• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari daratan 1.8 juta

5.3 Analisis Data Panel

5.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendapatan domestik regional bruto perkapita (PDRB), dana bagi hasil (DBH), jumlah penduduk (POP), pengangguran (TPT), pengeluaran kesehatan(SEHAT) dan penduduk yang lulus SMU (SMU) serta variabel tidak bebas yaitu kemiskinan (POOR). Penyusunan model data panel dilakukan dalam dua tahap. Pertama, membandingkan fixed effects model dengan random effects model. Kedua, membuat estimasi model atau persamaan dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas. Software yang dipergunakan dalam pengolahan data penelitian adalah Eviews 6.0.

Penentuan model yang sesuai ditetapkan dengan uji Hausman. Statistik Uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom

sebanyak jumlah variabel bebas dari model. Uji kesesuaian model data panel dengan fixed effects dan random effects menggunakan uji Hausman menunjukkan nilai p-value2(prob.) < 0,05, hal ini berarti model persamaan yang disusun memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian

fixed effects model lebih sesuai digunakan.

Tabel 9 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Kemiskinan Kabupaten Penghasil Migas tahun 2004-2007

Variabel Persamaan 1 Persamaan 2 Persamaan 3 Koefisien Prob Koefisien Prob Koefisien Prob

C 14.3191 0.00 14.5832 0.00 8.2124 0.00

PDRB perkpt (juta Rp) -0.0498 0.00 0.0719 0.02 -0.0314 0.00 DBH (milyar Rp) -0.0001 0.60 -0.00005 0.68 0.0015 0.42 POP (ribu orang) 0.0082 0.00 0.0104 0.01 0.0110 0.00 TPT (persen) 0.2455 0.00 0.2239 0.07 0.4093 0.00 SEHAT (milyar Rp) -0.0093 0.00 -0.2209 0.16 -0.1413 0.00 SMU (persen) -0.1990 0.00 -0.0181 0.00 -0.0020 0.45 R2 0.99679 0.995262 0.99648 Adj R2 0.99547 0.992454 0.99488 F statistic 191.8491 354.457 621.207 Sumber : Data diolah

Ket : Persamaan 1 (seluruh kabupaten), Persamaan 2 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan >25 persen), Persamaan 3 (kabupaten dengan peran sektor pertambangan <25 persen).

69

Persamaan pada Tabel 9, menghasilkan nilai R2 untuk persamaan 1,2, dan 3 yang sama yaitu 0.9967, 0.9952, 0.9964 yang berarti bahwa pengaruh variabel bebas produk domestik regional bruto, dana bagi hasil, jumlah penduduk, pengangguran, pengeluaran kesehatan dan penduduk yang lulus SMU terhadap variabel tidak bebas kemiskinan sebesar 99.67, 99.52 dan 99.64 persen sedang sisanya sebesar 0.33, 0.48 dan 0.56 persen lainnya dijelaskan oleh variabel yang tidak masuk dalam model.

Hasil pengujian pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap varaiabel tidak bebas dengan menggunakan uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar 754.45 jauh lebih besar dibandingkan dengan F tabel yang mencapai nilai 2.09. Secara keseluruhan dari hasil uji F diketahui bahwa variabel produk domestik regional bruto, dana bagi hasil, jumlah penduduk, pengangguran, pengeluaran kesehatan dan penduduk yang lulus SMU signifikan berpengaruh terhadap variabel kemiskinan.

Variabel pendapatan domestik regional bruto perkapita pada persamaan 1 signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0.05 yang berarti bahwa peningkatan PDRB perkapita 1 unit akan menurunkan jumlah orang miskin sebesar 0.05 unit dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hal ini berarti setiap kenaikan PDRB perkapita sebesar Rp 1 juta maka akan mengurangi atau menurunkan persentase penduduk miskin sebanyak 0.05 persen. Hal ini mengindikasikan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan jumlah penduduk miskin.

Peningkatan pendapatan perkapita dalam level yang lebih rendah seperti keluarga akan mampu memberikan kesempatan bagi anggata rumah tangga untuk memperoleh tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih layak. Peningkatan pendidikan seorang indivudu dengan sendirinya akan meningkatkan kualitas dan kemampuan dari invidu tersebut untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Peningkatan standar hidup dari seseorang akan mengangkat individu tersebut keluar dari garis kemiskinan (kemiskinan absolut) dengan demikian secara keseluruhan peningkatan pendapatan per kapita diharapkan akan mampu mengurangi angka kemiskinan terutama di kabupaten penghasil migas.

Koefisien variabel PDRB perkapita yang diperoleh dari persamaan 1 mempunyai arah yang sama dengan persamaan 3. Hasil yang berbeda ditunjukkan persamaan 2 yang memiliki arah koefisien yang berbeda dengan dua persamaan sebelumnya. Pada daerah yang struktur ekonominya didominasi sektor pertambangan migas peningkatan pendapatan perkapita justru meningkatkan persentase penduduk miskin. Hal ini terjadi karena peningkatan PDRB perkapita tidak seluruhnya mampu dinikmati oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akibat peningkatan nilai tambah dari sektor pertambangan migas hanya memberi dampak relatif kecil mengingat penyerapan tenaga kerja di sektor ini (pertambangan migas) jauh lebih sedikit dibanding sektor lain seperti pertanian maupun industri. Hasil dari dari sektor pertambangan migas lebih berupa dana bagi hasil yang tidak sepenuhnya mampu dinikmati oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut.

Variabel dana bagi hasil pada persamaan 1 tidak signifikan mempengaruhi penurunan kemiskinan di daerah penghaasil migas. Hal ini diduga karena sebagian besar dana bagi hasil tidak dialokasikan untuk berbagai program pengentasan kemiskinan, kalaupun ada jumlahnya relatif terbatas sehingga kurang mampu memberikan dampak yang signifikan bagi pengurangan penduduk miskin. Pada sebagian besar daerah penghasil terutama yang berada di Provinsi Kalimantan Timur dan Riau, sebagian besar anggaran daerah digunakan untuk belanja rutin dan porsi terbesar (60-80%) adalah untuk gaji pegawai.

Variabel populasi pada persamaan 1 diketahui signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda positif yang berarti bahwa peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan persentase orang miskin. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesa yang ada bahwa peningkatan populasi yang tidak terkendali akan meningkatkan jumlah orang miskin di suatu daerah. Peningkatan penduduk sebanyak 1 juta orang maka akan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 8.2 persen (cateris paribus). Hasil ini menunjukkan perlunya pemerintah mengontrol pertambahan penduduk, yang memang relatif besar di keluarga miskin. Untuk itu, diperlukan penggalakan kembali program Keluarga Berencana dengan fokus pada keluarga miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2008).

71

Pertambahan penduduk yang cepat cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama yang paling miskin; mereka yang tidak mempunyai lahan atau alat produksi sendiri biasanya merupakan korban pertama dari langkah-langkah penghematan anggaran pemerintah seperti ketika pemerintah terpaksa membatasi dana untuk program-program kesehatan dan pendidikan. (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan penduduk terutama di keluarga miskin akan semakin memiskinkan penduduk. Hal ini terjadi karena semakin beratnya beban ekonomi harus yang ditanggung oleh suatu keluaga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak.

Variabel populasi pada persamaan 2 dan 3 mempunyai arah yang sama dengan persamaan 1. Perbedaan terjadi hanya pada besarnya nilai koefisien dari masing-masing persamaan. Dari ketiga persamaan yang ada, persamaan 3 mempunyai pengaruh pertambahan penduduk yang paling besar terhadap peningkatan penduduk miskin.

Variabel persentase pengangguran pada persamaan 1 signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda positif. Hal ini berarti bahwa peningkatan persentase pengangguran akan meningkatkan persentase penduduk miskin di suatu wilayah. Pada persamaan 1 terlihat bahwa peningkatan pengangguran sebesar 1 unit akan meningkatkan penduduk miskin sebanyak 0.25 unit (cateris paribus) dengan kata lain setiap peningkatan 1 persen pengangguran maka akan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 0.25 persen.

Besarnya pengaruh variabel penggangguran terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa sebagian rumah tangga di daerah penghasil migas memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji/upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan perkerjaan (diperlihatkan dengan meningkatkan angka pengangguran) menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama pada kelompok masyarakat dengan pendapatan hanya sedikit berada diatas garis kemiskinan) maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin.

Kondisi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang rentan ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah. Pemerintah diharapkan lebih cepat tanggap terhadap berbagai kondisi ekonomi yang berkembang saat ini. Pemberlakuan area bebas perdagangan antara China dan ASEAN (CAFTA/China ASEAN Free Trade Area) harus menjadi perhatian serius terutama bagi pemerintah pusat. Pemberlakuan CAFTA ini tentunya akan mengancam keberadaan sejumlah industri yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri tekstil dan pakaian jadi. Sejumlah produk China saat ini mulai membanjiri pasar-pasar termasuk berbagai jenis produk pertanian.

Variabel pengangguran dari ketiga persamaan memiliki koefisien yang searah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa persamaan 2 mempunyai pengaruh peningkatan pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin yang paling besar dibanding 2 persamaan lainnya. Pada persamaan 3 peningkatan 1 persen orang pengangguran akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.14 persen (cateris paribus).

Variabel pengeluaran kesehatan signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda negatif dengan nilai -0.009 yang berarti bahwa peningkatan 1 unit pengeluaran kesehatan akan mengurangi persentase penduduk miskin sebanyak 0.009 unit jumlah penduduk miskin dengan kata lain bahwa peningkatan pengeluaran kesehatan sebesar Rp 1 trilyun maka akan mengurangi jumlah orang miskin sebanyak 9.3 persen (cateris paribus). Variabel pengeluaran kesehatan di daerah yang struktur ekonominya didominasi sektor pertambangan migas (persamaan 2) menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Hal ini diduga karena pengeluaran kesehatan yang dianggarkan relatif terbatas sehingga tidak memberikan dampak yang nyata bagi penurunan angka kemiskinan di wilayah tersebut.

Pada studi yang lain, tidak adanya cacat tubuh karena lepra diperkirakan dapat membuat pekerja di India mampu menghasilkan tiga kali lipat (Max dan Shepard, 1989). Selain itu hasil penelitian Strauss dan Thomas (1998) menyimpulkan bahwa kesehatan dan nutrisi memang meningkatkan produktifitas, dimana perbaikan terbesar dinikmati oleh orang-orang yang sebelumnya memiliki pendidikan paling rendah dan paling miskin.

73

Peningkatan kesehatan akan berdampak pada peningkatan produktifitas sehingga mampu memperoleh pendapatan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan peluang bagi seseorang keluar dari kemiskinan. Implikasinya adalah pemerintah pusat maupun daerah harus mampu menyediakan anggaran kesehatan yang cukup bagi seluruh masyarakat terutama bagi golongan masyarakat miskin. Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) bagi masyarakat yang tergolong miskin di kelas III pada Rumah Sakit Pemerintah merupakan salah satu langkah nyata untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat.

Variabel pengeluaran kesehatan pada persamaan 2 dan 3 memiliki tanda koefisien yang searah dengan persamaan 1. Perbedaan pada ketiga persamaan terletak pada besaran nilai koefisien masing-masing persamaan. Dari ketiga persamaan tersebut, persamaan 2 mempunyai pengaruh pengeluaran kesehatan terhadap penduduk miskin paling besar diantara 2 persamaan yang lain. Hasil yang tidak signifikan pada persamaan 2 menunjukkan bahwa besarnya anggaran kesehatan di wilayah tersebut tidak sepenuhnya mampu menurunkan persentase penduduk miskin yang ada. Hal ini diduga karena besarnya anggaran kesehatan yang ada tidak dialokasikan tepat sasaran.

Variabel penduduk yang lulus SMU pada persamaan 1 terbukti signifikan mempengaruhi kemiskinan dengan koefisien bertanda negatif yang berarti bahwa peningkatan jumlah penduduk yang lulus SMU akan menurunkan jumlah orang miskin di suatu daerah. Peningkatan jumlah penduduk yang lulus SMU sebanyak 1 persen akan menurunkan penduduk miskin sebanyak 0.19 persen pada persamaan 1, sebanyak 0.02 persen pada persamaan 2 dan sebanyak 0.002 persen pada persamaan 3 dengan asumsi variabel yang lain tetap.

Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan memegang peran yang penting menurunkan jumlah penduduk miskin. Kemiskinan erat kaitannya dengan kualitas hidup yang rendah termasuk didalamnya kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan meningkatkan produktifitas seseorang yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan orang tersebut.

Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniati (2008) mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi, populasi, jumlah

penduduk yang lulus SMU terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia menunjukkan hasil yang relatif sama dengan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini (kecuali persamaan 2). Dari hasil analisis diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk yang lulus SMU berhubungan negatif dengan kemiskinan di daerah penghasil migas. Sementara itu variabel populasi dari hasil penelitian ini mempunyai hubungan yang positif dengan peningkatan kemiskian di daerah. Perbedaan kedua penelitian ini disebabkan karena adanya perbedaan waktu penelitian, lokasi penelitian dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini selain variabel yang digunakan oleh Siregar dan Wahyuniati ditambahkan pula variabel lain yaitu variabel dana bagi hasil dan pengeluaran kesehatan.

Perbedaan terjadi pada hasil analisis mengenai pengaruh dana perimbangan dalam hal ini dana bagi hasil. Pada penelitian ini diketahui bahwa pengaruh DBH mempunyai arah yang negatif terhadap kemiskinan sementara pada penelitian yang dilakukan Skira (2006) justru mempunyai arah yang positif. Perbedaan ini sesungguhnya bukan suatu perbedaan melainkan merupakan kesamaan karena indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kemiskinan berbeda. Pada penelitian di kabupaten penghasil migas indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah persentase orang yang berada dibawah garis kemiskinan sementara dalam penelitian Skira digunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Dokumen terkait