• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi

2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi

Li (1995) menemukan bahwa anak yang obesitas memiliki IQ (Intelligence Quotient) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang tidak obesitas. Akan tetapi, IQ hanya mengukur kemampuan anak dan tidak memprediksi prestasi belajar. Penelitian oleh Mo-Suwan, dkk. (1999) menemukan bahwa obesitas pada remaja diasosiasikan dengan prestasi belajar yang buruk, sedangkan pada anak usia 8-12 tahun yang obesitas tidak ditemukan hubungan tersebut. Sebuah studi lima tahun lebih dari 2.200 orang dewasa mengklaim telah menemukan hubungan antara obesitas dan penurunan tingkat intelegensi seseorang. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan Indeks Massa Tubuh 20 atau kurang bisa mengingat 56% kata dalam tes kosa kata, tetapi mereka yang mengalami obesitas, dengan IMT 30 atau lebih tinggi, bisa mengingat hanya 44%. Subyek gemuk juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi penurunan intelegensi ketika mereka diuji ulang lima tahun kemudian, ingatan mereka turun menjadi 37,5% tetapi subyek dengan berat badan yang sehat mempertahankan tingkat recall (Chandola, dkk., 2006). Studi terbaru menunjukkan, orang yang kegemukan atau obesitas memiliki jaringan otak 8% lebih sedikit dibanding pada orang yang berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami kemunduran sampai 16 tahun lebih tua dibandingkan orang yang tidak terlalu banyak lemak. Orang yang overweight memiliki jaringan otak 4% lebih sedikit dan otaknya terlihat lebih tua 8 tahun (Haris, 2008).

Secara fisiologik, tingginya kadar lemak dalam tubuh akan menghasilkan berbagai macam oksidan penyebab terganggunya perkembangan intelegensi,

30

seperti eicosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reactive oxygen species (ROS), 4-hidroksinonenal (4-HNE) dan 4-hidroksiheksenal (4-HHE). Stres oksidatif ini diduga sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan tingkat intelegensi. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme lemak mengakibatkan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif biomelekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidatin endogen. Jaringan otak hanya mempunyai sedikit perlindungan antioksidan dan mempunyai kadar asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mudah terkena oksidasi (Purnomo dkk, 2009). Selain itu, penimbunan lemak pada penderita obesitas akan menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas (FFA) dan trigliserida dalam plasma, dimana FFA dan trigliserida ini merupakan hasil metabolisme dari lemak. FFA bersifat lipotoxocity bagi tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas pada saraf (Farooqui dan Harrocks, 2006).

Sekitar 36-59% anak dan remaja obesitas menderita Obstructive Sleep

Apnea Syndrome (OSAS), gejalanya dapat berupa mengorok dan mengompol

yang dapat mengakibatkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan terjadi hipertensi pulmonal (Wing dan Pak, 2003). Penyebabnya adalah adanya penebalan pada jaringan lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi saluran nafas intermiten di malam hari dapat mengakibatkan tidur gelisah serta mengurangi sirkulasi oksigen ke otak. Sebagai akibatnya, anak akan mengantuk pada keesokkan harinya dan mengalami hipoventilasi. OSAS yang terjadi berkepanjangan akan berdampak pada gangguan perkembangan intelegensi anak tersebut. Pada sebuah studi tentang hasil MRI

31

pada penderita OSAS membuktikan bahwa terjadinya penyusutan volume gray matter pada bagian frontal, parietal, temporal, hipokampus dan serebelum (Hunt, 2004). Obesitas dan OSAS adalah dua faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan intelegensi melalui mekanisme hipoksia. Hipoksia yang terjadi intermiten dapat menyebabkan kerusakan hingga atropi otak. Hipertensi merupakan faktor risiko potensial yang dapat menyebabkan degenerasi otak dan sistem saraf pusat (Pandav, dkk., 2003).

Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena terjadi penebalan dan pengerasan pembuluh darah, hal yang sama juga terjadi dengan arteri di otak. Selain itu, hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat memiliki efek merusak pada sel otak, sehingga fungsi otak berkurang. Orang yang obesitas akan kehilangan jaringan otak di bagian depan dan bagian lobus temporal, area otak yang sangat penting untuk memori dan pencernaan. Selain itu area lain yang terganggu adalah anterior cingulate gyrus (berfungsi untuk pemusatan perhatian), hippocampus (memori jangka panjang), dan bangsal ganglia (untuk pergerakkan). Hal tersebut akan menyebabkan terjadi perubahan struktur anatomi otak yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat (Chandola, 2006).

Riset yang dilakukan oleh Gale dan tim peneliti mengumpulkan data dari 8200 laki-laki dan perempuan yang berusia 30 tahun, dimana IQ mereka pernah dites sebelumnya saat mereka berusia 10 tahun. Hasilnya yaitu anak yang memiliki IQ tinggi banyak yang menjadi vegetarian saat mereka berusia 30 tahun.

32

Seperti yang diketahui bahwa seorang vegetarian memiliki kadar kalesterol yang rendah serta jarang menderita obesitas ataupun penyakit jantung. Studi lainnya juga menemukan bahwa anak dengan kemampuan otak yang cerdas biasanya mempunyai gaya hidup sehat seperti tidak merokok, tidak kegemukan, tekanan darahnya normal, dan rajin berolahraga (Gale, 2009). Para ahli setuju bahwa pengaruh obesitas terhadap IQ didasarkan pada pola kehidupan masyarakat yang moderen seperti tingkat stres tinggi, pola makan seperti mengkonsumsi makanan siap saji, kurang aktivitas seperti berolahraga yang mengakibatkan penumpukan lemak tubuh secara berlebihan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup anak-anak, remaja, sampai dewasa sangat penting (Gale, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jorien Veldwijk dkk. (2011), dengan jumlah sampel 236 anak usia tujuh tahun, menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara IMT dengan intelegensi anak sekolah. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat intelegensi menurun seiring dengan peningkatan IMT tetapi hubungan ini menunjukkan tidak signifikan pada analisis statistik yang dilakukan. Meskipun telah melakukan analisis multivariat untuk mengontrol variabel confounding seperti aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu, IMT ibu sebelum hamil, perilaku merokok ibu selama hamil, dan berat badan lahir, tetap menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan obesitas dengan tingkat intelegensi pada anak sekolah.

Dokumen terkait