• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Nyeri Persalinan

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri Persalinan

Banyak faktor yang memepengaruhi nyeri persalinan, baik faktor internal maupun eksternal yang meliputi paritas, usia, budaya, mekanisme koping, emosional, tingkat pendidikan, lingkungan, kelelahan, kecemasan, lama persalinan, pengalaman masa lalu, support system dan tindakan medik (Handerson, 2006).

a) Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup, bukan jumlah janin yang dilahirkan (Bobak, 2004). Bagi primipara, persalinan yang dialaminya merupakan pengalaman pertama kali dan ketidak tahuan menjadi faktor penunjang timbulnya rasa tidak nyaman atau nyeri. Sedangkan bagi multipara, mungkin rasa nyeri tersebut berhubungan dengan pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya (Kartono, 1992).

xxxvii

Wanita primipara mengalami persalinan yang lebih panjang, dibandingkan dengan multipara. Hal ini menyebabkan penigkatan nyeri pada proses persalinan (Handerson, 2006). Hutahaean (2009) mengungkapkan bahwa rasa nyeri pada satu persalinan dibandingkan dengan nyeri pada persalinan berikutnya akan berbeda. Hal ini disebabkan oleh serviks pada primipara memerlukan tenaga yang lebih besar untuk meregangkannya, sehingga menyebabkan intensitas kontraksi lebih besar selama kala I persalinan. Penelitian Rusdiatin (2007) menyatakan bahwa sebagian besar pada multipara mengalami tingkat nyeri sedang, sedangkan pada primipara cenderung mrngalami tingkat nyeri berat. Ini disebabkan multipara pernah mengalami proses persalinan sebelumnya sehingga dimungkinkan ibu tersebut lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi nyeri persalinan. Penelitian tersebut didukung oleh Komariah (2005) yang mendapatkan hasil yang serupa bahwa paritas merupakan salah satu faktor yang dapat memyebabkan nyeri persalinan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan mekanisme pembukaan serviks yaitu pada primipara ostium uteri internum akan membuka lebih dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis, sedangkan pada multipara ostium uteri internum sudah sedikit membuka, ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama, sehingga nyeri pada multipara cenderung lebih ringan dibandingkan dengan primipara (Wiknjosastro, 2005).

xxxviii b) Usia

Usia atau umur adalah lama waktu hidup sejak lahir (KBBI, 2001). Usia merupakan tahap perkembangan, ini variabel penting yang akan mempengaruhi reaksi maupun ekspresi seseorang terhadap rasa nyeri (Kozier, 2000). Teori Melzack dalam (Rumbin, 2008), menyatakan bahwa usia mempengaruhi derajat nyeri persalinan, semakin muda usia ibu maka akan semakin nyeri bila dibandingkan dengan usia ibu yang lebih tua. Intensitas kontraksi uterus lebih meningkat pada ibu lebih muda khususnya pada awal persalinan sehingga nyeri yang dirasakan lebih lama. Pada ibu multipara serviknya lebih lunak dari primipara karena itu derajat sensitifitasnya terhadap nyeri tidak seperti primipara (Hutahaean, 2009). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Komariah (2005) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap perbadaan usia yang lebih muda dengan usia yang lebih tua. Hal itu disebabkan bahwa usia muda primipara memiliki sensori nyeri yang lebih intens dari pada multipara meskipun mereka lebih banyak menerima obat penurun nyeri. Menurut hasil penelitian Astuti (2008) menyatakan usia yang dianggap aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun, dalam rentang usia ini kondisi fisik ibu masih dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan, mental pun siap untuk menghadapi persalinan.

Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun bisa menimbulkan masalah, karena kondisi fisik belum 100% siap. Usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun tergolong dalam wanita hamil yang beresiko tinggi

xxxix

yang beresiko 2,88 kali untuk terjadinya komplikasi persalinan dan ketidak nyamanan nyeri akibat komplikasi yang timbul (Astuti, 2008). c) Budaya

Ekspresi nyeri persalinan dipengaruhi oleh ras, budaya dan etnik. Ekspresi ini didasarkan pada sifat wanita terhadap nyerinya dan pengalaman saat hamil dengan bantuan perawat untuk menghindari label yang dipengaruhi budaya. Pengaruh budaya dapat menimbulkan harapan yang tidak realistis dan dapat mempengaruhi respon serta persepsi individu terhadap nyeri. Misalnya wanita asli dari Amerika menahan nyeri dengan menunjukkan sikap diam, sedangkan wanita Hispanik menahan nyeri dengan bersikap sabar, tetapi mengangggap sebagai sesuatu yang wajar jika berteriak-teriak (Bobak, 2004). Penelitian dilakukan oleh Mulyati (2002) dalam Komariah (2005) menjelaskan bahwa budaya mempengaruhi ekspresi nyeri internal pada ibu primipara. Penting bagi perawat maternitas untuk mengetahui bagaimana kepercayaan, nilai, praktik budaya mempengaruhi seorang ibu dalam mempresepsikan dan mengespresikan nyeri persalinan. Kebudayaan mempengaruhi bagaimana seseorang mengekspresikan nyeri. Dalam agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga dimata Tuhan. Kadang-kadang nyeri dianggap sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997 dalam Komariah, 2005).

xl d) Mekanisme Koping

Setiap individu mempunyai cara untuk menghadapi stress. Mekanisme ini membantu ibu mengendalikan rasa nyeri, walaupun nyeri yang dirasakan sangat mengganggu. Kadang individu sulit menggunakan koping yang dimiliki. Secara normal, ibu dapat belajar mengatasi nyerinya secara teratur. Ibu yang sebelumnya mengalami persalinan yang lama dan sulit akan mengalami cemas yang berlebihan terhadap persalinan berikutnya. Akan tetapi, pengalaman melahirkan sebelumnya tidak selalu berpengaruh buruk terhadap kemampuannya untuk mengatasi nyeri. Lingkungan yang mendukung dapat mempengaruhi persepsi ibu terhadap nyeri. Dukungan selama persalinan membantu menurunkan cemas dan meningkatkan kemampuan ibu untuk menangani ketidak nyamanan dan keefektifan metode pengurangan nyeri yang lain (Mander, 2003). Secara normal orang belajar mengatasi nyeri pada saat terjadinya nyeri, dan menggunakan koping yang sama pada saat terjadi nyeri berikutnya (Sherwen, 1995). Penelitian Rusdiatin (2007) menyatakan bahwa ibu yang sebelumnya pernah mengalami persalinan akan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi persalinan selanjutnya.

e) Faktor Emosional.

Menurut Dick-read (1959). Bahwa rasa nyeri yang dihasilkan dari rasa takut, tegang selalu berjalan beriringan, untuk menghilangkan nyeri perlu tindakan yang meringankan ketegangan dan ketakutan, dengan relaksasi mental dan fisik (Bobak, 2005). Ketakutan terhadap sesuatu yang tidak

xli

diketahui adalah hal yang negatif mempengaruhi klien dan keluarganya. Bila ibu mengerti nyeri yang terjadi dalam tubuhnya selama proses melahirkan maka ibu tidak akan ketakutan (Sherwen, 1995). Ketegangan emosi akibat rasa cemas sampai rasa takut memperberat persepsi nyeri selama persalinan. Rasa cemas yang berlebihan juga menambah nyeri. Nyeri dan cemas menyebabkan otot menjadi spastik dan kaku. Menyebabkan jalan lahir menjadi kaku, sempit dan kurang relaksasi. Nyeri dan ketakutan dapat menimbulkan stress. Terjadinya reaksi stress yang kuat dan berkelanjutan sehingga akhirnya akan berdampak negatif terhadap ibu dan janinnya.

f) Tingkat Pendidikan

Ibu yang berpartisipasi dalam pendidikan kelahiran bayi lebih memahami apa yang terjadi dalam proses persalinan dan sedikit mengalami kecemasan. Ibu yng mengikuti kelas prenatal dan melahirkan secara alamiah menunjukkan perilaku yang tenang dalam merasakan nyeri saat persalinan (Sherwen). Penelitian Komariah (2005) mendapatkan hasil bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap nyeri persalinan berbeda dengan yang dinyatakan oleh Reeder (1997) dalam Komariah (2005) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara ibu yang memiliki pendidikan tinggi dibandingkan dengan yang tingkat pendidikannya rendah. Notoatmodjo (2003), mengatakan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin banyak bahan, materi dan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai perubahan tingkah laku yang baik. Jadi ibu yang

xlii

berpendidikan tinggi lebih bisa mentoleransi terhadap nyeri yang dialaminya.

g) Support System.

Dengan adanya dukungan suami, keluarga, selama proses persalinan dapat membantu memenuhi kebutuhan ibu bersalin juga membantu mengatasi rasa nyeri persalinan (Martin, 2002). Penelitian Risanto (2010) menyatakan bahwa ibu yang memperoleh dukungan psikososial selama persalinan memiliki skor nyeri yang rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapatkan dukungan psikososial. Penelitian terkait dilakukan oleh Wibawanto (2003) dalam Yumni (2006) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna nilai nyeri antara ibu yang didampingi oleh suami dan ibu yang tidak didampingi suami. Berbeda dengan penelitian yang dilakuakan oleh Yumni (2006) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu yang di dampingi oleh suami dan ibu yang tidak didampingi oleh suami.

h) Kelelahan

Nyeri selama persalinan mempengaruhi kondisi ibu berupa kelelahan. Kelelahan dapat dinetralkan pada tahap persalinan dengan melihat kondisi ibu dan janin, harapan ibu dan sikap koparatif (Martin, 2002). Ibu yang sudah lelah selama beberapa jam persalinan, mungkin sebelumnya sudah terganggu tidurnya oleh ketidaknyamanan dari akhir masa kehamilannya akan kurang mampu mentolerir rasa sakit (Rukyah, 2009).

xliii

Kelelahan terjadi karena perubahan pola tidur, kelelahan dapat merubah dan memperbesar persepsi klien terhadap nyeri. Klien akan lebih tegang dan cemas jika tidak diberikan pembelajaran terhadap metode penurunan nyeri. Sehingga ibu kehilangan energi dan menurunkan kemampuannya untuk menggunankan strategi yang dianjurkan untuk mentolerir nyeri (Mander, 2003).

i) Lama Persalinan.

Bila ibu besalin mengalami proses persalinan yang memanjang, maka ibu akan mengalami: kelelahan dan stress, akibat mempengaruhi ambang rasa nyeri (Martin, 2002). Hasil penelitian Larosa (2009) bahwa ada perbedaan lama persalinan yang bermakna antara primipara dengan multipara dimana lama persalinan kala I pada primipara lebih lama dibandingkan lama persalinan pada multipara. Persalinan yang berlangsung lama dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi salah satu komplikasi tersebut adalah nyeri saat persalinan, jika tidak di tangani maka akan berdampak buruk terhadap ibu maupun terhadap janin (Mochtar, 1995).

j) Pengalaman nyeri sebelumnya

Melalui pengalaman nyeri, wanita mengembangkan berbagai macam mekanisme untuk mengatasi nyeri tersebut. Pengalaman nyeri sebelumnya mengubah sensitivitas seseorang terhadap nyeri (Kozier, 2000). Pasien yang mengalami persalinan untuk pertama kalinya

xliv

umumnya akan terasa lebih nyeri jika dibandingkan dengan pasien yang sudah pernah mengalami persalinan (Handerson, 2006). Hutajulu (2003) mengungkapkan bahwa rasa nyeri pada satu persalinan dibandingkan dengan nyeri pada persalinan berikutnya akan berbeda. Menurut Simkin (2002) wanita yang tidak didukung secara emosional atau mengalami kesulitan dalam persalinan yang lalu maka dapat menyebabkan persalinan yang sangat nyeri. Rusdiatin (2007), menyatakan bawha seseorang yang mengalami nyeri berulang dan berhasil mengatasinya maka orang tersebut akan lebih mudah menginterpretsikan perasaan nyeri sehingga klien mempunyai persiapan untuk menghadapi nyeri yang selanjutnya.

k) Tindakan Medik

Danuatmaja (2004) mengatakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi nyeri persalinan yaitu dengan dilakukannya tindakan medis seperti induksi. Prosedur medik seperti induksi persalinan dapat mempengaruhi respon terhadap nyeri selama persalinan. Induksi persalinan adalah suatu tindakan atau langkah yang dilakukan untuk memulai persalinan, baik secara mekanik maupun farmakologi (Achadiat, 2004). Penggunaan obat untuk induksi menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat, lebih tidak nyaman dari kontraksi yang timbul secara spontan. Induksi persalinan adalah penggunaan stimulasi fisik atau kimiawi untuk mempercepat intensitas kontraksi uterus (Asmadi, 2008). Induksi persalinan dapat dilakukan dengan cara

xlv

pemecahan ketuban, pemberian oksitosin, pemberian obat misoprostol, pemberian hormon prostaglandin dan pemasangan balon kateter (Saifudin, 2002). Induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin dinyatakan memiliki tingkat nyeri lebih tinggi dibandingkan dengan induksi yang lain (Handerson, 2006). Dampak dilakukan induksi akan timbul kecemasan pada ibu yang sedang mengalami persalinan. Nyeri yang di timbulkan pada persalinan normal dari rasa agak nyeri berlanjut sampai nyeri yang tidak tertahankan dan berlangsung lama. Sedangkan nyeri yang di timbulkan akibat induksi persalinan adalah nyeri yang datang tiba-tiba setelah beberapa menit dilakukan induksi. Nyeri persalinan normal akibat induksi dapat menimbulkan perubahan fisik dan psikologis ibu. Perubahan fisik yang di timbulkan seperti mual-mual, muntah-muntah dan berkeringat banyak akan mengakibatkan dehidrasi. Danuatmaja (2004), menyatakan bahwa nyeri yang diakibatkan dari induksi persalinan adalah dua kali lipat dari pada nyeri kontraksi pada persalinan normal.

Dokumen terkait