• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari daratan 1.8 juta

4.4 Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah

Besar-kecilnya DBH migas tiap kabupaten tentunya berdampak pada kemampuan keuangan daerah penghasil migas. Kemampuan DBH migas dalam memberikan sumbangan bagi penerimaan daerah sangatlah beragam diantara 32 kabupaten penghasil migas. Perbedaan persentase DBH migas di masing-masing kabupaten mencerminkan adanya perbedaan struktur ekonomi tiap kabupaten.

Dari Tabel 4 terlihat bahwa daerah-daerah yang kaya hasil migas sangat menggantungkan penerimaan daerahnya dari hasil DBH migas. Hal ini nampak dari besarnya persentase DBH migas terhadap total penerimaan daerah. Kabupaten-kabupaten seperti Bengkalis, Rokan Hilir dan Kutai Kartanegara adalah contoh kabupaten yang penerimaan daerahnya sangat tergantung pada penerimaan DBH migas. Pada ketiga kabupaten ini lebih dari separuh (50 persen) penerimaan daerah disumbangkan oleh penerimaan dana bagi hasil migas. Bahkan di Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar lebih dari 70 persen total penerimaan daerah berasal dari dana bagi hasil migas. Dalam jangka panjang hal ini tentunya kurang baik mengingat sumber daya migas merupakan salah satu sumber daya yang tidak dapat terbarukan sehingga perlu dicarikan terobosan baru bagi sumber penerimaan daerah yang lainnya

4.4 Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah

Keberhasilan pembangunan suatu wilayah tidak hanya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita namun juga dilihat dari pencapaian indeks pembangunan manusia serta pengurangan persentase penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi tidak bermakna jika diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk miskin dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Kondisi wilayah yang relatif tertinggal juga turut mempengaruhi keberhasilan daerah dalam mencapai kemajuan pembangunan di wilayah tersebut.

Pola penurunan persentase penduduk miskin cenderung terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota selama kurun waktu 2004-2007. Walaupun dibeberapa wilayah masih terjadi peningkatan persentase penduduk kemiskinan seperti yang terjadi di Kabupaten Lamongan dan Indramayu.

Tabel 5 Penduduk Miskin, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007

Kabupaten

Persentase Penduduk Miskin

(%) IPM Kondisi Wilayah 2004 2005 2006 2007 2007 2007 Kutai Timur 16.52 14.72 17.66 17.51 70.46 - Bengkalis 10.87 8.59 11.56 10.69 73.36 - Kutai Kartanegara 15.07 14.72 14.44 12.59 71.53 - Rokan Hilir 18.34 16.01 14.85 9.41 71.06 - Musi Banyuasin 36.39 36.28 35.52 33.60 69.64 - Kampar 14.96 12.93 11.69 10.73 72.98 - Indramayu 16.49 18.43 20.66 20.96 66.22 -

Tanjung Jb Timur 11.61 13.40 13.97 13.44 70.23 Daerah tertinggal

Nunukan 21.18 19.13 21.66 20.02 72.17 Daerah tertinggal

Musi Rawas 35.40 34.82 34.49 32.93 66.31 Daerah tertinggal

OKU 18.16 17.59 17.80 15.69 69.42 -

Lahat 29.61 29.57 29.67 28.09 69.35 -

Bulungan 22.19 20.52 22.76 22.31 73.33 -

Sarolangun 20.25 19.81 18.23 16.11 70.74 Daerah tertinggal

Subang 14.67 16.67 18.90 16.84 70.03 - Tanjung Jb Barat 15.73 13.28 12.48 12.79 71.44 - Tuban 12.64 12.64 12.73 12.66 66.61 - Indragiri Hulu 19.62 17.28 15.97 14.63 72.96 - Batanghari 19.01 18.09 17.20 15.42 71.83 - Jambi 6.04 5.37 5.18 5.04 75.07 - Bojonegoro 12.74 12.72 12.78 12.72 65.50 - Karawang 13.28 14.93 16.51 14.83 68.45 - Bontang 6.81 6.23 7.86 7.87 75.62 - Majalengka 17.42 19.39 21.82 19.77 68.94 - Tarakan 9.11 8.33 10.07 9.54 75.30 - Mojokerto 11.98 11.99 12.07 11.95 71.99 -

Bangkalan 32.88 32.81 33.53 31.56 62.97 Daerah tertinggal

Sidoarjo 12.31 12.43 12.38 12.40 74.87 - Bekasi 6.35 7.01 7.58 6.66 71.55 - Tebo 11.16 10.90 10.05 8.69 70.81 - Lamongan 12.68 12.58 12.70 12.78 67.88 - Samarinda 7.90 5.78 6.05 6.60 75.61 - Indonesia 16.66 15.97 17.75 16.58 70.59

Sumber : Badan Pusat Statistik (2008) dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (2005) Pada tahun 2007 hampir setengah (15 kabupaten) dari 32 kabupaten penghasil migas memiliki persentase penduduk miskin yang lebih besar dari persentase penduduk miskin secara nasional. Bahkan di Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Bangkalan mempunyai persentase jumlah penduduk miskin lebih dari 30 persen atau dengan kata lain 1/3 penduduk di ketiga

47

kabupaten tersebut tergolong sebagai orang miskin. Khusus di Kabupaten Musi Banyuasin yang memiliki tingkat kemiskinan sebesar 33.60 persen, kondisi ini agak kontras dengan besarnya dana bagi hasil yang diterima kabupaten yang mencapai Rp 742 milyar atau sebesar Rp 17 juta perkapita (Tabel 5) .

Pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) di sebagian besar daerah penghasil migas tidak terlalu menggembirakan. Kondisi ini mirip dengan pencapaian penduduk miskin di masing-masing kabupaten. Secara umum pencapaian IPM di kabupaten penghasil migas masih berada dibawah pencapaian IPM nasional. Beberapa daerah yang memiliki IPM yang relatif lebih baik dari pencapaian IPM nasional adalah daerah yang berstatus wilayah kotamadya seperti Jambi, Samarinda, Tarakan dan Bontang.

Kondisi seluruh kabupaten penghasil migas di Provinsi Sumatera Selatan memiliki persentase penduduk miskin yang relatif tinggi dan pencapaian IPM yang rendah. Walaupun dalam periode tahun 2004-2007 telah terjadi penurunan persentase kemiskinan namun secara umum tingkat kemiskinan di provinsi ini masih relatif tinggi. Kondisi ini tentunya agak kontras dengan besarnya potensi sumber daya migas yang dimiliki oleh sejumlah kabupaten di provinsi ini.

Dari 32 kabupaten/kota penghasil migas yang menjadi kabupaten penelitian ini terdapat 5 kabupaten penghasil migas yang termasuk sebagai kabupaten tertinggal hasil penetapan kabupaten tertinggal dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Kelima kabupaten yang masuk sebagai kabupaten tertinggal versi Kementerian PDT adalah Kabupaten Sarolangun, Tanjung Jabung Timur, Musi Rawas, Bangkalan dan Nunukan. Penetapan kabupaten tertinggal oleh Kementerian PDT tidak semata-mata didasarkan pada letak geografis wilayah tersebut yang terpencil namun juga dilihat dari perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, kondisi infrastruktur dan kemampuan keuangan lokal (celah fiskal) yang ada di wilayah tersebut. Jika diperhatikan kondisi kabupaten yang masuk sebagai daerah tertinggal memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan pencapaian indeks pembangunan manusia yang relatif masih rendah.

Analisis Disparitas Pendapatan

Analisis disparitas pendapatan dalam penelitian ini dipergunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan kabupaten penghasil migas yang dijelaskan oleh besaran PDRB perkapita tahun 2002-2007 dalam dua kategori. Kategori pertama yaitu nilai indeks Williamson gabungan seluruh kabupaten/kota dalam satu provinsi dengan menyertakan migas. Kategori kedua nilai indeks Williamson gabungan kabupaten/kota dalam satu provinsi tanpa menyertakan peran migas.

Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Indonesia

Disparitas antar kabupaten/kota penghasil migas secara menyeluruh kabupaten/kota penghasil migas di Indonesia ditampilkan pada Gambar 3. Dari hasil penghitungan indeks Williamson dengan migas menunjukkan ketimpangan pendapatan yang terus meningkat dengan nilai indeks yang besar berkisar antara 0.87-0.95. Tren peningkatan nilai indeks berlangsung hingga tahun 2005 dengan nilai mencapai 0.95. Memasuki tahun 2006 hingga 2007 ketimpangan pendapatan berangsur turun hingga mencapai 0.91 pada tahun 2007 (Lampiran 1).

0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k s W il li a m s o dengan migas tanpa migas

Gambar 3 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007

49

Indeks Williamson tanpa migas menunjukkan pola yang menurun sepanjang tahun 2002-2007 dan tingkat disparitas yang cukup besar berkisar antara 0.68-0.72. Tingginya disparitas pendapatan di kabupaten penghasil migas menunjukan tingkat pendapatan antar wilayah yang tidak merata. Standar deviasi dari nilai indeks yang rendah (0.01) berarti naik turunnya nilai indeks sepanjang tahun 2002-2007 tidak terlalu besar (Lampiran 1).

Dari hasil penghitungan indeks Williamson seluruh kabupaten/kota penghasil migas antara tahun 2002-2007 dapat ditarik kesimpulan bahwa migas berdampak negatif terhadap kesenjangan pendapatan antar wilayah. Kesenjangan pendapatan antar daerah penghasil migas pada masing-masing provinsi dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.

Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Riau

Nilai Indeks Williamson Provinsi Riau tahun 2002-2007 menunjukkan pola yang berbeda antara nilai indeks dengan migas dan tanpa migas. Nilai indeks Williamson dengan migas menunjukkan pola yang semakin menurun namun memiliki tingkat disparitas yang tinggi dengan nilai indeks berkisar antara 0.64-0.77. Rata-rata nilai indeks Williamson tahun 2002-2007 mencapai nilai 0.67 dengan standar deviasi sebesar 0.05. Nilai standar deviasi yang relatif rendah menunjukkan bahwa perbedaan nilai indeks antar waktu yang tidak terlalu besar. (Lampiran 1). 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k W W il li a m s o n Dengan Migas Tanpa Migas

Tingkat kesenjangan pendapatan dengan migas memiliki nilai indeks yang sangat besar ini disebabkan perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten. Kabupaten dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi adalah Kabupaten Bengkalis dengan tingkat pendapatan perkapita yang mencapai Rp 74 juta pada tahun 2007. Sementara kabupaten lain seperti Kabupaten Rokan Hulu hanya memiliki pendapatan perkapita Rp 20 juta pada tahun yang sama.

Indeks Williamson tanpa migas memiliki pola yang meningkat sepanjang tahun 2002-2007 dengan tingkat disparitas yang rendah. Dalam kurun 2002-2007, tingkat kesenjangan pendapatan di Provinsi Riau berkisar antara 0.18-0.23. Rata-rata nilai indeks Williamson dalam kurun waktu 2002-2007 adalah 0.20 dan standar deviasi sebesar 0.02. Rendahnya disparitas pendapatan tanpa migas ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan antar kabupaten yang relatif merata dengan tingkat pendapatan berkisar antara Rp 19 juta–28 juta (Tabel 2). Dari penghitungan indeks Williamson di Provinsi Riau ini dapat disimpulkan bahwa migas berdampak negatif terhadap ketimpangan pendapatan.

5.1.3 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jambi

Nilai indeks Williamson di Provinsi Jambi pada kurun waktu 2002-2007 memiliki pola yang relatif sama antara indeks dengan migas dan indeks tanpa migas. Disparitas pendapatan di provinsi ini paling rendah dibanding 5 provinsi lainnya. Nilai indeks dengan migas pada kurun waktu 2002-2007 menunjukkan pola yang menurun dengan tingkat disparitas yang rendah antara 0.35-0.38 dan rata-rata mencapai 0.36. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan antar kabupaten yang relatif lebih merata. Disparitas pendapatan yang cenderung kecil disebabkan kondisi dan potensi sumber daya alam di provinsi ini relatif lebih merata dengan pendapatan perkapita berkisar Rp 10 juta. Kabupaten dengan pendapatan perkapita tertinggi yaitu Tanjung Jabung Timur (Rp 20 juta) dan terendah Kabupaten Tebo (Rp 6 juta) (Tabel 2).

Disparitas pendapatan tanpa migas memiliki pola yang menurun dengan nilai berkisar antara 0.21-0.24. Perbedaan antara 2 nilai indeks pada gambar 5 karena adanya pengaruh migas yang membuat nilai indeks Williamson tanpa migas ini relatif lebih rendah daripada nilai indeks dengan migas. Rata-rata nilai indeks

51

tanpa migas ini adalah 0.23 dengan standar deviasi sebesar 0.02. Rendahnya nilai standar deviasi ini berarti naik turunnya nilai indeks tidak terlalu besar.

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k s W il li a m s Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 5 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jambi tahun 2002-2007 Hingga tahun 2007 indeks Williamson dengan migas dan tanpa migas di Provinsi Jambi pada tahun 2007 mencapai masing-masing 0.35 dan 0.21 (Lampiran 1) Hasil dari penghitungan indeks Williamson di provinsi ini dapat disimpulkan bahwa migas berdampak negatif terhadap ketimpangan pendapatan.

5.1.4 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Sumatera Selatan

Nilai indeks Williamson dengan migas di Provinsi Sumatera Selatan seperti tampak pada gambar 6 memiliki pola yang yang cenderung meningkat hingga tahun 2005 dengan nilai 0.74. Tahun 2006, nilai indeks kembali turun (0.69) dan di tahun 2007 kembali naik (0.71). Nilai indeks yang cukup fluktuatif sepanjang waktu ini tercermin dari besarnya standar deviasi yang mencapai 0.12. (Lampiran 1). Peningkatan nilai indeks di provinsi diduga karena faktor pemekaran wilayah. Pada tahun 2005, lahir beberapa kabupaten baru diantaranya adalah Kabupaten OKU Selatan, OKU Timur dan Ogan Ilir. Hingga tahun 2007 nilai indeks Williamson dengan migas di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 0,71 jauh meningkat dibanding tahun 2002 yang mencapai 0,44.

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k s W il li a m s Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 6 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Sumatera Selatan tahun 2002-2007

Indeks Williamson tanpa migas dan dengan migas memiliki pola yang relatif sama. Perbedaan dari kedua nilai indeks ini disebabkan pengaruh migas yang membuat nilai indeks dengan migas lebih besar. Pada nilai indeks tanpa migas ini tingkat pendapatan relatif lebih merata yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai indeks yang berkisar antara 0.15-0.26. Dari Provinsi Sumatera Selatan dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan disparitas pendapatan diduga tidak hanya disebabkan oleh faktor minyak dan gas bumi namun juga karena faktor pemekaran wilayah.

5.1.5 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jawa Barat

Disparitas pendapatan di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 2002-2007 cenderung memiliki trenyang menurun. Hal yang menarik dari Provinsi Jawa Barat ini adalah peran migas dalam penciptaan disparitas. Jika di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan peran migas cenderung meningkatkan ketimpangan pendapatan namun di Jawa Barat migas justru menurunkan disparitas pendapatan. Seperti tampak pada Gambar 7 terlihat bahwa disparitas pendapatan tanpa migas justru lebih besar dibanding dengan migas. Hal ini dikarenakan kecilnya peran pertambangan migas dalam struktur ekonomi daerah. Struktur ekonomi di Kabupaten Bekasi dan Karawang lebih didominasi oleh sektor industri sehingga perbedaan pendapatan perkapita lebih disebabkan peningkatan nilai tambah sektor tersebut. Struktur ekonomi kabupaten lain juga menunjukkan peran migas tidak

53

terlalu besar. Dari 5 kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Indramayu yang memiliki struktur ekonomi dengan peran migas yang cukup besar. (Tabel 2)

0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k s W il li a m s Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 7 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2007

Dari hasil perhitungan diketahui nilai rata-rata indeks dengan migas sebesar 0.65 sedangkan nilai rata-rata indeks tanpa migas mencapai 0.79. Hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan dengan migas relatif lebih merata. Sementara jika melihat Gambar 7 dan membandingkan nilai standar deviasi keduanya terlihat bahwa penurunan indeks tanpa migas relatif lebih tajam dalam kurun waktu 2002-2007 (Lampiran 1)

Ketimpangan pendapatan yang besar di provinsi ini disebabkan perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten yang besar. Kabupaten Bekasi dengan pendapatan perkapita tertinggi merupakan salah satu kabupaten yang berperan dalam penciptaan disparitas pendapatan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa migas berperan menurunkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

5.1.6 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Jawa Timur

Nilai indeks Williamson di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 2002-2007 memiliki tren yang menurun (Gambar 8). Kondisi disparitas pendapatan di provinsi ini mirip dengan Provinsi Jawa Barat dengan peran migas yang cenderung

menurunkan disparitas pendapatan. Seperti tampak pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai indeks Williamson dengan migas lebih rendah dibandingkan nilai indeks tanpa migas. Hal ini diduga karena kecilnya peran migas dalam struktur ekonomi daerah. Di Kabupaten Sidoarjo dengan struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor industri, pertambangan migas hanya menyumbang kurang dari 2 persen saja. Demikian pula struktur ekonomi kabupaten lain, peran migas tidak terlalu besar. Dari 6 Kabupaten penghasil migas hanya Kabupaten Tuban saja yang memiliki struktur ekonomi dengan peran migas yang cukup besar.

0.56 0.58 0.60 0.62 0.64 0.66 0.68 0.70 0.72 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun In d e k s W il li a m s o Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 8 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2007

Secara keseluruhan disparitas pendapatan dengan dan tanpa migas memiliki nilai yang tidak terlalu berbeda. Rata-rata nilai indeks dengan migas mencapai 0.66 sedangkan tanpa migas mencapai 0.68. Kabupaten Sidoarjo merupakan kabupaten dengan pendapatan perkapita tertinggi diantara 6 kabupaten lainnya yang memegang peran penting terhadap ketimpangan pendapatan. Penghitungan nilai indeks Williamson ini memberi kesimpulan bahwa migas berperan menurunkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

5.1.7 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi terbesar penghasil migas di Indonesia. Struktur ekonomi kabupaten di provinsi ini secara umum didominasi sektor pertambangan migas. Besarnya potensi migas di provinsi ini memberi

55

sumbangan yang sangat besar dalam penerimaan provinsi maupun kabupaten di wilayah ini.

Nilai indeks Williamson dengan migas dalam kurun waktu 2002-2007 menunjukkan tren penurunan. Nilai indeks Williamson dengan migas di provinsi ini merupakan nilai tertinggi dibanding 5 provinsi lainnya. Pada tahun 2002 nilai indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur mencapai 0.73 kemudian turun pada tahun berikutnya menjadi 0.72 dan hingga tahun 2006 mencapai nilai 0.69. (Lampiran 1). Ketimpangan pendapatan yang tinggi ini disebabkan adanya perbedaan pendapatan perkapita diantara daerah penghasil migas. Kota Bontang sebagai kota penghasil migas dan juga sebagai kota industri pengolah hasil migas memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi dengan pendapatan mencapai Rp 407,10 juta. Demikian juga dengan Kabupaten Kutai Kartanegara yang terkenal sebagai kabupaten penghasil migas terbesar di Indonesia ini memiliki pendapatan perkapita sebesar Rp 139,57 juta.

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 2002 2003 2004 2005 2006 2007 tahun in d e k s W il li a m s o Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur tahun 2002-2007

Di lain pihak, nilai indeks Williamson tanpa migas jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai indeks dengan migas. Disparitas pendapatan tanpa migas menunjukkan pola yang terus meningkat dengan nilai berkisar 0.28-0.45. Pada tahun 2002 nilai indeks Williamson mencapai 0.34 dan terus mengalami peningkatan hingga pada 2007 telah mencapai 0.43. Rendahnya nilai indeks tanpa migas ini menandakan bahwa tingkat pendapatan yang relatif lebih merata. Dari perbandingan nilai indeks Williamson diatas dapat kita simpulkan bahwa migas

memberikan dampak yang negatif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur.

Dokumen terkait