• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI DAERAH PENGHASIL MIGAS

HARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Maret 2010

(3)

ABSTRAK

HARIYANTO. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas. (SRI MULATSIH sebagai Ketua dan SUHARIYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pemberlakuan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang besar terutama bagi daerah penghasil migas sebagai akibat meningkatnya penerimaan daerah melalui dana bagi hasil migas. Peningkatan penerimaan daerah ini seharusnya menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang relatif lebih maju dibanding daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun kenyataannya masih banyak daerah penghasil migas yang memiliki jumlah penduduk miskin yang besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana struktur perekonomian daerah penghasil migas secara umum, bagaimana pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten penghasil migas, bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten penghasil migas, serta ingin pula mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.

Penelitian yang dilakukan menggunakan data sekunder tahun 2004-2007. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, tipologi Klassen, indeks Williamson dan analisis data panel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian daerah penghasil migas tidak seluruhnya didominasi oleh sektor pertambangan. Sektor industri atau pertanian justru mendominasi struktur perekonomian di beberapa daerah penghasil migas. Pengelompokkan dengan tipologi Klassen menunjukkan bahwa beberapa kabupaten masuk dalam kabupaten tertinggal seperti Kabupaten Bangkalan, Lamongan, Tuban, dan Karawang.

Hasil penghitungan indeks Williamson menunjukkan bahwa secara umum minyak dan gas bumi berperan dalam meningkatkan disparitas pendapatan antar kabupaten didaerah penghasil migas namun hal ini tidak berlaku di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Hasil analisis data panel menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, jumlah penduduk yang lulus SMU dan anggaran pendidikan signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil migas sedangkan populasi dan pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Variabel populasi dan pengangguran diketahui berhubungan positif terhadap persentase penduduk miskin di daerah penghasil migas, sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi, anggaran kesehatan dan jumlah penduduk yang lulus SMU berhubungan negatif dengan kemiskinan di daerah tersebut. Sementara upah minimum regional dan ekspor diketahui berhubungan positif terhadap ketimpangan pendapatan, sedangkan variabel investasi dan dana alokasi umum berhubungan negatif terhadap ketimpangan pendapatan.

(4)

ABSTRACT

HARIYANTO. Economic Growth, Poverty and Income Inequality in Oil and Gas Producing Region. (SRI MULATSIH as a Chairman and SUHARIYANTO as a member of advisory Committe)

The implementation of regional autonomy accompanied with fiscal decentralization policy provides great impact, especially for oil and gas producing regions as a result of increased local revenues through oil and gas profit sharing funds. The increase of local revenue is supposed to make those regions has better welfare than poor natural resources regions. In reality, there are still a lot of oil and gas producing regions that has a large number of poor population and low economic growth rates.

The objectives of this study are to find out the economic structure of oil and gas producing regions, the pattern of income per capita and economic growth, income inequality among the oil and gas producing regions, and also to analyze what factors affect economic growth, poverty and income inequality in those regions.

The data employed in this study is secondary data during the 2004-2007 period. The methods used in this study are descriptive analysis, Klassen typology, Williamson index and panel data analysis. The results showed that the economic structure of oil and gas producing regions are not entirely dominated by the mining sector. Industrial sector or agricultural sector dominate the economy structure in some regions. Klassen typology shows that some districts such as Bangkalan, Lamongan, Tuban, and Karawang are categorized as undeveloped districts.

Williamson index calculation results show that in general the oil and gas play a role in increasing income disparities among oil and gas producing districts, but this does not apply in the Province of West Java and East Java. The results of panel data analysis showed that variables of local income, profit sharing funds, savings, the number of residents who graduated from high school and the education budget are positive and significantly contributed to economic growth in oil producing areas while the population and unemployment are negatively related to economic growth in the area. Population and unemployment variables are positively related to the percentage of poor people in oil producing areas, while variables of economic growth, health budget and the number of residents who graduated from high school are negatively related to poverty in the region. Regional minimum wage and exports are negatively related to income inequality, while investment and general allocation of funds are positively related to income inequality.

(5)

RINGKASAN

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai sumber daya alam termasuk didalamnya minyak dan gas bumi (migas). Pemberlakuan Undang-Undang perimbangan keuangan memberikan dampak yang besar bagi daerah yang kaya sumber daya alam dengan diberikannya dana bagi hasil sumber daya alam. Besarnya limpahan dana bagi hasil dari pemerintah pusat seharusnya menjadikan daerah penghasil migas sebagai daerah yang relatif lebih maju dalam bidang perekonomian dibanding daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun kenyataannya disejumlah daerah penghasil migas masih terdapat kantong-kantong kemiskinan, bahkan sejumlah kabupaten termasuk dalam kabupaten tertinggal. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana struktur perekonomian daerah penghasil migas secara umum, bagaimana pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten penghasil migas, bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten penghasil migas dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk memberi gambaran tentang struktur perekonomian kabupaten penghasil migas. Analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi daerah penghasil migas. Ketimpangan pendapatan antar wilayah diketahui dengan menggunakan indeks Williamson. Analisis data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder antara tahun 2002-2007 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Kementerian Negara Daerah Tertinggal dan Bank Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak seluruh kabupaten penghasil migas sruktur ekonominya didominasi oleh sektor pertambangan dengan migas. Di beberapa kabupaten struktur perekonomian kabupaten penghasil migas justru lebih didominasi oleh sektor lain diluar migas seperti sektor pertanian atau industri. Di Kabupaten Sidoarjo dan Kota Bontang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri pengolahan. Sementara kabupaten Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Sarolangun, Tebo, Lahat dan Lamongan struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian.

(6)

di kedua provinsi tersebut yang lebih didominasi oleh sektor pertanian atau industri.

Berdasarkan analisis tipologi Klassen diketahui bahwa sejumlah kabupaten masuk dalam kelompok daerah tertinggal seperti Kabupaten Bangkalan, Lamongan, Tuban dan Karawang. Kabupaten yang masuk dalam kelompok daerah maju sepanjang tahun 2002-2007 antara lain Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Samarinda dan Bekasi. Dalam kurun 5 tahun beberapa daerah berhasil keluar dari kelompok daerah tertingal menjadi kelompok daerah berkembang antara lain Kabupaten Tebo, Ogan Komering Ulu, dan Lahat.

Pertumbuhan ekonomi signifikan secara positif dipengaruhi oleh variabel pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, tabungan, jumlah penduduk yang lulus SMU, dan pengeluaran pendidikan. Sedangkan variabel populasi dan pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kemiskinan signifikan secara positif dipengaruhi variabel populasi dan pengangguran. Variabel pendapatan perkapita, pengeluaran kesehatan dan penduduk lulus SMU negatif mempengaruhi kemiskinan. Sedangkan variabel dana bagi hasil tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan.

Ketimpangan pendapatan positif dipengaruhi oleh variabel upah minimum regional dan ekspor. Variabel investasi dan dana alokasi umum berpengaruh menurunkan ketimpangan pendapatan. Sedangkan variabel dana bagi hasil tidak signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan.

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa Mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(8)

PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI DAERAH PENGHASIL MIGAS

HARIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas

Nama : Hariyanto

NIP : H151080314

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Dr. Suhariyanto

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryantono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Ketimpangan di Daerah Penghasil Migas” .

Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terimakasih yang mendalam dan dengan segala hormat kepada :

1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan segala kesabarannya mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan suatu permasalahan untuk memperoleh alur penulisan yang baik.

2. Dr. Suhariyanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, utamanya dalam pemodelan dan sistematika isi tesis.

3. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M,Si selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan pengarahan selama menempuh kuliah di S2 Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc selaku penguji luar komisi atas saran masukan bagi perbaikan tesis.

5. Para dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan pengajarannya. Untuk semuanya itu penulis mendoakan semoga akan menjadi amalan sholeh yang tidak akan putus pahalanya.

6. Dr. Rusman Heriawan, M.Si selaku Kepala Badan Pusat Statistik atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

8. Semua rekan seangkatan di Kelas Khusus Badan Pusat Statistik Program Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor untuk semangat dan kebersamaannya selama menjalani kuliah.

9. Para Pejabat Struktural dan rekan sejawat di lingkungan Subdit Statistik Perkebunan Badan Pusat Statistik atas segala bantuan selama penulis menjalani kuliah sampai dengan menyelesaikan tesis ini.

10. Erisman, M.Si selaku mantan atasan penulis yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk terus maju melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

11. Teristimewa kepada orang tua, istri (Iin Suwartini) dan anak-anak (Fathur Nurhafizh, Muhammad Fauzan dan Harish Fadhilah) atas segala do’a dan dorongan yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk terus melangkah.

12. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.

Akhirnya, harapan besar penulis adalah tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian, dan secara khusus bagi pembangunan di daerah penghasil migas.

Bogor, Maret 2010 Penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 1973 dari ayah Alm Tukidjan bin Tudarmo dan ibu Kasmini. Penulis merupakan putra ke enam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1986 menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 01 Pisangan Timur, Jakarta. Pada Tahun 1989 lulus dari SMP Negeri 44 Jakarta selanjutnya lulus dari SMA Negeri 5 Surakarta pada tahun 1992.

Pada tahun 1997 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada program Diploma III jalur Tugas Belajar di Akademi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2000. Tahun 2000 penulis kembali melanjutkan pendidikan pada program Diploma IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2001. Tahun 2008 penulis diterima pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Tugas Belajar Badan Pusat Statistik.

(14)

xiii

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan... ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA... ... 7

2.1Pertumbuhan Ekonomi ... ... 7

2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik... ... 9

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Solow... 9

2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen... ...10

2.1.4 Teori Pertumbuhan Kuznet... ...10

2.1.5 Teori Pertumbuhan Harrod Domar... ...11

2.2Kemiskinan ... ...11

2.2.1 Penyebab Kemiskinan ... 12

2.2.1 Dampak Kemiskinan ... 13

2.3Ketimpangan Antar Wilayah ... ...13

2.3.1 Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah ...14

2.3.1 Dampak Ketimpangan Antar Wilayah ...20

2.4Dana Bagi Hasil ... ...20

2.5Daerah Penghasil Migas ... ...22

2.6Daerah Tertinggal... ...22

2.7Penelitian Terdahulu ... ...22

2.7.1 Penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi ...22

2.7.2 Penelitian tentang Kemiskinan ...23

2.7.3 Penelitian tentang Ketimpangan Antar Wilayah ...25

(15)

xiv

4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENGHASIL MIGAS...…………37

4.1Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita... ...37

4.2 Produk Domestik Regional Bruto... ...40

4.3 Potensi Sumber Daya Migas...42

4.4 Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah... ...45

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...…………48

5.1Analisis Disparitas Pendapatan ... ...48

5.1.1 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Indonesia... 48

5.1.2 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Riau ... 49

5.1.3 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jambi ... 50

5.1.4 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Sumatera Selatan ... 51

5.1.5 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jawa Barat... 52

5.1.6 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Jawa Timur ... 53

5.1.7 Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Penghasil Migas di Kalimantan Timur ... 54

5.2Analisis Tipologi Klassen ... ...56

5.3Analisis Data Panel ... 59

5.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...60

5.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan ...68

5.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan ...74

5.4 Peran Dana Bagi Hasil terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Daerah Penghasil Migas ... 80

6. KESIMPULAN DAN SARAN... ...83

6.1 Kesimpulan... ...83

6.2 Saran... ...84

DAFTAR PUSTAKA………. ...85

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007 ... 38 2 Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007... 39 3 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Penghasil

tahun 2007 ... ... 41 4 DBH Migas, DBH perkapita dan persentase DBH Migas terhadap Total

Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2007 ... ... 44 5 Penduduk Miskin, Indeks Pembangunan Manusia dan Kondisi Wilayah

di Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 46 6 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas

Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2002 ... 57 7 Pengelompokan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Penghasil Migas

Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2007 ... 58 8 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 61 9 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Kemiskinan Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2004-2007 ... ... 68 10 Uji Signifikansi Variabel Bebas pada Persamaan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota Penghasil Migas 2002-2007 ... ... 75 11 Penanaman Modal Asing Menurut sektor di Provinsi Kalimantan Timur

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kurva Kuznets “U Terbalik” ... ... 14 2 Kerangka Penelitian ... ... 28 3 Perkembangan Indeks Williamson Kabupaten Penghasil Migas

tahun 2002-2007 ... ... 48 4 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Riau tahun 2002-2007 ... 49 5 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jambi tahun 2002-2007 ... 51 6 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Sumatera Selatan

tahun 2002-2007 ... ... 52 7 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2007 ... ... 53 8 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2007 ... ... 54 9 Perkembangan Indeks Williamson Provinsi Kalimantan Timur

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Indeks Williamson Kabupaten/Kota Penghasil Migas 2002-2007... ... 88

2 Hasil pengolahan data model persamaan 1 pertumbuhan ekonomi ... ... 91

3 Hasil pengolahan data model persamaan 2 pertumbuhan ekonomi ... ... 92

4 Hasil pengolahan data model persamaan 3 pertumbuhan ekonomi ... ... 93

5 Hasil pengolahan data model persamaan 1 kemiskinan ... ... 94

6 Hasil pengolahan data model persamaan 2 kemiskinan ... ... 95

7 Hasil pengolahan data model persamaan 3 kemiskinan ... ... 96

(19)

I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia meliputi kekayaan laut berupa hasil ikan dan biota laut, hasil kehutanan, pertanian dan pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Salah satu wilayah yang terkenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas bumi yaitu Kalimantan Timur, merupakan provinsi dengan kelimpahan sumber daya alam migas yang luar biasa besarnya sehingga menjadikan provinsi ini sebagai salah satu provinsi dengan jumlah APBD terbesar di Indonesia.

Ditetapkannya Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, yang mulai dilaksanakan sejak awal Januari 2001 merupakan wujud dari desentralisasi aspek finansial. Sejak tahun 2001 pula transfer dana APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk mengurangi/memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Dana perimbangan yang diberikan ke pemerintah daerah terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK). Selain itu khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua diberikan dana perimbangan lain berupa dana alokasi khusus (DAK).

(20)

Prinsip pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan ditunjukkan dengan adanya pembagian dana bagi hasil untuk daerah yang lebih proporsional dari bagian dana perimbangan pusat. Pembagian dana bagi hasil bagi daerah terdiri dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di daerah tersebut dan dana bagi hasil pajak yang dipungut di daerah itu. Sumber– sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 meliputi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/29 orang/pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu sumber–sumber penerimaan sumber daya alam yang dibagihasilkan terdiri kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No 216/PMK07/2007 tentang penetapan dana bagi hasil migas untuk sekitar 58 kabupaten/kota dan 17 provinsi sebesar Rp 22.1 trilyun dengan perincian sebesar Rp 12.3 trilyun untuk bagi hasil minyak dan Rp 9.8 trilyun untuk bagi hasil gas bumi. Dana sebesar Rp 22.1 trilyun tersebut dibagikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota penghasil migas dan pemerintah kabupaten/kota bukan penghasil migas yang masih berada dalam satu provinsi. Secara umum daerah kabupaten/kota penghasil migas menerima lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota bukan penghasil migas. Tiga provinsi yang paling banyak menerima dana bagi hasil migas antara lain Kalimatan Timur (Rp 9.2 Trilyun), Riau (Rp 7.5 Trilyun) dan Sumatera Selatan (Rp 2.1 Trilyun).

(21)

3

Namun demikian, besarnya dana bagi hasil migas berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sebagian besar kabupaten/kota penghasil migas. Pada tahun 2005, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia Nomor 001/Kep/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal yang telah diupdate datanya hingga tahun 2009 melansir 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang tersebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dari 199 kabupaten tertinggal tersebut terdapat sekitar 18 kabupaten penghasil migas yang termasuk dalam kelompok ini dan pada tahun 2007 tercatat sekitar 22 dari 58 kabupaten/kota penghasil migas mempunyai tingkat kemiskinan diatas 20 persen.

Lebih jauh lagi, jika melihat perbandingan capaian pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia pada tingkat nasional tampak bahwa sebagian besar kabupaten/kota penghasil migas masih berada dibawah rata-rata nasional. Pada tahun 2007, seluruh kabupaten penghasil migas di Provinsi Riau memiliki indek pembangunan manusia yang lebih rendah dari pencapaian IPM secara nasional. Kabupaten Bengkalis sebagai kabupaten penghasil migas terbesar di provinsi ini justru memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding pertumbuhan rata-rata provinsi yang mencapai 3.41 persen pada tahun 2007.

(22)

Perumusan Masalah

Besarnya potensi yang dimiliki oleh kabupaten penghasil migas seharusnya menjadikan wilayah ini sebagai daerah yang lebih maju dibanding daerah lain yang minim sumber daya alam. Pelaksanaan otonomi daerah yang efektif berjalan sejak 1 Januari 2001 memberikan energi baru bagi pembangunan daerah khususnya kabupaten penghasil migas. Pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada daerah otonom yang diikuti dengan pelimpahan sumber daya manusia pendukung dan pendanaan yang cukup besar mendorong pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam memajukan daerahnya.

Dalam era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengalami peningkatan APBD yang sangat besar. Dalam hal ini pemerintah daerah yang memiliki sumber alam terutama migas sangat diuntungkan dengan munculnya kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan APBD daerah penghasil migas dengan dikucurkannya dana bagi hasil migas seharusnya menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik dibanding daerah yang minim sumber daya alam migas.

Bila mengamati keadaan kabupaten penghasil migas secara lebih mendalam maka akan tampak kondisi yang sangat mencengangkan. Dari sekitar 58 kabupaten penghasil migas terdapat 18 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Selain itu dari data Badan Pusat Statistik tahun 2007 terdapat sebanyak 22 kabupaten penghasil migas dengan jumlah penduduk miskin lebih dari 20 persen. Kedua hal ini sesungguhnya sangat memprihatinkan banyak kalangan dimana suatu daerah dengan kelimpahan sumber daya alam namun justru menjadi daerah yang tertinggal dan memiliki penduduk miskin yang relatif cukup besar.

(23)

5

ketiga kabupaten/kota tersebut diduga mempunyai peran yang besar terhadap kemunduran perekonomian di daerah tersebut.

Berdasarkan hal diatas maka permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah struktur perekonomian kabupaten/kota penghasil migas secara umum ?

2. Bagaimanakah pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota penghasil migas?

3. Bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota penghasil migas?

4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota penghasil migas ?

5. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota penghasil migas ?

6. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota penghasil migas ?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji struktur perekonomian kabupaten/kota penghasil migas.

2. Mengkaji pola pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota penghasil migas.

3. Mengkaji ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota penghasil migas. 4. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di

kabupaten/kota penghasil migas.

5. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan di kabupaten/kota penghasil migas

(24)

Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini merupakan wahana untuk mengaplikasikan teori yang telah dipelajari selama ini dengan kenyataan empirik dan menambah ketrampilan serta wawasan penulis dalam menganalisa dampak dana bagi hasil sumber daya alam migas terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah penghasil migas. 2. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara umum

mengenai kondisi pembangunan di kabupaten penghasil migas.

3. Sebagai informasi yang bermanfaat bagi pemerintah baik pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakannya, terutama yang berkaitan dengan kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan masalah yang menyangkut masalah kemiskinan di daerah penghasil migas.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah adalah besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Priyarsono et al, 2007). Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan baik jumlah maupun kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal. Disamping itu tenaga kerja juga ikut bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk. Demikian juga halnya dengan teknologi dan mutu pendidikan dari tenaga kerja yang senantiasa berkembang.

Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi kerap kali lebih besar daripada pertambahan produksi yang sebenarnya, sehingga yang terjadi perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya.

Jika diamati, pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia dalam dua abad belakangan ini dan oleh Kuznets, proses pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai modern economic growth. Dalam periode tersebut dunia telah mengalami perubahan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sampai abad XVII kebanyakan masyarakat di dunia ini masih hidup pada tingkat subsisten dan mata pencaharian utamanya adalah di bidang pertanian, perikanan atau berburu. Namun pada saat ini keadaan sudah sangat berbeda.

(26)

lambat atau kemunduran ekonomi menimbulkan implikasi ekonomi dan sosial yang sangat merugikan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan para ahli sejak berabad-abad yang lalu mencoba mencari formula untuk meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat.

Pada mulanya ahli-ahli ekonomi pada mahzab Merkantilisme berpendapat bahwa kekayaan emas dan perak merupakan sumber kekayaan dan kemakmuran suatu negara karena itu mereka menyatakan perlunya dilakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Pada Tahap selanjutnya, Adam Smith yang menjadi pelopor dalam pemikiran ekonomi memberikan pandangan bahwa; sistem pasar, perluasan pasar dan spesialisasi serta kemajuan teknologi merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Dengan lebih intensif, penelitian Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan melalui pertumbuhan modal dan tabungan. Sollow kemudian merumuskan model pertumbuhan ekonomi dari sisi agregat supply dan memasukkan faktor pertumbuhan modal sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disamping modal.

Menurut Todaro dan Smith (2006), terdapat sembilan faktor yang menyebabkan perbedaan dalam mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas modal manusia.

2. Perbedaan pendapatan perkapita dan tingkat pendapatan domestik bruto.

3. Perbedaan iklim

4. Perbedaan jumlah penduduk, distribusi serta laju pertumbuhannya. 5. Peranan sejarah migrasi antar wilayah.

6. Perbedaan dalam memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional.

7. Kemampuan melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmiah dan teknologi.

(27)

9

2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Dua orang ahli pertumbuhan ekonomi klasik yang terkenal adalah Adam Smith dan Ricardian (dalam Priyarsono et al, 2007) mengemukakan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi klasik dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingkat perkembangan suatu masyarakat yang tergantung pada empat faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi yang dicapai.

2. Pendapatan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah yang diterima oleh pemilik tanah.

3. Kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan penduduk.

4. Tingkat keuntungan merupakan faktor yang menentukan pembentukan modal.

5. The law of diminishing return berlaku untuk semua kegiatan ekonomi sehingga mengakibatkan pertambahan penduduk yang akan menurunkan tingkat upah, menurunkan tingkat keuntungan tetapi menaikkan tingkat sewa tanah

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Solow

(28)

Teori pertumbuhan ekonomi Solow ini menunjukkan bahwa tabungan memegang peran yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan tabungan yang dihimpun oleh lembaga perbankan pada akhirnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat untuk membiayai berbagai kegiatan produktif.

2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen memiliki kemiripan dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik Solow dalam hal menjelaskan peran tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasar perbedaan dari kedua teori ini adalah asumsi kurva produksi dan tabungan yang digunakan masing-masing teori. Pada teori neoklasik Solow diketahui bahwa fungsi produksi dan tabungan berada pada posisi dimishing marginal product of capital sehingga kurva fungsi produksi dan tabungan yang paralel akan melengkung. Karena garis investasi memiliki slope positif, maka garis investasi dan kurva tabungan akan saling bepotongan.

Berbeda dengan teori pertumbuhan neoklasik Solow, teori pertumbuhan endogen mengasumsikan bahwa fungsi produksi menunjukkan a contant marginal product of capital. Demikian pula halnya dengan fungsi produksi, kurva tabungan yang paralel, kini berupa garis lurus. Karena tidak ada lagi kecenderungan kurva tabungan untuk menurun, maka tingkat tabungan akan selalu lebih besar dari investasi yang dibutuhkan. Semakin besar tabungan maka semakin besar celah tabungan diatas investasi yang dibutuhkan dan semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi (Dornbusch et al, 2001).

2.1.4 Teori Pertumbuhan Kuznet

(29)

11

2.1.5 Teori Pertumbuhan Harrod Domar

Harrod Domar berpendapatan bahwa perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi tertentu dari pendapatan nasional untuk menambah stok modal yang akan digunakan dalam investasi baru. Ada hubungan yang langsung antara besarnya stok modal (K) dan jumlah produksi nasional (Y).

2.2 Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan dalam dua pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan Relatif didefinisikan sebagai suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran.

Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah Garis Kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

(30)

minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 komoditi di perdesaan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

2.2.1 Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material dasar, namun kemiskinan juga terkait erat dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, misalnya, kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan peranan sosial. (BKPKRI, 2001).

Berdasarkan hasil World Summit for Social Development 1995, kemiskinan seseungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh masalah-masalah internal orang miskin seperti : rendahnya pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung kemajuan dan rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun kemiskinan juga berkaitan dengan faktor-faktor eksternal yang berada diluar jangkauan orang miskin, seperti :

1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan dasar, kesehatan, air bersih) di daerah terpencil.

2. Adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat yang disebabkan karena sistem yang kurang mendukung.

3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik. 4. Bencana alam.

5. Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan

(31)

13

kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena sosio-kultural pada suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan suku Kubu di Jambi (BPS, 2007)

2.2.2 Dampak Kemiskinan

Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang meluas dapat mengakibatkan dampak yang negatif bagi pembangunan di suatu daerah antara lain: Pertama, kemiskinan menyebabkan kaum miskin tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, memperoleh akses kredit dan ketiadaan peluang untuk melakukan investasi baik investasi fisik maupun moneter.

Kedua, kemiskinan menyebabkan kaum miskin memiliki standar hidup yang rendah, yang tercermin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga dapat menurunkan produktifitas ekonomi mereka dan akibatnya secara tidak langsung maupun langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Ketiga, meluasnya kemiskinan menyebabkan menurunkan permintaan atas barang dan jasa sehingga secara keseluruhan ekonomi akan tumbuh lebih lambat

2.3 Ketimpangan Antar Wilayah

Ketimpangan antar wilayah adalah perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Setiap negara selalu mempunyai wilayah yang maju secara ekonomi dan ada yang tertinggal. Perbedaan ini terletak pada perkembangan sektor-sektor ekonominya, baik sektor pertanian, pertambangan, industri, konstruksi, perdagangan, transportasi, komunikasi, sektor jasa seperti perbankan, asuransi, kesehatan, maupun sektor infrastruktur, perumahan dan lain sebagainya.

(32)

Pada umumnya negara-negara maju telah mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang atau relatif merata. Masalah ketimpangan antar wilayah biasanya terjadi di negara-negara berkembang.

Sumber : Syafrizal, 2008

Gambar 1. Kurva Kuznets “U Terbalik”

Menurut hipotesa Neo klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara-negara maju ketimpangan tersebut akan lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk U terbalik (Reverse U Shape Curve) seperti tampak pada Gambar 1. (Syafrizal, 2008).

2.3.1 Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah

Disparitas pembangunan terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi iklim pertanian (agro climate), sumber daya alam, lokasi geografi, jarak pelabuhan dengan pusat aktifitas ekonomi dan wilayah potensial untuk pembanguan ekonomi. Sementara faktor-faktor sosial budaya meliputi nilai dan

Kurva Ketimpangan Regional

Tingkat Pembangunan Wilayah Ketimpangan

(33)

15

tradisi, mobilitas ekonomi, investasi dan kewirausahaan. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung membuat terjadinya disparitas pembangunan (United Nations, 2001).

Pertumbuhan ekonomi tinggi yang kurang diimbangi dengan kekuatan-kekuatan redistributif baik secara ekonomi maupun politis akan menimbulkan kesejangan. Kesenjangan ini muncul disebabkan berbagai faktor yaitu sistem sentralisasi negara yang terlalu kuat, sedangkan kekuatan penyeimbang tidak sebanding; kondisi dualisme yang dipertajam dengan kebijakan pemerintah, misalnya kota desa, sektor formal-informal sehingga langsung berhadapan dengan skala besar dan kecil (ekonomi rakyat); adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang bersifat eksploitif, koruptif dan kolusif; kekuatan demokrasi ekonomi dan politik yang belum memadai (Hasibuan, 2001).

Kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan mengakibatkan pembangunan menjadi timpang dan tidak seimbang, dimana satu sektor berkembang jauh lebih cepat dari sektor lainnya. Dalam hal ini dimana sektor ekonomi mendapatkan prioritas tertinggi dalam program pembangunan, para perencana kebijakan cenderung untuk demikian memusatkan perhatian pada faktor ekonomi, sehingga mereka lupa memberi perhatian secukupnya pada segi-segi non ekonomis yang menunjang. Penekanan yang berlebihan pada pembangunan ekonomi seraya mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial atau dengan kata lain terlalu mengutamakan salah satu sektor ekonomi akan menciptakan ancaman bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan. Sebab jurang perbedaan dalam pembangunan sektor-sektor dapat menimbulkan ketegangan dan rasa tidak puas yang selanjutnya akan mengundang reaksi-reaksi politis atau psikologis yang merugikan pembangunan ekonomi (Sumardjan, 1991).

(34)

a) Labor Migration (perpindahan tenaga kerja)

Perpindahan tenaga kerja antar daerah mungkin sangat selektif karena baik oleh hambatan keuangan daripada tingkat pendapatan yang rendah atau kelambanan tradisonal di masyarakat pedesaan dan daerah non industri yang miskin. Orang-orang yang pindah mungkin ditandai sebagai orang-orang yang bersemangat dan berjiwa kewirausahaan, terdidik dan mempunyai ketrampilan dan dalam umur-umur produktif.

Perpindahan penduduk yang selektif semacam ini akan memberikan penekanan terhadap adanya tendensi kearah terpencarnya pendapatan regional, tingkat partisipasi tenaga kerja, jika yang lain tetap, cenderung akan menguntungkan daerah yang kaya dan merugikan daerah yang miskin. Lebih dari itu, human capital yang berharga cenderung mengalir keluar dari daerah miskin ke daerah kaya yang membuat sumber-sumber regional perkapita yang dimiliki akan lebih pincang dan ketidaksamaan akan lebih besar.

b) Capital Migration (perpindahan modal)

Perpindahan modal swasta secara inter-regional cenderung berakibat buruk. Faedah eksternal ekonomis dan faedah umum yang berasal dari aglomerasi dari proyek-proyek modal di daerah kaya yang menyebabkan berpindahnya modal dari daerah miskin, hal ini cenderung memperhebat ketidaksamaan regional dan memperluas perpecahan antara daerah kaya dan miskin. Resiko yang tinggi, kekurangan kemampuan berwirausaha dan pasar modal yang belum berkembang, boleh jadi akan menekan kegiatan investasi dan akumulasi modal di daerah miskin.

c) Central Government Policy (kebijakan pemerintah pusat)

(35)

17

Dengan memperhatikan pola investasi regional pemerintah pusat, hendaknya jelas bahwa setelah pembangunan berlangsung, maka investasi pemerintah diharapkan semakin berkurang dan dalam banyak hal investasi pemerintah akan dibiayai oleh investasi sebelumnya.

d) Interregional Linkages (keterkaitan antar daerah)

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada permulaan pembangunan mungkin efek menyebar dari perubahan teknologi dan perubahan sosial serta penggandaan pendapatan adalah kecil, tetapi selanjutnya diharapkan pada saat pembangunan telah berjalan, peningkatan di suatu daerah akan memberikan efek yang menyebar ke daerah di sekitarnya.

Setiap faktor-faktor diatas atau kombinasinya, boleh jadi cukup menyebabkan ketidaksamaan regional menjadi berkurang ataupun bertambah. Sedangkan ketimpangan antar daerah dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain kecemburuan antar daerah dan berbagai masalah kependudukan (migrasi, urbanisasi, pengangguran dan sebagainya), yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh pada stabilitas nasional.

Menurut Syafrizal (2008), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah antara lain :

a) Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam

(36)

Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan daerah lain yang mempunyai sumberdaya alam yang lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam yang lebih sedikit akan memproduksi barang-barang dengan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumberdaya ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

b) Perbedaan Kondisi Demografi

Kondisi demografis juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar wilayah. Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh pada produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik cenderung akan mempunyai produktifitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

c) Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

(37)

19

kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah mengherankan bila ketimpangan antar wilayah seringkali terjadi di negara berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

d) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas dan batubara. Kedua, meratanya fasilitas transportasi baik darat, laut maupun udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

e) Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

(38)

mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung tinggi.

2.3.2 Dampak Ketimpangan Antar Wilayah

Ketimpangan antar wilayah tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai suatu masalah yang sederhana. Ketimpangan antara wilayah yang ekstrim akan menimbulkan beberapa masalah diantara :

1. Ketimpangan antar wilayah dipandang sebagai hal yang tidak adil. Konsentrasi pembangunan pada masa lalu yang lebih menfokuskan pembangunan di Pulau Jawa sehingga mengabaikan pembangunan di wilayah luar Jawa akan menimbulkan rasa ketidakadilan di sebagian besar masyarakat di luar Jawa. Jika hal ini terus menerus dibiarkan akan mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai suatu negara. 2. Ketimpangan yang terjadi antar wilayah akan menimbulkan ancaman bagi

stabilitas dan keamanan negara. Gerakan separatis yang menginginkan untuk merdeka atau untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu contoh betapa pentingnya ketimpangan antar wilayah harus menjadi perhatian Pemerintah. Hal ini terjadi terutama pada wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah namun tetap memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

2.4 Dana Bagi Hasil

(39)

21

dan DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan (pph) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan.

Berdasarkan PP Nomor 115 tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen bagian propinsi dan 12 persen bagian kabupaten/kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah kabupaten/kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan mempertimbangkan berbagai faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan. Sementara itu, sesuai dengan PP Nomor 16 tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, seluruhnya juga sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian sebesar 90 persen tersebut, 10 persen merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka bagian pemerintah daerah dari penerimaan PBB diperkirakan mencapai 95.7 persen. Sementara itu, bagian dari dari BPHTB, berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999 ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya sebesar 20 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan ke daerah.

Dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan sebesar 15 persen dan 30 persen dari penerimaan bersih setelah dikurangi komponen pajak dan biaya-biaya lainnya yang merupakan faktor pengurang.

(40)

persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

2.5 Daerah Penghasil Migas

Definisi daerah penghasil migas adalah daerah dimana terdapat penerimaan negara dari migas atau daerah dimana terdapat lapangan/sumur yang berproduksi dan ada produk yang dijual (lifting). (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009)

Penggolongan daerah penghasil migas ditetapkan sebagai berikut:  Daerah 0 - 4 mil laut (kabupaten/kota),

 Daerah 4 - 12 mil laut (propinsi)

 Daerah > 12 mil laut (pemerintah pusat).

2.6 Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan daerah tertinggal menggunakan pendekatan penghitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah (Meneg PDT, 2005).

2.7 Penelitian Terdahulu

2.7.1 Penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi

(41)

23

Penelitian lain juga dilakukan oleh Faisal (2002) dengan menggunakan data panel di 26 propinsi di Indonesia periode pengamatan 1995 sampai dengan 1999. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya tingkat propinsi di Indonesia.

Haryanto (2006), dalam penelitian dengan menggunakan data kabupaten seluruh Indonesia pada periode waktu 2001 sampai 2004 meneliti pengaruh variabel pendidikan, pengangguran, ketimpangan daerah, infrastruktur, jumlah penduduk dan keterbukaan daerah serta indikator desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari penelitiannya, disimpulkan bahwa variabel pendidikan, ketimpangan wilayah, jumlah penduduk dan infrastruktur mempengaruhi secara postif pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel pengangguran signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selain itu diketahui bahwa indikator pendapatan asli daerah terbukti positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sari (2006), dalam penelitiannya mengamati pengaruh perkembangan perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 30 propinsi pada periode 1987-2002. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel tabungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.7.2 Penelitian tentang Kemiskinan

Balisacan et al (2003) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia dan apa yang ditunjukkan oleh data subnational. Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan memiliki hubungan yang kuat untuk tingkat agregat. Penelitian menggunakan metode data panel dengan menggunakan data 285 kabupaten /kota.

(42)

dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel proksinya. Variabel lain yang digunakan dalam model ini antara lain pengeluaran Sosial untuk masyarkat miskin, gini ratio, PDB perkapita , kepadatan penduduk, tingkat kelahiran dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana perimbangan daerah, pengeluaran sosial untuk masyarakat miskin, PDB perkapita dan kepadatan penduduk dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar memberikan dampak yang positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sementara itu Gini ratio dan tingkat kelahiran berdampak negative terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel lain seperti share sektor pertanian dan industri dalam PDRB, populasi, inflasi, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU, dan Diploma berdampak terhadap penurunan kemiskinan di 26 propinsi antara tahun 1995-2005 dengan menggunakan metode data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, share sektor pertanian dalam PDRB, share sektor industri dalam PDRB, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU dan Diploma berhubungan negatif dengan jumlah kemiskinan. Sedangkan variabel populasi dan inflasi berhubungan positif dengan kemiskinan.

Zulfachri (2006) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan terhadap kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi berganda. Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi mendorong perlambatan laju pertumbuhan kemiskinan, sebaliknya ketidakmerataan pendapatan akan meningkatkan laju pertumbuhan kemiskinan.

Alawi (2006) melakukan penelitian pengaruh anggaran belanja pembangunan daerah terhadap kemiskinan dengan menggunakan model regresi data panel sebagai alat analisa. Penelitian yang dilakukan menggunakan data seluruh kabupaten dan kota yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah tahun 2002-2004. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa alokasi pengeluaran untuk

(43)

25

Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk kepentingan menyediakan jaminan sosial telah berhasil memperbaiki tingkat kemiskinan, kedalam kemiskinan dan keparahan kemiskinan.

Fatma (2005) dalam penelitiannya mengamati pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisa regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh searah dan signifikan terhadap Head Count Index, Poverty Gap Index dan

Distributionally Sensitive Index. Pengangguran berpengaruh searah terhadap Head Count Index dan Poverty Gap Index tapi berpengaruh tidak searah terhadap

Distributionally Sensitive Index.

2.7.3 Penelitian tentang Ketimpangan Antar Wilayah

LPEM-UI (2001), dalam penelitian mengamati dampak dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) dan dana alokasi umum terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana bagi hasil SDA memberi dampak yang buruk terhadap disparitas pendapatan antar daerah sementara dana alokasi umum cukup efektif mengurangi disparitas antar daerah.

Syateri (2005), dalam penelitiannya mengamati pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, sumbangan pemerintah pusat dan pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap kesenjangan antar kabupaten/kota di Propinsi Bengkulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel investasi dan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan antara wilayah. Sementara itu, variabel sumbangan pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

(44)

Uppai dan Handoko (1986) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung menurunkan kesenjangan pendapatan antar daerah dalam kurun waktu 1976-1980, dengan pengecualian tahun 1979. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Karneo dan Rietveldt (1987) dengan menambah perhitungan koefisien disparitas Williamson, yaitu tahun 1975, 1982 dan 1983 menunjukkan adanya kecenderungan kesejangan pendapatan regional yang menaik.

Akita dan Lukman (dalam Syateri, 2005) dalam penelitiannya mengenai ketidakseimbangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan menggunakan data PDB non migas perkapita periode tahun 1975-1992 menemukan bahwa koefisien disparitas (indeks Williamson) nyaris stabil, setelah melalui perubahan yang signifikan terhadap strukturnya. Peranan sektor tersier sangat besar, meskipun dalam waktu berikutnya cenderung menurun. Sedangkan share Gross Domestic Product (GDP) sektor sekunder mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi besarnya koefisien kesenjangan.

Selanjutnya Garcia dan Soelistianingsih (dalam Syateri, 2005) melakukan penelitian tentang terjadinya perbedaan pendapatan propinsi-propinsi di Indonesia yang disebabkan oleh rendahnya indikator kesehatan dan angka melek huruf masayarakat pedesaan dan propinsi-propinsi miskin. Rendahnya indikator kedua aspek tersebut merupakan penyumbang terbesar pada tingkat kesenjangan regional di Indonesia.

2.8 Kerangka Penelitian

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pembagian dana alokasi umum, dana bagi hasil dan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Khusus bagi daerah penghasil migas, pemerintah daerah setempat memperoleh dana bagi hasil sumber daya alam minyak dan gas bumi (DBH SDA migas).

(45)

27

pertumbuhan ekonomi di tiap daerah. Penelitian ini ingin melihat bagaimana struktur perekonomian kabupaten penghasil migas secara umum, dampak migas terhadap ketimpangan pendapatan serta mengamati variabel-variabel yang terkait dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu pada penelitian ini juga ingin dilihat tingkat kemajuan dalam pembangunan daerah menurut tipologi Klassen.

(46)

 Kesehatan, Pendidikan, Pelayanan Umum, Ketertiban dan Ketentraman,

Ekonomi, Lingkungan Hidup,

(47)

III.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari dari publikasi-publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik, BPS Provinsi, BPS Kabupaten, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Bank Indonesia. Selain itu penelitian ini juga memanfaatkan sumber-sumber literatur dan jurnal yang berkaitan dengan objek penelitian

Analisis Deskriptif

Analisis ini dipergunakan untuk memberi gambaran terkini kondisi sosial ekonomi kabupaten penghasil migas seperti struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan dengan bantuan grafik dan tabel.

Tipologi Klassen

Gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah merupakan analisis yang cukup penting untuk melihat kondisi perekonomian suatu daerah. Dengan melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi akan dapat terlihat bagaimana potensi relatif perekonomian suatu daerah baik secara agregat maupun secara sektoral terhadap daerah lain sekitarnya. Pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah oleh para ahli ekonomi biasanya digunakan analisis tipologi Klassen. Alat analisis ini didasarkan pada dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di suatu daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita sebagai sumbu horizontal.

(48)

a. Kuadran I yaitu daerah maju dan tumbuh cepat (rapid growth region), merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi (high growth and high income).

b. Kuadran II yaitu daerah maju tapi tertekan (retarded region), merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya lebih rendah tapi pendapatan perkapita lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi (low growth but high income).

c. Kuadran III yaitu daerah berkembang (growing region), merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tapi pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi (high growth but low income).

d. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (relatively backward region),

merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi (low growth and low income).

Indeks Williamson

Indeks Williamson digunakan untuk melihat gambaran tentang tendensi pemerataan pembangunan antar wilayah yang berada dalam suatu kawasan (provinsi). Nilai Indeks ini berkisar antara nol dan satu. Jika nilai indeks semakin mendekati satu berarti kesenjangan regional semakin besar, jika indeks semakin mendekati nol berarti tingkat kesenjangan antar wilayah semakin kecil.

(49)

31

dimana:

Yi = PDRB perkapita di kabupaten ke-i

Y = Rata-rata PDRB perkapita dari seluruh kabupaten di provinsi penelitian

Pi = Perbandingan jumlah penduduk kabupaten ke-i terhadap jumlah penduduk provinsi penelitian

fi = Jumlah penduduk kabupaten ke-i n = Jumlah penduduk provinsi penelitian k = Jumlah kabupaten dalam provinsi penelitian IW = Tingkat disparitas pendapatan regional

Analisis Ekonometrik

Proses estimasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini. Penyusunan model ekonometrika diharapkan mampu menjelaskan pengaruh dari dana bagi hasil migas dan variabel-variabel ekonomi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan di daerah penghasil migas.

Menurut Baltagi (2005), ada beberapa keuntungan dengan menggunakan analisa data panel antara lain :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Memberi informasi yang lebih banyak, lebih beragam, meminimalkan masalah kolinieritas antar variabel dan lebih efisien. 3. Data panel menghasilkan pengukuran yang lebih baik dibanding

dengan menggunakan cross section data atau time series data .

Proses estimasi yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini adalah penggabungan data antar waktu dengan data antar individu yang disebut dengan

(50)

Model regresi data panel yang umum digunakan ada tiga macam, yaitu:

1. Common Effect Model

Model ini mengasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Persamaan regresinya dapat ditulis sebagai berikut:

Yit = α + βXit+ εit ...….(2)

untuk i = 1, …, N dan t = 1, …,T

dimana N adalah jumlah unit cross section (kabupaten) dan T adalah jumlah periode waktunya. Implikasinya, akan diperoleh sebanyak T persamaan deret lintang (cross section) yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N x T observasi. Metode ini sederhana namun hasilnya tidak memadai karena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri.

2. Fixed Effects Model

Asumsi dalam model ini adalah terdapat perbedaan antar individu, yang diakomodasi dalam intersep masing-masing individu. Misalkan yi dan Xi

merupakan T pengamatan untuk setiap unit ke-i, dan i yang disusun dalam vektor T x 1 merupakan vektor gangguan, Untuk mengestimasi model fixed effects dimana intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variabel dummy. Model estimasi ini seringkali disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Dengan demikian, persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut:

Yit = α + βXit+ βDi + εit ...…..(3)

Gambar

Gambar 1.  Kurva Kuznets “U Terbalik”
Gambar 2 . Kerangka Penelitian
Tabel 1   Pertumbuhan Ekonomi  Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007
Tabel 2   Pendapatan perkapita Kabupaten/Kota Penghasil Migas tahun 2002-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah (1) Pola

Berdasarkan atas penyebab ketimpangan regional antar wilayah dari tahun ke tahun cenderung melebar maka dapat diambil suatu dugaan, yakni ketimpangan pembangunan ekonomi

Hasil penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah (1) Pola hubungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang besarnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Kabupaten Jember dengan menggunakan

Hasil penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah (1) Pola

Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah

Ketimpangan Antar Wilayah di Indonesia. Hasil dari penelitiannya yaitu : 1) Semenjak diimplementasikannya desentralisasi fiskal berdampak pada semakin meluasnya disparitas antar

Dalam Sjafrizal (2014) disebutkan bahwa ketimpangan antar wilayah disebabkan karena setiap wilayah memiliki kandungan sumber daya alam yang berbeda, perbedaan