• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Keintiman Dalam Hubungan Berpacaran

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keintiman

Ada tiga hal yang mempengaruhi keintiman dalam suatu hubungan romantis. Tiga hal tersebut, yaitu:

a. Kualitas komunikasi

Kualitas komunikasi berkaitan dengan kualitas waktu yang digunakan dalam menjalin hubungan berpacaran. Kualitas waktu didefinisikan sebagai waktu yang fokus dan tidak terputus dengan pasangan (Lingren, 1998, dalam Emmers-Sommers, 2004). Kualitas waktu memberikan kesempatan untuk melakukan percakapan yang bermakna dan melakukan aktivitas bersama yang bermanfaat. Penelitian yang dilakukan oleh Emmers-Sommers (2004) menunjukkan bahwa kualitas komunikasi menjadi indikator yang lebih baik daripada kuantitas komunikasi untuk suatu keintiman dalam hubungan.

b. Struktur keluarga

Struktur keluarga berkaitan dengan keutuhan keluarga, yaitu keberadaan ayah dan ibu dalam keluarga. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bruce, Flora, & Stace (2004) menunjukkan bahwa individu yang berasal dari keluarga yang utuh memiliki tingkat keintiman yang lebih tinggi dengan pasangannya daripada individu yang berasal dari keluarga bercerai. Hal ini disebabkan individu yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi untuk membangun hubungan yang intim dengan pasangan daripada individu yang berasal dari keluarga yang utuh.

c. Gender

Gilligan (1982, dalam Heller & Wood, 1998) berpendapat bahwa perkembangan wanita dikarakteristikkan sebagai perpaduan antara

identitas dan keintiman. Hal tersebut dikarenakan wanita memfokuskan diri pada keintiman dan perhatian. Para wanita juga cenderung mendefinisikan diri mereka dalam konteks hubungan dengan orang lain, sedangkan pria cenderung untuk mendefinisikan diri mereka dalam konteks otonomi dan pekerjaan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Heller & Wood (1998) menunjukkan bahwa pria dan wanita berbeda secara signifikan dalam merasakan keintiman dengan pasangannya. Wanita merasakan tingkat keintiman yang lebih tinggi kepada pasangannya daripada pria.

3. Aspek-aspek keintiman

Sampai saat ini belum ada teori yang menetapkan secara pasti mengenai aspek-aspek yang membangun keintiman. Reis & Shaver (1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998) menyebutkan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi aspek pembentuk keintiman. Clack & Wilkinson (2006) mendukung teori tersebut dengan menambahkan satu aspek sehingga ada empat aspek, yaitu intimacy goals, pengungkapan diri, responsivitas pasangan dan pengungkapan diri pasangan. Di sisi lain Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009) mengungkapkan bahwa ada delapan aspek yang digunakan untuk memahami bagaimana suatu keintiman dalam hubungan dapat dibangun. Kedelapan aspek tersebut adalah keintiman fisik, komunikasi non verbal, pengungkapan diri,

keberadaan, keintiman kognitif, keintiman afeksi, komitmen, dan mutuality.

Aspek-aspek yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh di atas memiliki sifat yang saling mendukung. Hal ini dikarenakan baik aspek-aspek yang telah diungkapkan oleh Clack & Wilkinson (2006) maupun oleh Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009), merupakan bagian dari aspek yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Reis & Shaver (1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan lima aspek pembentuk keintiman sebagai hasil dari penggabungan aspek-aspek yang telah diungkapkan sebelumnya. Kelima aspek tersebut, adalah:

a. Intimacy goals

Intimacy goals adalah hasrat yang dimiliki oleh individu untuk membentuk ikatan yang intim dalam hubungan mereka. Saat individu fokus pada intimacy goals yang ingin dicapai dalam hubungan berpacarannya, ia akan mengesampingkan tujuan-tujuan hidupnya yang lain. Intimacy goals akan mengarahkan individu kepada suatu pola perilaku yang kondusif untuk membentuk keintiman (Sanderson et al, 2005). Terbentuknya ikatan yang intim di antara pasangan akan membawa mereka pada hubungan yang terus-menerus untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009) menyebutnya sebagai aspek komitmen. Adanya komitmen yang kuat dalam suatu hubungan akan menghasilkan perasaan yang

kuat pula akan kepaduan dan hubungan (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

b. Pengungkapan diri

Pengungkapan diri adalah suatu bentuk komunikasi verbal mengenai informasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan kepada individu lain secara pribadi (Reis & Shaver, 1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Pengungkapan diri juga termasuk menghilangkan batas antara seseorang dan pasangannya (secara fisik dan psikis) sehingga menjadi satu dalam hidup pasangannya atau membiarkan pasangannya berada dalam hidupnya (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009). Penyatuan antar pasangan merupakan hal yang inti dalam hubungan intim. Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009) menyebutnya sebagai mutuality. Mutuality adalah suatu persepsi bahwa antar pasangan saling bertaut dalam berbagai hal. Mutuality berasal dari proses pertukaran, keadaan saling tergantung, dan harapan akan timbal-balik di antara pasangan (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

Pengungkapan diri menjadi suatu hal yang penting dalam membentuk keintiman dengan pasangan (Reis & Shaver, 1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Hal ini dikarenakan pengungkapan diri merupakan tanda kehangatan, persahabatan, dan kepercayaan (Taylor, Peplau, Sears. 2009). Tanda-tanda tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi non verbal. Oleh karena itu,

menurut Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009), dalam suatu keintiman hubungan terdapat pula komunikasi non verbal di antara pasangan. Komunikasi non verbal adalah komunikasi melalui tindakan, ekspresi wajah serta kedekatan secara fisik atau sentuhan (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009). Adanya komunikasi non verbal ini menunjukkan bahwa dalam suatu hubungan berpacaran ada keintiman fisik. Keintiman fisik adalah sentuhan fisik di antara pasangan yang berkisar dari kedekatan secara fisik sampai kontak seksual (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

Banyak peneliti yang membedakan antara pengungkapan diri faktual dan pengungkapan diri emosional dalam mengukur pengaruh pengungkapan diri dalam hubungan intim (Morton, 1978; Reis & Shaver, 1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Pengungkapan diri faktual adalah pengungkapan mengenai fakta dan informasi diri (Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Pengungkapan diri faktual ini sejalan dengan aspek yang diungkapkan oleh Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009), yaitu adanya keintiman kognitif. Keintiman kognitif merupakan suatu bentuk kesadaran yang penuh dan pengetahuan tentang hubungan intim yang dijalani dengan pasangan. Keintiman kognitif dikarakteristikan dengan perasaan bahwa individu tersebut mengetahui hal-hal tentang pasangannya.

Pengungkapan diri emosional adalah pengungkapan mengenai perasaan-perasaan, opini-opini, dan penilaian-penilaian pribadi (Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Pada aspek yang disebutkan oleh Prager (1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009), pengungkapan diri emosional merupakan suatu bentuk adanya keintiman afeksi dalam suatu hubungan. Keintiman afeksi adalah suatu bentuk ekspresi emosi. Keintiman afeksi berisi tentang perasaan yang dikarakteristikkan dengan kedalaman cinta, perhatian, perasaan kasihan, dan daya tarik positif kepada pasangan (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

c. Responsivitas pasangan

Responsivitas pasangan adalah suatu bentuk respon dari perilaku-perilaku yang mereka terima dari pasangannya, seperti pengungkapan dan ekspresi emosi, yang menunjukkan suatu bentuk komunikasi, kebutuhan-kebutuhan, harapan dan aksi dari pasangan (Miller & Berg, 1984, dalam Laurenceau, Pietromonaco, dan Barrett, 1998). Pada suatu hubungan berpacaran, adanya perasaan mendapat respon dari pasangan menjadi hal yang penting dalam membentuk keintiman. Laurenceau, Pietromonaco, dan Barrett (1998) menemukan bahwa perasaan individu mendapat respon dari pasangan menjadi mediator bagi aspek pengungkapan diri dan pengungkapan diri pasangan dalam membentuk keintiman. Pada penelitian yang dilakukan oleh Laurenceau, Pietromonaco, dan Barrett (1998), pengungkapan diri dan

pengungkapan diri pasangan memberikan efek yang lebih kuat pada keintiman setelah aspek responsivitas pasangan ikut berinteraksi di dalamnya.

d. Pengungkapan diri pasangan

Pengungkapan diri pasangan adalah komunikasi verbal yang diberikan oleh pasangan mengenai informasi-informasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pribadi sebagai respon atas pengungkapan diri yang diberikan oleh individu (Reis & Shaver, 1988, dalam Laurenceau, Pietromonaco, & Barrett, 1998). Menurut Dindia (2002, dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009)) pengungkapan diri yang dilakukan oleh individu kepada pasangannya akan cenderung dibalas dengan pengungkapan diri dari pasangannya.

e. Kehadiran

Kehadiran adalah perasaan subyektif mengenai kehadiran orang lain baik secara fisik maupun non fisik. Perasaan kehadiran dapat digerakan dengan tindakan-tindakan simbolis dari ketidakhadiran seseorang atau perasaan yang muncul secara spontan tanpa disebabkan oleh faktor eksternal (Prager, 1995, dalam Eryilmaz & Atak, 2009).

Dokumen terkait