• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Intelegensi .1 Definisi .1 Definisi

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi remaja

Secara garis besar faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IQ seorang remaja menurut Boeree (2003), meliputi:

a. Faktor genetik atau keturunan

Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap perkembangan intelegensi remaja, dapat mengacu pada konsep heritabilitas. Heritabilitas adalah bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan dengan faktor genetik. Indeks heritabilitas dihitung menggunakan teknik korelasional. Tingkat paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00 dengan korelasi 0,70 keatas mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat. Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas kecerdasan 0,75. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat terhadap perkembangan intelegensi (Santrock, 2007).

13

Patrick, dkk. (2014), membuktikan bahwa nilai IQ berhubungan dengan jenis kelamin, dimana rerata nilai IQ responden laki-laki lebih tinggi dibandingkan rerata responden perempuan (r = 0,279; p = 0,005). Penelitian Burgaleta, dkk. (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan volume otak antara laki-laki dan perempuan yaitu volume otak laki-laki 10% lebih besar dibandingkan perempuan. Haier, dkk. (2005) menunjukkan bahwa otak laki-laki memiliki lebih banyak substansia grisea dibandingkan otak perempuan. Substansia grisea memiliki peran penting dalam kecerdasan. Temuan tersebut dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai IQ antara laki-laki dan perempuan. b. Faktor gizi

Pemenuhan kebutuhan gizi pada saat hamil, menyusui dan pada waktu bayi sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, karena masa tersebut merupakan golden period yang biasa disebut 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu sejak kehamilan sampai anak usia 24 bulan (IDAI, 2015). Kekurangan dan kelebihan gizi pada saat masa pertumbuhan, dapat mempengaruhi perkembangan sel otak anak. Hasil penelitian Wibowo, dkk. (1995), menemukan bahwa status gizi anak berpengaruh pada tingkat intelegensinya.

1) Berat badan lahir bayi

Center for Urban Epidemiologic Studies New York, AS, membuktikan terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan tingkat kecerdasan (IQ). Rata-rata perbedaan angka IQ dari bayi yang berat lahirnya < 2500 gram dengan bayi yang lahirnya 4000 gram mencapai 10

14

angka (Matte, dkk., 2001). Rubin, dkk. (1973) menemukan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh kesehatan ibu selama kehamilan terutama pada trimester pertama kehamilan, yang merupakan fase pembentukan sistem saraf sentral yang berpengaruh pada fungsi intelektual. Sementara berat badan bayi besar berakibat pada ketidaksempurnaan logika, kemampuan mental (psikologis) dan kemampuan belajar. Sejumlah penelitian lain juga melaporkan bahwa anak dengan berat lahir rendah lebih memiliki kesulitan akademis dibandingkan anak dengan berat lahir cukup (Erickson, dkk., 2010). 2) Masa kehamilan

Anak yang lahir dengan usia kandungan kurang dari sembilan bulan menyebabkan tidak sempurnanya keadaan bayi yang membuatnya lebih sensitif terhadap tekanan, stress dan penyakit dari lingkungan. Hal ini berpengaruh pada proses perkembangan otak yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi intelektual. Otak yang belum mature rentan terhadap komplikasi neonatal seperti perdarahan intraventricular, perdarahan matriks germinal, periventricular leukomalacia, mielinisasi yang tertunda dan volume otak yang berkurang, sehingga berdampak pada fungsi kognitif anak (Kuperus, dkk., 2008).

3) Riwayat pemberian ASI

Penelitian Novita, dkk. (2008), menemukan bahwa peluang terjadinya IQ di bawah rata-rata 1,7 kali lebih besar dibandingkan di atas rata-rata apabila bayi diberikan ASI non eksklusif. Bayi yang diberikan

15

ASI eksklusif menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 128,3 dengan rentangan 112-142 sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 114,4 dengan rentangan 82-137. Penelitian Maslahah (2010), menemukan bahwa terdapat perbedaan pengaruh pemberian ASI dengan pemberian susu formula terhadap tingkat IQ anak usia 5-6 tahun. Secara lebih spesifik dikatakan bahwa pemberian ASI atau pemberian susu formula di waktu bayi dapat mempengaruhi tingkat IQ anak. Anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi ASI di waktu bayi mempunyai kemungkinan memiliki tingkat IQ dalam kategori cerdas sebesar 4,2 kali lebih besar daripada anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi susu formula di waktu bayi.

ASI memiliki kandungan lemak yang terdiri dari asam linoleat dan kolesterol yang dibutuhkan untuk perkembangan otak (Wardlaw dan Hampl, 2007). Selain itu, ASI juga mengandung DHA dan AA yang dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel otak secara optimal. ASI mengandung jumlah DHA dan AA yang sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Selain AA dan DHA, Taurin merupakan asam amino penting yang terdapat dalam ASI dengan konsentrasi tinggi yang memiliki peran penting dalam perkembangan jaringan otak (Salimo, 2009). Susu formula yang berbahan dasar susu sapi tidak memiliki komponen AA, DHA dan Taurin

16

seperti yang dimiliki oleh ASI. Walaupun saat ini beberapa produsen susu formula telah menambahkan minyak nabati sebagai sumber Polyunsaturated Fatty Acids/PUFA seperti AA dan DHA tetapi hasilnya tidak dapat menyamai ASI. Menurut Susianto (2010), kandungan gizi pada susu formula tidak stabil seperti yang ada di dalam ASI dikarenakan adanya faktor perubahan suhu yang menyebabkan perubahan komposisi senyawa dalam kandungan susu formula. Hal tersebut yang mendasari adanya perbedaan IQ anak yang mengkonsumsi ASI dengan anak yang mengkonsumsi susu formula.

4) Status gizi pada usia dua tahun

Mulai sejak lahir sampai berusia dua tahun terjadi perkembangan otak yang pesat pada bayi yaitu sekitar 80%. Secara umum apabila terjadi kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun bersifat ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup dan mempengaruhi perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan (IDAI, 2015). Penelitian Anwar (2010), menemukan bahwa riwayat status gizi buruk pada usia dua tahun ke bawah berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak saat berusia 5-6 tahun. Anak umur 5-6 tahun dengan riwayat status gizi buruk memiliki skor IQ 6,5 poin lebih rendah daripada anak dengan riwayat status gizi baik.

17

5) Gizi kurang

Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan terganggu, badan lebih kecil yang diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Pamularsih, 2009). Penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa siswa dengan status gizi kurang mempunyai skor IQ lebih rendah sebesar 13 poin secara signifikan dibandingkan siswa dengan status gizi normal. Penelitian lainnya yang dilakukan Wibowo (1994) telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap intelegensinya.

Menurut penelitian Karsin (2004) anak yang mengalami Kurang Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13 skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmitter di otak (Bourre, 2006). Selain KEP, malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan mikronutrien (zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga memiliki pengaruh buruk pada pertumbuhan. Anak yang mengalami anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang tidak anemia. Anak yang mengalami Gangguan Akibat Kekurangan Iodium

18

(GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang mengalami GAKI (Karsin, 2004).

c. Faktor kesehatan fisik

Data survei nasional memperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua anak mempunyai beberapa bentuk kondisi kesehatan yang kronik, dan 15- 20% dari semua anak mempunyai masalah fisis, pembelajaran, dan gangguan perkembangan. Anak lelaki lebih banyak menderita penyakit kronik daripada anak perempuan. Penyakit kronik serius terbanyak adalah asma; lebih dari 12% anak pernah didiagnosis asma pada suatu waktu dalam kehidupannya. Setengah dari anak yang dilaporkan asma mengalami gejala asma sebelum usia 12 bulan. Hampir 6% anak dilaporkan mengalami gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder/ADHD). Kegemukan biasanya tidak dimasukkan dalam masalah kesehatan kronik, walaupun hampir 17% dari semua anak usia 6 sampai 19 tahun mempunyai indeks massa tubuh di atas persentil ke-95 (Kliegman, dkk., 2007).

Anak dengan penyakit kronik di Indonesia dikelompokkan dengan sebutan Anak Dengan Disabilitas (ADD). Kelompok ini merupakan salah satu kelompok anak Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan kesehatan. Kondisi kesehatan ADD sangat kompleks, terdiri atas berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam penanganannya. Mereka merupakan kelompok yang rentan dan rawan

19

terhadap paparan penyakit maupun ancaman tindak kekerasan (Kemenkes RI, 2014).

World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah ADD sekitar 7 sampai 10% dari total populasi anak. Gambaran data ADD di Indonesia sangat bervariasi; belum ada data terkini tentang jumlah dan kondisi ADD. Data Susenas 2003 menunjukkan sebagian besar (85,6%) anak dengan disabilitas berada di tengah masyarakat dan hanya sebagian kecil (14,4%) berada di institusi, termasuk sekolah luar biasa (SLB) dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa ADD, atau sekitar 10% dari total populasi anak di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Anak dengan penyakit kronik dapat mengalami hambatan untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Mereka dapat mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau sosialisasi, juga gangguan dalam aspek pertumbuhan seperti kenaikan berat badan dan tinggi badan yang tidak optimal. Hal lain yang perlu dideteksi yaitu risiko timbulnya perilaku yang menyimpang seperti emosi yang meledak-ledak, sikap menentang, cenderung nekat, dan drug abuse yang banyak dijumpai pada masa remaja (Kliegman, dkk., 2007). Gangguan tumbuh kembang yang terjadi mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, dapat pula bersifat sementara atau permanen. Gangguan tersebut akibat gejala atau kelainan yang menetap, pengobatan yang terlambat, keterbatasan aktivitas atau mobilitas, atau keterbatasan terhadap kegiatan di sekolah,

20

rekreasi, bermain, aktivitas keluarga, atau dalam pekerjaan (Suris, dkk., 2008). Penyakit kronik berdampak terhadap perkembangan anak serta menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas hidupnya (Michaud, dkk., 2007; Neinstein, 2008).

d. Faktor lingkungan

Remaja membutuhkan lingkungan yang baik untuk dapat mengoptimalkan perkembangan intelektualnya melalui dukungan secara mental seperti rasa kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan dan rangsangan intelektual. Dukungan mental tersebut dapat bersumber dari pengasuh utama remaja tersebut sejak kecil. Pengasuhan, perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental anak. Ketika hubungan dengan anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan, maka anak akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa terlindungi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship) menyediakan “dasar yang aman” sehingga anak dapat mulai mengeksplorasi dunia dengan jaminan rasa aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi, semakin sukses pengalaman yang diperoleh anak. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang ini akan membuat anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa merasa berharga. Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk memperlakukan orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa anak meniru apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, menyimpannya dalam

21

memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan orang dewasa tersebut. Anak yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2003).

Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh pada intelegensi anak yaitu, tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan riwayat sosial-budaya. 1) Tingkat pendidikan ibu

Hasil penelitian Sari (2010), menunjukkan bahwa skor IQ pada anak dari ibu yang berpendidikan rendah 10 poin lebih rendah dibandingkan anak dari ibu yang berpendidikan menengah, sedangkan anak dari ibu yang berpendidikan tinggi memiliki skor IQ sembilan poin lebih tinggi. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan kemampuan penerimaan informasi tentang gizi. Menurut Suhardjo (2003), seorang ibu dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga lebih sulit menerima informasi baru tentang gizi, dan begitu pula sebaliknya.

Avan, dkk. (2007), menyatakan bahwa anak yang diasuh oleh orangtua yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tahap sekunder atau lebih akan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi. Anak yang diasuh oleh ibu yang hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar akan mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami hambatan pertumbuhan dibandingkan anak yang diasuh ibu berpendidikan lebih tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa ibu yang menempuh pendidikan formal lebih dari lima tahun akan lebih banyak memberikan

22

respon kepada anak secara verbal dan emosional, lebih mampu mengorganisasi lingkungan, cukup menyediakan materi bermain dan permainan, keterlibatannya dengan anak lebih besar dan stimulasi yang mereka berikan juga lebih bervariasi (Andrade, dkk., 2005).

2) Pendapatan keluarga

Penelitian yang dilakukan oleh Seifert (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dan kecerdasan. Orangtua yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami kesulitan untuk memfasilitasi lingkungan yang secara intelektual dapat menstimulasi anak-anak mereka. Hal inilah yang menyebabkan kurang optimalnya perkembangan kognitif anak. Mc Wayne (2004) menjelaskan bahwa anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang rendah memiliki risiko terhambatnya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pendapatan keluarga memiliki hubungan positif yang cukup tinggi dengan tingkat intelegensi anak sejak usia tiga tahun sampai dengan remaja. Pendapatan keluarga rendah, kurang memiliki akses terhadap sumber daya yang meliputi nutrisi, layanan kesehatan dan kesempatan pendidikan dibandingkan dengan keluarga berpenghasilan tinggi. Hasil ulasan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan orangtua memiliki pengaruh positif tidak hanya pada kesehatan dan kesejahteraan tetapi juga pada nilai tes kognitif anak (Mayer, 2002). Selain itu, anak-anak dari latar belakang sosio-ekonomi yang rendah

23

lebih cenderung berisiko mengalami perkembangan kognitif yang lebih buruk karena kurangnya stimulasi kognitif dirumah (Votruba-Drzal, 2003).

3) Latar belakang sosial-budaya

Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa latar belakang sosial budaya anak mempengaruhi kemampuan mentalnya. Tes kecerdasan pada 320 anak Yahudi, Cina, Negro dan Puerto Rico menunjukkan hasil bahwa: (1) nilai anak Yahudi lebih tinggi pada bagian verbal dan lebih rendah pada pemikiran (reasoning) dan angka serta pengetahuan ruang (space); (2) nilai anak Negro lebih tinggi pada kemampuan verbal dan lebih rendah pada pemikiran, ruang dan angka (number); (3) anak Puerto Rico lebih rendah pada bagian verbal tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran; (4) nilai anak Cina rendah pada kemampuan verbal, tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran. Dalam perbandingan antara anak kulit putih dan anak Asia, nilai anak kulit putih lebih tinggi pada kemampuan verbal namun lebih rendah pada kemampuan mengenai ruang (spatial orientation). Penelitian Wibowo (1994) menunjukkan bahwa performance IQ anak balita Jawa relatif lebih tinggi dibanding anak balita Sumbar.

4) Rangsangan intelektual

Rangsangan atau stimulasi yang didapatkan anak sejak usia dini, baik di lingkungan keluarga maupun dari lingkungan sekitar anak berpengaruh terhadap tingkat inteligensi anak. Studi longitudinal

Dokumen terkait