• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Dalam dokumen It matters that you don’t just give up. (Halaman 40-50)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Baron dan Branscombe (2012) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial antara lain:

a. Hipotesis empati-altruismee yaitu perilaku prososial secara mendasar dimotivasi oleh keinginan untuk membantu orang yang membutuhkan. Empati terdiri dari tiga komponen yang berbeda antara lain emotional empathy, empathic accuracy, dan empathic concerns. Perbedaan komponen ini berpengaruh pada aspek perilaku prososial yang berbeda dan juga pada efek jangka panjang perilaku

prososial yang berbeda pula.

b. Negatif-state relief yaitu perilaku prososial muncul karena adanya keinginan untuk mengurangi emosi negatif yang tidak nyaman.

Artinya, perilaku prososial yang dilakukan lebih untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman atau tidak menyenangkan ketika melihat orang lain sedang menderita atau sedang membutuhkan bantuan sehingga empati menjadi hal yang tidak penting dalam situasi ini.

c. Hipotesis empathic-joy yaitu penolong akan menanggapi kebutuhan orang lain yang membutuhkan karena adanya keinginan untuk mencapai sesuatu dan dengan melakukan hal tersebut dapat menghasilkan penghargaan diri bagi orang tersebut, sehingga penting bagi penolong untuk mengetahui bahwa tindakannya tersebut memberikan dampak positif bagi orang yang dibantu. Hal tersebut mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku prososial.

d. Competitive altruism yaitu untuk meningkatkan status dan reputasi, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih dari sekedar mengimbangi biaya untuk terlibat dalam tindakan prososial.

Pengakuan publik terhadap perilaku sosial dapat meningkatkan

26

status sosial. Maka, semakin suatu tindakan prososial menghasilkan peningkatan pada status sosial seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku prososial yang dilakukan orang tersebut.

e. Kin selection theory yaitu membantu orang lain yang berhubungan secara genetik. Seseorang cenderung akan membantu orang lain yang dekat dengannya. Namun, tidak semua tindakan membantu berdasarkan pada kedekatan hubungan seseorang baik secara genetik atau pun tidak. Perilaku prososial tentu dilakukan pada orang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, hal ini dapat terjadi karena adanya kecenderungan seseorang untuk membantu karena ada timbal baliknya. Jika seseorang telah membantu, maka dikemudian hari dia akan mendapat bantuan pula.

f. Defensive helping yaitu bantuan diberikan kepada outgroup untuk mengurangi ancaman pada status atau kekhasan suatu ingroup.

Dalam hal ini perilaku prososial muncul karena adanya keinginan untuk melindungi kekhasan dan status suatu kelompok.

Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dalam konteks informal. Orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih melakukan perilaku prososial daripada mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah (Bekkers & de Graff, 2005;

Wilson & Musick, 1997). Selain itu, perilaku altruistik yang merupakan

bagian dari perilaku prososial (Eisenberg & Miller, 1987) dipengaruhi oleh karakteristik situasi (Wallace, 1999). Wallace (1999) menjelaskan ketika seseorang mendapatkan permintaan untuk menolong dalam lingkungan internet, mereka akan menginterpretasikan terlebih dahulu permintaan tersebut dan biasanya mereka akan melihat keberadaan bystander dan melihat apa yang mereka lakukan. Ketika jumlah orang yang melihat adanya permintaan bantuan cukup banyak, maka akan timbul rasa tanggung jawab yang kurang untuk menanggapi permintaan tersebut.

Dalam konteks online, perilaku prososial dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu untuk mengurangi biaya transaksi untuk organisasi dan aktivitas sehingga dapat dilakukan secara lebih efisien; jangkauan yang luas;

merupakan cara baru bagi institusi sosial; serta kemudahan dalam menghasilkan layanan informasi yang bermanfaat secara sosial yang tidak dapat didukung oleh pasar (secara offline) (Sproull, 2011). Selain itu, Bosancianu, Powell, dan Bratovic (2013) berpendapat bahwa karakteristik hubungan antara penolong dan penerima bantuan, serta pertimbangan biaya dan manfaat sosial menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku prososial yang akan dilakukan secara online atau offline.

Namun perilaku prososial dapat terhambat oleh beberapa hal, baik perilaku prososial secara online maupun offline (secara langsung di luar konteks internet). Misalnya pertimbangan biaya, manfaat sosial dari tindakan membantu, atau karakteristik hubungan antara penolong dan penerima, serta pertimbangan keputusan mengenai apakah akan membantu

28

secara online atau offline (Bosancianu, Powell, & Bratovic, 2013). Penner, Dovidio, Piliavin, & Schroeder (2005) juga mengemukakan hal yang serupa bahwa orang relatif rasional dan prihatin pada kepentingan pribadi mereka ketika berkaitan dengan pandangan ekonomi perilaku manusia yang mana orang termotivasi untuk memaksimalkan penghargaan mereka dan meminimalkan biaya yang mereka mungkin keluarkan. Baron dan Branscombe (2012) menungkapkan bahwa eksklusi sosial, perasaan anonimitas, dan memberikan nilai ekonomi pada waktu dan usaha yang dikeluarkan dalam membantu dapat menghambat perilaku prososial.

B. Slacktivism

Kristofferson, White, dan Peloza (2014) menjelaskan mengenai slacktivism yaitu suatu bentuk dukungan dengan biaya atau usaha yang relatif sedikit untuk suatu permasalahan atau isu sosial yang dilakukan secara langsung atau melalui internet. Davis (2011) dalam artikelnya juga mengatakan bahwa slacktivism digunakan dalam pemasaran suatu produk yang mendukung suatu pergerakan sosial yang justru tidak menyasar pada konsumen untuk melakukan tindakan prososial. Selain itu, Schudson (dalam Christensen, 2012) berpendapat bahwa slacktivism merupakan aktivitas baru yang minim usaha dengan risiko ancaman yang sangat kecil bagi partisipannya, tapi juga dapat meningkatkan usaha enerjik secara intens untuk periode waktu yang terbatas. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dipaparkan oleh Kristofferson, White, dan Peloza

(2014) mengenai slacktivism karena dalam penelitian tersebut Kristofferson dkk (2014) mengkaji slacktivism dengan tindakan prososial.

Terdapat dua jenis dukungan yaitu dukungan token (token support) dan dukungan berarti (meaningful support). Dukungan token (token support) merupakan bentuk dukungan kecil yang membutuhkan sedikit usaha dan biaya misalnya menandatangani petisi, memakai gelang atau pin sebagai bentuk dukungan atau terlibat dalam dukungan online seperti memberi “like” atau tergabung pada laman tertentu. Sedangkan dukungan berarti (meaningful support) adalah bentuk dukungan yang membutuhkan usaha dan biaya yang substansial misalnya memberikan donasi uang atau menyediakan waktu (Kristofferson, White, & Peloza, 2014).

Dukungan token ini lah yang menjadi bentuk slaktivisme. Dukungan token dipengaruhi oleh manajemen impresi sehingga orang-orang ingin menunjukkan dirinya secara positif kepada orang lain. Dengan kata lain, orang-orang melakukan dukungan token untuk membangun reputasi (Kristofferson, White, & Peloza, 2014). Lane dan Cin (2017) juga memaparkan bahwa motif manajemen impresi secara konsisten tinggi baik pada awal dan setelah berbagi dan dalam lingkungan situs jejaring sosial yang disimulasikan secara realis menimbulkan kekhawatiran mengenai adanya manajemen impresi yang muncul terus-menerus. Aliran informasi yang konstan berarti presentasi diri di Facebook adalah proses terus-menerus yang tidak mudah diselesaikan dengan satu pesan, posting, atau share, sehingga kaum milenial lebih berfokus pada diri sendiri dan lebih

30

kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi. Manajemen impresi yang tinggi di awal dapat mencerminkan kecenderungan untuk tidak terlibat dalam masalah sosial, namun kebutuhan untuk mengelola kesan seseorang saat ini masih dapat beroperasi sebagai insentif kuat untuk terlibat dalam bantuan offline.

Berbagi media prososial secara publik tidak mengarah pada menurunnya keinginan ke depannya untuk terlibat dalam aktivitas prososial.

Terdapat efek signifikan yang positif mengenai berbagi secara publik pada keinginan untuk bersuka rela, selain mengatur sejumlah variable untuk mempengaruhi perilaku prososial (Lane dan Cin, 2017). Media prososial tidak hanya berfungsi sebagai sarana katarsis untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah orang yang benar secara moral, namun juga berkontribusi pada usaha presentasi diri yang berkelanjutan (Schau & Gilly, 2003).

Sehingga individu termotivasi untuk berbagi informasi untuk memperbaiki reputasi mereka (Wasko & Faraj, 2005).

C. Mahasiswa

Berdasarkan survei yang dilakukan APJII pada tahun 2016, mahasiswa merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia. Mahasiswa sendiri merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi (KBBI) yang berusia antara 18-25 tahun. Dalam usia ini, mahasiswa sedang berada pada masa emerging adult (Arnett, 2000) jika dilihat dari sisi perkembangan

psikologinya. Arnett (2000) mengemukakan bahwa emerging adult adalah periode pada masa akhir remaja sampai awal usia duapuluhan.

Dalam periode ini emerging adulthood sedang dalam masa eksplorasi identitas yang berbeda jika dilihat secara subjektif dan secara demografis. Selain itu, emerging adulthood merupakan masa di mana seseorang berada di antara masa remaja tapi belum sepenuhnya memasuki masa dewasa (Arnett, 2007). Dalam tahap ini emerging adult sedang mengalami kebimbangan dalam mengambil peran dan tanggung jawab orang dewasa (Arnett, 2007). Di sisi lain jika dilihat pada peran sosialnya, mahasiswa memiliki peran penting dengan menunjukkan perilaku prososial dan menjadi kekuatan baru dalam mencari dukungan publik untuk suatu gerakan (Dewantara & Widhyharto, 2015).

D. Dinamika Perilaku Prososial, Slactivism, dan Mahasiswa

Perilaku prososial merupakan perilaku yang dilakukan secara sukarela untuk memberi manfaat kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Perilaku prososial kini semakin mudah dilakukan karena kehadiran internet dan media prososial berbasis internet seperti yang dipaparkan oleh Sproull (2011). Dalam konteks online terutama di media sosial, para pengguna media sosial yang pernah melakukan aktivitas terkait pergerakan sosial seperti memberi “like”, komentar, atau membagikan konten pergerakan sosial tertentu diperkirakan memiliki kecenderungan presentasi diri yang mendasari keputusan untuk melakukan tindakan tersebut.

32

Sehingga perilaku prososial yang muncul secara nyata untuk melanjutkan hal tersebut menjadi kurang atau hanya sekedar menjadi dukungan token saja dan akhirnya mengarah pada slacktivism seperti yang dipaparkan oleh Kristofferson, White, dan Peloza (2014).

Seperti temuan yang diperoleh dari penelitian Lane dan Cin (2017) bahwa manajemen impresi (disebut juga sebagai presentasi diri) yang tinggi di awal dapat mencerminkan kecenderungan untuk tidak terlibat dalam masalah sosial, tapi kebutuhan untuk mengelola impresi seseorang saat ini masih dapat beroperasi sebagai insentif kuat untuk terlibat dalam bantuan offline. Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) juga menemukan hal yang serupa bahwa perilaku prososial yang dilakukan online tidaklah mendalam dan hanya karena dapat ditampilkan secara publik. Dari penelitian yang dilakukan Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) tersebut perilaku prososial online yang dilakukan semacam itu kebanyakan dilakukan oleh mahasiswa. Padahal mahasiswa dapat berperan penting dengan menunjukkan perilaku prososial.

Penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah untuk melihat tingkat perilaku prososial pada mahasiswa yang aktif di media sosial dan pernah melakukan slacktivism atau memberikan dukungan token seperti memberi

“like”, komentar, menggunakan atribut tertentu seperti pin atau gelang, dan membagikan konten yang berkaitan dengan pergerakan atau permasalahan sosial.

E. Pertanyaan Penelitian

Seberapakah tingkat perilaku prososial mahasiswa yang melakukan slacktivism?

Dalam dokumen It matters that you don’t just give up. (Halaman 40-50)

Dokumen terkait