• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Plasma dalam Program HTI Pola PIR HTI Pola PIR

a. Lahan Milik Plasma

Modal alami (sumber daya alam) yang dimiliki plasma dan menjadi alasan utama keikutsertaan plasma dalam program HTI Pola PIR adalah lahan kosong yang luas. Lahan kosong yang dimiliki petani plasma ini sepenuhnya merupakan lahan kering yang pada awalnya hanya ditumbuhi semak atau alang-alang.

Status kepemilikan lahan plasma dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan Pola PIR adalah tetap milik perorangan/adat/marga yang bersangkutan dan tidak ada pemindahan/pengalihan hak milik lahan kepada perusahaan inti (Darwo, dkk 2004).

Menurut Soekartawi (1990), ukuran lahan pertanian sering dinyatakan dengan hektar. Tetapi bagi petani-petani di pedesaan seringkali masih menggunakan ukuran

tradisional, misalnya, bata, jengkal, patok, bahu, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi peneliti atau orang yang melakukan penelitian harus mengerti akan ukuran-ukuran tradisonal tersebut, supaya dapat mengkonversi ke satuan hektar.

Luasnya lahan yang dimiliki oleh petani plasma menyebabkan banyak lahan-lahan kosong yang tidak dapat dimanfaatkan karena pemilik lahan-lahan pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengelolanya. Kondisi lahan yang kosong menyebabkan status lahan menjadi tidak jelas dan sangat riskan terhadap klaim kepemilikan dari orang lain.

b. Dukungan Pemerintah

Pemerintah mulai menyadari bahwa pengelolaan hutan tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan tidak akan mencapai kondisi yang kondusif bagi keberhasilan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan mengenai Pembinaan Desa Masyarakat Desa Hutan (PMDH).

Pelaksana PMDH tidak saja perusahaan pemegang HPH, tetapi juga perusahaan pemegang HPHTI. Sejak tahun 1995 tugas ini sudah menjadi kewajiban dalam arti luas harus dilaksanakan oleh pemegang HPH/HPHTI dan menjadi syarat untuk kelangsungan usaha HPH/HPHTI. Menurut Sarjono,dkk (2000) sasaran PMDH adalah:

1. Peningkatan pendapatan, tumbuhnya ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan.

3. Meningkatkan kesadaran dan perilaku positif dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Salah satu wujud PMDH adalah kerjasama dalam bentuk PIR dengan masyarakat sekitar areal konsensi. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan HTI Pola PIR dalam hal ini adalah masyarakat desa hutan, yaitu kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di sekitar hutan.

Aktor penting dalam menentukan keberhasilan HTI Pola PIR adalah pemerintah (termasuk instansi terkait didalamnya). Pemerintah daerah adalah sebagai ”penguasa” daerah yang memiliki otonomi terbesar dalam pembangunan desa dan pembinaan masyarakat. Pemerintah akan menjadi fasilitator dalam program HTI Pola PIR kepada masyarakat serta berperan dalam menetapkan ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan oleh perusahaan dan plasma.

Realisasi penanaman HTI Pola PIR sangat dipengaruhi oleh partisipasi dari masyarakat. Menurut Soetrisno (1995) partisipasi masyarakat dalam pengembangan Hutan Tanaman Industri sangat tergantung dari sistem dan model yang dikembangkan antara masyarakat dengan pengusaha industri yang secara umum selalu difasilitasi oleh pemerintah.

Keberadaan kegiatan HTI Pola PIR sebagai salah satu kegiatan pembangunan tidak akan diketahui oleh masyarakat tanpa adanya penyuluhan/sosialisasi mengenai kegiatan tersebut. Menurut Slamet (2001), tercapainya suatu tujuan pembangunan nasional harus didukung oleh kesiapan mental dan intelektual serta kiprah seluruh

anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif secara berkualitas. Kualitas partisipasi masyarakat, diantaranya diwujudkan melalui kegiatan penyuluhan pembangunan. Penyuluhan/sosialisasi dilaksanakan perusahaan bersama-sama dengan pemerintah daerah.

c. Keuntungan Program

Menurut Darwo, dkk (2004), Hutan Tanaman Industri Pola PIR adalah suatu pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan menggunakan kawasan hutan sebagai inti dan lahan masyarakat baik lahan milik/lahan adat atau marga sebagai plasma. Hubungan antara inti dengan plasma adalah berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan.

Beberapa elemen kunci kesuksesan kemitraan menurut Mitchell, dkk (2000) diantaranya adalah kecocokan antar peserta, keuntungan untuk semua peserta, seimbangnya perwalian dan kekuasaan, mekanisme komunikasi, integritas dan lain-lain. Kecocokan antar peserta didasarkan atas penghargaan dan kepercayaan. Kemitraan yang langgeng akan sulit didapatkan jika tidak ada keuntungan nyata untuk semua peserta.

Salah satu keuntungan program adalah adanya jaminan perusahaan untuk membeli produksi (kayu), sehingga plasma tidak perlu kwatir akan pemasaran hasil dari HTI Pola PIR miliknya. Kayu hasil HTI akan dijual kepada perusahaan inti dan plasma mendapat uang hasil penjualan kayu tersebut.

Sardjono (2004), menjelaskan bahwa interaksi sosial yang terjadi di masyarakat desa sekitar hutan dengan pengusaha hutan seringkali menjurus pada situasi disosiatif (merugikan) yang berjalan secara bertahap melalui proses kompetisi dan konflik. Perkembangan interaksi sosial ini selanjutnya berujung pada rasa “ketidakadilan” serta “ketidakamanan”. Kondisi ini akan bergeser kearah kerjasama (cooperation) bilamana masyarakat melihat adanya keuntungan yang didapat dari pengusaha hutan.

Program HTI Pola PIR akan meningkatkan pendapatan plasma melalui produksi yang akan dijual dengan harga yang sudah disepakati sebelumnya. Menurut Bungi (2003), bahwa produksi Hutan Tanaman Industri dapat dinyatakan dalam satuan berat berupa ton atau kilogram, atau dalam bentuk nilai uang tergantung data yang tersedia. Produksi Hutan Tanaman Industri sangat tergantung dari beberapa aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain, secara umum struktur tanah tidaklah jauh berbeda. Namun, kegiatan perawatan/pemeliharaan akan memegang peranan penting dalam menentukan jumlah produksi dari Hutan Tanaman Industri tersebut.

d. Upah Pelaksanaan

Pada dasarnya untuk lahan plasma, seluruh kegiatan pembuatan tanaman (penyediaan bibit, penyiapan lapangan, penanaman, pupuk, bimbingan teknis, upah kerja ) dan pemeliharaan serta pemanenan, dibiayai oleh perusahaan inti (Darwo, dkk, 2004). Hal ini dirasakan menjadi sangat penting mengingat umumnya masyarakat sekitar hutan adalah kaum termajinalkan, tidak memiliki modal untuk mengelola lahan mereka.

Selain itu pihak perusahaan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada plasma untuk terlibat dalam pelaksanaan dilapangan dengan mendapat upah/biaya sesuai ketentuan. Dengan demikian Program PIR PT TPL, Tbk selain dapat meningkatkan pendapatan plasma juga mendorong terciptanya lapangan kerja ( pro-job) terutama tenaga kerja yang tidak terampil (labor intensive).