• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ETIKA LALU LINTAS DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ETIKA LALU LINTAS DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA."

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLE    EMENTASI D gu PROG JURUSAN UN I KEBIJAK DI SMA N

Diajukan Kep Univer untuk Mem una Memper N GRAM STU N FILSAFA FAKULT NIVERSITA SE KAN PEND NEGERI 5 Y

SKRIP pada Fakult rsitas Neger menuhi Seba roleh Gelar Oleh Furi Rom NIM. 09110 UDI KEBIJ AT DAN SO TAS ILMU AS NEGER EPTEMBE DIDIKAN YOGYAKA PSI

(2)
(3)
(4)
(5)

 

MOTTO

“Jangan menunggu karena tak akan ada waktu yang tepat. Mulailah dari sekarang, dan berusahalah dengan segala yang ada. Seiring waktu, akan ada cara yang lebih

baik asalkan tetap berusaha” (Napoleon Hill).

(6)

 

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Kedua orangtua, Bapak Darno dan Siti Juariyah yang selalu memberikan doa, motivasi dan dukungan.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta 3. Agama, Nusa, dan Bangsa

(7)

 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ETIKA LALU LINTAS DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA

Oleh Furi Romzah NIM 09110244002

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas dan Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 5 Yogyakarta. Subjek penelitian terdiri dari Kepala Sekolah, guru, siswa di SMA Negeri 5 Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan kajian dokumen. Keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan teknik. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilaksanakan melalui kegiatan pengintegrasian kedalam mata pelajaran, budaya sekolah dan pengembangan diri. Pengintegrasian pendidikan etika lalu lintas dalam mata pelajaran dilakukan dengan cara memasukkan etika lalu lintas kedalam silabus dan RPP yang relevan dengan materi yang ada. Pendidikan etika lalu lintas kedalam budaya sekolah dilakukan melalui kegiatan rutin, keteladanan dan pengkondisian. Sedangkan dalam pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler Patroli Keamanan Sekolah atau PKS, PMR, dan Pramuka. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta yaitu faktor Komunikasi yang terdiri atas transmisi dan kejelasan berjalan dengan baik. Faktor Sumber daya anggaran dan fasilitas sarana prasarana masih minim, karena sekolah masih mengandalkan bantuan dana dari dinas pendidikan serta sekolah belum menganggarkan kedalam APBS. Faktor disposisi pelaksana kebijakan cukup baik, karena sekolah telah membangun dan menekankan kedisiplinan selain itu para pelaksana kebijakan atau guru telah mengerti tentang konsep kebijakan pendidikan etika lalu lintas. Faktor Struktur birokrasi mencakup standar prosedur operasi atau SOP dan fregmentasi. SOP mengacu pada pada pedoman yang telah dibuat oleh dinas pendidikan kota Yogyakarta. Koordinasi dilakukan sekolah dengan dinas pendidikan kota Yogyakarta dan astra honda motor.

(8)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan kehendak-Nya skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakata” dapat terselesaikan.

Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana berkat bantuan serta dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan kelancaran penyusunan skripsi ini.

3. Djoko Sri Sukardi, M. Si dan L. Hendrowibowo, M. Pd. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Kepala sekolah, guru, siswa, dan seluruh staf SMA Negeri 5 Yogyakarta yang telah mengizinkan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Prodi Kebijakan Pendidikan, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah berbagi dan mengajarkan ilmunya.

6. Kedua orangtua Bapak Darno dan Ibu Siti Juariyah yang telah memberikan dukungan baik materil maupun spiritual.

7. Kakak dan adik, Kis Imantoro dan Arti Wantri yang selalu memberikan dukungan serta semangat.

(9)
(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Batasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 7

E.Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Deskripsi Teori ... 9

1. Kebijakan Pendidikan ... 9

a. Pengertian Kebijakan ... 9

b. Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 11

(11)

d. Proses Kebijakan ... 16

2. Implementasi Kebijakan ... 19

a. Pengertian Implementasi Kebijakan ... 19

b. Model-model Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 21

B.Kosep Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 29

1. Pengertian Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 29

2. Bentuk dan Ruang Lingkup Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 30

3. Tujuan Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 31

4. Landasan Hukum ... 32

C.Penelitian Relevan ... 32

D.Kerangka Berpikir ... 33

E.Pertanyaan Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian ... 36

B.Setting Penelitian ... 36

C.Subjek Penelitian ... 37

D.Teknik Pengumpulan Data ... 37

1. Wawancara ... 37

2. Observasi ... 38

3. Kajian Dokumen ... 38

E.Instrument Penelitian ... 38

F. Teknik Analisis Data ... 40

1. Reduksi Data ... 40

2. Penyajian Data ... 40

3. Penarikan Kesimpulan ... 41

G.Keabsahan Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN A.Hasil Penelitian ... 42

(12)

2. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA

Negeri 5 Yogyakarta ... 51

a. Integrasi dalam Mata Pelajaran ... 51

b. Budaya Sekolah ... 53

c. Pengembangan Diri ... 60

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 61

a. Komunikasi ... 61

b. Sumber Daya ... 63

c. Disposisi ... 72

d. Struktur Birokrasi ... 73

B.Pembahasan ... 74

1. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 75

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 84

B.Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(13)

DAFTAR TABEL

[image:13.612.141.503.110.260.2]

hal

Tabel 3. 1 Kisi-kisi Instrumen Observasi ... 39

Tabel 3. 2 Kisi-kisi Instrumen Wawancara ... 39

Tabel 3. 3 Kisi-kisi Instrumen Kajian Dokumen ... 40

Tabel 4. 1 Jumlah Guru Berdasarkan Jenjang dan Status Kepegawaian ... 48

Tabel 4. 2 Jumlah Karyawan Berdasarkan Status Kepegawaian ... 49

Tabel 4. 3 Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar ... 49

(14)

DAFTAR GAMBAR

[image:14.612.134.502.100.284.2]

hal

Gambar 2. 1 Sekema Implementasi Kebijakan ... 20

Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir ... 34

Gambar 3. Rambu-rambu Lalu Lintas ... 115

Gambar 4. Slogan Himbauan Penataan Parkir ... 115

Gambar 5. Petunjuk Arah Parkir Guru dan Karyawan ... 115

Gambar 6. Sepeda Motor dilarang Melintas ... 115

Gambar 7. Parkir Sepeda Motor Siswa ... 115

Gambar 8. Parkir Sepeda... 115

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 90

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 91

Lampiran 3. Catatan Lapangan ... 94

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 100

Lampiran 5. Dokumen Foto ... 115

Lampiran 6. Perangkat Pembelajaran ... 116

Lampiran 7. Peratuan Gubernur DIY Nomor 54 Tahun 2011 ... 124

Lampiran 8. Pedoman Pendidikan Etika Lalu Lintas... 132

Lampiran 9. Surat-surat Perijinan ... 163

(16)

 

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman dengan segala kompleksitas permasalahannya membawa manusia pada era teknologi. Manusia mencoba untuk memikirkan, merumuskan, dan menghasilkan suatu hal, alat, atau perangkat yang dapat digunakan untuk membantu kegiatan sehari-harinya. Hal, alat, atau perangkat yang digunakan manusia untuk membantu kegiatannya tersebut bernama teknologi. Teknologi ini diciptakan oleh manusia berangkat dari adanya faktor ketidakefektifan dan kesulitan yang dialami dalam menyelesaikan kegiatan sehari-harinya. Teknologi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri pula yang kemudian membantu manusia dalam beraktifitas secara efektif dan lebih mudah, dan kemudian menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

(17)

 

Salah satu permasalahan yang dialami oleh manusia adalah dalam mobilitas sehari-hari. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti bekerja, menempuh studi, atau kegiatan-kegiatan yang lain, manusia dituntut untuk dapat mendayagunakan waktu yang dimilikinya dengan baik sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lebih maksimal. Manusia membutuhkan suatu alat atau perangkat tertentu yang dapat membantunya dalam melakukan mobilitas dalam aktifitas sehari-harinya agar lebih mudah.

Teknologi menjadi jawaban atas permasalahan yang dialami oleh manusia dalam urusan mobilitas. Manusia kemudian menciptakan dan memanfaatkan teknologi untuk menunjang mobilitas sehari-harinya tersebut. Manusia menciptakan dan menggunakan teknologi salah satunya dalam bentuk kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor terbukti sangat menunjang mobilitas manusia dalam kegiatan sehari-harinya. Hampir semua orang menggunakan dan ingin memiliki dengan berbagai faktor pendorongnya. Tidak mengherankan jika kendaraan bermotor ini kemudian menjadi satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari dan bahkan kemudian membentuk budaya tersendiri. Manusia pun kemudian juga berlomba-lomba untuk memilikinya secara pribadi. Laju pertambahan kepemilikan kendaraan bermotor ini menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari.

(18)

 

merambah daerah perdesaan, kepraktisan dan keefektifan, serta penghematan biaya operasional sehari-hari. Maraknya pertambahan laju kendaraan ini membawa serta munculnya tren yang kemudian membentuk budaya tersendiri. Kendaraan tidak lagi dipandang sebagai salah satu alat penunjang untuk mempermudah kegiatan sehari-hari, namun telah menjadi sebuah gaya hidup tersendiri. Kendaraan tidak lagi dianggap dari segi fungsionalitas saja, tetapi sudah menjadi tuntutan bahkan keharusan untuk memiliki meski tetap tidak dapat memungkiri sisi manfaatnya.

Tren kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi ini juga merambah kalangan pelajar. Jika beberapa waktu lalu sangat umum dan banyak ditemui kalangan pelajar menggunakan kendaraan umum atau memanfaatkan bus yang disediakan oleh pihak sekolah untuk berangkat dan pulang sekolah, maka tidak untuk saat ini. Salah satu contoh, Kalangan pelajar diwilayah Yogyakarta telah banyak menggunakan kendaraan pribadi khususnya motor dengan proporsi sekolah menengah pertama atau SMP (27,4) dan sekolah menengah atas atau SMA (42%) (Achmad Faris, 2011: http://farismind.wordpress.com/2011).

(19)

 

masalah tersendiri dari segi kepadatan lalu lintas dan keamanan berlalu lintas bagi pelajar itu sendiri.

Lalu lintas di Indonesia yang sudah lebih ramai daripada beberapa waktu lalu karena masyarakat secara berangsur-angsur meninggalkan kendaraan umum dan beralih ke kendaraan pribadi, kini semakin bertambah ramai dengan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor dikalangan pelajar. Para pelajar yang dulunya tidak berperan dalam faktor utama penyebab kemacetan, kini telah berubah menjadi sebaliknya. Para pelajar telah sedikit banyak menyumbangkan keramaian dan kemacetan lalu lintas terbesar di jam-jam sibuk lalu lintas.

Keramaian lalu lintas dan kurang layaknya sarana prasarana lalu lintas menjadi dua di antara beberapa yang kemudian dikambinghitamkan menjadi penyebab terjadinya kecelakaan berlalu lintas di Indonesia. Namun, andaikan pengguna jalan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, memahami bagian-bagian kendaraan dan fungsinya, mematuhi peraturan perundangan lalu lintas dan angkutan jalan, serta memahami dan menerapkan sikap normatif pengendara dan etika berkendara, tentunya kecelakaan lalu lintas ini bisa dihindari.

(20)

 

Indonesia 67% didominasi oleh usia produktif atau usia pelajar (Rizki Maulana, 2012: http://news.detik.com/2012). Untuk wilayah Yogyakarta yang menjadi fokus penelitian ini, jumlah kecelakan lalu lintas pada tahun 2011 berdasarkan data kepolisian daerah istimewa Yogyakarta mencapai angka 4.411 kasus sedangkan korban tewas mencapai 518 orang dan sekitar dua pertiga korban tewas tersebut beridentitas pelajar.

Tingginya angka kecelakan yang dialami oleh pelajar ini juga akan semakin menambah angka dan jumlah korban kecelakaan secara keseluruhan karena kecelakan ini tidak hanya terbatas pada kecelakaan tunggal saja. Kecelakaan yang dialami oleh pelajar ini juga sering melibatkan pengguna jalan lain, dan yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakan yang melibatkan para pelajar ini apakah satu atau beberapa dari faktor umumnya menjadi penyebab kecelakaan masih perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.

Tingginya angka kecelakaan pelajar ini jelas menjadi suatu kondisi yang memperihatinkan mengingat pelajar (pemuda) adalah tonggak bangsa. Sungguh disayangkan jika para calon penerus bangsa mati sia-sia karena kecelakaan lalu lintas, menjadi suatu kerugian tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa lain jika orang-orang yang berpotensi memajukan negara ini tidak dapat berkontribusi karena menjadi korban kecelakaan.

(21)

 

Kepolisian Republik Indonesia No.03/III/KB/2010 dan No.B/9/III/2010 tanggal 8 Maret 2010, tentang Mewujudkan Pendidikan Nasional dalam Berlalu Lintas. Terkait surat keputusan bersama tersebut, pemerintah provinsi daerah istimewa Yogyakarta mendukung sepenuhnya pelaksanaannya, dukungan tersebut dilakukan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menerbitkan kebijakan melalui Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 54 Tahun 2011 tentang Pendidikan Etika Berlalu Lintas pada Satuan Pendidikan. Kebijakan ini mengharuskan pendidikan etika berlalu lintas menjadi muatan wajib dari kurikulum yang akan dipergunakan di satuan pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK). Pendidikan etika berlalu lintas ini dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan.

Dengan kebijakan tersebut diharapkan lingkungan satuan pendidikan menjadi tempat untuk memberikan penanaman dan pengembangan etika dan kesadaran berlalu lintas dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan untuk mendorong terwujudnya kesadaran berlalu lintas dan menekan angka kecelakan yang dialami oleh para pelajar.

(22)

 

kendaraan bermotor kesekolah dengan berbagai alasan, padahal usia mereka belum memenuhi syarat mempunyai SIM, selain itu masih terdapat beberapa siswa yang berkendara tidak menggunakan helm dan berboncengan lebih dari satu.

Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.

B.Identifikasi Masalah

1. Tingginya angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar 2. Meningkatnya pelanggaran lalu lintas

3. Kurangnya pemahaman tentang etika berlalu lintas di kalangan pelajar 4. Masih rendahnya kesadaran pelajar tentang tertib dan etika lalu lintas. C.Batasan Masalah

Agar Masalah yang di teliti mempunyai batasan dengan lingkup penelitian yang jelas dan lebih fokus maka permasalahan dalam penelitian ini di batasi pada studi implementasi kebijakan Pendidikan etika lalu lintas dan faktor-faktor yang mempengaruh implementasi kebijakan.

D.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ?

(23)

 

E.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.

E.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan Pendidikan etika lalu lintas, sehingga dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya. 2. Bagi Institusi Sekolah

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan khususnya dalam menerapkan kebijakan Pendidikan etika lalu lintas.

3. Bagi Institusi Universitas Negeri Yogyakarta

Menambah referensi dalam proses belajar-mengajar mengenai kebijakan, khususnya mengenai kebijakan pendidikan etika lalu lintas.

3. Bagi Prodi Kebijakan Pendidikan

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah refrensi tentang implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas.

4. Bagi Peneliti

(24)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Kebijakan Pendidikan

a. Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari

bahasa Yunani, yaitu polis yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan,

kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan

mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Senada dengan hal

tersebut Monahan dan Heng, menyatakan bahwa kebijakan berkenaan

dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang

sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu

mereka berusaha mengejar tujuannya (Syafaruddin 2008 : 75).

Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang

mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau

pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya

hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk

mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. (Joko

Widodo 2012: 13).

Abidin memberikan penjelasan kebijakan sebagai keputusan

pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota

masyarakat. Sedangkan Nichols berpendapat bahwa kebijakan adalah

(25)

pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang dan

rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.

(Syafaruddin 2008: 75-76).

Pendapat lain dikemukakan oleh Hug Heclo yang melihat

kebijakan sebagai cara bertindak yang disengaja untuk menyelesaikan

beberapa permasalahan. Sedangkan James E. Anderson juga

memberikan pandangan kebijakan sebagai perilaku sejumlah aktor

(pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau serangkaian aktor

dalam suatu bidang kegiatan (Arif Rohman, 2008: 108).

Konsep kebijakan menurut Syafaruddin (2008: 76) merupakan

seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan

yang membimbing organisasi. Kebijakan dengan demikian mencakup

keseluruhan petunjuk organisasi. Dengan kata lain, kebijakan adalah

hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang

intinya berupa tujuan-tujuan, prinsip-prinsip, aturan-aturan yang

mengarahkan organisasi melangkah ke masa depan. Secara ringkas

ditegaskan bahwa hakikat kebijakan adalah sebagai petunjuk organisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

kebijakan merupakan serangkaian upaya atau tindakan yang dilakukan

atau diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dan dibuat

secara terencana dan memiliki prinsip-prinsip dalam bertindak untuk

(26)

b. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing

lagi dalam kehidupan berbangsa, konsep yang sering kita dengar, kita

ucapkan dan kita lakukan, Kebijakan pendidikan merupakan keputusan

berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun

kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar

yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan,

program serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan

pendidikan (Arif Rohman, 2009: 109).

Kebijakan Pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara

atau kebijakan publik pada umumnya. Kebijakan pendidikan

merupakan kebijakan publik yang mengatur penyerapan sumber,

distribusi dan pengaturan perilaku dalam pendidikan.

Menurut H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140)

mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan

proses dan hasil perumusan langkah-langkah dan strategis pendidikan

yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk

mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat

untuk suatu kurun waktu tertentu.

Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan publik

dibidang pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan dibangun sesuai

dengan kepentingan publik. Kebijakan pendidikan berhubungan dengan

(27)

meningkatnya kritisme lingkungan publik mengenai biaya pendidikan.

Dengan demikian kebijakan pendidikan harus dirumuskan dengan baik

untuk mencapai tujuan pembangunan negara dan bangsa dibidang

pendidikan (H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, 2008 : 268).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pendidikan adalah suatu sistem yang dijadikan sebagai

pedoman untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari perumusan

strategis dalam mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan.

c. Teori Perumusan Kebijakan

Dalam khasanah teori perumusan kebijakan, dikenal setidaknya

tiga belas teori perumusan kebijakan, yaitu:

1) Teori Kelembagaan

Teori ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari

pemerintah, disetiap sektor dan tingkat, dalam formulasi kebijakan.

Teori kelembagaan sebenarnya merupakan derivasi dari ilmu politik

tradisional yang lebih menekankan struktur dari pada proses atau

perilaku politik. Prosesnya mengandaikan bahwa tugas formulasi

kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan

secara otonom tanpa berinteraksi dengan lingkungannya.

2) Teori Proses

Dalam teori ini para pengikutnya menerima asumsi bahwa

(28)

Maka dari itu di dalam kebijakan selalu berkaitan dengan proses

politik.

3) Teori Kelompok

Teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik

keseimbangan. Inti gagasannya adalah interaksi dalam kelompok

akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang

terbaik.

4) Teori Elit

Teori ini menandaskan bahwa dalam setiap masyarakat pasti

terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan

yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Sedemokrasi apapun

selalu ada bias dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya

kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik

dari para elit.

5) Teori Inkrementalis

Teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi

atau kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu, dapat dikatakan sebagai

teori pragmatis/praktis. Inti dari kebijakan inkrementalis adalah

berusaha mempertahankan komitmen kebijakan dimasa lalu untuk

mempertahankan kinerja yang telah dicapai.

6) Teori Rasionalisme

Teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik

(29)

pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan

mamfaat optimum bagi masyarakat.

7) Teori Demokratis

Teori ini dapat dikatakan sebagai teori demokratis karena

menghendaki agar setiap pemilik hak demokratis diikutsertakan

sebanyak-banyaknya.

8) Teori Strategis

Teori ini merupakan salah satu derivat manajemen dari teori

rasional karena mengandaikan bahwa proses perumusan kebijakan

adalah proses rasional, dengan pembedaan bahwa teori ini lebih

fokus pada rincian-rincian langkah manajemen.

9) Teori Pengamatan Terpadu

Teori ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi

keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan

proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang

menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang

mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya

setelah keputusan itu tercapai.

10) Teori Permainan

Teori permainan adalah teori yang sangat abstrak dan dekdutif

dalam formulasi kebijakan. Teori ini mendasarkan pada formulasi

(30)

tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh aktor

pembuat kebijakan.

11) Teori Pilihan Publik

Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi

keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan

terhadap keputusan tersebut. Teori ini memiliki kelemahan pokok

dalam realitas interaksi itu sendiri, karena interaksi akan terbatas

pada publik yang memiliki akses, dan disisi lain terdapat

kecendurungan dari pemerintah untuk memuaskan pilihannya

daripada masyarakat luas.

12) Teori Sistem

Teori ini merupakan yang paling sederhana namun cukup

komperhensif meski tidak memadai lagi untuk dipergunakan sebagai

landasan pengambilan keputusan atau formulasi kebijakan publik.

Kelemahan dari teori ini adalah terpusatnya perhatian pada

tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah yang membuat kita kehilangan

perhatian dengan apa yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah.

13) Teori Deliberatif

Teori deliberatif atau musyawarah pada perumusan kebijakan

dapat juga dilihat pada bagian analisis kebijakan dengan teori

deliberative policy analysis di depan. Proses teori ini jauh lebih

berbeda dengan teori-teori teknokratik. Karena peran dasar analisis

(31)

sendiri keputusan kebijakan atas dirinya sendiri. Disini peran

pemerintah hanya sebagai legislator dari kehendak publik. (H.A.R.

Tilaar & Riant Nugroho, 2008: 190-210).

d. Proses Kebijakan

Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam

tahapan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik

pemerintah maupun non-pemerintah. Proses perumusan kebijakan

menjadi sangat penting dikarenakan banyak faktor yang perlu

dipertimbangkan di dalam merumuskanya. Selain itu, para ahli harus

menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan

kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur

perumusan kebijakan, serta faktor-faktor lainnya. Menurut William

Dunn (Budi Winarno, 2007: 32-34) tahapan-tahapan kebijakan publik

adalah sebagai berikut :

1) Tahap penyusunan agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat

kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih

masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk

dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan

dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi.

Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda

untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus

(32)

mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang

dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki

argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap

penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana

saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah

kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan

yang tepat.

2) Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi

didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.

Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau

pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada. Sama

halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam

agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing

alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang

diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing

aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah

terbaik.

3) Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya

akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk

(33)

sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy

legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi.

Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan

memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan

diimplementasikan.

4) Tahap Implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan

elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Keputusan

program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan

masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh

badan-badan administrasi maupun agenda-agenda pemerintah di tingkat

bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan

manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan

saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat

dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain

mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5) Tahap evaluasi kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai

atau dievaluasi, untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat

telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya

dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini,

(34)

2. Implementasi Kebijakan

a. Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam

proses kebijakan. Suatu kebijakan atau program harus

diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang

diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas

merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur,

teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk

menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang

diinginkan.

Menurut Van Mater dan Van Horn (Arif Rohman, 2009: 134)

implementasi kebijakan disebut sebagai keseluruhan tindakan yang

dilakukan oleh individu-individu, pejabat-pejabat atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapain

tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. yakni

tindakan-tindakan yang merupakan usaha sesaat untuk mentransformasikan

keputusan kedalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan

untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang di

amanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

Terkait dengan masalah implementasi kebijakan Riant Nugroho

(2004: 158) mendefinisikan bahwa :

(35)

bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut”.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Dalam mengimplementasikan

kebijakan terdapat dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi

kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara

umum rangkaian kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut :

[image:35.595.161.516.303.645.2]

(Sumber: Riant Nugroho, 2012: 675).

Gambar 2.1 Sekema Implementasi Kebijakan. Program

Proyek Kebijakan Publik

Kebijakan publik penjelas

Kegiatan

(36)

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

implementasi kebijakan adalah sesuatu yang berkaitan dengan cara agar

kebijakan dapat mencapai tujuan yang mengandung suatu unsur

tindakan Serta merupakan usaha berkelanjutan dalam

mentransformasikan keputusan dalam mencapai perubahan baik

perubahan secara besar maupun scara kecil.

b. Model-model Implementasi Kebijakan Pendidikan

1) Brian W . Hogwood dan Lewis a Gunn

Menurut kedua ahli ini, untuk dapat mengimplementasikan

suatu kebijakan secara sempurna maka dibutuhkan banyak syarat.

syarat-syarat tersebut adalah:

a) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi

pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang

serius.

b) Untuk pelaksana suatu program, harus tersedia waktu dan

sumber-sumber yang cukup memadai.

c) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus bener-bener ada

dan tersedia.

d) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu

hubungan kausalitas yang handal.

e) Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan

hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

(37)

g) Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap

tujuan.

h) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang rapat.

i) Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j) Pihak-pihak memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2) Van Meter dan Van Horn

Menurut teori ini menyatakan bahwa implementasi kebijakan

berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan

kinerja kebijakan. Teori ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan

dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan (AG.

Subarsono, 2010: 99), variabel-variabel tersebut adalah:

a) Standar dan tujuan kebijakan

Standar dan tujuan harus jelas dan terukur sehingga dapat

terealisir. Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan

terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik antara

para agen implementasi.

b) Sumber daya

Implementasi memerlukan dukungan sumber daya manusia

maupun non-manusia.

c) Hubungan antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu

(38)

koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu

program.

d) Karakteristik pelaksana

Karakteristik agen pelaksana meliputi struktur birokrasi,

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu

program.

e) Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini meliputi sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.

f) Disposisi implementor atau sikap para pelaksana

Sikap mereka dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu

kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap

kepentingan-kepentingan organisasi dan pribadinya. disposisi

implementasi kebijakan diawali dengan penyaringan lebih dahulu

melalui persepsi dari pelaksana dalam batas mana kebijakan itu

dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat

mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk

melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama,

pengetahuan, pemahaman dan pendalaman terhadap kebijakan,

kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak

(39)

3) Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier.

Teori ini menurut beberapa ahli disebut sebagai ‘a frame work

for implementation analysis’ atau Kerangka Analisis Implementasi.

kedua ahli ini mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan

kedalam tiga variabel yang meliputi:

a) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap untuk dikendalikan,

b) Kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menstrukturkan

secara tepat proses implementasinya,

c) langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan

dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan

tersebut.

4) Edward

Model Edward mengajukan empat faktor atau variabel yang

berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi

kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain meliputi

variabel atau faktor communication, resource, disposition dan

bureaucratic structure (Joko Widodo, 2012: 96).

a) Faktof komunikasi (communication)

Komunikasi kebijakan berarti merupakan proses

penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy

maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementators).

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi,

(40)

dan konsistensi (consistency). Dimensi transformasi menghendaki

agar kebijakan dapat ditranformasikan kepada para pelaksana,

kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan.

Dimensi kejelasan (clary) menghendaki agar kebijakan

ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain

yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap

kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga diantara mereka

mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta

substansi dari kebijakan tersebut.

b) Sumber Daya (Resource)

Edward III mengemukakan bahwa faktor sumber daya juga

mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.

Lebih lanjut Edward III menegaskan bahwa bagaimanapun jelas

dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, serta

bagaimanapun akuratnya penyampaian kententuan-ketentuan, jika

para pelaksana kebijakan bertanggung jawab untuk melaksanakan

kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk

melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan

tersebut tidak akan efektif. Sumber daya sebagaimana telah

disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya

keuangan, sumber daya peralatan yang dipelukan dalam

(41)

(1) Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel

yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan

kebijakan. Sumber daya manusia atau staff, harus cukup dari

segi jumlah dan kualitas atau keahliannya. Selain itu Edward

juga menjelaskan bahwa sumber daya manusia harus

mengetahui apa yang harus dilakukan (knowing what to do).

Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan

(implementators) tersebut juga membutuhkan informasi yang

cukup tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara

melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting

(esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat

dalam pelaksanaan kebijakan (Joko Widodo 2012: 98-99).

(2) Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran diperlukan untuk membiayai

operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya sumber

daya anggaran, akan mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan kebijakan. Disamping itu program tidak akan

berjalan secara optimal, terbatasnya anggaran juga

menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah, bahkan

akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh pelaku

kebijakan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan

(42)

(3) Sumber Daya Peralatan (facility)

Sumber daya peralatan meliputi gedung, tanah, dan

sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan

pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III (Joko

Widodo, 2012: 102) menegaskan bahwa :

“physical facilities may also be critical resources in implementation. An implementator may have sufficient staff, may understand what he is supposed to do, may have authorityto exercise his task, but without the necessary bulding,equipment, supplies, and even green space implementation won’t succed”.

Dengan demikian, terbatasnya fasilitas dan peralatan

yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, menyebabkan

gagalnya pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang

tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong

motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan.

(4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

Sumber daya informasi juga menjadi faktor yang

penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi

yang relevan dan cukup tentang bagaimana cara

mengimplementasikan suatu kebijakan serta kerelaan atau

kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam

implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut dimaksudkan

agar pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu

kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana cara

(43)

Kewenangan menurut Geore E. Edward III menegaskan

bahwa kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat

keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan

mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu

kebijakan. Kewenangan menjadi penting ketika mereka

dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera

diselesaikan dengan suatu keputusan.

c) Disposisi (Disposition)

Edward III merupakan kemauan, keinginan, dan

kecendurungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan

kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi

tujuan kebijakan dapat diwujudkan (Joko Widodo, 2012: 104).

Disposisi akan muncul diantara para pelaku kebijakan,

manakala akan menguntungkan tidak hanya organisasi, tetapi juga

dirinya. mereka akan tahu hal tersebut manakala mereka cukup

pengetahuan dan mereka sangat mendalami dan memahami.

Pengetahuan, pendalaman, pemahaman kebijakan ini akan

menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak

terhadap kebijakan.

d) Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur

organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit

(44)

hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh

karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi

(fragmentation) dan standar prosedur operasi (standard operating

procedure) yang akan memudahkan dan menyeragamkan

tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa

yang menjadi bidang tugasnya.

Dimensi fregmentasi (fragmentation) menegaskan bahwa

struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan

gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan

mempunyai kesempatan yang besar berita/instruksinya akan

terdistorsi. Organisasi pelaksana yang terfragmentasi

(terpecah-pecah atau tersebar) akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan

kebijakan. semakin terfragmentasi organisasi pelaksana semakin

membutuhan koordiasi yang intensif.

Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu

adanya kerjasama yang baik dari banyak orang.

3. Konsep Pendidikan Etika Lalulintas

a. Pengertian Pendidikan Etika Lalu lintas

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

lintas dan Angkutan jalan, khususnya dalam Pasal 208 Ayat 2

menyatakan bahwa untuk membangun dan mewujudkan budaya

Keamanan dan Keselamatan Lalau Lintas dan Angkutan Jalan dapat

(45)

serta adanya sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu

lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Pendidikan etika lalu lintas (Pasal 1 Ayat (1)Pergub

DIY 54/2011) adalah penanaman budaya tertib berlalu lintas yang

dimulai dari pembiasaan-pembiasaan di satuan pendidikan.

b. Bentuk dan Ruang Lingkup Pendidikan Etika Lalu Lintas

1) Pengintegrasian dalam mata pelajaran

Pengintegrasian merupakan suatu proses penyatuan materi

etika berlalu lintas ke dalam mata pelajaran yang menjadi bagian

dari kompetensi dasar. Dalam pelaksanaan pengintegrasian, pendidik

melakukan analisis pemetaan SK/KD dengan memperhatikan

Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Hasil analisis

pemetaan ditindaklanjuti dalam pengembangan Silabus dan Rencana

Pelaksana Pembelajaran (RPP). Tata cara penyusunan analisis

pemetaan ditetapkan dengan keputusan kepala dinas.

2) Pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan

Pengembangan diri dalam pendidikan etika berlalulintas dapat

dilaksanakan melalui program pembiasaan dan atau kegiatan

ekstrakurikuler di satuan pendidikan. Pembiasaan dilaksanakan

melalui penanaman nilai-nilai ketaladanan, kedisiplinan, tanggung

jawab, dan kepedulian lingkungan. Kegiatan ekstrakurikuler

dilaksanakan melalui patroli keamanan sekolah, kepramukaan dan

(46)

dalam pendidikan etika berlalulintas dilaksanakan oleh seluruh

warga satuan pendidikan dengan dukungan dari masyarakat.

3) Pedoman penilaian etika berlalu lintas

Penilaian etika berlalu lintas sebagaimana dilaksanakan pada

waktu proses pembelajaran, dan atau akhir kegiatan pembelajaran.

Penilaian etika berlalu lintas dilaksanakan oleh pendidik, masyarakat

satuan pendidikan, dan atau pemangku kepentingan. Penilaian etika

berlalu lintas yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan

sikap dilakukan dengan cara tes dan nontes. Hasil penilaian etika

berlalu lintas menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan

keputusan nilai kepribadian peserta didik.

c. Tujuan Pendidikan Etika Lalu Lintas

Adapun tujuan pendidikan etika lalu lintas antaralain sebagai

berikut :

1) Menumbuhkembangkan norma etika berlalu lintas bagi peserta didik

melalui pengembangan pengetahuan dan pembiasaan etika lalu

lintas.

2) Meningkatkan keamanan, keselamatan dan ketertiban berlalu lintas.

3) Meningkatkan kelancaran dan kenyamanan dalam berlalu lintas.

4) Mewujudkan budaya tertib berlalu lintas yang santun dan

(47)

d. Landasan Hukum

1) Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

2) Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan angkutan jalan.

3) Keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor 03/III/KB/2010 dan Nomor B/9/III/2010 tentang Mewujudkan Pendidikan Berlalu Lintas dalam Pendidikan Nasional, perlu pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini.

4) Peraturan pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.

5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

6) Peraturan daerah kota yogyakarta Nomor 5 Tahun tentang, Sistem Pelayanan Pendidikan.

7) Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun 2011 tentang, Penididikan Etika Lalu Lintas pada Satuan Pendidikan.

8) Peraturan Walikota Nomor 40 Tahun 2010 tentang, Pelaksanaan Pendidikan Etika Beralu Lintas di Kota Yogyakarta (Naskah Akademik pendidikan etika lalu lintas, 2: 2013).

B.Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Lina Purnawati yang berjudul Efektifitas

Pembelajaran Etika Lalu Lintas Melalui Pendidikan Kewarganegaraan di

SMA Gita Bahari Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan

gambaran tentang bagaimana cara penerapan dan efektivitas pembelajaran

Etika Berlalu Lintas melalui pendidikan kewarganegaraan. Jenis penelitian

ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif.

Sumber data diperoleh dari responden dan dokumentasi. Hasil penelitan

yang diperoleh yaitu pembelajaran etika berlalu lintas telah dilaksanakan

setelah adanya pedoman pembelajaran etika berlalu lintas, pembelajaran

etika berlalu lintas adalah usaha sadar untuk menumbuhkan kesadaran tertib

(48)

timbulnya kecelakaan lalu lintas. Efektivitas pembelajaran etika berlalu

lintas dilihat dari adanya ketercapaian indikator pembelajaran etika lalu

lintas atau sesuai dengan standar kelulusan pada mata pelajaran PKN.

C.Kerangka Berpikir

Pemerintah provinsi daerah istimewa yogyakarta membuat kebijakan

melalui Peraturan gubernur daerah istimewa yogyakarta nomor 54 tahun 2011

tentang pendidikan etika lalu lintas pada satuan pendidikan. Kebijakan tersebut

juga didukung oleh pemerintah kota yogyakarta dengan menerbikan peraturan

walikota nomor 40 tahun 2012 tentang pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas

pada satuan pendidikan. Kemudian kebijakan tersebut ditindak lanjuti oleh

pihak SMA Negeri 5 Yogyakarta sebagai pelaksana kebijakan dengan

mengeluarkan Keputusan Kepala Sekolah nomor 875/750 tentang pelaksanaan

(49)
[image:49.595.142.453.95.629.2]

KERANGKA BERPIKIR

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir.

Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 50 Tahun 2011 tentang

Pendidikan Etika Berlalu lintas Pada Satuan Pendidikan

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2012 tentang

pelaksanaan Pendidikan Etika Berlalu lintas Pada Satuan Pendidikan

Kebijakan Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Yogyakarta Nomor : 875/750

Pemberian Tugas Pelaksanaan Pendidikan Etika Lalu lintas

Faktor Yang Mempengaruhi

1.Komunikasi 2.Sumber Daya 3.Disposisi

4.Struktur Organisasi

Hasil Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu

(50)

D.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas yang

terintegrasi dalam mata pelajaran ?

2. Bagaimana impementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dari aspek

budaya sekolah?

3. Bagaimana impementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dari aspek

pengembangan diri ?

4. Bagaimana Sumber daya yang ada dalam pendidikan etika lalu lintas ?

5. Bagaimanakah komunikasi yang dilakukan dalam mengimplementasikan

kebijakan pendidikan etika lalu lintas ?

6. Bagaimana disposisi atau sikap warga sekolah dalam mengimplementasikan

kebijakan pendidikan etika lalu lintas ?

7. Bagaimana struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan pendidikan

(51)

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan yang sebenarnya mengenai implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta serta faktor –faktor yang mempengaruhi pelaksanaanya, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi bagi lembaga pendidikan dalam mengembangkan pendidikan etika lalu lintas di sekolah.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan filsafat postpositivisme, dan digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, yang mana peneliti sebagai instrument kunci. teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2011: 15).

Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 29) pendekatan kualitatif adalah pendekatan dengan cara memandang objek kajian sebagai suatu sistem, artinya objek kajian dilihat sebagai satuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait dan mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada.

B.Setting penelitian

(52)

 

Yogyakarta ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk melaksanakan pendidikan etika lalu lintas.

C.Subjek Penelitian

Pemilihan subjek pada penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu dengan pertimbangan tertentu subjek penelitian dipandang paling tahu dan mengerti sehingga akan memudahkan peneliti dalam pengambilan data. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, Guru dan Siswa. Sedangkan data lain digali dari berbagai kajian dokumen yaitu data yang berhubungan dengan objek yang menjadi pembahasan.

D.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Supaya mendapatkan data tersebut, maka digunakan teknik-teknik pengumpulan data yang tepat. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data :

1. Wawancara

(53)

 

penelitian, yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, guru dan siswa.

2. Observasi

Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa, observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis (Sugiyono 2012: 145). Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai kondisi dan lingkungan sekolah serta aktivitas warga sekolah dalam mengimplementasi pendidikan etika lalu lintas.

3. Kajian Dokumen

Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.( Nana Syaodih 2009: 221).

Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data yang menjadi dokumen atau menjadi pustaka sekolah data yang diperlukan seperti profil sekolah, kurikulum sekolah, tujuan pembelajaran, standar isi, standar kompetensi, silabus, RPP dan struktur organisasi yang dimiliki SMA Negeri 5 Yogyakarta.

E.Instrumen Penelitian

(54)

 

[image:54.612.145.514.208.322.2]

pada dirinya sebagai alat pengumpul data. Akan tetapi instrumen penelitian yang dimaksud adalah sebagi alat pengumpulan data seperti membuat pedoman Wawancara, pedoman observasi dan dokumentasi terstruktur yang dibuat oleh peneliti sendiri.

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Observasi

No Aspek yang diamati Indikator Metode

1. Lokasi dan keadaan sekolah Sejarah sekolah Pengamatan peneliti Letak dan alamat

Kondisi bangunan Keadaan lingkungan 2. Proses Pelaksanaan

pembelajaran pendidikan etika lalu lintas

Interaksi warga sekolah Sarana prasarana Media

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Wawancara

No Aspek pengamatan  Indikator  Sumber data

1.

Implementasi Kebijakan pendidikan etika lalu lintas 

a.Integrasi dalam mata pelajaran  langkah-langkah integrasi dalam pembelajaran  Kepala Sekolah  Wakasek bidang kurikulum  Guru  Siswa  

b.Budaya sekolah  kegiatan rutin  keteladanan  pengkondisian c.Pengembangan diri

 kegiatan ekstrakurikuler 2. Faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas 

a.Sumber Daya b.Disposisi c.Struktr Birokrasi d.Komunikasi

[image:54.612.145.512.383.611.2]
(55)
[image:55.612.142.515.101.239.2]

 

Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Kajian Dokumentasi

No Aspek yang dikaji Indikator Sumber data 1. Arsip sekolah a. Profil sekolah

b. Visi misi c. Data siswa d. Data pendidik dan

tenaga kependidikan e. Sarana prasarana

Dokumen Foto

2. Buku a. Silabus

b. RPP

Dokumen

F.Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2012: 242). Aktivitas dalam analisis data, yaitu :

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, sehingga data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data. (Sugiyono, 2010: 338).

2. penyajian data (Display Data)

(56)

 

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat mendukung yang mendukung, pada tahap pengumpulan data berikutnya, tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

G. Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibelitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh dari beberapa sumber. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. 

(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Deskripsi SMA Negeri 5 Yogyakarta

a. Sejarah SMA Negeri 5 Yogyakarta

SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah unggulan di kota

yogyakarta. Sekolah ini diprakarsai oleh tokoh pendidikan dan tokoh

masyarakat antara lain Bapak R.DS. Haidiwidjono, Bapak Jujanal, Prof.

Ir. Supardi, SH. Pada tanggal 17 September 1949, SMA 5 Yogyakarta

secara resmi dapat didirikan dengan nama Sekolah Menengah Atas

Bagaiab Yuridis Ekonomis (SMA/ AC) dan menempati 9 gedung SMA

Putri Stella Duce Yogyakarta.

Pada tanggal 27 Oktober 1949, melalui Surat Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebuayaan Nomor 210 B, SMA/C Negeri. Sebagai

Kepala Sekolah adalah Bapak R.DS. Haiwidjono. Tanggal 31 Maret

1950 pimpinan sekolah diserahterimakan kepada Bapak RA. Djoko

Tirtono, SH. Di bawah pimpinanannya SMA bagian C berkembang

pesat. Pada tanggal 21 Juli 1952 melalui SK Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 3094/B, SMA/C dipecah menjadi 2 sekolah,

masing-masing:

1) SMA bagian C Negeri 1 di bawah pimpinan Bapak Parmanto, SH.

Yang menempati tempat di Jalan Pogung No. 2 Kotabaru Yogyakarta,

(58)

2) SMA bagian C Negeri II dipimpin Bapak RA. Djoko Tirtono, SH.

Yang menempati gedung yang sama tetapi masuk pada pagi hari

(sekarang menjadi SMA N 6 Yogyakarta).

Untuk mengatasi kemajuan jaman dan menyiapkan siswa ke

jenjang Perguruna Tinggi, maka pada tanggal 1 Agustus 1959 SMA

Negeri 5 bagian C dijadikan SMA Negeri 5 bagian A-C, Pada tahun

tersebut berhasil dibakukan:

1) Tanggal 1 Januari 1964 jabatan Kepala Sekolah diserahterimakan

kepada bapak Drs. Hadianto. Jumlah kelas dikembangkan dari 12

menjadi 14 kelas dengan mengelola jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam,

Sosial, dan Budaya.

2) Tanggal 1 Agustus 1965 Kepala Sekolah diserahterimakan lagi

kepada bapak R. Muh. Solihin, yang kemudian beliau membuka

kelas jauh di Kalasan sebagai filial dengan pimpinan bapak

Suwardhi, BA.

Pada tahun 1974 SMA N 5 Yogyakarta mendapat limpahan tugas

untuk mengelola SMPP 10 Yogyakarta, yang sekarang menjadi SMA

Negeri 8 Yogyakarta. Pada bulan Januari 1974 SMA N 5 Yogyakarta

bersama-sama SMPP 10 Yogyakarta pindah dari Kotabaru ke Jalan

Kenari Muja Muju Yogyakarta. Pada saat itu dirasakan ada dualisme

pengelolaan administrasi dalam satu lingkungan pendidikan sehingga

berakibat nyaris punahnya nama SMA N 5 Yogyakarta. Dengan

(59)

S Handrioetomo pada tanggal 14 April 1975, SMA N Yogyakarta

dapat menggeliat untuk bangkit berdiri sendiri. Upaya besar telah

dilakukan oleh Ibu S. Handrioetomo yaitu agar SMA N 5 Yogyakarta

dapat memiliki gedung sendiri.

Tanggal 1 April 1979 dilaksanakan serah terima jabatan kepala

sekolah kepada Bapak Drs. A. Sulistijo karena Ibu S. Handioetomo

menjalani masa purna tugasnya. Janji Siswa Panca Prasetya Bhineka

Dharma Siswa Puspanegara dijadikan acuan dalam memantapkan

keberadaan sekolah sebagai wiyata mandala. Tanggal 24 Agustus 1981

jabatan kepala sekolah diserahterimakan kepada bapak Suwardhi.

Pada tanggal 1 Oktober 1985, terjadi serah terima jabatan kepala

sekolah kepada Bapak Drs. Soehardjo. Di bawah kepemimpinan beliau,

sekolah melaksanakan kerja keras dalam bidang administrasi

persekolahan, kesehatan dan kerindangan lingkungan sekolah, juga

memantapkan sekolah sebagai Wawasan Wiyata Mandala melalui

kebersamaan dan kekeluargaan.

Tanggal 17 Februari 1992 dilakukan serah terima jabatan kepala

sekolah kepada Ibu Dra. Sri Soewarni. Beliau berusaha meningkatkan

keberadaan sekolah sebagai wujud Wawasan Wiayata Mandala melalui

kebersamaan dan kekeluargaan. Tanggal 2 September 1992 terjadi serah

terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak R.M. Brotohardono. Beliau

merintis berdirinya Yayasan Puspanegara sebagai wadah alumni SMA N

(60)

pengurus BP3 SMA 5 Yogyakarta dari bapak Prof. Haditono kepada

bapak Drs. Pratikto.

Pada tanggal 14 Agustus 1995, terjadi serah terima jabatan kepada

bapak Drs. H. Ngaburrachim beliau berusaha melanjutkan

program-program dari pejabat lama yang belum terselesaikan. Melalui kerjasama

yang harmonis dengan pengurus BP3 mengupayakan program baru untuk

jangka pendek dan jangka 5 tahun, antara lain:

1) Pengukuhan Yayasan Puspanegara sebagai wadah kegiatan darma bakti keimanan SMA N 5 Yogyakarta.

2) Peningkatan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan sekolah 3) Peningkatan dan penertiban aministrasi sekolah/pendidikan

4) Peningkatan prestasi belajar melalui program intensifikasi belajar di sekolah

5) Pembangunan ruang kantor dan guru 2 lantai sebagai wajah SMA N 5 Yogyakarta

6) Pembangunan sarana tempat ibadah

7) Mengupayakan agar sekolah berprestasi sebagai sekolah tipe A (Sumber: Dokumen Profil Sekolah SMA Negeri 5 Yogyakarta).

Mulai tanggal 1 Juli 1999 SMA N 5 Yogyakarta diserahterimakan

kepada bapak Drs. Panut S, karena bapak Drs. H. Ngaburrachim

menjalani masa purna tugas. Bapak Drs. Panut S. Menjabat untuk

beberapa bulan. pada Desember 1999 datanglah kepala sekolah yang

baru yaitu bapak Drs. H. Ilham. Pada periode bapak Drs. H. Ilham

program utama yang paling ditekankan adalah peningkatan ketaqwaan

sehingga pada saat ini salah satu wujud adalah diresmikannya masjid

SMA N 5 Yogyakarta dengan nama beliau menjabat hingga purna tugas,

mengingat perlu adanya pejabat kepala sekolah di SMA N 5 Yogyakarta,

(61)

N 7 Yogyakarta, ditunjuk Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk

menjabat sementara sebagai kepala sekolah.

Tanggal 25 Maret 2002 kepala sekolah dijabat oleh Bapak Drs.

H. Abu Suwardi. Pada periode ini beliau menekankan pembangunan etos

kerja pada semua guru dan karyawan dan membangun kedisiplinan pada

siswa. Pada periode ini pula bapak Drs. H. Abu Suwardi

menyempurnakan visi dan misi sekolah sebagai upaya untuk

meningkatkan kualitas pendidikan agar program kerja dan kegiatan

sekolah lebih terarah dalam menggapai target-target kualitas pendidikan

yang diharapkan.

Pada tanggal 7 juli 2005 kepala sekolah diserah terimakan kepada

Drs. Bapak Zamroni, M. Pdi. Dengan memohon pertolongan dari Tuhan

YME semoga SMA N 5 Yogyakarta diperkenankan untuk mewujudkan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang senantiasa memiliki akhlak yang

mulia " Trus Hakarya Praja ".

Karena kekhasan SMA N 5 dengan huruf "C" , maka hingga saat

inipun masyarakat lebih sering menyebut SMA N 5 Yogyakarta dengan

sebutan "MACHE".

b. Profil Sekolah

Identitas Sekolah

1) Nama Sekolah : SMA Negeri 5 Yogyakarta

2) Kota : Yogyakarta

3) Propinsi : DIY

4) Nomor Identitas Sekolah (NIS) : 300090

5) Nomor Statistik Sekolah (NSS) : 301046013008

(62)

7) Telp./Fax : (0274) 377400

8) Kelurahan : Prenggan

9) Kecamatan : Kotagede

10) Kabupaten/kota : Yogyakarta

11) Kode Pos : 55172

12) Status Sekolah : Negeri

13) Tahun Berdiri Sekolah : 1949

14) Luas Tanah : 10.028 m2

15) Luas Bangunan : 3.762 m2

16) Tahun Akreditasi : 2005

17) Status akreditasi : A

18) No. Sertifikat : 000588

19) Nilai Hasil Akreditasi : 94,55

20) Website : www.sman5yk.sch.id.

21) Email : sman5yk@yahoo.co.id

c. Visi Misi SMA N 5 Yogyakarta

Visi

Terwujudnya sekolah yang mampu menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakal mulia, cerdas, mandiri, berbudaya, peduli lingkungan, cinta tanah air serta berwawasan global.

Misi

1) Melaksanakan pembelajaran berwawasan imtaq.

2) Mengintensifkan kegiatan keagamaan disekolah.

3) Membimbing, melatih, menyiapkan siswa untuk berprestasi dalam

berbagai kegiatan akademik maupun non akademik.

4) Menumbuhkan semangat kewirausahaan melalui kegitan

ekstrakurikuler.

5) Mencintai lingkungan dengan melaksanakan 7K (kekeluargaan,

kebersihan, ketertriban, keamanan, keindahaan, kerindangan dan kerapian).

6) Meningkatkan rasa nasionalisme dengan melaksanakan upacara

bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap awal PBM.

7) Meningkatkan penguasaan bahasa asing dalam berkomunikasi.

8) Meningkatkan rasa cinta terhadap budaya bangsa.

d. Sumber Daya SMA N 5 Yogyakarta

1) Susunan organisasi sekolah

(63)

Wakaur Kurikulum : Sri Suyatmi, S.Pd

Wakaur Kesiswaan : Warsita, S.Pd.

Wakaur Sarpras : Drs. Bambang Sumadi

Wakaur Humas : Drs. Sairin

Kepala Tata Usaha : Purwanto, B.Sc.

2) Susunan pengurus komite sekolah

Ketua : Drs. Wahdini

Sekretaris : Drs. Sukirman M.Pd.

Bendahara : R. H. Sidi Purnomo, Spd.

Sie Pendidikan : H. Samiyo, S.Pd. M.M.

Sie Sarpras : H. Bambang Sumantri

Sie Humas : AKP. Heru Setiawan

3) Keadaan Guru dan Karyawan

Tabel 4.1 Jumlah Guru Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Status Kepegawaian.

No Jenjang Pendidikan

Jumlah Guru Berdasarkan Status

Kepegawaian

Jumlah

PNS GTT

1 S3

2 S2 5 5

3 S1 45 2 47

4 D3

JUMLAH 50 2 52

(Sumber : Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Tahun 2011/ 2012).

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa guru

dengan jenjang pendidikan S3 tidak ada, jenjang S2 untuk status

[image:63.595.178.483.467.590.2]
(64)

orang dan untuk jenjang D3 tidak ada. Jumlah karyawan berdasarkan

[image:64.595.181.509.141.243.2]

status kepegawaian dapat diketahui sebagai berikut :

Tabel 4.2 Jumlah Karyawan Berdasarkan Status Kepegawaian.

Status Kepegawaian Jumlah

Karyawan PNS 10

Karyawan Tidak Tetap 13

Jumlah 23

(Sumber: Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Tahun 2011/2012)

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan jumlah karyawan SMA

Negeri 5 Yogyakarta berjumlah 23 orang, dengan rincian 10 orang

berstatus pegawai negeri sipil atau PNS dan 13 orang berstatus

karyawan tidak tetap.

4) Keadaan Siswa

Data Siswa berdasarkan jumlah dan Rombongan Belajar

Tabel. 4.3 Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar.

No Tahun

Ajaran

Jumlah

Kelas X Kelas XI Kelas XII Total

1 2011/2012 256 267 247 770

2 2012/2013 253 231 347 831

3 2013/2014 261 253 231 752

(Sumber: Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta)

Berdasarkan tabel di atas jumlah siswa setiap tahunnya

mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah siswa 770 tahun

2012 jumlah siswa meningkat menjadi 831 dan pada tahun 2013

[image:64.595.179.489.429.507.2]
(65)

5) Prestasi Siswa

a) Prestasi Akademik

SMA Negeri 5 Yogyakarta memiliki banyak keunggulan

serta banyak prestasi akademik yang didapatkan. Selain itu

sekolah sering mendapatkan peringkat dalam kejuaraan dalam

berbagai perlombaan. Prestasi akademik SMA Negeri 5

[image:65.595.120.508.303.711.2]

Yogyakarta sebagai berikut :

Tabel 4.4 Prestasi Akade

Gambar

Tabel 3. 1     Kisi-kisi Instrumen Observasi ....................................................
Gambar 2. 1 Sekema Implementasi Kebijakan ...............................................
Gambar 2.1 Sekema Implementasi Kebijakan.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap objek atau sampel penelitian yang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa semua unit bisnis air bersih,

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas dengan judul “ Penerapan Integrasi Nilai- Nilai

Demikia surat ini kami sampaikan atas perhatian dan

Penambahan tepung kunyit dan betain dalam ransum babi finisher memberikan pengaruh yang berbeda terhadap loin eye area, namun tidak nyata terhadap berat karkas

Kekurangan model pembelajaran Probing- Prompting menurut Shoimin (2014:129), yaitu jika jumlah siswa banyak membutuhkan waktu lama dalam proses pembelajaran, suasana

a) Sektor industri, yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang bergerak dalam sektor usaha yang mengubah bentuk dari bahan baku menjadi barang jadi atau mengubah sebuah

Tulosten avulla voidaan kehittää uutta konseptia, jossa syöpäpotilaalla olisi mahdollisuus syöpäsairaanhoitajan tapaamiseen osastolla, ja ohjauksen ja tuen tarpeet voitaisiin

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh intellectual capital terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan khususnya pada perusahaan makanan dan