• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

BAB IV HASIL PENELITIAN

Negeri 5 Yogyakarta

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

a. Komunikasi

1) Transmisi

Implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dikomunikasikan kepada pelaksana kebijakan yaitu guru dan juga dikomunikasikan kepada target atau sasaran kebijakan yaitu siswa. Penyampaian komunikasi kebijakan kepada pelaksana atau guru dilakukan melalui rapat guru seperti yang diungkapkan SF:

“Sekolah mengkomunikasikan atau mensosialisasikan melalui rapat guru dan menyampaikan pada saat upacara, dan guru juga menyampaikan didalam kelas masing-masing” (SF/18-9-2013).

Hal senada juga disampaikan JM:

“Sekolah pernah mengirimkan perwakilan guru untuk mengikuti workshop sosialisasi pendidikan etika lalu lintas, oleh Dinas Pendidikan kota” (JM/16-9-2013).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa proses penyampaian komunikasi terhadap pelaksana kebijakan atau guru dilakukan melalui sosialisasi pada saat rapat guru ketika upacara dan dengan mengirimkan perwakilan guru melalui workshop sosialisasi pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas.

Selain itu penyampaian komunikasi juga dilakukan guru sebagai pelaksana terhadap target atau sasaran kebijakan yaitu siswa, seperti hasil wawancara dengan SS:

“Sosialisasi dilakukan pada saat massa orentasi siswa, upacara dan juga saat sekolah mengundang orangtua ketika menyampaikan program sekolah” (SS/21-9-2013).

Pernyataan serupa juga diungkapkan BS:

“Sosialisasi yang dilakukan dikelas oleh guru yang bersangkutan, melalui upacara dan sosialisasi secara umum, dimana ketika siswa masuk mereka diberitahu kenapa dasarnya siswa kelas 10 tidak boleh membawa sepeda motor” (BS/19-9-2013).

Pernyataan tersebut diperkuat oleh NH selaku siswa kelas 10: “Iya, khusus kelas satu memang tidak boleh pakai motor, dulu pas dikasih tahu kalau tidak boleh bawa kendaraan ke sekolah” (NH/18-9-2013).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa proses penyampaian komunikasi kebijakan berjalan dengan baik. Hal ini didasarkan bahwa pelaksana kebijakan dalam hal ini guru dan target atau sasaran kebijakan yaitu siswa telah memahami dan mengerti tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas di sekolah.

2) Kejelasan

Komunikasi harus jelas sehingga bisa diterima oleh pelaksana, begitu juga komunikasi yang diterima oleh target grup atau sasaran atau pelaku sasaran kebijakan. Sehingga mereka dapat mengetahui maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut. komunikasi bisa diterima dengan jelas oleh pelaksana karena pelaksana dilibatkan langsung dalam pembuatan perangkat pembelajaran pendidikan etika lalu lintas seperti yang diungkapkan, SF:

“Kami dipanggil oleh Dinas Pendidikan untuk mengikuti workshop, itu diadakan oleh Dinas Pendidikan yang bekerjasama dengan pabrik kendaraan bermotor yaitu Astra Honda untuk pembuatan perangkat pembelajaran” (SF/18-9-2013).

Peran Dinas Pendidikan sebagai fasilitator semakin memberikan kejelasan pada pelaksana dalam pelaksanaan pendidikan, hal ini disampaikan oleh BS:

“Banyak sebenarnya Dinas Pendidikan sebagai fasilitator dan pembinaan kepada sekolah” (BS/19-9-2013).

Pernyataan beberapa narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi dapat diterima dengan jelas oleh pelaksana kebijakan yaitu guru, hal ini dikarenakan guru dilibatkan secara langsung dalam pembuatan perangkat pembelajaran pendidikan etika lalu lintas. Selain itu juga didukung adanya pembinaan dan fasilitator yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan.

b. Sumber Daya

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, jika pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tidak didukung dengan sumber–sumber daya untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber-sumber daya yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas meliputi :

1. Sumber Daya manusia

Sumber daya manusia dalam hal ini staff guru, harus cukup dari segi jumlah dan kualitasnya karena sekalipun aturan pelaksanaan kebijakan jelas dan kebijakan yang telah ditransformasikan dengan tepat, namun apabila sumber daya manusia terbatas dari segi jumlah dan kualitas pelaksanaan kebijakan tidak akan efektif. Jumlah guru SMA Negeri 5 Yogyakarta telah banyak yang mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas dalam proses belajar mengajar, hal ini seperti yang diungkapkan JM :

“Jumlah staff guru di sekolah ini ada 52 orang, sebagian besar telah mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas dalam proses belajar mengajar” (JM/16-9-2013).

Hal senada juga diungkapkan oleh SF :

“Hampir sebagian besar guru telah melaksanakan kebijakan atau program tersebut dalam hal ini mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas pada 10 mata pelajaran yang dimungkinkan dapat mengembangkan pembelajaran etika berlalu lintas kedalam proses pembelajaran. dan hanya ada beberapa guru yang belum mengintegrasikan” (SF/18-9-2013).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia atau staff yang dimiliki SMA Negeri lima berjumlah 52 orang guru, yang mana dari jumlah tersebut sebagian besar telah melaksanakan atau mengimplementasikan kebijakan pendidikan etika lalu lintas yaitu dengan mengintegrasikan kedalam proses belajar mengajar, dan hanya ada sebagian guru yang belum bisa mengintegrasikan kebijakan tersebut.

Selain itu untuk mendukung dan memperlancar pelakasanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, kepala sekolah membentuk sebuah tim pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, seperti yang diungkapkan oleh WS :

“Dulu kepala sekolah membentuk tim pelaksana yang berjumlah 7 orang guru, anggota tim tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab dalam kegiatan dan membantu permasalahan guru lain dalam mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas dalam proses belajar mengajar” (WS/17-9-2013).

Senada dengan pernyataan di atas, SR menyampaikan : “Kepala sekolah secara tertulis menugaskan kepada beberapa perwakilan guru-guru untuk ditugaskan dalam tim pelaksana kebijakan pendidikan etika lalu lintas dan saya juga termasuk didalam tim tersebut” (SR/21-9-2013).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, sekolah memiliki strategi yaitu dengan membentuk tim pelaksana yang berjumlah 7 orang guru, yang mana anggota tim tersebut memiliki peran dalam membantu permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas di sekolah.

Selain jumlah atau kuantitas, kemampuan atau kualitas pelaksana kebijakan juga memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan kebijakan, salah satu yang menjadi indikasi dari kemampuan dan kualitas tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh guru sebagai pelaksana kebijakan. Adapun tingkat pendidikan dari tim pelaksana

kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta sebagai berikut :

NO NAMA JABATAN TINGKAT PENDIDIKAN

1 Drs. H. Jumiran, M.Pd.i Ketua S2

2 Warsita, SPd Sekretaris S1

3 Fadiyah Suryani, M.Sc. Anggota S2

4 Sri Suyatmi, SPd Anggota S1

5 Drs. Bambang Sumadi Anggota S1

6 Drs. Sairin Anggota S1

7 Dra. Praptanti Rahayu Anggota S1 (Sumber: Dokumen SMA Negeri 5 Yogyakarta).

Tingkat pendidikan, kemampuan dan keahlian yang dimiliki sesuai atau relevan dengan tugas pekerjaan yang ditanganinya akan sangat membantu mereka dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya. Seperti yang di ungkapkan oleh BS :

“Pendidikan saya sesuai dengan mata pelajaran yang saya ajar yaitu biologi jadi saya tidak terlalu kesulitan dalam melaksanakan tugas, karena saya hanya tinggal mencari tema atau materi yang sesuai untuk mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas” (BS/21-9-2013).

Guru sebagai pelaksana kebijakan memimliki tugas yaitu memberikan pengetahuan kepada siswa akan pentingnya etika lalu lintas, mereka diharuskan memiliki kemampuan dan keahlian yang relevan dengan tingkat pendidikan dan bidang pekerjaan yang digeluti sehingga mereka tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hal yang sama juga disampaikan oleh SF :

“ Saya S1 pendidikan fisika, selama ini tidak begitu menjadi masalah karena apa, dimata pelajaran fisika ada materi ketika membahas pegas ada suspensi dalam kendaraan bermotor. Jadi tidak begitu sulit dan kalau ada yang mengalami

kesulitan dapat disampaikan dalam forum MGMP” (SF/18-9-2013).

Berdasarkan penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaannya akan membantu untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta akan meminimalisir kendala-kendala yang ada. Sejalan dengan hal tersebut menurut George C. Edward III sumber daya manusia harus memiliki ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang ditanganinya (Joko Widodo 2012: 99) .

2. Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran atau dana merupakan bagian dari sumber daya yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, karena sumber dana diperlukan untuk membiayai

operasional pelaksanaan, kebijakan. Sumber dana dalam

pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta diperoleh dari beberapa pihak, seperti yang disampaikan oleh SS:

“Ada bantuan sekitar 8 juta rupiah dari Astra Honda dan Dinas Pendidikan, masing-masing sekolah yang dijadikan model, sekolah model itu kalau SMA ya SMA 5,6 kemudian kalau SMP, SMP 9” (SS/21-9-2013).

SS menyampaikan bahwa tidak semua sekolah mendapatkan dana, hanya sekolah yang dijadikan sebagai sekolah model yang

mendapatkan dana sebesar 8 juta rupiah, dan sumber dana tersebut diberikan oleh Astra Honda. Hal serupa juga di sampaikan SF:

“Kami mendapatkan bantuan dana dari Astra Honda Motor berapa juta rupiah, kemarin itu 5 juta rupiah untuk pembuatan perangkat untuk setiap MGMP dan bukan masing-masing sekolah. Setiap MGMP fisika sekota dikasih 5 juta rupiah, MGMP matematika sekota dikasih 5 juta rupiah” (SF/18-9-2013).

SF menuturkan bahwa sumber dana yang didapatkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas disekolah berasal dari Astra Honda Motor yang berjumlah 5 juta rupiah, yang mana dana tersebut dibagikan kepada setiap MGMP kota untuk pembuatan perangkat pembelajaran. Sumber dana menjadi kendala ketika belum adanya kelanjutan bantuan dana tersebut, hal ini disampaikan oleh WS:

“Dahulu sekolah pernah mendapatkan dana akan tetapi sekarang belum ada lagi. Itu dananya saja habis digunakan untuk perlengkapan anak-anak seperti kegiatan ekstra patroli keamanan sekolah kemudian untuk sosialisasi dari pihak kepolisian terutama untuk konsumsi dan untuk membuat perangkat pembelajaran” (WS/17-9-2013).

Belum dianggarkannya sumber dana kedalam APBS menjadi fakor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas, hal tersebut disampaikan SR:

“Untuk mensosialisasikan yang terlalu sering itu terutama dalam implementasinya memerlukan suatu dana, mungkin dana untuk kegiatan sekolah yang belum mencukupi karena belum dianggarkan dalam APBS” (SR/21-9-2013).

“Pernah kami mendapatkan bantuan dana, sekarang kalau tidak ada bantuan dana, kami mau mengadakan kegiatan tidak dapat dianggarkan di APBS, sehingga ketika tidak ada dana ya berhenti, Cuma paling-paling contoh-contoh dalam

kehidupan sehari-hari, tetapi kalau kegiatan yang

membutuhkan dana tidak dapat dilaksanakan karena belum dianggarkan dalam APBS” (JM/16-9-2013).

Berdasarkan pernyataan dari beberapa narasumber di atas dapat disimpulkan bawa setiap sekolah yang menjadi sekolah model pelaksana pendidikan etika lalu lintas mendapatkan dana sebesar 8 juta rupiah dari Astra Honda dan Dinas Pendidikan, selain itu untuk menunjang opresional pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas setiap MGMP juga mendapatkan dana sebesar 5 juta rupiah salah satunya untuk pembuatan perangkat pembelajaran. Sumber dana menjadi kendala dalam pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas karena saat ini hanya mengandalkan bantuan selain itu juga belum dianggarkannya kedalam APBS. Sejalan dengan hal tersebut George C. Edward III menegaskan bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Joko Widodo 2012: 101).

3. Sumber Daya peralatan

Sumber daya peralatan atau fasilitas sarana yang digunakan dalam mengoptimalisasikan implementasi kebijakan yang meliputi gedung, tanah,dan sarana lainnya. Sarana prasarana atau fasilitas yang dimiliki sekolah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas disekolah masih sebatas pengadaan rambu-rambu

lalu lintas, seperti yang diungkapkan BS selaku wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana BS menuturkan:

“Pengadaan rambu-rambu lalu lintas dilingkungan sekolah seperti di tempat parkir serta slogan-slogan tentang tata tertib” (BS/19-9-2013).

Hal senada juga diungkapkan WS:

“Mengenai rambu-rambu lalu lintas disekolah lingkupnya kan sedikit hanya dari pintu masuk sampai ke tempat parkir sehingga rambu-rambu lalu lintas kami tempatkan ditempat parkir dan arah jalan ke parkir hanya itu saja, ada juga tidak boleh berkendara disamping guru piket itu sudah kami terapkan atau tempel disana” (WS/17-9-2013).

Selain itu sekolah juga memberikan fasilitas pengadaan SIM massal bagi siswa seperti yang diungkapkan JM:

“Sejak dulu kami sudah biasa mengadakan SIM massal, sebagai suatu langkah kami untuk menegakkan siswa supaya mempunyai surat ijin mengemudi, itu sejak awal sebelum ada program pendidikan etika lalu lintas, kami sudah tegakkan itu” (JM/16-9-2013).

Berdasarkan hasil wawancara dari narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa sarana prasarana atau fasilitas yang ada dalam mendukung pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta masih sebatas pada pengadaan rambu-rambu lalu lintas, tempat parkir serta adanya fasilitas bagi siswa yang berupa pengadaan SIM secara massal yang dilakukan sekolah untuk memberikan sarana bagi siswa yang belum memiliki surat ijin mengemudi atau SIM.

4. Kewenangan

George C. Edward III menegaskan bahwa kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga tersebut dalam melaksanakan kebijakan. Kewenangan yang didapat oleh SMA Negeri 5 Yogyakarta dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas adalah dalam hal pengelolaan dana, hal ini diungkapkan oleh SS :

“Dinas Pendidikan kota yang bekerjasama dengan Astra Honda memberikan dana, kemudian dana tersebut dikelola oleh sekolah untuk keperluan pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, tetapi kami juga diharuskan melaporkan penggunaan dananya” (SS/21-9-2013).

Selain kewenangan masalah pengelolaan dana yang diberikan dari Dinas Pendidikan, sekolah juga diberikan kebebasan dalam menyusun rencana pembelajaran , seperti yang diungkapkan SF:

“Kami membuat perangkatnya silabus dan RPP, karena sudah ada contoh-contoh dari tim yang sudah membuat, tim dari pendidikan etika lalu lintas tersebut”(SF/18-9-2013).

Pembuatan dan penyusunan perangkat pembelajaran menjadi tanggung jawab dari para pendidik, hal serupa juga diungkapkan BS:

“Mengembangkan sendiri yang tepat materi apa, maka dimasukkan kedalam silabus” (BS/19-9-2013).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kewenangan sekolah untuk pelaksanaan

kebijakan pendidikan etika lalu lintas adalah kewenangan dalam hal pengelolaan dana dan pembuatan perangkat pembelajaran.

c. Disposisi (Disposition)

Warga sekolah menunjukkan sikap positif atau mendukung kebijakan pendidikan etika lalu lintas hal ini dikarenakan penanaman ketertiban sekolah yang sudah terbangun menjadi faktor pendukung mereka dalam merespon kebijakan pendidikan etika lalu lintas, seperti yang diungkapkan WS:

“Ya responnya cukup bagus, artinya apa karena dilain pihak sudah terbiasa dengan kegiatan ketertiban. Apalagi SMA 5 juga menegakkan ketertiban disana juga sebelum adanya program pendidikan etika lalulintas kami sudah lebih awal menekankan ketertiban kendaraan artinya kelengkapan kendaraan bermotor harus ada tidak boleh suaranya keras, kaca spion harus ada dan motor tidak boleh dimodifikasi sehingga mengurangi kenyamanan pengendara sepeda motor itu sendiri” (WS/17-9-2013).

Sikap positif juga diungkapkan oleh BS:

“Respon sekolah sangat baik, salah satu contoh yang sangat besar peranannya adalah sekolah mengeluarkan kebijakan kepada kelas 10 untuk tidak boleh membawa sepeda motor ke sekolah, karena sesuai aturan ia belum berhak memiliki surat ijin mengemudi (SIM), oleh sebab itu supaya tidak menjadi masalah dan kami mendukung pendidikan etika lalu lintas” (BS/19-9-2013).

Respon positif implementator terhadap kebijakan diakibatkan karena sekolah telah menanamkan kebiasaan terhadap tata tertib sekolah, sehingga dengan penanaman tersebut mereka dapat menerima kebijakan. Selain itu dukungan sekolah sebagai instansi pelaksana kebijakan sangat dibutuhkan demi keberhasilan kebijakan pendidikan etika lalu lintas.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi mencakup dimensi standar prosedur operasi (standard operating procedure) dan mencakup dimensi fragmentasi (fragmentation).

1) Standar Prosedur Operasi

Standar prosedur operasi akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya. Terkait dengan standar prosedur operasi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas, WS menuturkan :

“Standarnya mengacu pada pedoman dari Dinas Pendidikan kota dan Peraturan Wali Kota” (WS/17-9-2013).

Hal serupa juga diungkapkan oleh SS:

“Ada petunjuk-petunjuk dari Dinas Pendidikan, melalui tim dan SK” (SS/21-9-2013).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa standar prosedur operasi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilaksanakan berdasarkan petunjuk-petunjuk atau pedoman penyelenggaraan pendidikan etika lalu lintas yang berasal dari Peraturan Walikota dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yang bekerjasama dengan Astra Honda Motor.

2) Fregmentasi

Persebaran tanggung jawab pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilakukan dengan koordinasi dengan pihak-pihak lain, hal tersebut dilakukan supaya untuk melaksanakan kebijakan pendidikan etika lalu lintas dapat berhasil, seperti yang disampaikan oleh JM:

“Sekolah bekerjama dengan kepolisian mengadakan safety riding yang dulu pernah dilakukan di Dinas Pendidikan” (JM/16-9-2013).

Hal serupa juga diungkapkan SF:

“Dinas Pendidikan dan kepolisian dalam membuat perangkat pembelajaran” (SF/18-9-2013).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, sekolah bekerjasama atau berkoordinasi dengan pihak-pihak lain dalam mendukung dan mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan dengan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan kepolisian.

Persebaran tanggung jawab terkait dengan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilakukan dengan berbagai pihak. Koordinasi dilakukan oleh sekolah dengan dinas pendidikan, kepolisian dan Astra Honda Motor.

Dokumen terkait