflik di dalam dirinya ini

cenderung mudah mendapatkan masalah di lingkungannya, baik di dalam

lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat (Santrock, 2012).

Dampak dari identitiy confusion ini sendiri bisa jadi salah satu dari dua kondisi

berikut ini, yaitu; (1) individu akan menarik diri dan mengisolasi dirinya dari

masyarakat dan sosial, seperti teman-teman dan keluarga, atau (2) individu jatuh

terbenam di dalam dunianya dengan teman-temannya dan kehilangan identitasnya

di dalam kerumunan orang-orang tersebut. Dua kemungkinan ini yang paling dekat

dan menjelaskan mengapa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada remaja.

Bila seorang remaja ada pada kondisi pertama, besar kemungkinannya ia menjadi

korban dari cyberbullying, karena individu tersebut mengisolasi dirinya sendiri.

Sementara para pelaku cyberbullying sendiri besar kemungkinannya merupakan

remaja ada pada kondisi kedua, mereka akan melakukan tindak kejahatan melalui

media internet karena adanya pengaruh dari teman-teman sebayanya (Santrock,

2012).

Cyberbullying dalam dunia maya berpengaruh besar pada kehidupan remaja,

dalam hal ini Juvonen (2008) menjelaskan bahwa para remaja enggan memberitahu

orang tuanya mengenai insiden-insiden online yang terjadi pada remaja, hal ini di

karenakan remaja tidak mau orang tuanya membatasi kegiatan online yang remaja

lakukan. Oleh karena itu, Juvinen (2008) berkesimpulan bahwa cyberbullying bisa menjadi beban bagi para remaja karena dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama.

(22)

mengalami gejala depresi, keinginan melukai diri sendiri, dan yang paling buruk

adalah bunuh diri (Shim & Shin, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Hinduja

dan Patchin (2011) dengan melibatkan 2.000 anak sekolah menengah atas di

Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 20% dari responden dilaporkan memiliki

pemikiran yang serius mengenai percobaan bunuh diri, sedangkan 19% dilaporkan

telah melakukan percobaan bunuh diri. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan

fakta bahwa korban merasa depresi, sedih, dan frustasi (Hinduja & Patchin, 2011).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 23 Maret 2018 di SMA Negeri

9 Surabaya, yang dilakukan dengan mewawancarai 12 siswa (enam perempuan dan

enam laki-laki) secara acak mendapatkan hasil bahwa lima orang mengaku pernah

melakukan cyberbullying, satu siswa mengaku pernah menjadi korban cyberbullying, dan enam orang mengaku menjadi bystander atau yang melihat kejadian cyberbullying. Baik pelaku, korban, dan bystander mengaku mereka

pernah menjadi ketiganya. Bentuk cyberbullying yang pernah mereka lakukan

diantaranya meghina dengan kata-kata kasar (dua orang), memanggil dengan

julukan tertentu secara terus menerus (dua belas orang), membicarakan rahasia

orang lain kepada teman kelompoknya (lima orang), melakukan blocking pada akun temannya (satu orang), menyebarkan gossip untuk memperburuk korban (dua belas

orang) dan mengirimkan gambar (meme) ke kalangan umum (tiga orang). Mereka

menganggap bahwa yang mereka lakukan hanyalah sebatas bercanda atau karena

mengikuti dari perilaku teman kelompoknya, dan tidak mengetahui bahwa tindakan

yang mereka lakukan adalah bentuk dari perilaku cyberbullying. Hasil dari wawancara juga ditemukan bahwa dua siswa yang pernah terlibat cyberbullying,

(23)

sama-sama tidak mau berkomunikasi satu sama lain saat di sekolah untuk waktu

yang cukup lama, padahal menurut Hurlock (2004) remaja butuh diakui di

lingkungannya karena berada dalam masa pencarian jati diri seseorang dan jika

terjadi peer pressure atau tekanan dari teman sebaya maka akan membuat remaja

melakukan hal-hal yang bukan dirinya, seperti perilaku negatif (Pradana, 2015).

Poland (2010), mengungkapkan bahwa beberapa upaya untuk memberantas

cyberbullying di sekolah meliputi pemberian edukasi mengenai cyberbullying

kepada guru-guru dan orang tua, serta membatasi penggunaan telepon selular oleh

siswa ketika mereka berada di sekolah. Teknik lain yang dapat dilakukan adalah

assertive training atau metode pelatihan untuk membantu seseorang agar dapat

mengekspresikan diri secara nyaman dan lancar dalam situasi yang sebelumnya.

Peran konselor dalam assertive training sangat dibutuhkan yaitu dengan berusaha memberikan keberanian dalam diri individu, termasuk korban cyberbullying

(Willis, 2009). Korban cyberbullying diharapkan dapat mempraktikan

kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh dari teknik assertive training, sehingga mereka

mampu mengatasi ketidakmampuannya, mempelajari cara mengungkapkan

perasaan dan pikiran mereka secara lebih terbuka, sekaligus disertai keyakinan

bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi (Corey, 2009).

Perawat komunitas sebagai pelaksana asuhan keperawatan di sekolah

mempunyai peran untuk mengkaji masalah kesehatan baik fisik maupun mental

siswa, mengumpulkan data, analisis data, dan merumuskan prioritas masalah.

Perawat sekolah dapat melakukan perawatan sesaat (day care) kepada seluruh warga di lingkungan institusi pendidikan, seperti melaksanakan program

(24)

kesehatan, dan memberikan pendidikan kesehatan (Efendi & Makhfudli, 2013).

Perawat memiliki peran dan fungsi yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan

utama (Primary Health Care) yang lebih berfokus pada upaya promosi dan

pencegahan dampak dari perilaku cyberbullying kepada remaja yaitu dengan

memberikan pengetahuan bagi remaja terkait pentingnya pencegahan perilaku

cyberbullying dan cara penanggulangannya (Gaffar, 1999 dalam Annisa, 2012).

Fungsi perawat sebagai provider (pelaksanaan) lebih kepada kemampuan perawat sebagai penyedia layanan keperawatan (praktisi) yang mempunyai

pengetahuan perilaku penyimpangan pada remaja, keterampilan, sikap empati

dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga mempunyai kemampuan bekerja

secara mandiri maupun kolaborasi. Peran perawat di sekolah lebih difokuskan pada

anak di tatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak dengan

mengikutsertakan keluarga maupun guru di sekolah dalam perencanaan pelayanan

kesehatan. Keperawatan kesehatan di sekolah merupakan salah satu jenis pelayanan

kesehatan yang ditunjukkan untuk mewujudkan kemandirian siswa untuk hidup

sehat, serta menciptakan lingkungan dan suasana sekolah yang sehat (Riziqin,

2014).

Berdasarkan dari pernyataan dan fenomena di atas, cyberbullying pada remaja

perlu dikaji kembali dan segera ditangani, sehingga dapat mencegah terjadinya

trauma pada remaja, baik fisik maupun psikologis yang ditimbulkan. Secara umum,

sikap seseorang terhadap sesuatu merupakan faktor penting dalam membentuk

tingkah lakunya yang relevan dengannya, demikian pula dengan sikap seseorang

terhadap niat berperilakunya terkait dengan cyberbullying (Shim & Shin, 2015).

(25)

sebaya dan moral disengagement atau pelepasan moral. Fokus tujuan penelitian ini

adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara persepsi remaja terhadap peran

teman sebaya dan moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada anak

usia remaja di SMA dengan menggunakan teori General Aggression Model (GAM)

oleh Anderson & Bushman (2002) yang sudah dimodifikasi oleh Kowalski et al.

(2014).

1.2Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya dan

moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya?

1.3Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya

dan moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di

Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap peran teman sebaya pada siswa

SMA di Surabaya.

2. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap moral disengagement pada

siswa SMA di Surabaya.

3. Mengidentifikasi perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya. 4. Menganalisis hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya

(26)

5. Menganalisis hubungan antara persepsi remaja terhadap moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya.

1.4Manfaat

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah yang

dapat digunakan sebagai penelitian selanjutnya dan sebagai kerangka dasar dalam

mengembangkan ilmu Keperawatan Komunitas pada remaja tentang perilaku

cyberbullying.

1.4.2 Praktis

1. Manfaat bagi siswa, memberikan informasi dan pemahaman kepada siswa

mengenai perilaku cyberbullying, sehingga diharapkan dapat mengurangi

tindakan cyberbullying yang terjadi dikalangan remaja. Selain itu, dapat

bermanfaat untuk mempersiapkan pertumbuhan dan perkembangan remaja.

Manfaat bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar

pertimbangan untuk membuat peraturan dalam upaya mencegah dampak

yang ditimbulkan dari tindakan cyberbullying. Pihak sekolah juga dapat

menjalin kerjasama dengan keluarga maupun pelayanan kesehatan apabila

menemukan siswa yang terkena dampak negatif dari cyberbullying, agar

siswa tersebut segera mendapatkan treatment atau rehabilitas..

2. Manfaat bagi perawat UKS, diharapkan menjadi sumber dan referensi bagi

keperawatan komunitas dalam sekolah guna mempertahankan dan

(27)

Selain itu, dapat membantu perawat dalam upaya pelayanan kesehatan

utama (primary health care) yang lebih berfokus pada preventif dan promotif yaitu dengan memberikan pendidikan untuk pengenalan dan

pencegahan atau pengendalian masalah kesehatan pada remaja.

3. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi dan pemahaman kepada

masyarakat umum mengenai perilaku cyberbullying pada remaja, serta

dapat membuat regulasi yang tepat untuk melindungi remaja dari pengaruh

negatif yang ditimbulkan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tindakan

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Remaja

2.1.1 Definisi Remaja

Masa remaja adalah periode di mana seorang individu mengalami

perubahan fisik, prikologis, dan emosional yang besar (WHO, 2011). Remaja

berasal dari bahasa Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti

remaja) yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menuju dewasa”. Istilah adolescence

memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik

(Hurlock 2004 dalam Alkatiri, 2017). Menurut Santrock (2003), masa remaja

adalah masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Menurut DepKes RI

(2005), masa remaja merupakan suatu proses tumbuh kembang yang

berkesinambungan atau masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa muda

(Pradana, 2015).

Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

cepat. Selama tahap ini, ukuran tubuh, kekuatan dan kemampuan reproduksi mulai

berkembang. Kemampuan individu untuk berpikir abstrak dan kritis juga

berkembang bersama dengan kesadaran diri, serta ada pula peningkatan pada

kontrol emosi. Hubungan sosial pada masa remaja mulai berpindah dari lingkup

keluarga ke jaringan yang lebih luas seperti teman-teman, orang dewasa yang

dihormati lainnya di dalam komunitas, dan juga orang dewasa di media (seperti

(29)

signifikan. Remaja juga mengalami perubahan dalam harapan dan persepsi sosial,

yang membutuhkan peningkatan kematangan emosi (WHO, 2011).

World Health Organization (WHO) (dalam Sarwono, 2004) mendefinisikan

remaja berdasarkan tiga kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi.

Berikut tiga definisi tersebut (Alkatiri, 2017):

1. Definisi remaja dalam kriteria biologik adalah masa ketika individu

berkembang dari saat pertama kali individu menunjukkan tanda-tanda

seksual sekunder sampai saat mencapai kematangan seksual.

2. Definisi remaja dalam kriteria psikologik adalah masa ketika individu

mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Definisi remaja dalam kriteria sosial ekonomi adalah suatu masa ketika

terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada

keadaan yang relatif lebih mandiri.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

definisi remaja adalah periode atau masa transisi dari masa anak-anak menuju ke

masa dewasa ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang

mempengaruhi biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.

2.1.2 Batasan Usia Remaja

Menurut Santrock (2003) sebagian besar masyarakat dan kebanyakan

budaya, masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir

pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Hurlock (2004) mengelompokkan

masa remaja menjadi dua yaitu masa awal remaja yang berlangsung dari usia 13

(30)

17 tahun sampai 18 tahun. DepKes RI (2009) mengelompokkan usia remaja

menjadi dua kategori yaitu masa remaja awal berusia 12 sampai 16 tahun dan

remaja akhir berusia 17 sampai 25 tahun serta belum kawin (Pradana, 2015).

Batasan usia remaja menurut WHO adalah 10 sampai 19 tahun. WHO (World Health Organizatioin), mengelompokkan masa remaja menjadi tiga tingkatan yang

berdasarkan usianya yaitu, remaja awal atau early adolescence (10-15 tahun),

remaja menengah atau middle adolescence (14-17 tahun) dan remaja akhir atau late adolescence (16-19 tahun) (WHO, 2011).

2.1.3 Ciri-ciri Remaja

Menurut (Hurlock 2004 dalam Alkatiri 2017), masa remaja memiliki

ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya.

Citri-ciri tersebut adalah :

1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja perkembangan fisik dan mental yang cepat menimbulkan

perlunya penyesuaian mental serta perlunya membentuk sikap, nilai dan

minat baru. Masa remaja dikatakan periode penting karena akibatnya yang

penting terhadap fisik dan perilaku serta menimbulkan efek jangka panjang

pada remaja.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju

masa dewasa. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga

bukan orang dewasa. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa

remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu sehingga mengakibatkan

(31)

dengan tahapan usianya. Peralihan bukan berarti terputus atau berubah dari

yang telah terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap

perkembangan berikutnya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Ada empat perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu:

1) Meningginya emosi dan intensitasnya bergantung pada tingkat

perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok

sosial seringkali menimbulkan masalah baru.

3) Perubahan minat dan pola perilaku yang mengakibatkan perubahan

nilai-nilai.

4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.

Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi takut

bertanggungjawab atas tindakannya dan meragukan kemampuan

mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi

baik oleh anak laki-laki maupun perempuan, dan karena ketidakmampuan

mereka untuk mengatasi masalahnya menurut cara mereka sendiri sehingga

banyak remaja yang akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak

selalu sesuai dengan harapan mereka.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Masa remaja sering kali ingin menampilkan identitas diri mereka agar dapat

(32)

menjelasakan siapa dirinya serta peran mereka di masyarakat, biasanya

remaja menggunakan simbol status dalam bentuk kemewahan atau

kebanggaan lainnya seperti pakaian dan barang lainnya. Mereka

menganggap hal tersebut dapat membuat menarik perhatian dan terlihat

berbeda dari individu lainnya.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimibulkan ketakutan

Pada masa ini, banyak anggapan bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak

rapih, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku buruk.

Usia remaja juga dianggap sebagai usia yang membawa kekhawatiran dan

ketakutan para orang tua. Anggapan-anggapan ini dapat mempengaruhi

konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti apa yang

mereka harapkan, termasuk dalam memandang cita-cita. Kondisi yang tidak

realistik ini menyebabkan remaja sering kali marah dan kecewa apabila

tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Seiring bertambahnya

pengalaman pribadi dan sosial, serta meningkatnya kemampuan untuk

berpikir rasional, remaja akan memandang kehidupan pada umumnya

secara lebih realistik.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Di saat masa remaja akhir, mereka menunjukkan keinginan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, namun mereka

mulai menyadari bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa

(33)

mulai melakukan perilaku yang dianggap sering diidentikkan dengan orang

dewasa. Contoh perilaku yang mereka anggap seperti merokok, meminum

alkohol, menggunakan obat-obatan dan melakukan seks.

2.1.4 Tahap Perkembangan Masa Remaja

Tahap perkembangan pada masa remaja dibagi dalam tiga tahapan yaitu

(Batubara, 2010):

1. Remaja awal atau early adolescent (12-14 tahun)

Pada masa remaja awal anak-anak mulai mengelami perubahan tubuh yang

cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh

disertai awal pertumbuhan seks sekunder. Tahap pada perkembangan

remaja awal ditandai dengan:

1) Krisis identitas dan jiwa yang labil.

2) Pentingnya teman dekat dan ingin lebih dekat dengan teman sebayanya.

3) Berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, kadang berlaku kasar dan

menunjukkan kesalahan orang tua.

4) Terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan

cara berpakaian.

5) Ingin bebas dan mulai mencari orang lain yang disayangi selain orang

tua.

2. Remaja pertengahan atau middle adolescent (15-17 tahun)

Pada periode middle adolescent sangat membutuhkan teman-temannya, ada

kecenderungan narsistik serta mulai tertarik akan intelektualitas dan karir.

(34)

1) Mencari identitas diri dan sering moody.

2) Mulai berkembangnya kemampuan untuk berpikir abstrak.

3) Sangat memperhatikan penampilan dan berusaha untuk mendapatkan

teman baru.

4) Sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif.

5) Ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis dan atau

mempunyai rasa cinta yang mendalam.

6) Tidak atau kurang menghargai pendapat orang tua.

7) Mulai tertarik dengan intelektualitas dan karir serta empunyai konsep

role model dan mulai konsisten terhadap cita-citanya.

3. Remaja akhir atau late adolescent (18-21 tahun)

Periode late adolescent dimulai pada usia 18 tahun dan ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Pada fase remaja akhir, mereka

akan lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan

nantinya, mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, serta dapat

menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan. Tahap pada perkembangan

remaja pertengahan ditandai dengan :

1) Pengungkapan identitas diri dan identitas diri menjadi lebih kuat.

2) Mampu memikirkan ide-ide baru dan mampu berpikir secara abstrak.

3) Emosi lebih stabil, selera humor lebih berkembang dan lebih konsisten.

4) Lebih menghargai orang lain dan bangga dengan hasil yang dicapainya.

5) Mempunyai citra jasmani untuk dirinya, dan dapat mewujudkan rasa

cinta.

(35)

2.1.5 Tugas Perkembangan Remaja

Berikut ini adalah tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut

Havighurst (dalam Hurlock, 2004) :

1. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria

maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya.

6. Mempersiapkan karier ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pandangan untuk

berperilaku mengembangkan iedologi.

Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam

sikap dan pola perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak

perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama

awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya telambat (Hurlock 2004 dalam

Pradana 2015). Tugas-tugas tersebut berkaitan dengan perkembangan kognitif

remaja, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitifnya dan

kemampuan kreatif remaja akan sangat membantu kemampuan remaja dalam

melaksanakan tugas-tugas tersebut. (Hurlock 2004 dalam Ramadan, 2013).

Beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas

(36)

masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi

fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai. Masalah khas

remaja adalah masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja,

seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian

berdasarkan persepsi yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit

kewajiban dibebankan oleh orang tua (Hurlock 2004 dalam Ramadan 2013).

Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian akan berusaha untuk

mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain, namun

kemandirian emosi tidaklah sama dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja

yang ingin mandiri, namun membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari

ketergantungan emosi pada orang tua atau orang-orang dewasa lain. Hal ini

menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan

atau kurang memiliki hubungan yang akrab dengan anggota kelompok. Sebagian

besar remaja yang ingin diterima oleh teman-teman sebaya, tetapi sering kali

diperoleh dari perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti saat mereka akan

menolong atau menipu temannya dalam ujian (Hurlock 2004 dalam Pradana 2015).

Sekolah dan pendidikan tinggi menekankan perkembangan ketrampilan

intelektual dan konsep penting bagi kecakapan sosial. Namun hanya sedikit remaja

yang menggunakan ketrampilan dalam konsep ini dalam situasi praktis. Sekolah

dan pendidikan tinggi juga mencoba untuk memberi nilai-nilai yang sesuai dengan

nilai-nilai dewasa dan orang tua berperan banyak dalam perkembangan ini. Namun

bila nilai-nilai dewasa bertentangan dengan nilai-nilai teman sebaya, maka remaja

harus memilih yang terakhir bila mengharapkan dukungan teman-teman yang

(37)

2.2Cyberbullying

2.2.1 Definisi Cyberbullying

Cyberbullying adalah perilaku agresif untuk menyakiti orang lain yang

dilakukan dengan sengaja dan berulang melalui media elektronik seperti komputer,

ponsel dan perangkat lainnya (Smith et al., 2008). Cyberbullying merupakan salah

satu kategori dari bullying yang terjadi di media elektronik (Bullock, Wong-Lo &

Gable, 2011). Bullying elektronik, penindasan online, dan atau cyberbullying

adalah metode penindasan baru melibatkan bentuk-bentuk intimidasi yang

dilakukan menggunakan media teknologi seperti situs web, email, online chat,

pesan teks, kamera ponsel, pesan gambar, dan blog (Beale & Hall, 2007; Miller &

Hufstedler, 2009). Cyberbullying merupakan perpanjangan dari bullying tradisional

yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan internet (Çetin, Yaman

& Peker, 2011). Menurut Willard (2007), Cyberbullying biasanya dilakukan dengan

cara mengirimkan sesuatu yang berbahaya atau merugikan seperti mengirimkan

pesan yang bersifat mengancam kepada korban atau menggunakan cara lain yang

menyebabkan munculnya permasalahan psikologis dan sosial bagi korban (Willard

2007 dalam Alkatiri 2017).

Berkembangnya teknologi dan komunikasi baru seperti pesan instan secara

online, membuat intimidasi yang terjadi di dunia online semakin umum dan parah

(Shim & Shin, 2015). The Pew Survey (Jackson, 2011) melaporkan bahwa remaja

perempuan yang berusia 12 sampai 17 tahun (38%) dan remaja pria (26%) telah

mengalami cyberbullying, sedangkan pada usia 11 sampai 16 tahun cyberbullying

dilaporkan terjadi sekitar 22-34%. Penelitian lain juga melaporkan bahwa

(38)

8% di tahun 2010 menjadi 12% di tahun 2014 (Livingstone et al., 2014). Ada empat

peran yang terlibat dalam cyberbullying, yaitu: pelaku (bullies or offender), korban (victims or targets), harmful bystanders (saksi yang mendukung cyberbullying),

dan helpful bystanders (saksi yang berusaha menghentikan cyberbullying) (Willard,

2007).

Berbeda dengan tradisional bullying atau intimidasi tatap muka, cyberbullying tidak dibatasi oleh waktu atau lokasi (misalnya saat jam sekolah dan tempat bermain atau di sekolah), tindakan dapat dilakukan secara anonim

(menyembunyikan identitas), dan dilakukan secara berulang-ulang (Slonje, Smith

& Frisén, 2013). Menurut Calvete et al., (2010) perilaku cyberbullying secara

signifikan berkaitan dengan penggunaan perilaku agresi yang proaktif,

membenarkan perilaku kekerasan, dan kurangnya dukungan dari teman-teman.

Penyebab lainnya untuk melakukan perilaku cyberbullying adalah iri hati,

intoleransi terhadap disabilitas, perbedaan agama dan jenis kelamin, adanya

perasaan sombong dan marah, serta adanya rasa malu dan bersalah (Hoff &

Mitchell, 2009).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi dari

perilaku cyberbullying adalah perilaku agresi remaja yang dapat menyakiti orang

lain (seperti menghina, mempermalukan, dan mengancam orang lain) secara

sengaja dan berulang-ulang yang dilakukan dengan menggunakan internet, alat

(39)

2.2.2 Karakteristik Cyberbullying Offending dan Victimization

Peran yang terlibat di dalam cyberbullying tentunya ada pelaku (offender) dan korban (victim). Tentunya masing-masing peran memiliki karakteristik yang

berbeda. Berikut ini adalah karakteristik dari ke duanya (Veenstra, 2011):

1. Cyberbullying Offending atau Pelaku

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pelaku lebih banyak

menghabiskan waktu di internet daripada mereka yang tidak melakukan bully

(Erdur Baker, 2010; Lenhart, 2007; Li, 2007; Vandebosch et al., 2006; Ybarra dan

Mitchell 2004a; Ybarra dan Mitchell, 2007). Motif untuk melakukan cyberbullying

bervariasi, dan beberapa penelitian telah menemukan bahwa balas dendam adalah

motif utama untuk cyberbullying (Hinduja dan Patchin, 2009; Goberecht, 2008;

Raskauskas dan Stolz, 2007). Selain itu, penelitian lainnya melaporkan bahwa

pelaku mengintimidasi 'untuk bersenang-senang' (Raskauskas dan Stolz, 2007;

Smith et al., 2008). Anonimitas dari dunia maya juga salah satu penyebab yang

dirasakan pelaku cyberbullying (Hinduja dan Patchin, 2009; Kowalski et al., 2008;

Rinzema, 2008; Wolak et al., 2006). Beberapa penelitian menegaskan bahwa

pelaku secara anonim menggertak korban mereka (Kowalski dan Limber, 2007;

Kowalski dkk., 2008; Li, 2007; Williams dan Guerra, 2007; Wolak et al., 2007).

Penelitian lainnya menemukan bahwa anak perempuan lebih sering

mengalami cyberbullies (misalnya Hinduja dan Patchin 2009; Kowalski dkk., 2008;

Wolak et al., 2006), sementara penelitian lain menemukan kebalikannya (Dehue et

al., 2006; Li, 2006 & 2007 ; Erdur Baker, 2010; Vandebosch et al., 2006). Namun

demikian, beberapa penelitian menjelaskan tentang fakta bahwa anak perempuan

(40)

Anak laki-laki lebih sering menggunakan bentuk cyberbullying langsung seperti

panggilan kasar kepada korban daripada anak perempuan, sedangkan anak-anak

perempuan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk cyberbullying tidak langsung

seperti menyebarkan rumor (Dehue et al., 2006; Hinduja dan Patchin, 2009;

Kowalski dan Limber, 2007; Kowalski et al., 2008).

2. Cyberbullying Victimization atau Korban

Pada umumnya cyberbullying lebih ditujukan kepada individu dari pada suatu kelompok (misalnya Juvonen dan Gross, 2008; Raskauskas dan Stolz, 2007;

Slonje dan Smith, 2008). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa korban

cyberbullying menghabiskan waktu lebih banyak untuk online daripada

rekan-rekan mereka (Hinduja dan Patchin, 2008; Juvonen dan Gross, 2008; Lenhart, 2007;

Livingstone dan Haddon, 2009; Smith dkk., 2008; Vandebosch dkk., 2006; Van

den Eijnden et al., 2006), dan mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

menjadi korban cyberbullying (Bauwens et al., 2009; Lenhart, 2007; Van den

Eijnden et al., 2006).

Banyak dari penelitian yang menunjukkan bahwa korban cyberbullying

lebih sering terjadi kepada anak perempuan daripada anak laki-laki (Dehue et al.,

2006; Hinduja dan Patchin, 2008; Kowalski dan Limber, 2007; Schrock dan Boyd,

2010; Smith, et al., 2006 & 2008; Vandebosch et al., 2006). Namun, beberapa studi

menunjukkan bahwa risiko menjadi korban penindasan maya lebih tinggi untuk

anak laki-laki (misalnya Erdur Baker, 2010; van den Eijnden et al., 2006). Selain

itu, beberapa penelitian menemukan risiko yang sama untuk anak perempuan dan

anak laki-laki menjadi korban cyberbullying (Li, 2006; Patchin dan Hinduja, 2006;

(41)

menemukan bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami dampak negatif

akibat cyberbullying daripada anak laki-laki.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyberbullying memiliki dampak

negatif pada kesejahteraan psikososial remaja. Dampak yang timbul pada korban

bisanya berkaitan dengan perasaan depresi, kesepian, kesedihan, ketakutan,

frustrasi dan kepercayaan diri yang rendah (Finkelhor et al., 2000; Hinduja dan

Patchin, 2009; Raskauskas dan Stolz, 2007; Van den Eijnden et al., 2006;

Vandebosch et al., 2006; Wolak et al., 2006; Ybarra dan Mitchell, 2004b). Selain

itu penelitian lainnya menunjukkan bahwa korban lebih sering kelihatannya tidak

populer, mereka memiliki lebih banyak masalah di sekolah, mereka lebih sering

membawa senjata, mereka lebih agresif dan lebih sering merokok dan minum

alkohol daripada individu lain yang bukan korban (Hinduja dan Patchin, 2008;

Vandebosch et al., 2006; Ybarra, Diener-West and Leaf, 2007).

2.2.3 Metode dan Bentuk Aktivitas Cyberbullying

Menurut (Aftab 2011 dalam Pradana 2015), ada tiga macam metode

cyberbullying yaitu direct attacks (mengirimkan pesan-pesan menyakitkan secara

langsung kepada korban), posted and public attacks (mempermalukan korban dengan mengunggah atau menyebarkan informasi maupun gambar-gambar

mengenai korban yang memalukan ke publik), dan cyberbullying by proxy

(membuat orang lain melakukan cyberbullying, mengganti kata kunci sosial media

korban serta membajak akun korban). Beberapa media yang dapat digunakan untuk

melakukan cyberbullying seperti instant messaging (IM), pesan teks, online grup chat, e-mail, website, and pesan vidio (Bauman, 2010). Menurut Bhat (2008) salah

(42)

yang biasa digunakan dalam mengintimidasi adalah dengan mengirimkan pesan

teks atau sms, gambar, ataupun vidio yang mengganggu korban.

Konseptualisasi cyberbullying diperparah oleh fakta bahwa penindasan

maya dapat mengambil begitu banyak bentuk dan terjadi melalui banyak tempat

yang berbeda (Kowalski et al., 2014). Menurut (Willard 2007 dalam Alkatiri 2017)

menyebutkan macam-macam jenis cyberbullying sebagai berikut:

1. Flaming (terbakar)

Flaming dilakukan dengan mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan

kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Flaming umumnya meliputi

bahasa yang menyinggung, kasar, vulgar, dan mengandung penghinaan, dan

terkandang berbentuk ancaman.

2. Harassment (gangguan)

Harassment dilakukan dengan mengirimkan pesan-pesan yang berisi

gangguan seperti hinaan secara terus menerus melalui e-mail, pesan singkat,

maupun pesan teks di jejaring sosial.

3. Outing and Trickery

Outing dilakukan dengan menyebarkan rahasia orang lain atau foto-foto pribadi orang lain yang membuat korban menjadi malu, sedangkan trickery

(tipu daya) merupakan bagian dari outing yang dilakukan dengan

membohongi seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia atau

(43)

4. Exclusion

Exclusion dilakukan dengan mengucilkan atau mem-blocking seseorang dari grup online secara sengaja dan kejam serta sampai mengeluarkan orang

tersebut.

5. Impersonation (peniruan)

Impersonation dilakukan dengan menggunakan identitas palsu atau

berpura-pura menjadi korban untuk mengirimkan pesan atau status yang

buruk, dan atau komentar yang kasar kepada orang lain. Hal ini bisa

dilakukan di halaman website, profil, blog, maupun berbagai bentuk akun online pribadi lainnya.

6. Cyberstalking

Cyberstalking dilakukan dengan mengikuti orang lain lalu mengirimkan pesan yang membahayakan berisikan ancaman, intimidasi, penyerangan

sampai pemerasan kepada korban secara berulang dengan menggunakan

komunikasi elektronik.

7. Denigration (pencemaran nama baik)

Denigration didefinisikan sebagai perilaku intimidasi dengan cara mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud mengganggu

hubungan pertemanan dan merusak reputasi dan atau nama baik korban.

Denigration dilakukan dengan mengatakan hal yang menyakiti, tidak benar

dan kejam kepada orang lain sehingga membuat ketakutan besar kepada

(44)

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying

Dua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying adalah faktor motivasi internal (motivasi remaja untuk melakukan cyberbullying berdasarkan

pengaruh emosional mereka) dan faktor motivasi eksternal (penyebab seseorang

melakukan cyberbullying berdasarkan karakteristik korban dan adanya suatu

kejadian yang spesifik). Faktor-faktor internal meliputi redirect feelings

(mengalihkan perasaan), revenge (balas dendam), make themselves feel better

(membuat diri mereka merasa lebih baik), boredom (kebosanan), instigation

(mempunyai keinginan), protection (perlindungan), jealousy (iri hati), seeking approval (mencari persetujuan), trying out a new persona (mencoba pesona baru), anonymity or disinhibition effect (adanya faktor anonimitas). Faktor-faktor

eksternal meliputi tidak adanya konsekuensi yang nyata, dilakukan tidak secara

langsung (not face to face), dan karakteristik korban yang berbeda (Varjas et al.,

2010).

Menurut Li (2010), hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting

yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying adalah bullying tradisional, jenis

kelamin, budaya, dan pengguna internet. Penelitian Hoff dan Mitchell (2009),

menemukan beberapa faktor penyebab dari tindakan cyberbullying yang

dikelompokkan pada dua kategori utama yaitu cyberbullying yang disebabkan oleh

isu relasi dan yang tidak berkaitan isu relasi. Cyberbullying yang disebabkan oleh

isu relasi seperti putus hubungan, kecemburuan, pada kecacatan, agama dan gender,

serta kelompok atau geng. Cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti intimidasi golongan luar kelompok dan penyiksaan pada korban. Menurut teori

(45)

Kowalski et al., 2014), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying

ada dua, yaitu:

1. Person Factors (faktor individu)

1) Jenis kelamin. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda,

menurut penelitian yang dilakukan Hinduja & Patchin (2008), tidak

menemukan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan

dalam hal perilaku cyberbullying, penelitian lain yang dilakukan Sourander

et al., (2010) menemukan bahwa laki-laki lebih sering melakukan perilaku cyberbullying dibandingkan wanita, namun, wanita biasa lebih sering

dijadikan target untuk cyberbullying. Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa perbedaan gender tergantung pada tempat dimana cyberbullying

sedang terjadi (Hinduja & Patchin, 2008).

2) Usia. Cyberbullying banyak terjadi di usia sekolah menengah, seperti

contoh Williams dan Guera (2007) menemukan bahwa kenaikan

cyberbullying terjadi setelah kelas lima dan puncak selama kelas delapan,

sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kowalski, Giumetti et al., (2012)

menemukan bahwa mereka yang pernah mengalami cyberbullying di sekolah menengah dan atas, 43% responden menunjukkan bahwa mayoritas

cyberbullying yang mereka alami telah terjadi selama kuliah.

3) Motivasi. Tidak banyak penelitian yang telah meneliti bagaimana motif

seseorang untuk terlibat dalam cyberbullying. Penelitian lain membuktikan

bahwa hubungan antara bullying tradisional dengan cyberbullying, dimana beberapa individu melakukan cyberbullying dalam upaya untuk membalas

(46)

cyberbullying untuk menunjukkan keterampilan teknologi, sebagai hal yang

dianggap menyenangkan dan untuk menunjukkan dirinya merasa kuat.

Gradiner, Strohmeier, dan Spiel (2012) menemukan bahwa motif yang

paling umum adalah kemarahan.

4) Kepribadian. Di sisi korban, beberapa variabel kepribadian telah

diidentifikasi sebagai prediktor yang memungkinkan. Variabel yang jelas

yang mungkin terkait dengan terjadinya cyberbullying adalah empati. Sejumlah variabel kepribadian lain mungkin akan berperan dalam membuat

individu lebih rentan terhadap cyberbullying atau cybervictimization.

5) Keadaan psikologis. Individu yang melakukan dan korban dari

cyberbullying memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, serta

memiliki harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak

melakukan cyberbullying. Depresi dan kecemasan dapat menjadi prediktor

keterlibatan dalam cyberbullying, dan dapat menjadi konsekuensi dari

perilaku cyberbullying.

6) Status sosial ekonomi dan penggunaan teknologi. Wang, Lannotti, dan

Nansel (2009) menemukan bahwa ada hubungan positif antara status sosial

ekonomi dengan cyberbullying. Hal ini diketahui bahwa, individu yang

memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi biasanya memiliki akses yang

lebih mudah untuk menggunakan teknologi, sehingga menjadikan individu

untuk dapat terlibat dalam perilaku cyberbullying.

7) Nilai dan persepsi. Walrave dan Heirman (2011) mengamati bahwa individu

yang melakukan cyberbullying cenderung meminimalkan dampak dari

Gambar

Gambar 2.1 Teori General Aggression Model (GAM)
Gambar 2.2 Teori General Aggression Model (GAM) (Anderson & Bushman, 2002) yang dimodifikasi oleh Kowalski et al
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya (Modifikasi Teori General Aggression Model Anderson & Bushman, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif korelasional, yang bertujuan untuk menguji hubungan peran teman sebaya dengan kecemasan remaja putri pada masa pubertas

teman sebaya dengan perilaku pacaran pada remaja di SMA Negeri 2. Sukoharjo dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan interaksi teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada remaja di SMAN 2 Ngawi. Interaksi teman sebaya

hubungan antara ketergantungan terhadap teman sebaya dengan perilaku antisosial.

Interaksi bersama teman sebaya merupakan faktor yang dapat memicu remaja melakukan perilaku seksual karena kebiasaan teman sebaya yang telah melakukan perilaku seksual

Ada hubungan, jenis kelamin, pengetahuan kespro, sikap, pendidikan orang tua lingkungan tempat tinggal, peran orang tua, teman sebaya dengan perilaku seksual, variabel paling

tersebut, peneliti ingin mengambil “Hubungan Peran Teman Sebaya dan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Kenakalan Remaja di SMP Negeri 92 Jakarta” sebagai judul penelitian dengan

Ada hubungan, jenis kelamin, pengetahuan kespro, sikap, pendidikan orang tua lingkungan tempat tinggal, peran orang tua, teman sebaya dengan perilaku seksual, variabel paling