• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT

INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA

NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT

INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA

NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI NIM: 1492161015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT

INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas

Udayana

NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI NIM: 1492161015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 13 JUNI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. G.N. Indraguna P., M.Sc., Sp.GK dr. I W.G. Artawan E.P., M.Epid NIP: 195805211985031002 NIP: 198104042006041005

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur

Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

(5)

TESIS INI TELAH DIUJI

PADA TANGGAL 03 JUNI 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana No: 2417/UN144/HK/2016

Tanggal 03 JUNI 2016

Ketua

: Dr. dr. G. N Indraguna Pinatih, MSc., SpGK

Anggota

:

(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI

NIM : 1492161015

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

JUDUL TESIS :HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT

INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH

PERTAMA

Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari

terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima

sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 12 Juni 2016

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya dalam menyusun tesis ini sehingga tesis yang berjudul

“Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah

Menengah Pertama” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini disusun

sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh Program Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan berbagai pihak maka

tesis ini tidak dapat terwujud dengan baik. Untuk itu, dengan segala hormat

penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan,

MPH selaku Ketua Program Studi Magister Imu Kesehatan Masyarakat

Universitas Udayana atas dorongan, bimbingan, dan dukungan selama proses

pembelajaran khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang

mendalam juga penulis sampaikan kepada Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc.,

Sp.GK selaku pembimbing I dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid

selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran meluangkan

waktu, tenaga dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan dan saran serta

semangat kepada penulis.

Ucapan yang sama juga penulis tujukan kepada Rektor Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD) dan Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

(8)

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis

yaitu Dr. dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A (K); Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita

Duarsa, MSi; dan dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc,PhD yang telah

memberikan masukan, saran, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti

ini. Penulis juga sampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Dinas Pendidikan,

Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar serta Kepala Sekolah SMP Santo Yoseph

Denpasar atas diberikannya izin untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada para siswa beserta orangtuanya yang telah

meluangkan waktu dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

tulus kepada seluruh dosen dan staf karyawan Program Studi Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat atas bimbingan dan dukungannya selama menempuh

pendidikan. Juga penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan

mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah banyak

memberikan masukan dan dorongan selama penyusunan tesis.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua,

suami, serta putra putri tercinta yang merupakan sumber motivasi dan semangat

penulis dalam menjalani segala aktivitas dengan penuh ketegaran.

Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya

kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

(9)

ABSTRAK

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah meningkatnya prevalensi obesitas terutama pada anak remaja. Remaja yang obesitas selain berisiko mengalami penyakit tidak menular juga mempengaruhi tingkat intelegensinya. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik Cross Sectional dengan sampel sebanyak 176 siswa yang dipilih secara simple random sampling. Data dikumpulkan melalui tes IQ dengan metode Standard Progressive Matrices, pengukuran berat badan dan tinggi badan serta menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji chi-square serta multivariat menggunakan uji regresi Poisson dengan 95% CI.

Subyek penelitian terdiri dari 95 (54%) siswa dan 81 (46%) siswi, dengan rerata umur 12,2 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata Indeks Massa Tubuh siswa adalah 23,5; yang tergolong normal sebanyak 99 (56,3%) dan obesitas sebanyak 77 (43,7%). Median skor IQ pada kelompok status gizi normal adalah 110 sedangkan pada yang obesitas hanya 89. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan tingkat intelegensi siswa adalah status gizi obesitas dengan PR=6,6; 95%CI: 2,0-21,5 dan riwayat tidak mendapatkan ASI dengan PR=2,8; 95%CI: 1,4-5,6. Hasil penelitian ini juga membuktikan adanya hubungan lama obesitas dengan tingkat intelegensi siswa yaitu obesitas < 6 tahun dengan PR=14,0; 95%CI: 4,8-40,9 dan obesitas >6 tahun dengan PR=16,7; 95%CI: 5,8-47,7.

Adanya hubungan yang kuat antara status gizi obesitas dan lamanya obesitas dengan tingkat intelegensi siswa menunjukkan pentingnya pemantauan status gizi anak dalam upaya untuk mencegah serta mendeteksi dini terjadinya obesitas sehingga dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat demi mendapatkan generasi yang berkualitas.

(10)

ABSTRACT

CORRELATION OF NUTRITIONAL STATUS AND INTELLIGENCE QUOTIENT DEGREE OF THE STUDENTS

IN JUNIOR HIGH SCHOOL

Indonesia faces the increasing of obesity prevalence especially among the teenagers. The effect of obesity not only increasing risk of non communicable disease, also the risk of under average IQ degree. This study aimed to determine that nutritional status has an association with intelligence quotient degree of the students in Junior High School.

This was a cross sectional study with a total sample of 176 students determined by simple random sampling. Data were collected by giving IQ test of Standard Progressive Matrices method, measuring the weights and the heights, and giving self-administered questionnaires. Data were analyzed by univariat, bivariat using Mann-Whitney test and Chi-Square test and multivariate Poisson regression test of 95% Confidence lnterval.

The study subject consist of 95 (54%) males and 81 (46%) females student which is 12,2 year of age average. The study showed that the average of the students’ BMI is 23,5; consist of normal nutrition 99 (56,3%) and obesity 77 (43,7%). Median of the students’ IQ on the normal nutrition group is 110 meanwhile on the obesity group is only 89. Multivariate analysis showed that intelligence quotient (IQ) degree have association with obesity (PR=6,6; 95%Cl= 2,0-21,5) and history of non-breastfeed (PR=2,8; 95%Cl= 1,4-5,6). The period of obesity was significantly associated to the students’ intelligence quotient (IQ) degree, that was <6 years of obesity (PR=14,0; 95%CI: 4,8-40,9) and ≥6 years of obesity (PR=16,7; 95%CI: 5,8-47,7).

The association of obesity and the period of obesity towards the student’ intelligence quotient (IQ) degree indicate that the importance of continuous observation of the children’ nutritional status. It is necessary as an effort to prevent and early detection of obesity in order to build a qualified generation.

Keywords: obesity, intelligence quotient (IQ) degree, students of Junior High School.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xvi

(12)

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi Remaja 12

2.2.3 Pengukuran Tingkat Intelegensi ... 24

2.3 Obesitas ... 25

2.3.1 Definisi ... 25

2.3.2 Penilaian Status Gizi ... 27

2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi ... 29

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ... 33

3.2 Konsep Penelitian ... 34

3.3 Hipotesis Penelitian ... 35

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 36

4.2 Populasi dan Sampel ... 36

4.2.1 Populasi Penelitian ... 36

4.2.2 Sampel Penelitian ... 36

4.3 Cara Pengumpulan Data Penelitian ... 38

4.4 Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

4.5 Variabel Penelitian ... 39

4.6 Instrumen Penelitian ... 43

4.7 Prosedur Penelitian ... 43

4.7.1 Pengumpulan Data Penelitian ... 43

4.7.2 Pengolahan data ... 44

4.8 Analisis Data ... 45

4.8.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 45

4.8.2 Analisis Perbandingan ... 45

(13)

BAB V. HASIL PENELITIAN

5.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 47

5.2 Hasil Analisis Perbandingan ... 51

5.3 Hasil Analisis Multivariat ... 56

BAB VI. PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian ... 59

6.2 Keterbatasan Penelitian ... 81

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 82

7.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan

Indeks ... 28

Tabel 4.1 Definisi Operasional... 40

Tabel 4.2 Tabulasi Silang ... 46

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 47

Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Ibu Subjek Penelitian ... 48

Tabel 5.3 Gambaran Variabel Penelitian ... 49

Tabel 5.4 Hasil Analisis Perbandingan Tingkat Intelegensi berdasarkan Status Gizi ... 51

Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi ... 52

Tabel 5.6 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Faktor Lainnya dengan Tingkat Intelegensi ... 54

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

SINGKATAN

4-HHE : 4-hidroksiheksenal

4-HNE : 4-hidroksinonenal

AA : Asam Arachidonat

AS : Amerika Serikat

ASEAN : Association of South East Asia Nations

ASI : Air Susu Ibu

BB/PB : Berat Badan menurut Panjang Badan

BB/TB : Berat Badan menurut Tinggi Badan

BB/U : Berat Badan menurut Umur

BBLR : Berat Badan Lahir Rendah

BPS : Badan Pusat Statistik

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

CI : Confidence Interval

DHA : Docosahexaenoic Acid

Disdikpora : Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga

FFA : Free Fatty Acid

FIQ : Full IQ

HPK : Hari Pertama Kehidupan

IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia

IMD : Inisiasi Menyusu Dini

IMT : Indeks Massa Tubuh

IMT/U : Indeks Massa Tubuh menurut Umur

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

IQ : Intelligence Quotient

IQR : Inter-Quartile Range

(17)

MGRS : Multicentre Growth Reference Study

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NCEP : National Cholesterol Education Program

NCHS : National Center for Health Statistics

NOO : National Obesity Observatory

OSAS : Obstructive Sleep Apnea Syndrome

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini

PB/U : Panjang Badan menurut Umur

PIQ : Performance IQ

PR : Prevalence Ratio

PUFA : Polyunsaturated Fatty Acids

RDA : Requirement Daily Allowances

ROS : Reactive Oxygen Species

SD : Standar Deviasi

SDM : Sumber Daya Manusia

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SPM : Standard Progressive Matrices

TB/U : Tinggi Badan menurut Umur

VIQ : Verbal IQ

WAIS-R : Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised

WAIS-III : Wechsler Intelligence Scale-Edisi III

WHO : World Health Organization

WPPSI-R : Wechsler Preschool and Primary Scale of

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 98

Lampiran 2. Surat Pemberitahuan Penelitian kepada Orangtua ... 111

Lampiran 3. Master Data Penelitian ... 113

Lampiran 4. Hasil Analisis Data ... 125

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan input utama pembangunan

bangsa Indonesia untuk dapat bersaing atau berkompetisi di era globalisasi dengan

bangsa lain. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan

dengan menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi anak

remaja sebagai generasi penerus bangsa. Perkembangan anak remaja yang

dimaksud dalam hal ini adalah perkembangan kognitif. Menurut Piaget (1970),

anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan

Sekolah Menengah Pertama, merupakan tahap perkembangan aspek kognitif yang

sering disebut sebagai period of formal operation. Perkembangan anak remaja

pada usia ini adalah kemampuan untuk berpikir secara simbolis serta mampu

memahami sesuatu secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkrit atau

bahkan objek yang visual. Berdasarkan tahap kemampuan kognitif (berpikir),

anak remaja usia SMP sangat potensial untuk mengoptimalkan kemampuan

intelektualnya. Salah satu indikator yang menunjukkan kemampuan intelektual

anak yaitu dengan mengetahui tingkat intelegensi (Intelligence Quotient / IQ).

Studi oleh Lynn dan Vanhanen mengenai rata-rata IQ dari 113 negara

pada beberapa tahun lalu yang dipublikasikan pada National IQ Scores-Country

Rankings menunjukkan rata-rata IQ orang Indonesia pada urutan ke-20 yaitu

(20)

2

85-115. Singapore, Korea Selatan dan Jepang menduduki urutan pertama, kedua,

dan ketiga dengan rata-rata IQ masing-masing 108, 106, dan 105. Posisi Indonesia

ini sejajar dengan sembilan negara lainnya yaitu Azerbaijan, Bolivia, Brazil,

Guyana, Iraq, Myanmar, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Negara-negara dengan ras kulit putih seperti Eropa, Amerika Serikat dan Kanada,

Argentina dan Uruguay di Amerika Selatan serta Australia dan Selandia Baru di

Oseania memiliki rata-rata IQ tinggi walau tidak berada pada posisi lima besar.

Negara-negara di benua Afrika memiliki IQ terendah diantara seluruh kawasan,

seperti Ethiopia yang dirundung bencana pangan memiliki rata-rata IQ 63 yang

berada jauh dibawah rata-rata dunia yaitu 90.

Rendahnya rata-rata IQ orang Indonesia apabila dilihat dari bidang

kesehatan dapat dipengaruhi oleh status gizi. Selain kekurangan gizi, masalah

yang dihadapi adalah kelebihan gizi atau obesitas yang lebih dikenal dengan

Sindroma Dunia Baru (New World Syndrome). Dalam hal ini, Indonesia

menghadapi tantangan masalah gizi ganda atau double burden. Dalam artian

bahwa masalah mengenai gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya namun

sudah muncul masalah gizi lebih yaitu obesitas. WHO (2000) mendefinisikan

obesitas sebagai kondisi abnormal atas akumulasi lemak yang ekstrim pada

jaringan adipose. Sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan

dibandingkan dengan berat ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan

jaringan lemak atau jaringan non lemak, misalnya pada seorang atlet binaragawan

(21)

3

Obesitas pada anak secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat

intelegensi anak tersebut. Hal tersebut diduga akibat dari dampak penyakit yang

diderita oleh anak obesitas seperti diabetes, Obstructive Sleep Apnea Syndrome

(OSAS), masalah respirasi, masalah psikososial (rendah diri, mengisolasi diri, dan

depresi) serta masalah kematangan sosial (Datar dkk., 2004). Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Hartini dkk. (2014), menunjukkan adanya korelasi derajat

obesitas dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Derajat obesitas ditemukan

berhubungan lebih kuat dengan penurunan nilai rerata bahasa Indonesia

dibandingkan dengan matematika. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi

obesitas 16,1%, lebih besar 1,6 kali dibandingkan penelitian sebelumnya di

Denpasar yang dilakukan oleh Dewi dkk. pada tahun 2008, dimana prevalensi

obesitas anak umur 8-12 tahun sebesar 9,7%. Pada tahun 1995, Li menemukan

anak yang obesitas mempunyai nilai IQ yang lebih rendah dibandingkan anak

normal terutama pada aspek berbahasa. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu

tanda terjadinya OSAS yaitu mendengkur, dikatakan anak yang menderita OSAS

menjadi mengantuk, sulit berkonsentrasi sehingga kemampuan untuk mengikuti

pelajaran dan aktivitas menjadi berkurang.

Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu, dkk. pada tahun 2009 yang

dipublikasikan pada jurnal Paediatrica Indonesiana, menemukan bahwa terdapat

hubungan antara obesitas dengan intelegensia pada siswa SMP yang berusia

berusia 12-13 tahun. Peningkatan derajat obesitas berbanding lurus dengan

rendahnya tingkat intelegensia. Penelitian ini dilakukan di kota Manado pada tiga

(22)

4

Sebanyak 58 siswa memiliki IMT normal dan 42 siswa tergolong obesitas (36

merupakan obesitas ringan, dan 6 dengan obesitas berat). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari 42 siswa yang obesitas, 1% memiliki IQ rendah, 1%

memiliki IQ dibawah rata-rata, 22% memiliki IQ rata-rata, 7% memiliki IQ diatas

rata-rata dan 11% memiliki IQ superior. Sedangkan dari 58 siswa dengan IMT

normal, tidak ada yang memiliki IQ dibawah rata-rata, 20% memiliki IQ rata-rata,

18% memiliki IQ diatas rata-rata.

Gizi lebih merupakan masalah kesehatan dunia dengan jumlah prevalensi

yang selalu meningkat setiap tahun, baik di negara maju maupun berkembang.

Prevalensi gizi lebih pada anak usia 2-19 tahun di Amerika Serikat mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Gizi lebih pada anak laki-laki meningkat pada

tahun 2000 sebesar 14,0% menjadi 18,6% pada tahun 2010 dan pada anak

perempuan juga mengalami peningkatan dari 13,8% menjadi 15,0% (NOO, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian National Health and Nutrition Examination Survey

tahun 2009-2010 di Amerika persentase overweight dan obesitas berdasarkan

kelompok umur, yaitu anak usia 2-5 tahun sebesar 26,7%, usia 6-11 tahun sebesar

32,6% dan usia 12-19 tahun sebesar 33,6%. Hal ini menunjukkan bahwa

prevalensi overweight dan obesitas tertinggi pada anak remaja usia 12-19 tahun.

Pada tahun 2009-2010 Asia memiliki prevalensi gizi lebih sebesar 26,4% pada

anak laki-laki dan 16,8% pada anak perempuan (NOO, 2011). Data Riskesdas

tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih secara nasional pada anak

umur 13-15 tahun sebesar 10,8% yang terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat

(23)

5

mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2007 sebesar 1,4% menjadi

7,3% pada tahun 2013. Berdasarkan Riskesdas 2013 dalam angka, kejadian gizi

lebih di Bali pada anak usia 13-15 tahun mencapai 13,9% yang terdiri dari gemuk

9,7% dan obesitas 4,2%. Sedangkan di Denpasar prevalensi obesitas meningkat

dari 11% pada tahun 2002 menjadi 21,7% pada tahun 2010 (Yoga dan Sidiartha,

2010).

Golongan di masyarakat yang banyak mengalami masalah obesitas antara

lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa dan orang lanjut usia. Fokus yang

menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah mengenai obesitas pada anak usia

13-14 tahun yaitu pada anak remaja yang berada pada tingkat Sekolah Menengah

Pertama (SMP). Hal tersebut terkait dengan masalah rentan gizi pada kelompok

anak remaja. Pada masa remaja ini terjadi perubahan sikap dan perilaku dalam

memilih makanan dan minuman yang turut dipengaruhi oleh teman sebaya dan

lingkungan. Perilaku makan bagi sebagian besar remaja menjadi bagian gaya

hidup sehingga kadang pada remaja sering terjadi perilaku makan yang tidak

seimbang, diantaranya melewatkan sarapan pagi, konsumsi fast food dan soft

drink (French, dkk., 2001). Makanan cepat saji atau fast food mengandung kalori,

lemak dan karbohidrat yang tinggi. Apabila asupan karbohidrat dan lemak

berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah

terbatas, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak tubuh. Tubuh memiliki

kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas, sehingga jika konsumsi lemak

tinggi secara intensif maka resiko terjadinya obesitas semakin besar (Soegih dan

(24)

6

menunjukkan bahwa anak memiliki risiko menjadi obesitas 3,3 kali lebih besar

apabila memiliki kebiasaan makan makanan siap saji lebih dari tiga kali per

minggu daripada anak yang jarang atau 1-2 kali per minggu makan makanan siap

saji.

Penelitian-penelitian mengenai status gizi yang telah dilakukan selama ini

lebih banyak berfokus pada dampak (outcome) dari anak yang mengalami gizi

buruk sedangkan dampak dari anak yang mengalami obesitas terkait tingkat

intelegensi belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu mengenai

korelasi obesitas dengan tingkat intelegensi mengunakan klasifikasi status gizi

untuk orang dewasa dalam menentukan status gizi obesitas yaitu dengan nilai

IMT > 25, sedangkan pada penelitian ini menggunakan standar baku penilaian

status gizi sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun

2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang mengacu

pada standar World Health Organization (WHO 2005). Kriteria penentuan status

gizi obesitas untuk usia 5-18 tahun yaitu dengan nilai IMT/U > 2 SD.

Hasil survey status gizi yang dilakukan pada saat studi pendahuluan di

SMP Santo Yoseph Denpasar pada tanggal 16 – 18 September 2015, didapatkan

bahwa terdapat total jumlah siswa kelas VII sebanyak 312 siswa yang terdiri dari

164 siswa laki-laki dan 148 siswa perempuan. Pengukuran antropometri dilakukan

dengan mengukur berat badan dan tinggi badan, kemudian klasifikasi status gizi

menggunakan nilai IMT/U sesuai dengan standar baku penilaian status gizi anak

yang berlaku di Indonesia. Siswa laki-laki yang memiliki status gizi normal yaitu

(25)

7

orang atau sebesar 22,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 27 orang atau

sebesar 16,5%. Siswa perempuan yang memiliki status gizi baik yaitu sebanyak

55 orang atau sebesar 37,2%; yang mengalami overweight sebanyak 57 orang atau

sebesar 38,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 36 orang atau sebesar

24,3%. Prevalensi obesitas pada siswa kelas VII di SMP Santo Yoseph Denpasar

secara keseluruhan adalah 20,2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan

prevalensi obesitas di kota Denpasar pada penelitian Hartini dkk. (2014) yaitu

16,1%.

Berdasarkan latar belakang dan hasil studi pendahuluan, penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil temuan terdahulu dengan

menggunakan standar klasifikasi status gizi dan metode analisis yang berbeda dari

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai hubungan status gizi dengan tingkat

intelegensi pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

1.2 Rumusan Masalah

Potensi SDM Indonesia dapat dikatakan belum optimal yang ditunjukkan

dengan rata-rata IQ orang Indonesia berada dalam rentangan IQ sedang. Indonesia

saat ini dihadapkan pada tantangan di bidang kesehatan yaitu terjadi peningkatan

prevalensi obesitas terutama pada anak remaja, yang dapat berdampak pada

penurunan tingkat intelegensi remaja tersebut. Dengan demikian, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu:

1.2.1 Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat intelegensi

(26)

8

1.2.2 Apakah terdapat hubungan antara lama obesitas dengan tingkat intelegensi

pada siswa SMP?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan bahwa status

gizi berhubungan dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.

1.3.2 Tujuan khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan:

a. Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang

mengalami obesitas.

b. Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP dengan status

gizi normal.

c. Membandingkan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang

mengalami obesitas dengan siswa SMP yang status gizinya normal.

d. Membuktikan hubungan lama obesitas dengan tingkat intelegensi pada

siswa SMP.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya

peningkatan kualitas SDM dengan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak

remaja yang nantinya akan berdampak pada tingkat intelegensi. Intervensi yang

(27)

9

memberikan makanan cepat saji kepada anak karena dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangannya yaitu berpotensi mengalami obesitas yang

kemudian berdampak secara tidak langsung terhadap tingkat intelegensinya.

Dengan demikian diharapkan dapat menekan jumlah anak yang mengalami

obesitas, yang juga berpotensi menderita penyakit tidak menular pada saat dewasa

serta dapat mewujudkan generasi dengan kemampuan intelektual yang optimal.

1.4.2 Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence atau bukti ilmiah mengenai

hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi anak remaja sehingga

dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

b. Sebagai acuan atau bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk

(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja dan Perilaku Rentan Gizi

Definisi remaja menurut WHO adalah suatu masa perkembangan seorang

individu yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seksual sekunder

(pubertas) hingga mencapai kematangan seksual. Periode ini adalah suatu

perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang

terdiri dari perubahan secara biologik, psikologik dan sosial. Batasan umur remaja

menurut WHO yaitu 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja ini dikatakan

rentan terhadap masalah gizi oleh karena terjadi percepatan pertumbuhan dan

perkembangan tubuh yang memerlukan energi lebih banyak serta terjadi

perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang menuntut penyesuaian masukan

energi dan zat gizi.

Perilaku rentan gizi pada remaja salah satunya ditunjukkan dengan

kebiasaan makan yang kurang baik. Kebiasaan makan yang kurang baik ini

biasanya diawali dengan kebiasaan makan keluarga yang tidak baik yang sudah

tertanam sejak kecil kemudian berlanjut hingga remaja. Bentuk kebiasaan makan

yang tidak baik ini diantaranya adalah makan seadanya tanpa mengetahui

kebutuhan berbagai zat gizi dan dampak akibat tidak terpenuhinya kebutuhan zat

gizi tersebut terhadap kesehatan.

Sebuah studi di Korea yang dilakukan oleh Kim, dkk. (2007)

(29)

11

mereka. Penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan remaja pada tiga pola

makan, yaitu pola makan tradisional Korea, pola makan barat, pola makan

modifikasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kejadian obesitas sentral

paling tinggi pada pola makan barat sebesar 16,8%. Pola makan barat dalam hal

ini adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi tepung dan roti, hamburger,

pizza, makanan ringan dan sereal, gula dan makanan manis. Kejadian obesitas

sentral pada kelompok dengan pola makan tradisional Korea adalah 9,8%. Pola

makan tradisional Koreal yaitu pola makan yang banyak mengkonsumsi kimchi,

nasi, ikan dan rumput laut. Sementara kejadian obesitas sentral pada kelompok

dengan pola makan modifikasi sebesar 9,7%. Pola makan modifikasi dalam hal ini

adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi mie, tetapi diselingi dengan

kimchi dan nasi. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hallstrom, dkk. (2011)

menunjukkan bahwa sekitar 34% remaja di Eropa memiliki kebiasaan tidak

sarapan di pagi hari. Sementara Merten, dkk. (2009) membuktikan bahwa remaja

yang memiliki kebiasaan sarapan memiliki kecenderungan untuk tidak mengalami

obesitas.

2.2 Intelegensi 2.2.1 Definisi

Wechsler (1974) menjelaskan definisi Intelegensi adalah kemampuan

dalam bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi

lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa

(30)

12

secara rasional. Dengan demikian, intelegensi tidak dapat diamati secara

langsung, tetapi harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan

manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Binet (1905), seorang tokoh perintis

dalam pengukuran intelegensi, menguraikan bahwa intelegensi terdiri dari tiga

komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2)

kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut

dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan

auto critism. Sedangkan Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh

dari tes intelegensi (Boeree, 2003).

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi remaja

Secara garis besar faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IQ

seorang remaja menurut Boeree (2003), meliputi:

a. Faktor genetik atau keturunan

Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap

perkembangan intelegensi remaja, dapat mengacu pada konsep heritabilitas.

Heritabilitas adalah bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan

dengan faktor genetik. Indeks heritabilitas dihitung menggunakan teknik

korelasional. Tingkat paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00 dengan

korelasi 0,70 keatas mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat.

Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association,

menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas

kecerdasan 0,75. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat

(31)

13

Patrick, dkk. (2014), membuktikan bahwa nilai IQ berhubungan dengan

jenis kelamin, dimana rerata nilai IQ responden laki-laki lebih tinggi

dibandingkan rerata responden perempuan (r = 0,279; p = 0,005). Penelitian

Burgaleta, dkk. (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan volume otak

antara laki-laki dan perempuan yaitu volume otak laki-laki 10% lebih besar

dibandingkan perempuan. Haier, dkk. (2005) menunjukkan bahwa otak

laki-laki memiliki lebih banyak substansia grisea dibandingkan otak perempuan.

Substansia grisea memiliki peran penting dalam kecerdasan. Temuan tersebut

dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai IQ antara laki-laki dan perempuan.

b. Faktor gizi

Pemenuhan kebutuhan gizi pada saat hamil, menyusui dan pada waktu

bayi sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, karena masa tersebut

merupakan golden period yang biasa disebut 1000 Hari Pertama Kehidupan

(HPK), yaitu sejak kehamilan sampai anak usia 24 bulan (IDAI, 2015).

Kekurangan dan kelebihan gizi pada saat masa pertumbuhan, dapat

mempengaruhi perkembangan sel otak anak. Hasil penelitian Wibowo, dkk.

(1995), menemukan bahwa status gizi anak berpengaruh pada tingkat

intelegensinya.

1) Berat badan lahir bayi

Center for Urban Epidemiologic Studies New York, AS,

membuktikan terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan tingkat

kecerdasan (IQ). Rata-rata perbedaan angka IQ dari bayi yang berat

(32)

14

angka (Matte, dkk., 2001). Rubin, dkk. (1973) menemukan bahwa bayi

dengan berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh kesehatan ibu selama

kehamilan terutama pada trimester pertama kehamilan, yang merupakan

fase pembentukan sistem saraf sentral yang berpengaruh pada fungsi

intelektual. Sementara berat badan bayi besar berakibat pada

ketidaksempurnaan logika, kemampuan mental (psikologis) dan

kemampuan belajar. Sejumlah penelitian lain juga melaporkan bahwa

anak dengan berat lahir rendah lebih memiliki kesulitan akademis

dibandingkan anak dengan berat lahir cukup (Erickson, dkk., 2010).

2) Masa kehamilan

Anak yang lahir dengan usia kandungan kurang dari sembilan

bulan menyebabkan tidak sempurnanya keadaan bayi yang membuatnya

lebih sensitif terhadap tekanan, stress dan penyakit dari lingkungan. Hal

ini berpengaruh pada proses perkembangan otak yang pada akhirnya

mempengaruhi fungsi intelektual. Otak yang belum mature rentan

terhadap komplikasi neonatal seperti perdarahan intraventricular,

perdarahan matriks germinal, periventricular leukomalacia, mielinisasi

yang tertunda dan volume otak yang berkurang, sehingga berdampak

pada fungsi kognitif anak (Kuperus, dkk., 2008).

3) Riwayat pemberian ASI

Penelitian Novita, dkk. (2008), menemukan bahwa peluang

terjadinya IQ di bawah rata-rata 1,7 kali lebih besar dibandingkan di atas

(33)

15

ASI eksklusif menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan

dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang

mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 128,3 dengan

rentangan 112-142 sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI

eksklusif memiliki rata-rata IQ 114,4 dengan rentangan 82-137.

Penelitian Maslahah (2010), menemukan bahwa terdapat perbedaan

pengaruh pemberian ASI dengan pemberian susu formula terhadap

tingkat IQ anak usia 5-6 tahun. Secara lebih spesifik dikatakan bahwa

pemberian ASI atau pemberian susu formula di waktu bayi dapat

mempengaruhi tingkat IQ anak. Anak yang memiliki riwayat

mengkonsumsi ASI di waktu bayi mempunyai kemungkinan memiliki

tingkat IQ dalam kategori cerdas sebesar 4,2 kali lebih besar daripada

anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi susu formula di waktu bayi.

ASI memiliki kandungan lemak yang terdiri dari asam linoleat dan

kolesterol yang dibutuhkan untuk perkembangan otak (Wardlaw dan

Hampl, 2007). Selain itu, ASI juga mengandung DHA dan AA yang

dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel otak secara optimal. ASI

mengandung jumlah DHA dan AA yang sangat mencukupi untuk

menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Selain AA dan

DHA, Taurin merupakan asam amino penting yang terdapat dalam ASI

dengan konsentrasi tinggi yang memiliki peran penting dalam

perkembangan jaringan otak (Salimo, 2009). Susu formula yang

(34)

16

seperti yang dimiliki oleh ASI. Walaupun saat ini beberapa produsen

susu formula telah menambahkan minyak nabati sebagai sumber

Polyunsaturated Fatty Acids/PUFA seperti AA dan DHA tetapi hasilnya

tidak dapat menyamai ASI. Menurut Susianto (2010), kandungan gizi

pada susu formula tidak stabil seperti yang ada di dalam ASI dikarenakan

adanya faktor perubahan suhu yang menyebabkan perubahan komposisi

senyawa dalam kandungan susu formula. Hal tersebut yang mendasari

adanya perbedaan IQ anak yang mengkonsumsi ASI dengan anak yang

mengkonsumsi susu formula.

4) Status gizi pada usia dua tahun

Mulai sejak lahir sampai berusia dua tahun terjadi perkembangan

otak yang pesat pada bayi yaitu sekitar 80%. Secara umum apabila terjadi

kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun bersifat

ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup dan mempengaruhi

perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada

kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan (IDAI, 2015). Penelitian

Anwar (2010), menemukan bahwa riwayat status gizi buruk pada usia

dua tahun ke bawah berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak saat

berusia 5-6 tahun. Anak umur 5-6 tahun dengan riwayat status gizi buruk

memiliki skor IQ 6,5 poin lebih rendah daripada anak dengan riwayat

(35)

17

5) Gizi kurang

Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan terganggu, badan

lebih kecil yang diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel

dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan

ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak.

Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak

(Pamularsih, 2009). Penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa siswa

dengan status gizi kurang mempunyai skor IQ lebih rendah sebesar 13

poin secara signifikan dibandingkan siswa dengan status gizi normal.

Penelitian lainnya yang dilakukan Wibowo (1994) telah membuktikan

bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap

intelegensinya.

Menurut penelitian Karsin (2004) anak yang mengalami Kurang

Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13 skor

dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu

sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada

fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur

pembentukan neurotransmitter di otak (Bourre, 2006). Selain KEP,

malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan

mikronutrien (zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga

memiliki pengaruh buruk pada pertumbuhan. Anak yang mengalami

anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang tidak

(36)

18

(GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang

mengalami GAKI (Karsin, 2004).

c. Faktor kesehatan fisik

Data survei nasional memperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua

anak mempunyai beberapa bentuk kondisi kesehatan yang kronik, dan 15-

20% dari semua anak mempunyai masalah fisis, pembelajaran, dan gangguan

perkembangan. Anak lelaki lebih banyak menderita penyakit kronik daripada

anak perempuan. Penyakit kronik serius terbanyak adalah asma; lebih dari

12% anak pernah didiagnosis asma pada suatu waktu dalam kehidupannya.

Setengah dari anak yang dilaporkan asma mengalami gejala asma sebelum

usia 12 bulan. Hampir 6% anak dilaporkan mengalami gangguan pemusatan

perhatian/hiperaktivitas (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder/ADHD).

Kegemukan biasanya tidak dimasukkan dalam masalah kesehatan kronik,

walaupun hampir 17% dari semua anak usia 6 sampai 19 tahun mempunyai

indeks massa tubuh di atas persentil ke-95 (Kliegman, dkk., 2007).

Anak dengan penyakit kronik di Indonesia dikelompokkan dengan

sebutan Anak Dengan Disabilitas (ADD). Kelompok ini merupakan salah

satu kelompok anak Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk

memperoleh layanan kesehatan. Kondisi kesehatan ADD sangat kompleks,

terdiri atas berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup

spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam

(37)

19

terhadap paparan penyakit maupun ancaman tindak kekerasan (Kemenkes RI,

2014).

World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah ADD

sekitar 7 sampai 10% dari total populasi anak. Gambaran data ADD di

Indonesia sangat bervariasi; belum ada data terkini tentang jumlah dan

kondisi ADD. Data Susenas 2003 menunjukkan sebagian besar (85,6%) anak

dengan disabilitas berada di tengah masyarakat dan hanya sebagian kecil

(14,4%) berada di institusi, termasuk sekolah luar biasa (SLB) dan lembaga

kesejahteraan sosial anak (LKSA). Menurut data Badan Pusat Statistik

Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa ADD, atau sekitar 10% dari total

populasi anak di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Anak dengan penyakit kronik dapat mengalami hambatan untuk

mencapai tumbuh kembang optimal. Mereka dapat mengalami keterlambatan

dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau

sosialisasi, juga gangguan dalam aspek pertumbuhan seperti kenaikan berat

badan dan tinggi badan yang tidak optimal. Hal lain yang perlu dideteksi

yaitu risiko timbulnya perilaku yang menyimpang seperti emosi yang

meledak-ledak, sikap menentang, cenderung nekat, dan drug abuse yang

banyak dijumpai pada masa remaja (Kliegman, dkk., 2007). Gangguan

tumbuh kembang yang terjadi mulai dari gejala ringan sampai dengan berat,

dapat pula bersifat sementara atau permanen. Gangguan tersebut akibat gejala

atau kelainan yang menetap, pengobatan yang terlambat, keterbatasan

(38)

20

rekreasi, bermain, aktivitas keluarga, atau dalam pekerjaan (Suris, dkk.,

2008). Penyakit kronik berdampak terhadap perkembangan anak serta

menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas hidupnya

(Michaud, dkk., 2007; Neinstein, 2008).

d. Faktor lingkungan

Remaja membutuhkan lingkungan yang baik untuk dapat

mengoptimalkan perkembangan intelektualnya melalui dukungan secara

mental seperti rasa kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian,

penghargaan dan rangsangan intelektual. Dukungan mental tersebut dapat

bersumber dari pengasuh utama remaja tersebut sejak kecil. Pengasuhan,

perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan

mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental anak. Ketika

hubungan dengan anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan,

maka anak akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa

terlindungi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship)

menyediakan “dasar yang aman” sehingga anak dapat mulai mengeksplorasi

dunia dengan jaminan rasa aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi,

semakin sukses pengalaman yang diperoleh anak. Pengasuhan melalui

pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang ini akan membuat anak

merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa merasa berharga.

Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk memperlakukan

orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa anak meniru

(39)

21

memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan orang dewasa

tersebut. Anak yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh

menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2003).

Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh pada intelegensi anak

yaitu, tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan riwayat sosial-budaya.

1) Tingkat pendidikan ibu

Hasil penelitian Sari (2010), menunjukkan bahwa skor IQ pada

anak dari ibu yang berpendidikan rendah 10 poin lebih rendah

dibandingkan anak dari ibu yang berpendidikan menengah, sedangkan

anak dari ibu yang berpendidikan tinggi memiliki skor IQ sembilan poin

lebih tinggi. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan kemampuan

penerimaan informasi tentang gizi. Menurut Suhardjo (2003), seorang

ibu dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan

tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga lebih sulit menerima

informasi baru tentang gizi, dan begitu pula sebaliknya.

Avan, dkk. (2007), menyatakan bahwa anak yang diasuh oleh

orangtua yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tahap sekunder atau

lebih akan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi. Anak yang diasuh oleh

ibu yang hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar akan

mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami hambatan

pertumbuhan dibandingkan anak yang diasuh ibu berpendidikan lebih

tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa ibu yang menempuh

(40)

22

respon kepada anak secara verbal dan emosional, lebih mampu

mengorganisasi lingkungan, cukup menyediakan materi bermain dan

permainan, keterlibatannya dengan anak lebih besar dan stimulasi yang

mereka berikan juga lebih bervariasi (Andrade, dkk., 2005).

2) Pendapatan keluarga

Penelitian yang dilakukan oleh Seifert (2007) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dan

kecerdasan. Orangtua yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami

kesulitan untuk memfasilitasi lingkungan yang secara intelektual dapat

menstimulasi anak-anak mereka. Hal inilah yang menyebabkan kurang

optimalnya perkembangan kognitif anak. Mc Wayne (2004) menjelaskan

bahwa anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang rendah

memiliki risiko terhambatnya perkembangan kognitif yang lebih tinggi

dibandingkan anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang

lebih tinggi. Pendapatan keluarga memiliki hubungan positif yang cukup

tinggi dengan tingkat intelegensi anak sejak usia tiga tahun sampai

dengan remaja. Pendapatan keluarga rendah, kurang memiliki akses

terhadap sumber daya yang meliputi nutrisi, layanan kesehatan dan

kesempatan pendidikan dibandingkan dengan keluarga berpenghasilan

tinggi. Hasil ulasan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan

orangtua memiliki pengaruh positif tidak hanya pada kesehatan dan

kesejahteraan tetapi juga pada nilai tes kognitif anak (Mayer, 2002).

(41)

23

lebih cenderung berisiko mengalami perkembangan kognitif yang lebih

buruk karena kurangnya stimulasi kognitif dirumah (Votruba-Drzal,

2003).

3) Latar belakang sosial-budaya

Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa latar belakang

sosial budaya anak mempengaruhi kemampuan mentalnya. Tes

kecerdasan pada 320 anak Yahudi, Cina, Negro dan Puerto Rico

menunjukkan hasil bahwa: (1) nilai anak Yahudi lebih tinggi pada bagian

verbal dan lebih rendah pada pemikiran (reasoning) dan angka serta

pengetahuan ruang (space); (2) nilai anak Negro lebih tinggi pada

kemampuan verbal dan lebih rendah pada pemikiran, ruang dan angka

(number); (3) anak Puerto Rico lebih rendah pada bagian verbal tetapi

lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran; (4) nilai anak Cina rendah

pada kemampuan verbal, tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan

pemikiran. Dalam perbandingan antara anak kulit putih dan anak Asia,

nilai anak kulit putih lebih tinggi pada kemampuan verbal namun lebih

rendah pada kemampuan mengenai ruang (spatial orientation). Penelitian

Wibowo (1994) menunjukkan bahwa performance IQ anak balita Jawa

relatif lebih tinggi dibanding anak balita Sumbar.

4) Rangsangan intelektual

Rangsangan atau stimulasi yang didapatkan anak sejak usia dini,

baik di lingkungan keluarga maupun dari lingkungan sekitar anak

(42)

24

mengenai kemampuan kognitif pada anak yang mendapatkan pendidikan

usia dini yang dilakukan oleh Campbell dan Ramey (1995) dalam

American Educational Research Journal, menemukan bahwa adanya

hubungan antara intervensi dini melalui pendidikan usia dini pada

anak-anak dari keluarga dengan pendapatan rendah dengan intelegensi jangka

panjang dan prestasi belajarnya. Penelitian tersebut membuktikan bahwa

remaja yang mendapatkan pendidikan usia dini menunjukkan hasil yang

lebih tinggi untuk tes bahasa dan matematika daripada remaja yang

hanya mendapatkan intervensi pendidikan pada sekolah dasar. Hasil

penelitian Setyaningrum, dkk. (2014), menemukan bahwa anak usia dini

yang mengikuti pembelajaran di PAUD berpeluang mempunyai

perkembangan kognitif yang baik sekitar empat kali dibandingkan

dengan anak usia dini yang tidak ikut PAUD. Anak yang mendapatkan

stimulasi yang terarah pada pembelajaran di PAUD perkembangan

intelegensinya lebih cepat daripada anak yang kurang stimulasi atau

bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Berbagai stimulasi melalui

pancaindera seperti melihat, mendengar, merasa, mencium dan meraba,

yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar

pada pertumbuhan dan maturasi otak (Warsito, dkk., 2010).

2.2.3 Pengukuran tingkat intelegensi

Tes intelegensi atau sering disebut tes IQ merupakan suatu jenis tes

(43)

25

intelegensi atau kemampuan kognitif seseorang (Sukardi, 1993). Tes intelegensi

disusun untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu

kemampuan dalam memberikan suatu jawaban atau kesimpulan secara logis

berdasarkan informasi yang diberikan (Guilford, 1982). Metode untuk pengukuran

tingkat intelegensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode

Standard Progressive Matrices (SPM). SPM merupakan bentuk asli dari Raven

Progressive Matrices yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1938. Tes ini

terdiri dari lima kelompok soal, dimana masing-masing kelompok soal berisi 12

soal, sehingga jumlah keseluruhan soal adalah sebanyak 60 soal. Setiap soal akan

bergerak dari soal yang mudah hingga soal yang sulit. Kondisi ini menunjukkan

bahwa dibutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk memasukkan dan

menganalisa informasi di dalam otak. Tes ini dirancang khusus untuk usia enam

hingga 65 tahun yang dapat disajikan secara individual ataupun klasikal. Waktu

untuk mengerjakan tes ini adalah kurang lebih 30 menit. Aspek yang diukur pada

SPM adalah daya abstraksi, berpikir logis/menalar, berpikir sistematis, kecepatan

dan ketelitian serta konsentrasi.

2.3 Obesitas 2.3.1 Definisi

Penderita obesitas lebih banyak dijumpai pada usia remaja dan eksekutif

muda di perkotaan oleh karena mengkonsumsi makanan berlebih serta kurangnya

aktivitas fisik dan berolahraga. Obesitas biasanya disebabkan karena remaja tidak

(44)

26

badannya melebihi normal. Pada beberapa kasus obesitas terjadi karena binge

eating disorder yaitu suatu keadaan seseorang yang makan dalam jumlah besar

secara terus menerus dan cepat tanpa terkontrol. Setelah menyadarinya baru

merasa bersalah tapi jika keadaan binge datang lagi dia akan kembali

melakukannya tanpa sadar (Sulistyoningsih, 2011).

Kegemukan (overweight) seringkali disamakan dengan obesitas, namun

pada dasarnya memiliki arti yang berbeda. Kegemukan merupakan keadaan berat

tubuh yang melebihi berat tubuh secara normal, sedangkan obesitas merupakan

keadaan kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak. Kegemukan dan

obesitas bisa terjadi pada berbagai golongan umur dan jenis kelamin. Juvenil

obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Sekitar 50-70%

obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa

(Sulistyoningsih, 2011).

Obesitas merupakan suatu bentuk penyimpangan dari bentuk tubuh yang

ideal. Obesitas menjadi hal yang penting bagi remaja, karena pada masa ini

penampilan fisik menjadi suatu hal yang penting yang dapat mempengaruhi

kehidupan seseorang. Obesitas tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik yang

dapat mengakibatkan berbagai penyakit bagi penderitanya, tetapi juga

berpengaruh pada masalah psikososial. Seseorang yang obesitas sering kali

diasosiasikan memiliki harga diri yang rendah. Hal ini tidak timbul dengan

sendirinya namun karena adanya stigma dan stereotipe yang berada di masyarakat

yang membuat penderita obesitas menjadi tidak puas dengan dirinya sehingga

(45)

27

Warschburger (2005) menyatakan obesitas membuat remaja mengalami

gangguan kesehatan emosional seperti timbulnya harga diri yang negatif,

meningkatnya depresi dan kecemasan. Akan tetapi, besarnya hubungan antara

masalah berat badan dengan masalah psikologi ini bervariasi dan obesitas tidak

secara langsung mengakibatkan masalah psikososial. Sebuah penelitian oleh

Eisenberg, dkk. (2003) menyatakan bahwa ejekan yang berhubungan dengan berat

badan yang ditujukan pada penderita obesitas dapat menurunkan harga diri baik

pada remaja putri dan putra. Masalah psikososial yang terjadi pada remaja

obesitas ini juga mempengaruhi aspek lain dalam hidup salah satunya adalah

prestasi belajar (Aluja dan Blanch, 2002; Xie, dkk., 2006).

2.3.2 Penilaian status gizi

Standar pertumbuhan yang dikembangkan oleh World Health

Organization (WHO) berdasarkan penelitian longitudinal di enam negara yang

tersebar di empat benua yaitu Pelotas (Brasil), Accra (Ghana), Delhi (India), Oslo

(Norwegia), Muscat (Oman), Davis (California-AS). WHO Multicentre Growth

Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang

menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan

kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak

merokok). MGRS menghasilkan Standar Pertumbuhan Normal (preskriptif),

berbeda dengan yang hanya deskriptif. Standar baru memperlihatkan bagaimana

pertumbuhan anak dapat dicapai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu seperti

(46)

28

digunakan diseluruh dunia, karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari

negara manapun akan tumbuh sama apabila gizi, kesehatan dan kebutuhan

asuhannya dipenuhi. Standar WHO (2005) ini diadopsi sebagai acuan untuk

menilai status gizi anak di Indonesia. Kategori dan ambang batas status gizi anak

sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010

tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori

Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Berat Badan menurut Umur

(47)

29

2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi

Li (1995) menemukan bahwa anak yang obesitas memiliki IQ (Intelligence

Quotient) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang tidak

obesitas. Akan tetapi, IQ hanya mengukur kemampuan anak dan tidak

memprediksi prestasi belajar. Penelitian oleh Mo-Suwan, dkk. (1999) menemukan

bahwa obesitas pada remaja diasosiasikan dengan prestasi belajar yang buruk,

sedangkan pada anak usia 8-12 tahun yang obesitas tidak ditemukan hubungan

tersebut. Sebuah studi lima tahun lebih dari 2.200 orang dewasa mengklaim telah

menemukan hubungan antara obesitas dan penurunan tingkat intelegensi

seseorang. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan Indeks Massa Tubuh 20

atau kurang bisa mengingat 56% kata dalam tes kosa kata, tetapi mereka yang

mengalami obesitas, dengan IMT 30 atau lebih tinggi, bisa mengingat hanya 44%.

Subyek gemuk juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi penurunan intelegensi

ketika mereka diuji ulang lima tahun kemudian, ingatan mereka turun menjadi

37,5% tetapi subyek dengan berat badan yang sehat mempertahankan tingkat

recall (Chandola, dkk., 2006). Studi terbaru menunjukkan, orang yang kegemukan

atau obesitas memiliki jaringan otak 8% lebih sedikit dibanding pada orang yang

berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami kemunduran sampai 16 tahun

lebih tua dibandingkan orang yang tidak terlalu banyak lemak. Orang yang

overweight memiliki jaringan otak 4% lebih sedikit dan otaknya terlihat lebih tua

8 tahun (Haris, 2008).

Secara fisiologik, tingginya kadar lemak dalam tubuh akan menghasilkan

(48)

30

seperti eicosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reactive oxygen species (ROS),

4-hidroksinonenal (4-HNE) dan 4-hidroksiheksenal (4-HHE). Stres oksidatif ini

diduga sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan tingkat

intelegensi. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme lemak

mengakibatkan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif biomelekul, terutama pada

kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidatin endogen. Jaringan otak

hanya mempunyai sedikit perlindungan antioksidan dan mempunyai kadar asam

lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mudah terkena oksidasi (Purnomo dkk,

2009). Selain itu, penimbunan lemak pada penderita obesitas akan menyebabkan

tingginya kadar asam lemak bebas (FFA) dan trigliserida dalam plasma, dimana

FFA dan trigliserida ini merupakan hasil metabolisme dari lemak. FFA bersifat

lipotoxocity bagi tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas pada saraf (Farooqui

dan Harrocks, 2006).

Sekitar 36-59% anak dan remaja obesitas menderita Obstructive Sleep

Apnea Syndrome (OSAS), gejalanya dapat berupa mengorok dan mengompol

yang dapat mengakibatkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan terjadi

hipertensi pulmonal (Wing dan Pak, 2003). Penyebabnya adalah adanya

penebalan pada jaringan lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh

adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi saluran nafas intermiten di malam hari

dapat mengakibatkan tidur gelisah serta mengurangi sirkulasi oksigen ke otak.

Sebagai akibatnya, anak akan mengantuk pada keesokkan harinya dan mengalami

hipoventilasi. OSAS yang terjadi berkepanjangan akan berdampak pada gangguan

(49)

31

pada penderita OSAS membuktikan bahwa terjadinya penyusutan volume gray

matter pada bagian frontal, parietal, temporal, hipokampus dan serebelum (Hunt,

2004). Obesitas dan OSAS adalah dua faktor risiko yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya hipertensi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan

intelegensi melalui mekanisme hipoksia. Hipoksia yang terjadi intermiten dapat

menyebabkan kerusakan hingga atropi otak. Hipertensi merupakan faktor risiko

potensial yang dapat menyebabkan degenerasi otak dan sistem saraf pusat

(Pandav, dkk., 2003).

Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena terjadi

penebalan dan pengerasan pembuluh darah, hal yang sama juga terjadi dengan

arteri di otak. Selain itu, hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat memiliki efek

merusak pada sel otak, sehingga fungsi otak berkurang. Orang yang obesitas akan

kehilangan jaringan otak di bagian depan dan bagian lobus temporal, area otak

yang sangat penting untuk memori dan pencernaan. Selain itu area lain yang

terganggu adalah anterior cingulate gyrus (berfungsi untuk pemusatan perhatian),

hippocampus (memori jangka panjang), dan bangsal ganglia (untuk pergerakkan).

Hal tersebut akan menyebabkan terjadi perubahan struktur anatomi otak yang

kemudian menyebabkan gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat

(Chandola, 2006).

Riset yang dilakukan oleh Gale dan tim peneliti mengumpulkan data dari

8200 laki-laki dan perempuan yang berusia 30 tahun, dimana IQ mereka pernah

dites sebelumnya saat mereka berusia 10 tahun. Hasilnya yaitu anak yang

(50)

32

Seperti yang diketahui bahwa seorang vegetarian memiliki kadar kalesterol yang

rendah serta jarang menderita obesitas ataupun penyakit jantung. Studi lainnya

juga menemukan bahwa anak dengan kemampuan otak yang cerdas biasanya

mempunyai gaya hidup sehat seperti tidak merokok, tidak kegemukan, tekanan

darahnya normal, dan rajin berolahraga (Gale, 2009). Para ahli setuju bahwa

pengaruh obesitas terhadap IQ didasarkan pada pola kehidupan masyarakat yang

moderen seperti tingkat stres tinggi, pola makan seperti mengkonsumsi makanan

siap saji, kurang aktivitas seperti berolahraga yang mengakibatkan penumpukan

lemak tubuh secara berlebihan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup anak-anak,

remaja, sampai dewasa sangat penting (Gale, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jorien Veldwijk dkk. (2011), dengan

jumlah sampel 236 anak usia tujuh tahun, menemukan bahwa tidak terdapat

hubungan antara IMT dengan intelegensi anak sekolah. Pada hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tingkat intelegensi menurun seiring dengan peningkatan IMT

tetapi hubungan ini menunjukkan tidak signifikan pada analisis statistik yang

dilakukan. Meskipun telah melakukan analisis multivariat untuk mengontrol

variabel confounding seperti aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu, IMT ibu

sebelum hamil, perilaku merokok ibu selama hamil, dan berat badan lahir, tetap

menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil penelitian terdahulu mengenai

Gambar

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Referensi

Dokumen terkait

Penemuan kajian ini mendapati bahawa lebih ramai bilangan ahli komuniti di rumah panjang yang berada pada tahap penglibatan tinggi dalam aktiviti penilaian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan memberikan kuesioner kepada 25 orang karyawan BPR Restu Artha Makmur dan 5 orang nasabah serta memberikan kuesioner

Pada perusahaan otobus Sumber Group pembayaran ganti kerugian dilakukan kepada korban yang besarannya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

Jika dibandingkan dengan nilai standar deviasi dari beberapa formula empiris seperti pada tabel 3, maka nilai standar deviasi untuk formula empiris magnitudo

Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa yang berprofesi sebagai mucikari bagi ayam kampus di Kecamatan Tampan mendapatkan temuan latar belakang kehidupan

SMK YPUI Parung mengakui bahwa pengetahuan tentang manajemen itu penting. Baik itu berupa pengetahuan tentang manajemen pemasaran terkait bagaimana agar produk jasa yang ditawarkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk pertunjukan Tari Kembar Mayang sebagai legitimasi yang digunakan pada acara pembukaan Tradisi Suran yang disakralkan oleh

Untuk mengetahui jenis kelamin yang terbanyak pada pasien stroke iskemik dan hemoragik rawat inap di RSUP dr.