• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

TINJAUAN PUSTAKA

II.2. Teori tentang Kepuasan Kerja

II.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah pekerjaan yang secara mental menantang, imbalan yang pantas, kondisi kerja, dan rekan kerja yang mendukung (Robbins, 2002).

II.2.2.1. Pekerjaan yang menantang Menurut Robbins (2002):

“Pekerjaan yang menantang adalah “pekerjaan-pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan dan menawarkan satu varietas tugas, kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknya melakukan pekerjaan itu, yang secara mental menantang”.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa para karyawan akan lebih memilih pekerjaan-pekerjaan yang komplek dan menantang, yakni jenis-jenis pekerjaan-pekerjaan yang dapat meningkatkan kepuasan dan menyebabkan angka ketidakhadiran menjadi lebih rendah. Herzberg dalam Hasibuan (2005) berpendapat bahwa “suatu pekerjaan yang disenangi dan menantang dapat menimbulkan kegairahan seorang karyawan untuk melakukan pekerjaannya tersebut dengan baik”.

Menurut Hackman dan Oldham yang dikutip dari Robbins (2002) inti dari pekerjaan yang menantang adalah sebagai berikut:

1. Skill Variety. Semakin banyak keragaman ketrampilan dari tugas yang

dilakukan oleh karyawan dalam pekerjaannya akan semakin menantang pekerjaan bagi mereka.

2. Task Identity. Dengan mengetahui identitas tugas yang dilakukan oleh

karyawan akan memudahkan untuk menyelesaikannya secara utuh dan dapat dikenali.

3. Task Significance. Pemahaman terhadap arti tugas akan memberikan

penghargaan terhadap karyawan yang melakukan pekerjaannya.

4. Autonomy. Karyawan dalam melakukan pekerjaannya mendapatkan

kebebasan, ketidaktergantungan, dan keluasaan untuk mengatur jadwal pekerjaannya, membuat keputusan dan menentukan prosedur kerja yang digunakan.

5. Feedback. Pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan akan

memberikan efektivitas yang baik terhadap kinerjanya.

Model karakteristik pekerjaan (job characteristics model) dari Hackman dan oldham (2000) ini adalah suatu pendekatan terhadap pemerkayaan jabatan (job

enrichment) yang dispesifikasikan kedalam lima dimensi inti karakteristik pekerjaan.

Setiap dimensi inti dari pekerjaan mencakup aspek besar materi pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, semakin besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang dilakukan, maka seseorang seseorang akan merasa pekerjaannya semakin berarti. Apabila seseorang melakukan pekerjaan yang sama, sederhana, dan berulang-ulang, maka akan menyebabkan rasa kejenuhan atau kebosanan. Dengan memberi kebebasan pada karyawan dalam menangani tugas-tugasnya akan membuat seorang karyawan mampu menunjukkan inisiatif dan upaya mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan. Lebih khusus, Hackman dan Oldham menjumpai bahwa diantara individu dengan kebutuhan berkembang yang kuat, pekerjaan yang mencapai skor tinggi pada kelima dimensi tersebut membimbing ke kinerja dan kepuasan kerja yang tinggi.

Dengan demikian desain pekerjaan yang berbasis ekonomi ini merupakan fungsi dari dan faktor pribadi. Kelima karakteristik pekerjaan ini akan mempengaruhi tiga keadaan psikologis yang penting bagi karyawan, yaitu mengalami makna kerja (meaningfulness of work), memikul tangung jawab akan hasil kerja (responsibility), dan pengetahuan akan hasil kerja (knowledge of outcomes). Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja, ketidakhadiran, dan perputaran karyawan.

Hasil pengamatan Hackman dan Oldham (Stoner, 1996) menunjukkan bahwa “rasa keberartian, tanggung jawab, dan pemahaman hasil pekerjaan akan mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja”. Orang-orang yang pekerjaannya melibatkan adanya ketinggian tingkat dari variasi ketrampilan, identitas tugas, dan signifikansi tugas akan menganggap pekerjaan mereka sangat berarti. Tingkat otonomi yang tinggi akan membangkitkan rasa tanggung jawab yang lebih besar, dan apabila disediakan umpan balik, karyawan akan mengembangkan suatu pemahaman yang berguna mengenai peranan dan fungsi mereka secara khusus.

Dengan demikian makin besar kelima karakteristik tugas dalam suatu pekerjaan, makin besar pula kemungkinan karyawan sangat termotivasi dan merasakan kepuasan dalam melaksanakan pekerjaan. Karakteristik pekerjaan seorang karyawan jelas terlihat dari desain pekerjaan. Desain pekerjaan menentukan bagaimana pekerjaan dilakukan, oleh karena itu sangat mempengaruhi perasaan karyawan terhadap sebuah pekerjaan, seberapa pengambilan keputusan yang dibuat oleh karyawan terhadap pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang harus

dirampungkan oleh karyawan. Mangkuprawira (2002) menyatakan bahwa “karakteristik pekerjaan adalah identifikasi beragam dimensi pekerjaan yang secara simultan memperbaiki efisiensi organisasi dan kepuasan kerja”. Menurut Luthans (2006) terdapat lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: “pekerjaan itu sendiri (work it-self), pembayaran (wages), rekan kerja (co-worker), kesempatan promosi (promotion opportunities), dan kepenyeliaan (supervision)”.

Davis dan Newstrom (2001) menyatakan bahwa terdapat “beberapa aspek yang menentukan kepuasan kerja karyawan, yaitu: pekerjaan itu sendiri, upah, gaji dan bonus, kesempatan promosi, pengawasan, dan rekan kerja”. Dari salah satu aspek-aspek yang penting, yaitu pekerjaan itu sendiri (work it-self)”.

Maka dapat dikatakan bahwa pekerjaan itu sendiri (work-itself) merupakan pekerjaan yang menantang terhadap kepuasan kerja karyawan. Sebaliknya menurut Dessler (2001) pekerjaan yang lebih menantang adalah bahwa “karyawan harus siap menghadapi perubahan dan memang menginginkannya”. Karena tidak semua orang menjauhi pekerjaan yang membosankan dan rutin. Nyatanya sebagian orang lebih menyukai pekerjaan monoton dan memperoleh kepuasan dari minat non-pekerjaan.

Stoner (1996) menyatakan bahwa “pekerjaan dengan cakupan luas, mungkin membutuhkan variasi ketrampilan yang lebih besar dan barangkali akan lebih banyak mencakup intensitas tugas. Kedalaman pekerjaan berkaitan langsung dengan otonomi dan dapat juga mencakup variasi keterampilan, identitas tugas, dan umpan balik”. II.2.2.2. Keragaman ketrampilan

Menurut Robbins (2002) “karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka”.

Hackman dan Oldham (2000) dalam bukunya “Job Diagnostic Survey” menyatakan bahwa “tercapainya atau tidaknya kepuasan kerja karyawan akan sangat dipengaruhi oleh banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan, dengan tingkat penyelesaian pekerjaan karyawan berdasarkan hasil kerja, dan tugas yang mempunyai arti bagi karyawan dalam melakukan pekerjaan”. Selanjutnya dikatakan bahwa “Pekerjaan dengan cakupan luas, mungkin membutuhkan variasi ketrampilan yang lebih besar”.

Sedangkan menurut Handoko (2000) “kurangnya variasi pekerjaan bisa menyebabkan kebosanan, dan selanjutnya kebosanan menimbulkan kelelahan, dan kelelahan mengakibatkan kesalahan-kesalahan”. Maka dapat dikatakan bahwa keragaman ketrampilan adalah inti dari pemerkayaan pekerjaan dengan maksud untuk menghilangkan kejenuhan atas pekerjaan-pekerjaan yang rutin, sehingga kesalahan-kesalahan dapat diminimalkan.

Di samping itu dikatakan oleh Siagian (2001) bahwa “variasi tugas memberikan keleluasaan dalam menentukan sendiri pekerjaannya”. Dikatakan juga bahwa “kurangnya variasi tugas mengakibatkan kebosanan dalam pekerjaan dan mempunyai dampak negatif yang sering menampakkan diri dalam keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan kecelakaan”. Cara terbaik untuk mengatasi

berbagai hal negatif tersebut adalah dengan variasi dalam penyelesaian tugas seseorang.

II.2.2.3. Identitas tugas

Menurut Robbins (2002) identitas tugas adalah berkaitan “dengan tingkat penyelesaian pekerjaan karyawan berdasarkan hasil kerja”. Hackman dan Oldham (2000) menyatakan bahwa identitas tugas berhubungan “dengan kemampuan untuk mengenal pekerjaan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan karyawan berdasarkan hasil kerja”.

Handoko (2000) menyatakan bahwa “bila pekerjaan-pekerjaan tidak mempunyai identitas, para karyawan tidak akan atau kurang merasa bertanggung jawab, dan mungkin kurang bangga dengan hasil-hasilnya. Ini berarti kontribusi mereka tidak nampak, sehingga kepuasan kerja bisa menurun”. Hal ini didukung selanjutnya oleh Siagian (2001) yang menyatakan bahwa identitas tugas adalah “adanya hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja itu sendiri, yang kontribusinya membuahkan hasil kongkrit”. Para pekerja akan merasa bangga apabila mereka dapat menunjukkan secara kongkrit hasil pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan itu terbenam dalam hasil kolektif, kepuasan kerja dapat menurun. Meskipun benar bahwa dalam banyak kegiatan penyelesaian akhir merupakan hasil karya sekelompok orang, alangkah baiknya apabila seorang pekerja dapat menunjukkan, paling sedikit kepada diri sendiri, bahwa yang bersangkutan memberikan kontribusi kongkrit dalam usaha bersama.

II.2.2.4. Arti tugas

Robbins (2002) menyatakan bahwa arti tugas adalah “berhubungan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan karyawan berdasarkan hasil kerja”. Hackman dan Oldham (2000) menyatakan bahwa arti tugas adalah “tugas yang mempunyai arti bagi karyawan dalam melakukan pekerjaan”. Luthans (2006) menyatakan bahwa “signifikansi tugas menyangkut pentingnya tugas, baik secara internal maupun secara eksternal”. Lebih lanjut Sigit (2003) menyatakan bahwa “Task Significance (arti

pentingnya tugas) adalah sejauhmanakah tugas itu mempunyai arti penting bagi pekerjaan orang lain atau berdampak bagi kehidupan orang lain”.

Sebaliknya Siagian (2001) mempertegas kembali dengan menyatakan bahwa arti tugas “berkaitan erat dengan pentingnya pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang”. Seorang pekerja akan merasa bangga, mempunyai komitmen organisasional yang besar, memiliki motivasi yang tinggi serta kepuasan yang besar jika mengetahui bahwa apa yang dilakukannya dianggap penting oleh orang lain. Apalagi kalau orang lain bergantung kepadanya dalam penyelesaian tugas yang bersangkutan.

II.2.2.5. Otonomi

Otonomi yang dimaksud adalah bahwa karyawan mempunyai kebebasan terhadap tanggung jawab dan wewenang atas pekerjaan yang dilakukannya.

Menurut Robbins (2002) otonomi adalah “tingkatan di mana pekerjaan memerlukan kebebasan yang substansial, independensi, dan keleluasaan terhadap

individu dalam menyusun jadwal pekerjaan untuk menentukan prosedur-prosedur yang digunakan dalam melaksanakannya”.

Hackman dan Oldham (2000) menyatakan bahwa “tingkat kebebasan, ketidaktergantungan, dan keluasaan juga diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga hal ini dapat menghasilkan tingkat kinerja karyawan sebagai respon terhadap pekerjaannya”.

Sedangkan menurut Handoko (2000) bahwa otonomi “berarti mempunyai tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Pekerjaan-pekerjaan yang memberikan kepada karyawan wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan, berarti menambah tanggung jawab, akan cenderung meningkatkan perasaan dipercaya dan dihargai. Kurangnya otonomi akan menyebabkan karyawan menjadi apatis atau menurunkan prestasi kerjanya”.

Lebih lanjut dikatakan oleh Siagian (2001) bahwa otonomi adalah “pemupukan rasa tanggung jawab pekerjaan seseorang beserta hasilnya”. Artinya, kepada para pekerja diberi kebebasan untuk mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

Pengalaman banyak organisasi telah membuktikan bahwa apabila kepada para pekerja diberikan kebebasan memutuskan sendiri cara penyelesaian pekerjaannya, rasa tanggung jawab dan tingkat kepuasannya menjadi lebih besar pula. Sebaliknya dengan pengendalian yang terus-menerus oleh orang lain, misalnya oleh atasan, apalagi jika dibarengi dengan pengawasan ketat, dapat berakibat pada sikap apatis dan prestasi kerja yang rendah.

II.2.2.6. Umpan balik

Menurut Robbins (2002) umpan balik adalah “mengenai betapa baik mereka bekerja. Bahwa dengan adanya kesesuaian pekerjaan dengan ketrampilan dan kemampuan karyawan diharapkan mampu mendorong karyawan untuk menghasilkan kinerja yang baik”. Hackman dan Oldham (2000) menyatakan bahwa “umpan balik adalah unsur yang rumit yang menciptakan hasil kerja berdasarkan pengetahuan yang didapat”. Nilai daripada umpan balik adalah yang dapat menawarkan informasi yang diketahui, dapat digunakan dalam melakukan pekerjaan yang diinginkan. Sebaliknya Handoko (2000) mempertegas lagi dengan menyatakan bahwa “bila pekerjaan-pekerjaan memberikan umpan balik tentang seberapa baik pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan, maka karyawan akan mempunyai pedoman atau motovasi untuk melaksanakan dengan lebih baik”.

Siagian (2001) secara lebih spesifik menyatakan bahwa umpan balik adalah “cara seseorang menyelesaikan pekerjaannya dan mempunyai arti yang sangat penting bagi pekerja yang bersangkutan”. Apabila seseorang tidak memperoleh umpan balik tentang berbagai aspek penyelesaian tugasnya, baginya tidak terdapat petunjuk atau motivasi kuat untuk berprestasi lebih tinggi. Agar mempunyai makna operasional, umpan balik dimaksud, tentunya didasarkan pada perbandingan yang obyektif antara kriteria dan standar mutu pekerjaan dengan hasil nyata yang dicapai oleh seseorang. Ada kalanya perbandingan itu baik pula dilakukan antara beberapa orang yang melakukan pekerjaan sejenis, karena dengan demikian dapat tumbuh

persaingan sehat di atara mereka, dalam arti berlomba menunjukkan prestasi kerja yang setinggi mungkin.

II.2.3. Imbalan

Tujuan pengelolaan sistem imbalan yang pantas di dalam suatu organisasi adalah untuk dapat mempertahankan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Para ahli umumnya membagi imbalan menjadi dua kelompok, yaitu imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. Imbalan intrinsik adalah imbalan yang bersumber dari diri para karyawan sendiri, seperti penyelesaian tugas, prestasi, otonomi, dan perkembangan pribadi. Sedangkan imbalan ekstrinsik adalah imbalan yang berasal dari luar karyawan, seperti gaji dan tunjangan, interpersonal (status dan pengakuan), serta promosi (Davis, 2002).

Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa:

“Kebanyakan orang yang bekerja di organisasi melaksanakan pekerjaannya untuk mendapatkan imbalan atas usaha mereka. Imbalan dapat berbentuk intrinsik (internal) atau ekstrinsik (eksternal). Imbalan intrinsik antara lain termasuk pujian yang didapatkan untuk menyelesaikan suatu proyek atau berhasil memenuhi beberapa tujuan kinerja. Imbalan ekstrinsik bersifat terukur, memiliki bentuk imbalan moneter maupun non-moneter”.

Menurut Robbins (2002) sistem imbalan “perlu diperbaiki untuk mendorong upaya kooperatif bukannya kompetitif”. Karyawan menginginkan sistem penggajian dan kebijakan promosi yang mereka anggap sejalan dengan harapan mereka. Bila pembayaran itu kelihatan adil berdasarkan pada permintaan mereka, tingkat ketrampilan individual, dan standar pembayaran masyarakat, kepuasan mungkin

dihasilkan. Sama halnya, karyawan mencari kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan peluang bagi pertumbuhan pribadi, lebih banyak tanggung jawab, dan meningkatnya status sosial. Oleh karena itu para individu yang memahami bahwa keputusan promosi itu diambil dengan cara yang adil dan jujur, mungkin mengalami kepuasan dalam pekerjaan mereka.

Imbalan yang pantas, dan atau imbalan yang layak adalah merupakan keinginan karyawan akan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka pandangan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja tidak semua orang mengejar uang, banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja di lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah pandangan keadilan. Serupa pula, karyawan berusaha mendapatkan praktik promosi yang adil, karena promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang berpandangan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.

Dessler (2001) mengkaitkan imbalan yang diperoleh dengan menyatakan bahwa apabila seseorang merasa bahwa menerima gaji yang lebih rendah dari yang seharusnya diterima, maka mungkin akan mengurangi upayanya dalam pekerjaan, barangkali dengan mengurangi upayanya dalam pekerjaan, mengurangi waktu kerja atau bekerja lebih lamban. Apabila merasa mendapat gaji yang lebih tinggi dari seharusnya, maka mungkin akan meningkatkan kontribusinya dalam pekerjaan. Selanjutnya dinyatakan bahwa “orang-orang biasanya termotivasi atau terdorong untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu yang mereka rasa mengarah pada imbalan”.

Oleh sebab itu memotivasi seseorang memerlukan dua hal: pertama, berusaha mengetahui hal-hal yang diinginkan seseorang dan menggunakan hal itu sebagai alternatif imbalan dan kedua, berusaha agar merasakan bahwa upaya yang akan dilakukannya akan mungkin mengarah pada perolehan imbalan itu”.

Berkenaan dengan sistem upah tersebut menurut Luthans (1998) bahwa “karyawan biasanya melihat upah sebagai pencerminan dari bagaimana manajemen menghargai sumbangan mereka dalam organisasi, sedangkan mengenai promosi lebih berpengaruh terhadap kepuasan kerja di kalangan eksekutif dari pada tingkat yang lebih rendah”.

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa imbalan merupakan pemberian yang diterima karyawan sebagai balas jasa atas prestasinya kepada perusahaan dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam penelitian ini penulis hanya

membahas imbalan intrinsik yang bersumber dari diri para karyawan sendiri, seperti penyelesaian tugas, prestasi, otonomi, dan perkembangan pribadi.

Dokumen terkait