SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA
PENELITIAN KORELASIONAL
Oleh :
BELLA NABILA WIJAYA KRISNAWAN NIM. 131411133020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA
PENELITIAN KORELASIONAL
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperwatan (S. Kep) Pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga
Oleh :
BELLA NABILA WIJAYA KRISNAWAN NIM. 131411133020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
SURAT PERNYATAAN
Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang
pendidikan di Perguruan Tinggi manapun
Surabaya, 31 Juli 2018 Yang Menyatakan
PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Airlangga. Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Bella Nabila Wijaya Krisnawan
NIM : 131411133020
Program Studi : Pendidikan Ners Fakultas : Keperawatan Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Airlangga Hak Bebas Royalti Non – eksklusif (Non – exclusive Royalty Free Right) atas karya saya yang berjudul: “Hubungan antara Persepsi
Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya” beserta perangkat yang
ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non – esklusif ini Universitas Airlangga berhak menyimpan, alihmedia / format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama
tetap dicantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Surabaya, 31 Juli 2018 Yang menyatakan
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA
Oleh:
Bella Nabila Wijaya Krisnawan NIM.131411133020
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 JULI 2018
Oleh
Pembimbing Ketua
Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep NIP. 198509112012122001
Pembimbing
Praba Diyan R, S.Kep.Ns., M.Kep NIP. 198611092015042002
Mengetahui
a.n Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya
Wakil Dekan I
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERAN TEMAN SEBAYA DAN MORAL DISENGAGEMENT DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA SMA DI SURABAYA
Oleh:
Bella Nabila Wijaya Krisnawan NIM. 131411133020
Telah diuji
Pada tanggal 31 Juli 2018
PANITIA PENGUJI
Ketua :
Elida Ulfiana, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………)
NIP. 197910132010122001
Anggota :
1. Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………)
NIP. 198509112012122001
2. Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns., M.Kep. (……….………) NIP. 198611092015042002
Mengetahui
a.n Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya
Wakil Dekan I
MOTTO
"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
(Asy Syarh ayat 5-6)
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya." (Al Baqarah ayat 286)
"Jadilah seperti orang asing atau perantau di dunia ini." (HR. Bukhari)
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua ....”
(H.R. At-Tirmidzi, Al-Hakim, & Ath-Thabrani)
“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga.”
(H.R. Muslim)
“If Your Dream is Alive,Then One Day it Will Come True”
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, hidayah dan limpahan karunia–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Hubungan antara Persepsi Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan (S. Kep) di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.
Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya dan penghargaan yang setinggi – tingginya penulis ucapkan kepada Eka Mishbahatul M.HAS, S.Kep.Ns., M.Kep. selaku pembimbing I dan Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns., M.Kep. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, arahan serta motivasi dalam penulisan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu bersama ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Nursalam, M. Nurs., (Hons), selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
2. Dr. Kusnanto, S.Kp., M. Kes., selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Elida Ulfiana, S.Kep.Ns., M.Kep selaku ketua penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam menyempurnakan skripsi ini.
4. Bapak Setho Hadisuyatmana, S.Kep.Ns., M.NS (CommHlth&PC) selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam menyempurnakan skripsi ini.
5. Ibu Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep.Ns., MANP dan Ibu Ilya Krisnana, S. Kep., Ns., M. Kep. selaku dosen wali yang selalu memberikan motivasi serta semangat di masa perkuliahan saya.
6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR yang telah mendidik dan membimbing serta memberikan ilmu selama masa perkuliahan.
7. Drs. Shohib, MM selaku kepala sekolah SMAN 3 Surabaya, Dra. Nuri Maria Ulfa, M.Pd. selaku kepala sekolah SMAN 4 Surabaya, Drs. H.Moch.Shadali, MM.Pd selaku kepala sekolah SMAN 9 Surabaya, Drs.H. Nurseno, M.Pd selaku kepala sekolah SMAN 10 Surabaya, dan Dra. Marlina Kusmawati, M.M selaku kepala sekolah SMAN 11 Surabaya yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di sekolah, serta kepada guru bimbingan konseling dan staf sekolah yang telah membantu dan memfasilitasi proses pengambilan data penelitian di sekolah.
9. Bapak Djoko Krisnawan dan Ibu Waslinah selaku orang tua saya selaku orang tua saya yang selalu memberikan cinta, kasih dan sayangnya serta motivasi dan selalu menyebut nama saya dalam setiap doanya.
10.Kepada keluarga besar, saya uncapkan terima kasih banyak yang tidak terhingga atas semua dukungan baik moril maupun materiil serta semangat untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
11.ABCS (Ayu Tria Kartika Putri, Citra Intan Trisnalia dan Senja Putrisia F.E.) yang selalu ada untuk memberikan dukungan, bantuan, semangat, motivasi, dan canda tawa selama masa perkuliahan.
12.Cuawak Squad (Licha, Indah, Tessa, Venni, Anna, Citra, Thaliah, Senja, Ayu) yang telah memberikan dukungan, bantuan, semangat, motivasi, dan canda tawa dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
13.Keluarga Kosan Mulyorejo Tengah 52-54 (Elisa, Dwida, Dinda, Nisa, Karina, mba mel, dinana, laila, nana) yang telah memberikan ilmu, dukungan, semangat dan motivasi selama proses pengerjaan skripsi ini.
14.Teman – teman di Tangerang, Tunasel, Elastico, serta sahabat saya (Dyah dan Debby) yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.
15.Teman – teman seperjuangan A14, yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat.
16.Teman – teman seperjuangan kelas A1 dan A2 saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.
17.Teman – teman ROKAI (Avin, Retty) dan KKN Glagahwangi 57 saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat.
18.Semua kucing-kucingku, lagu, film, anime, game yang menemani saya dalam mengerjakan skripsi ini dan membantu saya menghilangkan kejenuhan.
19.Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberi motivasi dan bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah membantu penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi profesi keperawatan. Aamiin Allaahumma Aamiin
Surabaya, 31 Juli 2018
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN ADOLESCENT PERCEPTION TOWARD PEER ROLE AND MORAL DISENGAGEMENT WITH CYBERBULLYING
BEHAVIOR OF HIGH SCHOOL STUDENTS IN SURABAYA
A Correlation Study
By : Bella Nabila Wijaya Krisnawan
Introduction: The use of the internet often abusing the media by cyberbullying, including teenagers. One of the factors that influence cyberbullying in adolescents are peer role and moral disengagement. The purpose of this study is to analyze the relationship between adolescent perceptions of peer role and moral disengagement with cyberbullying behavior in high school students in Surabaya. Method: This research used correlational design with cross sectional approach. The total sample is 346 high school students in Surabaya done by purposive sampling. Independent variable of this research are adolescent perception toward peer role and moral disengagement, dependent variable from this research is cyberbullying behavior. Data collection was using an online questionnaire by using google forms Peer Group Role Questionnaire, Moral Disengagement Scale, Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument and analyzed by Spearman's rho's correlation test with significance value α ≤ 0.05. Results: The results show a sufficient relationship between adolescent perception of peer role with cyberbullying offending behavior (p=0.000; r=-0.518) and weak relationship with cyberbullying victimization value (p=0.000; r=-0.296), strong relationship between adolescent perception of moral disengagement with cyberbullying behavior offending value (p=0.000; r=0.721) and sufficient relation with cyberbullying victimization value (p=0.000; r=0405). Discussion: Adolescent perceptions of high peer roles and low moral disengagement reduce the involvement of cyberbullying behavior in high school students in Surabaya. School nurses are expected to provide health education about knowledge for adolescents, regarding the importance of preventing cyberbullying behavior and how to overcome it.
DAFTAR ISI
Halaman Judul dan Prasyarat Gelar ... i
Surat Pernyataan ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
Lembar Persetujuan ... iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji ... v
Motto ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan ... 9
1.3.1Tujuan Umum ... 9
1.3.2Tujuan Khusus ... 9
1.4 Manfaat ... 10
1.4.1Teoritis ... 10
1.4.2Praktis ... 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1 Remaja ... 12
2.1.1Definisi Remaja ... 12
2.1.2Batasan Usia Remaja ... 13
2.1.3Ciri-ciri Remaja ... 14
2.1.4Tahap Perkembangan Masa Remaja ... 17
2.1.5Tugas Perkembangan Remaja ... 19
2.2 Cyberbullying ... 21
2.2.1Definisi Cyberbullying ... 21
2.2.2Karakteristik Cyberbullying Offending dan Victimization ... 23
2.2.3Metode dan Bentuk Aktivitas Cyberbullying ... 25
2.2.4Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying ... 28
2.2.5Dampak Cyberbullying ... 32
2.3 Peran Teman Sebaya ... 34
2.3.1Definisi Teman Sebaya ... 34
2.3.2Macam-macam Teman Sebaya ... 35
2.3.3Fungsi Teman Sebaya ... 37
2.3.4Dampak Positif dan Negatif Teman Sebaya ... 39
2.4 Moral Disengagement ... 40
2.4.1 Pengertian Moral Disengagement ... 40
2.4.2Mekanisme Moral Disengagement ... 41
2.5 Teori General Aggression Model (GAM) ... 44
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ... 57
3.1 Kerangka Konseptual ... 57
3.2 Hipotesis ... 60
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 61
4.1 Desain Penelitian ... 61
4.2 Populasi, Sampel, dan Sampling ... 61
4.2.1Populasi ... 61
4.2.2Sampel ... 62
4.2.3Besar Sampel ... 63
4.2.4Sampling ... 63
4.3 Variabel Penelitian ... 64
4.3.1Variabel Independen ... 64
4.3.2Variabel Dependen ... 64
4.4 Definisi Operasional ... 65
4.5 Alat dan Bahan ... 67
4.6 Instrumen Penelitian ... 67
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 72
4.8 Uji Validitas dan reliabilitas ... 73
4.8.1Uji validitas ... 73
4.8.2Uji Reliabilitas ... 76
4.9 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 77
4.10 Cara Analisi Data ... 78
4.11Kerangka Operasional ... 82
4.12Masalah Etika ... 83
4.13Keterbatasan Penelitian ... 86
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 87
5.1 Hasil Penelitian ... 87
5.1.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 87
5.1.2Karakteristik Demografi Responden ... 92
5.1.3 Distribusi Data Variabel yang Diukur ... 93
5.2 Pembahasan ... 97
5.2.1 Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya pada Siswa SMA di Surabaya ... 97
5.2.2Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement pada Siswa SMA di Surabaya ... 100
5.2.3 Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMA di Surabaya ... 102
5.2.4Hubungan Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya dengan Perilaku Cyberbullying ... 104
5.2.5Hubungan Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement dengan Perilaku Cyberbullying ... 110
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ... 116
6.1 Simpulan ... 116
6.2 Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 119
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian ... 49
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Setiap Sekolah ... 64
Tabel 4.2 Definisi Operasional ... 65
Tabel 4.3 Blue Print Kuesioner Peran Peer Group... 68
Tabel 4.4 Penggolongan Kriteria Skor Berdasar Mean Hipotetik ... 69
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Peran Peer Group ... 69
Tabel 4.6 Blue Print Kuesioner Moral Disengagement ... 70
Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Moral Disengagement ... 71
Tabel 4.9 Blue Print Kuesioner Perilaku Cyberbullying ... 71
Tabel 4.11 Nilai interval untuk Cyberbullying Offending dan Victimization ... 72
Tabel 4.13 Hasil Uji Validitas Kuesioner Peran Peer Group ... 74
Tabel 4.15 Hasil Uji ValiditasKuesioner Moral Disengagement Scale... 74
Tabel 4.17 Hasil Uji Validitas Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument (Offending) ... 75
Tabel 4.19 Hasil Uji Validitas Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument (Victimization) ... 75
Tabel 4.21 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian... 76
Tabel 4.23 Analisis Statistik Variabel ... 79
Tabel 4.25 Interpretasi Hasil Uji Korelasi ... 79
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden di SMAN 3 Surabaya, SMAN 4 Surabaya, SMAN 9 Surabaya, SMAN 10 Surabaya, SMAN 11 Surabaya ... 92
Tabel 5.2 Distribusi Data Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya di SMA Kota Surabaya ... 93
Tabel 5.3 Distribusi Data Persepsi Remaja terhadap Moral Disengagement Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 93
Tabel 5.4 Distribusi Data Perilaku Cyberbullying Offending Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 94
Tabel 5.5 Distribusi Data Perilaku Cyberbullying Victimization Pada Remaja di SMA Kota Surabaya ... 94
Tabel 5.6 Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Peran Teman Sebaya dengan Perilaku Cyberbullying di SMA Kota Surabaya ... 95
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Teori General Aggression Model (GAM) Anderson &
Bushman (2002) ... 46 Gambar 2.2 Teori General Aggression Model (GAM) (Anderson &
Bushman, 2002) yang dimodifikasi oleh Kowalski et al.
(2014). ... 48 Gambar 4.1 Kerangka Operasional Hubungan antara Persepsi Remaja
terhadap Peran Teman Sebaya dan Moral Disengagement
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Penjelasan Penelitian Bagi Responden ... 131
Lampiran 2 Lembar Informed Assent... 133
Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data Responden ... 134
Lampiran 4 Kuesioner Peran Peer Group... 137
Lampiran 5 Kuesioner Moral Disengagement Scale ... 139
Lampiran 6 Kuesioner Cyberbullying and Online Aggression Survey Instrument ... 141
Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Reabilitas ... 143
Lampiran 8 Tabulasi Data Demografi Responden ... 156
Lampiran 9 Tabulasi Data Khusus Persepsi Remaja Terhadap Peran Teman Sebaya ... 172
Lampiran 10 Tabulasi Data Khusus Persepsi Remaja Terhadap Moral Disengagement ... 192
Lampiran 11 Tabulasi Data Khusus Perilaku Cyberbullying Remaja ... 211
Lampiran 12 Hasil Analisis Data ... 143
Lampiran 13 Sertifikat Kelayakan Etik ... 253
Lampiran 14 Surat Ijin Penelitian ... 254
DAFTAR SINGKATAN
ANOVA : Analysis of Variance
DepKes : Departemen Kesehatan
E-mail : Electronic Mail
GAM : General Aggression Model
IM : Instant Messaging
IPA : Interaction Process Analysis
KEMKOMINFO : Kementrian Komunikasi dan Informatika
MDS : Moral Disengagement Scale
PASW : Predictive Analytics SoftWare
PEOU : Perceived Ease of Use
RI : Republik Indonesia
SEM : Structural Equation Modelling
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMPP : Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan
SMS : Short Message Service
SPSS : Statistical Product and Service Solutions
UKS : Unit Kesehatan Sekolah
UNICEF : United Nations Children's Fund
WHO : World Health Organization
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Setiap tahunnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat
berkembang dengan pesat, termasuk penggunaan internet. Margono et al., (2014)
berpendapat bahwa Indonesia memiliki potensi pertumbuhan penggunaan media
sosial sebagai media komunikasi untuk berbagi informasi. Penggunaan internet
dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif penggunaan
internet diantaranya membantu dalam mencari informasi dan menyelesaikan tugas
(Mayangsari, 2015). Dampak negatif dari penggunaan internet dan teknologi
komunikasi lainnya adalah pengunaannya dijadikan media baru dalam
mengintimidasi seseorang atau biasa disebut cyberbullying (Margono, Yi & Raikundalia, 2014). Menurut İçellioğlu & Özden (2014), cyberbullying menjadi
masalah penting yang muncul bersamaan dengan meningkatnya penggunaan
internet dan perangkat teknologi lainnya. Kowalski et al., (2014) menyimpulkan
dari penelitian sebelumnya bahwa baik korban maupun pelaku cyberbullying dapat
memunculkan perilaku maladaptif, kecemasan dan depresi, penurunan harga diri,
kontrol diri rendah, kesehatan fisik yang buruk, kesepian, keinginan mencederai
diri, dan bunuh diri.
Data statistik dari Kementrian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2013,
pengguna internet di Surabaya mencapai sekitar 965 ribu pengguna. Menurut survei
yang dilakukan oleh Kaman (2007) tentang cyberbullying di 40 negara termasuk Indonesia pada 2005 sampai 2006, hasilnya adalah Indonesia menempati peringkat
Survei yang dilakukan oleh Ipsos tahun 2012 dengan melibatkan 18.687 orang di
24 negara termasuk Indonesia, menemukan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia
tentang cyberbullying cukup tinggi yaitu 91%, dari jumlah tersebut sebanyak 53%
responden mengetahui bahwa telah terjadi cyberbullying di lingkungan sekitarnya
dan sebanyak 60% responden mengatakan bahwa cyberbullying paling banyak
terjadi di media sosial Facebook (Gottfried, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan UNICEF pada
tahun 2011 hingga 2013 yang dirilis Februari 2014 yang melibatkan 400 anak dan
remaja di 11 provinsi di Indonesia dengan rentang usia 10 hingga 19 tahun
menyatakan sebagian besar remaja di Indonesia telah menjadi korban
cyberbullying. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sebanyak 42%
responden menyadari adanya perilaku cyberbullying dan 13% responden mengaku telah menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman.
Cyberbullying merupakan salah satu jenis bullying yang terjadi melalui internet,
telepon genggam, atau teknologi informasi lainnya (Huang & Chou, 2010).
Cyberbullying didefinisikan sebagai perilaku yang disengaja dan diulang-ulang
yang mencakup penghinaan, cyber-stalking, pengucilan, penganiayaan, dan pelecehan yang dilakukan melalui komputer, telepon seluler dan perangkat
elektronik lainnya. Berbagai media tersebut digunakan sebagai tindakan agresif
oleh kelompok atau individu kepada orang lain, dan korban tidak dapat dengan
mudah menghindarinya (Hinduja & Patchin, 2009). Mesch (2009) dalam Notar,
Padgett & Roden (2013), cyberbullying paling sering muncul dari masalah hubungan (perpisahan, iri, intoleransi, dan perselisihan) dan korban mengalami
Willard (2007), jenis cyberbullying dibagi menjadi tujuh yaitu; flaming, harassment, denigration, impersonating, outing and trickery, exclusion, dan
cyberstalking.
Sarwono (2004) menyatakan bahwa remaja belum mampu memilah aktivitas
internet maupun media komunikasi yang bermanfaat, Qomariyah (2011) juga
menambahkan bahwa remaja juga cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan
sosial mereka tanpa mempertimbangkan terlebih dulu efek positif atau negatif yang
akan diterima saat melakukan aktivitas internet tertentu. Salah satu faktor yang
mungkin mempengaruhi perilaku cyberbullying di kalangan remaja adalah
pengaruh dari teman sebaya atau peer group. Menurut Sarwono (2004), remaja
berada pada tahap krisis identitas, cenderung mempunyai rasa keingintahuan yang
tinggi, selalu ingin mencoba hal-hal baru, dan mudah terpengaruh dengan
teman-teman sebayanya (peer group). Kelompok teman sebaya pada remaja biasanya
memiliki pengaruh lebih besar terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih
seorang remaja, dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang
memang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Hinduja & Patchin, 2013).
Pernyataan di atas dibuktikan dari penelitian oleh Pradana (2015) yang hasilnya
semakin positif peran peer group dengan remaja, maka perilaku cyberbullying pada
remaja semakin rendah. Perilaku cyberbullying tidak akan dilakukan oleh remaja
yang memiliki hubungan yang dekat dengan peer group, dan apabila terjadi
perselisihan mereka menyelesaikannya dengan cara bermusyawarah. Namun,
dalam penelitian ini masih ditemukan siswa yang beranggapan bahwa memiliki
kelompok peer group sebagai hal yang membanggakan dan siswa cenderung lebih
atau guru. Selain itu, siswa cenderung mengarah kepada pengaruh buruk peer group, seperti perilaku negatif dari kesenangan siswa yang membahas keburukan orang lain dengan kelompok peer group mereka (Pradana, 2015).
Faktor lainnya seperti moral disengagement juga dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying (Mayangsari, 2015). Bandura (1999) mendifinisikan moral disengagement sebagai suatu proses pemikiran sosial di mana rata-rata orang
mampu melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain (Hymel,
Rocke-henderson, & Bonanno, 2005). Penelitian yang baru dilakukan di China
membuktikan bahwa moral disengagement yang lebih tinggi, memungkinkan
berkaitan dengan perilaku cyberbullying (Yang et al., 2018). Bauman (2010)
berpendapat bahwa dunia teknologi mungkin menjadi sebuah konteks sosial yang
mendorong moral disengagement seseorang untuk melakukan cyberbullying. Hal ini dikarenakan karakteristik dari komunikasi online seperti anonimitas, jarak, tidak
terlihatnya korban cyber dan dianggap hanya sebagai lelucon, sehingga pelaku cyberbullying tidak sepenuhnya menyadari tingkat keparahan yang dilakukannya
(Tanrikulu & Campbell, 2015).
Teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1950, 1963) menjelaskan bahwa
remaja masuk ke dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity confusion. Di dalam tahap ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial moratorium, yaitu suatu transisi para remaja, dari anak-anak yang masih
membutuhkan tuntunan, menuju ke masa dewasa dimana remaja mulai
menanggung beban tanggung jawabnya sendiri. Pada tahap ini remaja yang berhasil
dalam mengatasi krisis jati dirinya maka akan membentuk pribadi yang sukses dan
konflik kebutuhan dan krisis identitas di dalam dirinya akan terjatuh ke dalam suatu
kondisi yang disebut sebagai identity confusion. Para remaja yang kehilangan identitas dirinya dan tidak berhasil dalam meregulasi konflik di dalam dirinya ini
cenderung mudah mendapatkan masalah di lingkungannya, baik di dalam
lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat (Santrock, 2012).
Dampak dari identitiy confusion ini sendiri bisa jadi salah satu dari dua kondisi
berikut ini, yaitu; (1) individu akan menarik diri dan mengisolasi dirinya dari
masyarakat dan sosial, seperti teman-teman dan keluarga, atau (2) individu jatuh
terbenam di dalam dunianya dengan teman-temannya dan kehilangan identitasnya
di dalam kerumunan orang-orang tersebut. Dua kemungkinan ini yang paling dekat
dan menjelaskan mengapa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada remaja.
Bila seorang remaja ada pada kondisi pertama, besar kemungkinannya ia menjadi
korban dari cyberbullying, karena individu tersebut mengisolasi dirinya sendiri.
Sementara para pelaku cyberbullying sendiri besar kemungkinannya merupakan
remaja ada pada kondisi kedua, mereka akan melakukan tindak kejahatan melalui
media internet karena adanya pengaruh dari teman-teman sebayanya (Santrock,
2012).
Cyberbullying dalam dunia maya berpengaruh besar pada kehidupan remaja,
dalam hal ini Juvonen (2008) menjelaskan bahwa para remaja enggan memberitahu
orang tuanya mengenai insiden-insiden online yang terjadi pada remaja, hal ini di
karenakan remaja tidak mau orang tuanya membatasi kegiatan online yang remaja
lakukan. Oleh karena itu, Juvinen (2008) berkesimpulan bahwa cyberbullying bisa menjadi beban bagi para remaja karena dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama.
mengalami gejala depresi, keinginan melukai diri sendiri, dan yang paling buruk
adalah bunuh diri (Shim & Shin, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Hinduja
dan Patchin (2011) dengan melibatkan 2.000 anak sekolah menengah atas di
Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 20% dari responden dilaporkan memiliki
pemikiran yang serius mengenai percobaan bunuh diri, sedangkan 19% dilaporkan
telah melakukan percobaan bunuh diri. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan
fakta bahwa korban merasa depresi, sedih, dan frustasi (Hinduja & Patchin, 2011).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 23 Maret 2018 di SMA Negeri
9 Surabaya, yang dilakukan dengan mewawancarai 12 siswa (enam perempuan dan
enam laki-laki) secara acak mendapatkan hasil bahwa lima orang mengaku pernah
melakukan cyberbullying, satu siswa mengaku pernah menjadi korban cyberbullying, dan enam orang mengaku menjadi bystander atau yang melihat kejadian cyberbullying. Baik pelaku, korban, dan bystander mengaku mereka
pernah menjadi ketiganya. Bentuk cyberbullying yang pernah mereka lakukan
diantaranya meghina dengan kata-kata kasar (dua orang), memanggil dengan
julukan tertentu secara terus menerus (dua belas orang), membicarakan rahasia
orang lain kepada teman kelompoknya (lima orang), melakukan blocking pada akun temannya (satu orang), menyebarkan gossip untuk memperburuk korban (dua belas
orang) dan mengirimkan gambar (meme) ke kalangan umum (tiga orang). Mereka
menganggap bahwa yang mereka lakukan hanyalah sebatas bercanda atau karena
mengikuti dari perilaku teman kelompoknya, dan tidak mengetahui bahwa tindakan
yang mereka lakukan adalah bentuk dari perilaku cyberbullying. Hasil dari wawancara juga ditemukan bahwa dua siswa yang pernah terlibat cyberbullying,
sama-sama tidak mau berkomunikasi satu sama lain saat di sekolah untuk waktu
yang cukup lama, padahal menurut Hurlock (2004) remaja butuh diakui di
lingkungannya karena berada dalam masa pencarian jati diri seseorang dan jika
terjadi peer pressure atau tekanan dari teman sebaya maka akan membuat remaja
melakukan hal-hal yang bukan dirinya, seperti perilaku negatif (Pradana, 2015).
Poland (2010), mengungkapkan bahwa beberapa upaya untuk memberantas
cyberbullying di sekolah meliputi pemberian edukasi mengenai cyberbullying
kepada guru-guru dan orang tua, serta membatasi penggunaan telepon selular oleh
siswa ketika mereka berada di sekolah. Teknik lain yang dapat dilakukan adalah
assertive training atau metode pelatihan untuk membantu seseorang agar dapat
mengekspresikan diri secara nyaman dan lancar dalam situasi yang sebelumnya.
Peran konselor dalam assertive training sangat dibutuhkan yaitu dengan berusaha memberikan keberanian dalam diri individu, termasuk korban cyberbullying
(Willis, 2009). Korban cyberbullying diharapkan dapat mempraktikan
kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh dari teknik assertive training, sehingga mereka
mampu mengatasi ketidakmampuannya, mempelajari cara mengungkapkan
perasaan dan pikiran mereka secara lebih terbuka, sekaligus disertai keyakinan
bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi (Corey, 2009).
Perawat komunitas sebagai pelaksana asuhan keperawatan di sekolah
mempunyai peran untuk mengkaji masalah kesehatan baik fisik maupun mental
siswa, mengumpulkan data, analisis data, dan merumuskan prioritas masalah.
Perawat sekolah dapat melakukan perawatan sesaat (day care) kepada seluruh warga di lingkungan institusi pendidikan, seperti melaksanakan program
kesehatan, dan memberikan pendidikan kesehatan (Efendi & Makhfudli, 2013).
Perawat memiliki peran dan fungsi yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan
utama (Primary Health Care) yang lebih berfokus pada upaya promosi dan
pencegahan dampak dari perilaku cyberbullying kepada remaja yaitu dengan
memberikan pengetahuan bagi remaja terkait pentingnya pencegahan perilaku
cyberbullying dan cara penanggulangannya (Gaffar, 1999 dalam Annisa, 2012).
Fungsi perawat sebagai provider (pelaksanaan) lebih kepada kemampuan perawat sebagai penyedia layanan keperawatan (praktisi) yang mempunyai
pengetahuan perilaku penyimpangan pada remaja, keterampilan, sikap empati
dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga mempunyai kemampuan bekerja
secara mandiri maupun kolaborasi. Peran perawat di sekolah lebih difokuskan pada
anak di tatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak dengan
mengikutsertakan keluarga maupun guru di sekolah dalam perencanaan pelayanan
kesehatan. Keperawatan kesehatan di sekolah merupakan salah satu jenis pelayanan
kesehatan yang ditunjukkan untuk mewujudkan kemandirian siswa untuk hidup
sehat, serta menciptakan lingkungan dan suasana sekolah yang sehat (Riziqin,
2014).
Berdasarkan dari pernyataan dan fenomena di atas, cyberbullying pada remaja
perlu dikaji kembali dan segera ditangani, sehingga dapat mencegah terjadinya
trauma pada remaja, baik fisik maupun psikologis yang ditimbulkan. Secara umum,
sikap seseorang terhadap sesuatu merupakan faktor penting dalam membentuk
tingkah lakunya yang relevan dengannya, demikian pula dengan sikap seseorang
terhadap niat berperilakunya terkait dengan cyberbullying (Shim & Shin, 2015).
sebaya dan moral disengagement atau pelepasan moral. Fokus tujuan penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara persepsi remaja terhadap peran
teman sebaya dan moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada anak
usia remaja di SMA dengan menggunakan teori General Aggression Model (GAM)
oleh Anderson & Bushman (2002) yang sudah dimodifikasi oleh Kowalski et al.
(2014).
1.2Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya dan
moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya?
1.3Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya
dan moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di
Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap peran teman sebaya pada siswa
SMA di Surabaya.
2. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap moral disengagement pada
siswa SMA di Surabaya.
3. Mengidentifikasi perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya. 4. Menganalisis hubungan antara persepsi remaja terhadap peran teman sebaya
5. Menganalisis hubungan antara persepsi remaja terhadap moral disengagement dengan perilaku cyberbullying pada siswa SMA di Surabaya.
1.4Manfaat
1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah yang
dapat digunakan sebagai penelitian selanjutnya dan sebagai kerangka dasar dalam
mengembangkan ilmu Keperawatan Komunitas pada remaja tentang perilaku
cyberbullying.
1.4.2 Praktis
1. Manfaat bagi siswa, memberikan informasi dan pemahaman kepada siswa
mengenai perilaku cyberbullying, sehingga diharapkan dapat mengurangi
tindakan cyberbullying yang terjadi dikalangan remaja. Selain itu, dapat
bermanfaat untuk mempersiapkan pertumbuhan dan perkembangan remaja.
Manfaat bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan untuk membuat peraturan dalam upaya mencegah dampak
yang ditimbulkan dari tindakan cyberbullying. Pihak sekolah juga dapat
menjalin kerjasama dengan keluarga maupun pelayanan kesehatan apabila
menemukan siswa yang terkena dampak negatif dari cyberbullying, agar
siswa tersebut segera mendapatkan treatment atau rehabilitas..
2. Manfaat bagi perawat UKS, diharapkan menjadi sumber dan referensi bagi
keperawatan komunitas dalam sekolah guna mempertahankan dan
Selain itu, dapat membantu perawat dalam upaya pelayanan kesehatan
utama (primary health care) yang lebih berfokus pada preventif dan promotif yaitu dengan memberikan pendidikan untuk pengenalan dan
pencegahan atau pengendalian masalah kesehatan pada remaja.
3. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi dan pemahaman kepada
masyarakat umum mengenai perilaku cyberbullying pada remaja, serta
dapat membuat regulasi yang tepat untuk melindungi remaja dari pengaruh
negatif yang ditimbulkan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tindakan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Masa remaja adalah periode di mana seorang individu mengalami
perubahan fisik, prikologis, dan emosional yang besar (WHO, 2011). Remaja
berasal dari bahasa Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti
remaja) yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menuju dewasa”. Istilah adolescence
memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik
(Hurlock 2004 dalam Alkatiri, 2017). Menurut Santrock (2003), masa remaja
adalah masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Menurut DepKes RI
(2005), masa remaja merupakan suatu proses tumbuh kembang yang
berkesinambungan atau masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa muda
(Pradana, 2015).
Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
cepat. Selama tahap ini, ukuran tubuh, kekuatan dan kemampuan reproduksi mulai
berkembang. Kemampuan individu untuk berpikir abstrak dan kritis juga
berkembang bersama dengan kesadaran diri, serta ada pula peningkatan pada
kontrol emosi. Hubungan sosial pada masa remaja mulai berpindah dari lingkup
keluarga ke jaringan yang lebih luas seperti teman-teman, orang dewasa yang
dihormati lainnya di dalam komunitas, dan juga orang dewasa di media (seperti
signifikan. Remaja juga mengalami perubahan dalam harapan dan persepsi sosial,
yang membutuhkan peningkatan kematangan emosi (WHO, 2011).
World Health Organization (WHO) (dalam Sarwono, 2004) mendefinisikan
remaja berdasarkan tiga kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi.
Berikut tiga definisi tersebut (Alkatiri, 2017):
1. Definisi remaja dalam kriteria biologik adalah masa ketika individu
berkembang dari saat pertama kali individu menunjukkan tanda-tanda
seksual sekunder sampai saat mencapai kematangan seksual.
2. Definisi remaja dalam kriteria psikologik adalah masa ketika individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Definisi remaja dalam kriteria sosial ekonomi adalah suatu masa ketika
terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
definisi remaja adalah periode atau masa transisi dari masa anak-anak menuju ke
masa dewasa ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang
mempengaruhi biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.
2.1.2 Batasan Usia Remaja
Menurut Santrock (2003) sebagian besar masyarakat dan kebanyakan
budaya, masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir
pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Hurlock (2004) mengelompokkan
masa remaja menjadi dua yaitu masa awal remaja yang berlangsung dari usia 13
17 tahun sampai 18 tahun. DepKes RI (2009) mengelompokkan usia remaja
menjadi dua kategori yaitu masa remaja awal berusia 12 sampai 16 tahun dan
remaja akhir berusia 17 sampai 25 tahun serta belum kawin (Pradana, 2015).
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 10 sampai 19 tahun. WHO (World Health Organizatioin), mengelompokkan masa remaja menjadi tiga tingkatan yang
berdasarkan usianya yaitu, remaja awal atau early adolescence (10-15 tahun),
remaja menengah atau middle adolescence (14-17 tahun) dan remaja akhir atau late adolescence (16-19 tahun) (WHO, 2011).
2.1.3 Ciri-ciri Remaja
Menurut (Hurlock 2004 dalam Alkatiri 2017), masa remaja memiliki
ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya.
Citri-ciri tersebut adalah :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada masa remaja perkembangan fisik dan mental yang cepat menimbulkan
perlunya penyesuaian mental serta perlunya membentuk sikap, nilai dan
minat baru. Masa remaja dikatakan periode penting karena akibatnya yang
penting terhadap fisik dan perilaku serta menimbulkan efek jangka panjang
pada remaja.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga
bukan orang dewasa. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa
remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu sehingga mengakibatkan
dengan tahapan usianya. Peralihan bukan berarti terputus atau berubah dari
yang telah terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap
perkembangan berikutnya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Ada empat perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu:
1) Meningginya emosi dan intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.
2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok
sosial seringkali menimbulkan masalah baru.
3) Perubahan minat dan pola perilaku yang mengakibatkan perubahan
nilai-nilai.
4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi takut
bertanggungjawab atas tindakannya dan meragukan kemampuan
mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi
baik oleh anak laki-laki maupun perempuan, dan karena ketidakmampuan
mereka untuk mengatasi masalahnya menurut cara mereka sendiri sehingga
banyak remaja yang akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak
selalu sesuai dengan harapan mereka.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Masa remaja sering kali ingin menampilkan identitas diri mereka agar dapat
menjelasakan siapa dirinya serta peran mereka di masyarakat, biasanya
remaja menggunakan simbol status dalam bentuk kemewahan atau
kebanggaan lainnya seperti pakaian dan barang lainnya. Mereka
menganggap hal tersebut dapat membuat menarik perhatian dan terlihat
berbeda dari individu lainnya.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimibulkan ketakutan
Pada masa ini, banyak anggapan bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapih, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku buruk.
Usia remaja juga dianggap sebagai usia yang membawa kekhawatiran dan
ketakutan para orang tua. Anggapan-anggapan ini dapat mempengaruhi
konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti apa yang
mereka harapkan, termasuk dalam memandang cita-cita. Kondisi yang tidak
realistik ini menyebabkan remaja sering kali marah dan kecewa apabila
tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Seiring bertambahnya
pengalaman pribadi dan sosial, serta meningkatnya kemampuan untuk
berpikir rasional, remaja akan memandang kehidupan pada umumnya
secara lebih realistik.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Di saat masa remaja akhir, mereka menunjukkan keinginan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, namun mereka
mulai menyadari bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa
mulai melakukan perilaku yang dianggap sering diidentikkan dengan orang
dewasa. Contoh perilaku yang mereka anggap seperti merokok, meminum
alkohol, menggunakan obat-obatan dan melakukan seks.
2.1.4 Tahap Perkembangan Masa Remaja
Tahap perkembangan pada masa remaja dibagi dalam tiga tahapan yaitu
(Batubara, 2010):
1. Remaja awal atau early adolescent (12-14 tahun)
Pada masa remaja awal anak-anak mulai mengelami perubahan tubuh yang
cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh
disertai awal pertumbuhan seks sekunder. Tahap pada perkembangan
remaja awal ditandai dengan:
1) Krisis identitas dan jiwa yang labil.
2) Pentingnya teman dekat dan ingin lebih dekat dengan teman sebayanya.
3) Berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, kadang berlaku kasar dan
menunjukkan kesalahan orang tua.
4) Terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan
cara berpakaian.
5) Ingin bebas dan mulai mencari orang lain yang disayangi selain orang
tua.
2. Remaja pertengahan atau middle adolescent (15-17 tahun)
Pada periode middle adolescent sangat membutuhkan teman-temannya, ada
kecenderungan narsistik serta mulai tertarik akan intelektualitas dan karir.
1) Mencari identitas diri dan sering moody.
2) Mulai berkembangnya kemampuan untuk berpikir abstrak.
3) Sangat memperhatikan penampilan dan berusaha untuk mendapatkan
teman baru.
4) Sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif.
5) Ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis dan atau
mempunyai rasa cinta yang mendalam.
6) Tidak atau kurang menghargai pendapat orang tua.
7) Mulai tertarik dengan intelektualitas dan karir serta empunyai konsep
role model dan mulai konsisten terhadap cita-citanya.
3. Remaja akhir atau late adolescent (18-21 tahun)
Periode late adolescent dimulai pada usia 18 tahun dan ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Pada fase remaja akhir, mereka
akan lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan
nantinya, mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, serta dapat
menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan. Tahap pada perkembangan
remaja pertengahan ditandai dengan :
1) Pengungkapan identitas diri dan identitas diri menjadi lebih kuat.
2) Mampu memikirkan ide-ide baru dan mampu berpikir secara abstrak.
3) Emosi lebih stabil, selera humor lebih berkembang dan lebih konsisten.
4) Lebih menghargai orang lain dan bangga dengan hasil yang dicapainya.
5) Mempunyai citra jasmani untuk dirinya, dan dapat mewujudkan rasa
cinta.
2.1.5 Tugas Perkembangan Remaja
Berikut ini adalah tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut
Havighurst (dalam Hurlock, 2004) :
1. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita.
2. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
6. Mempersiapkan karier ekonomi.
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pandangan untuk
berperilaku mengembangkan iedologi.
Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam
sikap dan pola perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak
perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama
awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya telambat (Hurlock 2004 dalam
Pradana 2015). Tugas-tugas tersebut berkaitan dengan perkembangan kognitif
remaja, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitifnya dan
kemampuan kreatif remaja akan sangat membantu kemampuan remaja dalam
melaksanakan tugas-tugas tersebut. (Hurlock 2004 dalam Ramadan, 2013).
Beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas
masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi
fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai. Masalah khas
remaja adalah masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja,
seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian
berdasarkan persepsi yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit
kewajiban dibebankan oleh orang tua (Hurlock 2004 dalam Ramadan 2013).
Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian akan berusaha untuk
mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain, namun
kemandirian emosi tidaklah sama dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja
yang ingin mandiri, namun membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari
ketergantungan emosi pada orang tua atau orang-orang dewasa lain. Hal ini
menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan
atau kurang memiliki hubungan yang akrab dengan anggota kelompok. Sebagian
besar remaja yang ingin diterima oleh teman-teman sebaya, tetapi sering kali
diperoleh dari perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti saat mereka akan
menolong atau menipu temannya dalam ujian (Hurlock 2004 dalam Pradana 2015).
Sekolah dan pendidikan tinggi menekankan perkembangan ketrampilan
intelektual dan konsep penting bagi kecakapan sosial. Namun hanya sedikit remaja
yang menggunakan ketrampilan dalam konsep ini dalam situasi praktis. Sekolah
dan pendidikan tinggi juga mencoba untuk memberi nilai-nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai dewasa dan orang tua berperan banyak dalam perkembangan ini. Namun
bila nilai-nilai dewasa bertentangan dengan nilai-nilai teman sebaya, maka remaja
harus memilih yang terakhir bila mengharapkan dukungan teman-teman yang
2.2Cyberbullying
2.2.1 Definisi Cyberbullying
Cyberbullying adalah perilaku agresif untuk menyakiti orang lain yang
dilakukan dengan sengaja dan berulang melalui media elektronik seperti komputer,
ponsel dan perangkat lainnya (Smith et al., 2008). Cyberbullying merupakan salah
satu kategori dari bullying yang terjadi di media elektronik (Bullock, Wong-Lo &
Gable, 2011). Bullying elektronik, penindasan online, dan atau cyberbullying
adalah metode penindasan baru melibatkan bentuk-bentuk intimidasi yang
dilakukan menggunakan media teknologi seperti situs web, email, online chat,
pesan teks, kamera ponsel, pesan gambar, dan blog (Beale & Hall, 2007; Miller &
Hufstedler, 2009). Cyberbullying merupakan perpanjangan dari bullying tradisional
yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan internet (Çetin, Yaman
& Peker, 2011). Menurut Willard (2007), Cyberbullying biasanya dilakukan dengan
cara mengirimkan sesuatu yang berbahaya atau merugikan seperti mengirimkan
pesan yang bersifat mengancam kepada korban atau menggunakan cara lain yang
menyebabkan munculnya permasalahan psikologis dan sosial bagi korban (Willard
2007 dalam Alkatiri 2017).
Berkembangnya teknologi dan komunikasi baru seperti pesan instan secara
online, membuat intimidasi yang terjadi di dunia online semakin umum dan parah
(Shim & Shin, 2015). The Pew Survey (Jackson, 2011) melaporkan bahwa remaja
perempuan yang berusia 12 sampai 17 tahun (38%) dan remaja pria (26%) telah
mengalami cyberbullying, sedangkan pada usia 11 sampai 16 tahun cyberbullying
dilaporkan terjadi sekitar 22-34%. Penelitian lain juga melaporkan bahwa
8% di tahun 2010 menjadi 12% di tahun 2014 (Livingstone et al., 2014). Ada empat
peran yang terlibat dalam cyberbullying, yaitu: pelaku (bullies or offender), korban (victims or targets), harmful bystanders (saksi yang mendukung cyberbullying),
dan helpful bystanders (saksi yang berusaha menghentikan cyberbullying) (Willard,
2007).
Berbeda dengan tradisional bullying atau intimidasi tatap muka, cyberbullying tidak dibatasi oleh waktu atau lokasi (misalnya saat jam sekolah dan tempat bermain atau di sekolah), tindakan dapat dilakukan secara anonim
(menyembunyikan identitas), dan dilakukan secara berulang-ulang (Slonje, Smith
& Frisén, 2013). Menurut Calvete et al., (2010) perilaku cyberbullying secara
signifikan berkaitan dengan penggunaan perilaku agresi yang proaktif,
membenarkan perilaku kekerasan, dan kurangnya dukungan dari teman-teman.
Penyebab lainnya untuk melakukan perilaku cyberbullying adalah iri hati,
intoleransi terhadap disabilitas, perbedaan agama dan jenis kelamin, adanya
perasaan sombong dan marah, serta adanya rasa malu dan bersalah (Hoff &
Mitchell, 2009).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi dari
perilaku cyberbullying adalah perilaku agresi remaja yang dapat menyakiti orang
lain (seperti menghina, mempermalukan, dan mengancam orang lain) secara
sengaja dan berulang-ulang yang dilakukan dengan menggunakan internet, alat
2.2.2 Karakteristik Cyberbullying Offending dan Victimization
Peran yang terlibat di dalam cyberbullying tentunya ada pelaku (offender) dan korban (victim). Tentunya masing-masing peran memiliki karakteristik yang
berbeda. Berikut ini adalah karakteristik dari ke duanya (Veenstra, 2011):
1. Cyberbullying Offending atau Pelaku
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pelaku lebih banyak
menghabiskan waktu di internet daripada mereka yang tidak melakukan bully
(Erdur Baker, 2010; Lenhart, 2007; Li, 2007; Vandebosch et al., 2006; Ybarra dan
Mitchell 2004a; Ybarra dan Mitchell, 2007). Motif untuk melakukan cyberbullying
bervariasi, dan beberapa penelitian telah menemukan bahwa balas dendam adalah
motif utama untuk cyberbullying (Hinduja dan Patchin, 2009; Goberecht, 2008;
Raskauskas dan Stolz, 2007). Selain itu, penelitian lainnya melaporkan bahwa
pelaku mengintimidasi 'untuk bersenang-senang' (Raskauskas dan Stolz, 2007;
Smith et al., 2008). Anonimitas dari dunia maya juga salah satu penyebab yang
dirasakan pelaku cyberbullying (Hinduja dan Patchin, 2009; Kowalski et al., 2008;
Rinzema, 2008; Wolak et al., 2006). Beberapa penelitian menegaskan bahwa
pelaku secara anonim menggertak korban mereka (Kowalski dan Limber, 2007;
Kowalski dkk., 2008; Li, 2007; Williams dan Guerra, 2007; Wolak et al., 2007).
Penelitian lainnya menemukan bahwa anak perempuan lebih sering
mengalami cyberbullies (misalnya Hinduja dan Patchin 2009; Kowalski dkk., 2008;
Wolak et al., 2006), sementara penelitian lain menemukan kebalikannya (Dehue et
al., 2006; Li, 2006 & 2007 ; Erdur Baker, 2010; Vandebosch et al., 2006). Namun
demikian, beberapa penelitian menjelaskan tentang fakta bahwa anak perempuan
Anak laki-laki lebih sering menggunakan bentuk cyberbullying langsung seperti
panggilan kasar kepada korban daripada anak perempuan, sedangkan anak-anak
perempuan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk cyberbullying tidak langsung
seperti menyebarkan rumor (Dehue et al., 2006; Hinduja dan Patchin, 2009;
Kowalski dan Limber, 2007; Kowalski et al., 2008).
2. Cyberbullying Victimization atau Korban
Pada umumnya cyberbullying lebih ditujukan kepada individu dari pada suatu kelompok (misalnya Juvonen dan Gross, 2008; Raskauskas dan Stolz, 2007;
Slonje dan Smith, 2008). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa korban
cyberbullying menghabiskan waktu lebih banyak untuk online daripada
rekan-rekan mereka (Hinduja dan Patchin, 2008; Juvonen dan Gross, 2008; Lenhart, 2007;
Livingstone dan Haddon, 2009; Smith dkk., 2008; Vandebosch dkk., 2006; Van
den Eijnden et al., 2006), dan mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
menjadi korban cyberbullying (Bauwens et al., 2009; Lenhart, 2007; Van den
Eijnden et al., 2006).
Banyak dari penelitian yang menunjukkan bahwa korban cyberbullying
lebih sering terjadi kepada anak perempuan daripada anak laki-laki (Dehue et al.,
2006; Hinduja dan Patchin, 2008; Kowalski dan Limber, 2007; Schrock dan Boyd,
2010; Smith, et al., 2006 & 2008; Vandebosch et al., 2006). Namun, beberapa studi
menunjukkan bahwa risiko menjadi korban penindasan maya lebih tinggi untuk
anak laki-laki (misalnya Erdur Baker, 2010; van den Eijnden et al., 2006). Selain
itu, beberapa penelitian menemukan risiko yang sama untuk anak perempuan dan
anak laki-laki menjadi korban cyberbullying (Li, 2006; Patchin dan Hinduja, 2006;
menemukan bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami dampak negatif
akibat cyberbullying daripada anak laki-laki.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyberbullying memiliki dampak
negatif pada kesejahteraan psikososial remaja. Dampak yang timbul pada korban
bisanya berkaitan dengan perasaan depresi, kesepian, kesedihan, ketakutan,
frustrasi dan kepercayaan diri yang rendah (Finkelhor et al., 2000; Hinduja dan
Patchin, 2009; Raskauskas dan Stolz, 2007; Van den Eijnden et al., 2006;
Vandebosch et al., 2006; Wolak et al., 2006; Ybarra dan Mitchell, 2004b). Selain
itu penelitian lainnya menunjukkan bahwa korban lebih sering kelihatannya tidak
populer, mereka memiliki lebih banyak masalah di sekolah, mereka lebih sering
membawa senjata, mereka lebih agresif dan lebih sering merokok dan minum
alkohol daripada individu lain yang bukan korban (Hinduja dan Patchin, 2008;
Vandebosch et al., 2006; Ybarra, Diener-West and Leaf, 2007).
2.2.3 Metode dan Bentuk Aktivitas Cyberbullying
Menurut (Aftab 2011 dalam Pradana 2015), ada tiga macam metode
cyberbullying yaitu direct attacks (mengirimkan pesan-pesan menyakitkan secara
langsung kepada korban), posted and public attacks (mempermalukan korban dengan mengunggah atau menyebarkan informasi maupun gambar-gambar
mengenai korban yang memalukan ke publik), dan cyberbullying by proxy
(membuat orang lain melakukan cyberbullying, mengganti kata kunci sosial media
korban serta membajak akun korban). Beberapa media yang dapat digunakan untuk
melakukan cyberbullying seperti instant messaging (IM), pesan teks, online grup chat, e-mail, website, and pesan vidio (Bauman, 2010). Menurut Bhat (2008) salah
yang biasa digunakan dalam mengintimidasi adalah dengan mengirimkan pesan
teks atau sms, gambar, ataupun vidio yang mengganggu korban.
Konseptualisasi cyberbullying diperparah oleh fakta bahwa penindasan
maya dapat mengambil begitu banyak bentuk dan terjadi melalui banyak tempat
yang berbeda (Kowalski et al., 2014). Menurut (Willard 2007 dalam Alkatiri 2017)
menyebutkan macam-macam jenis cyberbullying sebagai berikut:
1. Flaming (terbakar)
Flaming dilakukan dengan mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan
kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Flaming umumnya meliputi
bahasa yang menyinggung, kasar, vulgar, dan mengandung penghinaan, dan
terkandang berbentuk ancaman.
2. Harassment (gangguan)
Harassment dilakukan dengan mengirimkan pesan-pesan yang berisi
gangguan seperti hinaan secara terus menerus melalui e-mail, pesan singkat,
maupun pesan teks di jejaring sosial.
3. Outing and Trickery
Outing dilakukan dengan menyebarkan rahasia orang lain atau foto-foto pribadi orang lain yang membuat korban menjadi malu, sedangkan trickery
(tipu daya) merupakan bagian dari outing yang dilakukan dengan
membohongi seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia atau
4. Exclusion
Exclusion dilakukan dengan mengucilkan atau mem-blocking seseorang dari grup online secara sengaja dan kejam serta sampai mengeluarkan orang
tersebut.
5. Impersonation (peniruan)
Impersonation dilakukan dengan menggunakan identitas palsu atau
berpura-pura menjadi korban untuk mengirimkan pesan atau status yang
buruk, dan atau komentar yang kasar kepada orang lain. Hal ini bisa
dilakukan di halaman website, profil, blog, maupun berbagai bentuk akun online pribadi lainnya.
6. Cyberstalking
Cyberstalking dilakukan dengan mengikuti orang lain lalu mengirimkan pesan yang membahayakan berisikan ancaman, intimidasi, penyerangan
sampai pemerasan kepada korban secara berulang dengan menggunakan
komunikasi elektronik.
7. Denigration (pencemaran nama baik)
Denigration didefinisikan sebagai perilaku intimidasi dengan cara mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud mengganggu
hubungan pertemanan dan merusak reputasi dan atau nama baik korban.
Denigration dilakukan dengan mengatakan hal yang menyakiti, tidak benar
dan kejam kepada orang lain sehingga membuat ketakutan besar kepada
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying
Dua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying adalah faktor motivasi internal (motivasi remaja untuk melakukan cyberbullying berdasarkan
pengaruh emosional mereka) dan faktor motivasi eksternal (penyebab seseorang
melakukan cyberbullying berdasarkan karakteristik korban dan adanya suatu
kejadian yang spesifik). Faktor-faktor internal meliputi redirect feelings
(mengalihkan perasaan), revenge (balas dendam), make themselves feel better
(membuat diri mereka merasa lebih baik), boredom (kebosanan), instigation
(mempunyai keinginan), protection (perlindungan), jealousy (iri hati), seeking approval (mencari persetujuan), trying out a new persona (mencoba pesona baru), anonymity or disinhibition effect (adanya faktor anonimitas). Faktor-faktor
eksternal meliputi tidak adanya konsekuensi yang nyata, dilakukan tidak secara
langsung (not face to face), dan karakteristik korban yang berbeda (Varjas et al.,
2010).
Menurut Li (2010), hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting
yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying adalah bullying tradisional, jenis
kelamin, budaya, dan pengguna internet. Penelitian Hoff dan Mitchell (2009),
menemukan beberapa faktor penyebab dari tindakan cyberbullying yang
dikelompokkan pada dua kategori utama yaitu cyberbullying yang disebabkan oleh
isu relasi dan yang tidak berkaitan isu relasi. Cyberbullying yang disebabkan oleh
isu relasi seperti putus hubungan, kecemburuan, pada kecacatan, agama dan gender,
serta kelompok atau geng. Cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti intimidasi golongan luar kelompok dan penyiksaan pada korban. Menurut teori
Kowalski et al., 2014), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying
ada dua, yaitu:
1. Person Factors (faktor individu)
1) Jenis kelamin. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda,
menurut penelitian yang dilakukan Hinduja & Patchin (2008), tidak
menemukan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal perilaku cyberbullying, penelitian lain yang dilakukan Sourander
et al., (2010) menemukan bahwa laki-laki lebih sering melakukan perilaku cyberbullying dibandingkan wanita, namun, wanita biasa lebih sering
dijadikan target untuk cyberbullying. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa perbedaan gender tergantung pada tempat dimana cyberbullying
sedang terjadi (Hinduja & Patchin, 2008).
2) Usia. Cyberbullying banyak terjadi di usia sekolah menengah, seperti
contoh Williams dan Guera (2007) menemukan bahwa kenaikan
cyberbullying terjadi setelah kelas lima dan puncak selama kelas delapan,
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kowalski, Giumetti et al., (2012)
menemukan bahwa mereka yang pernah mengalami cyberbullying di sekolah menengah dan atas, 43% responden menunjukkan bahwa mayoritas
cyberbullying yang mereka alami telah terjadi selama kuliah.
3) Motivasi. Tidak banyak penelitian yang telah meneliti bagaimana motif
seseorang untuk terlibat dalam cyberbullying. Penelitian lain membuktikan
bahwa hubungan antara bullying tradisional dengan cyberbullying, dimana beberapa individu melakukan cyberbullying dalam upaya untuk membalas
cyberbullying untuk menunjukkan keterampilan teknologi, sebagai hal yang
dianggap menyenangkan dan untuk menunjukkan dirinya merasa kuat.
Gradiner, Strohmeier, dan Spiel (2012) menemukan bahwa motif yang
paling umum adalah kemarahan.
4) Kepribadian. Di sisi korban, beberapa variabel kepribadian telah
diidentifikasi sebagai prediktor yang memungkinkan. Variabel yang jelas
yang mungkin terkait dengan terjadinya cyberbullying adalah empati. Sejumlah variabel kepribadian lain mungkin akan berperan dalam membuat
individu lebih rentan terhadap cyberbullying atau cybervictimization.
5) Keadaan psikologis. Individu yang melakukan dan korban dari
cyberbullying memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, serta
memiliki harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak
melakukan cyberbullying. Depresi dan kecemasan dapat menjadi prediktor
keterlibatan dalam cyberbullying, dan dapat menjadi konsekuensi dari
perilaku cyberbullying.
6) Status sosial ekonomi dan penggunaan teknologi. Wang, Lannotti, dan
Nansel (2009) menemukan bahwa ada hubungan positif antara status sosial
ekonomi dengan cyberbullying. Hal ini diketahui bahwa, individu yang
memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi biasanya memiliki akses yang
lebih mudah untuk menggunakan teknologi, sehingga menjadikan individu
untuk dapat terlibat dalam perilaku cyberbullying.
7) Nilai dan persepsi. Walrave dan Heirman (2011) mengamati bahwa individu
yang melakukan cyberbullying cenderung meminimalkan dampak dari