• Tidak ada hasil yang ditemukan

It matters that you don’t just give up.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "It matters that you don’t just give up. "

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA YANG MELAKUKAN SLACKTIVISM

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Febiola Yulientin Rafles 139114116

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2018

(2)

ii SKRIPSI

TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA YANG MELAKUKAN SLACKTIVISM

Disusun oleh : Febiola Yulientin Rafles

139114116

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing

Paulus Eddy Suhartanto, M.Si. Tanggal :

(3)

iii SKRIPSI

TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA YANG MELAKUKAN SLACKTIVISM

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Febiola Yulientin Rafles

139114116

Telah dipertanggungjawabkan di depan penguji pada tanggal 22 Maret 2018

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Penguji I : Paulus Eddy Suhartanto, M.Si. ………....

Penguji II : Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si. ………

Penguji III : Monica Eviandaru M., M. Psych., Ph.D. ………....

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan

Dr. Titik Kristiyani, M. Psi.

(4)

iv

HALAMAN MOTO

So remember to look up at the stars and not down at your feet.

Try to make sense of what you see and wonder about what makes a universe exist.

Be curious and however difficult life may seem, there is always something you can do and succeed at.

It matters that you don’t just give up.

+Stephen Hawking+

This is my simple religion.

There is no need for temples, no need for complicated phylosophy.

Our own brain, our own heart is our temple, The phylosophy is kindness.

+Dalai Lama+

Time is relative, sometimes it runs fast sometimes it runs slow and sometimes it’s ticking with our own rhythm but it never runs backward. So spend every bit of it with love, kindness, joy, and dedication with the ones we care and love, and never take anything

for granted.

Make the most of it.

(5)

v

Karya ini saya persembahkan untuk

Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kuasa dan jalan yang selalu Ia berikan Keluargaku terkasih, Ibu, Papa, kedua kakakku Florentina Rafles dan Octaviena

Rafles yang selalu mendoakan dan mendukung dengan penuh kesabaran Sahabat dan teman-teman yang selalu ada dengan dukungan, semangat, kasih dan

sukacita

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan dengan sejujurnya dan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, selain yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana selayaknya suatu karya ilmiah.

Yogyakarta,………

Penulis

Febiola Yulientin Rafles

(7)

vii

TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA YANG MELAKUKAN SLACKTIVISM

Febiola Yulientin Rafles ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perilaku prososial pada mahasiswa yang melakukan Slacktivism. Slacktivism adalah merupakan suatu bentuk dukungan dengan biaya atau usaha yang relatif lebih sedikit untuk suatu permasalahan atau isu sosial yang juga dilakukan melalui internet dengan sedikit usaha untuk membuat suatu perubahan yang berarti. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 174 mahasiswa yang terdiri dari 47 subjek laki-laki dan 127 subjek perempuan yang merupakan mahasiswa yang tersebar dari angkatan 2013 sampai 2017. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala perilaku prososial dengan bentuk skala Likert yang disusun oleh peneliti. Reliabilitas dalam skala penelitian ini menggunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,86 (α=0,86). Metode analisis menggunakan kuantitatif deskriptif dan uji normalitas dengan analisis menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa skala perilaku prososial memiliki distribusi yang tidak normal dengan nilai 0,000 (p<0,05). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa mean empiris pada perilaku prososial sebesar 107,63 dan lebih besar daripada mean teoretis sebesar 92 pada uji-t, hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat perilaku prososial pada subjek cenderung tinggi. Berdasarkan analisis tersebut, subjek dengan tingkat perilaku prososial rendah sebanyak 20 subjek (11,5%), subjek dengan tingkat perilaku prososial sedang sebanyak 125 subjek (71,8%), dan subjek dengan tingkat perilaku prososial tinggi sebanyak 29 subjek (16,7%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan slacktivism cenderung memiliki perilaku prososial yang sedang atau cukup.

Kata kunci : Perilaku Prososial, Slacktivism

(8)

viii

LEVEL OF PROSOCIAL BEHAVIOR IN COLLEGE STUDENTS WHO DO SLACKTIVISM

Febiola Yulientin Rafles ABSTRACT

This research was aimed to determine the level of prosocial behavior in students who do Slacktivism. Slacktivism is a form of support with relatively less cost or effort for a social issue or issue that is also done via the internet with little effort to make a meaningful change.Subjects in this research as many as 174 students consisting of 47 male subjects and 127 female subjects who are students from class of 2013 to 2017. The data measurement used to collect the data in this research was prosocial behavior scale in Likert scale form which was prepared by the researcher. Reliability in this scale using Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.86 (α = 0.86). The analysis method used was descriptive quantitative and normality test analysis using One Sample Kolmogorov- Smirnov Test. Normality test results indicate that prosocial behavior scale has an abnormal distribution with a value of 0.000 (p <0.05). The result of descriptive analysis shows that the empirical mean score on prosocial behavior is 107,63 and greater than the theoretical mean score which is 92 with t-test analysis, it shows that the level of prosocial behavior in the subject tends to be high. Based on the analysis, subjects with low prosocial level are 20 subjects (11.5%), subjects with moderate prosocial level are 125 subjects (71.8%), and subjects with high prosocial behavior level are 29 subjects (16.7 %). The results show that students who do slacktivism tend to have moderate prosocial behavior level.

Keywords : Prosocial Behavior, Slacktivism

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Febiola Yulientin Rafles

NIM : 139114116

Guna pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya saya yang berjudul :

TINGKAT PERILAKU PROSOSIAL PADA MAHASISWA YANG MELAKUKAN SLACKTIVISM

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Saya mengizinkan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis.

Demikian pernyataan ini saya buat.

Yogyakarta, ……….

Yang menyatakan,

Febiola Yulientin Rafles

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi).

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan tahun 2018 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan periode tahun 2013- 2017.

3. Ibu Monica Eviandaru M., M. Psych., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mendampingi, membimbing, dan memberi masukan dalam proses penulisan skripsi.

5. Bapak T. M Raditya Hernawan, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik tahun 2013-2017 dan Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik tahun 2017-2018 yang telah memberikan dukungan, masukan dan arahan selama menjalani masa studi.

6. Seluruh karyawan dan staff di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Keluarga tercinta, Ibu, Papa, dan kedua kakakku yang selalu menyertai setiap langkah dengan doa, dukungan, sukacita, dan kesabaran.

(11)

xi

8. Teman-temanku terkasih, Venny, Koleta, Desi, Karla, Ray, Dito, Gera, Heidy, Andre, Randy, Wira, Dita, Cyus, Bama, Niko, Ellen, dan Vian.

Teman-teman yang telah memberikan banyak pembelajaran dan pengalaman, yang telah memberikan kegembiraan, berbagi suka dan duka, serta yang selalu mendukung dan hadir bagiku.

9. Teman-teman divisi Medis AKSI 2017, Nathasa, Kornelia, dan Fiyo yang telah berdinamika bersama selama menjalani proses penulisan skripsi sekaligus menjalani kepanitiaan.

10. Seluruh teman-teman kelas D Psikologi angkatan 2013 yang telah berdinamika bersama.

11. Seluruh teman-teman Psikologi, khususnya Psikologi angkatan 2013.

12. Setiap pihak yang telah membantu dan mendukung selama proses berdinamika di Fakultas Psikologi dan dalam proses pembuatan skripsi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Yogyakarta, ………..

Penulis

Febiola Yulientin Rafles

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

1. Manfaat Teoritis ... 14

2. Manfaat Praktis ... 14

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

(13)

xiii

A. Perilaku Prososial ... 16

1. Definisi Perilaku Prososial ... 16

2. Dimensi Perilaku Prososial ... 22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial ... 24

B. Slacktivism... 28

C. Mahasiswa ... 31

D. Dinamika Variabel ... 31

E. Pertanyaan Penelitian ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis Penelitian ... 34

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional... 35

D. Subjek Penelitian ... 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 38

1. Metode Pengumpulan Data ... 38

2. Alat Pengumpulan Data ... 39

F. Koefisien Korelasi Item ... 41

G. Validitas dan Reliabilitas ... 42

1. Validitas ... 42

2. Reliabilitas ... 44

H. Metode Analisis Data ... 45

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Pelaksanaan Penelitian ... 46

(14)

xiv

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 46

C. Hasil Penelitian ... 51

1. Uji Normalitas ... 51

2. Deskripsi Data Penelitian ... 52

D. Pembahasan ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Skala Likert Perilaku Prososial ... 39

Tabel 2. Blueprint Skala Perilaku Prososial ... 40

Tabel 3. Sebaran Item Skala Perilaku Prososial Sebelum Uji Coba ... 40

Tabel 4. Sebaran Item Skala Perilaku Prososial Setelah Uji Coba ... 42

Tabel 5. Korelasi Item Total Dimensi Skala Perilaku Prososial ... 42

Tabel 6. Indeks Validitas Isi-Item (IVI-I) Skala Perilaku Prososial ... 44

Tabel 7. Reliabilitas Skala Perilaku Prososial... 45

Tabel 8. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 47

Tabel 9. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 10. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Daerah Asal ... 48

Tabel 11. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Universitas ... 48

Tabel 12. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Angkatan Kuliah ... 49

Tabel 13. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Media Sosial yang Digunakan ... 49

Tabel 14. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Bentuk Dukungan Token yang Pernah Dilakukan ... 50

Tabel 15. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Cara Memberikan Dukungan ... 51

Tabel 16. Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov ... 51

(16)

xvi

Tabel 17. Deskripsi Data Penelitian ... 53 Tabel 18. Deskripsi Data Perilaku Prososial ... 53 Tabel 19. Kategori Tingkat Perilaku Prososial ... 54

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 70

Lampiran 2. Reliabilitas Item Skala Perilaku Prososial Sebelum dan Sesudah Uji Coba ... 79

Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas ... 82

Lampiran 4. Deskripsi Data Penelitian ... 83

Lampiran 5. Hasil Uji One Sample T-Test ... 86

Lampiran 6. Validitas Isi ... 90

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia perkembangan teknologi dan penggunaan internet semakin meningkat. “Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) baru saja merilis survei jumlah pengguna internet di Indonesia untuk tahun 2016. Dalam hasil survei tersebut, terungkap jika jumlah pengguna internet di Indonesia semakin meningkat. Jika pada tahun 2014 lalu pengguna internet 88,1 juta, tahun 2016 meningkat 14,4 persen atau menjadi 132,7 juta pengguna” (Jamaludin, 2016). Hal tersebut berarti bahwa masyarakat Indonesia semakin terpapar internet dan mudah dalam mengaksesnya, sehingga masyarakat Indonesia semakin mudah dalam berbagi dan menerima informasi secara lebih cepat dan terkini.

Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 tercatat sebesar 132,7 juta penduduk Indonesia menggunakan internet dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta jiwa. Penetrasi pengguna internet di Indonesia tertinggi merupakan mahasiswa (89.7%) dan konten yang paling sering diakses pengguna internet adalah konten media sosial (97.4%). Selain itu, media sosial juga merupakan media yang sering digunakan untuk melakukan aktivitas berbagi informasi (97.5%). Media sosial yang

(19)

sering digunakan antara lain seperti facebook, instagram, twitter, youtube, whatsapp, dan line. Di Indonesia penetrasi pengguna internet terbesar menyasar pada mahasiswa yaitu sebesar 89,7% (APJII, 2016).

Pada tahun 2013 muncul kampanye UNICEF Swedia yaitu “Likes Don’t Save Lives” yang mana mengajak orang-orang untuk tidak sekadar memberikan likes pada laman facebook UNICEF, melainkan untuk mendonasikan uang yang akan digunakan untuk membeli vaksin (O’Mahony, 2013). Pada kampanye UNICEF tersebut menekankan pada tindakan prososial yang berkelanjutan yaitu ketika seseorang memberikan likes pada laman kampanye online UNICEF, orang-orang juga ikut mendonasikan sejumlah uang, sehingga kampanye tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk bantuan nyata dan berkelanjutan.

Pergerakan sosial yang marak muncul di media sosial cenderung tidak menghasilkan bentuk nyata bagi perubahan melainkan hanya sekedar konten yang diunggah untuk disebarkan secara lebih luas. Lim (2013) mengungkapkan bahwa aktivisme di media sosial memiliki beberapa kecenderungan yaitu cepat, tipis, dan banyak, dengan kata lain kampanye online muncul setiap waktu dan sering menghilang dengan cepat tanpa jejak. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya orang yang menggunakan media sosial hanya memberikan click pada isu atau kampanye online tanpa adanya komitmen untuk menindaklanjuti tindakan mereka tersebut.

Dalam aktivisme online perlu diketahui seberapa rumit suatu permasalahan yang dihadapi dan waktu serta usaha yang dibutuhkan untuk

(20)

3

membuat perubahan nyata karena semakin rumit suatu permasalahan dan semakin membutuhkan penanganan yang segera, maka semakin mengebu- gebu pula para “likers” melakukan like saja tapi enggan bertindak (Hirsch, 2014). Sehingga, semakin besar usaha yang diperlukan untuk berpartisipasi, maka semakin mudah bagi orang-orang atau para sukarelawan untuk memberikan kontribusi yang kecil (Sproull, 2011). Selain itu, konteks dan kedekatan suatu permasalahan dengan seseorang juga mempengaruhi keterlibatan mereka dalam aktivisme online. Konten yang dibagikan di internet dipengaruhi oleh konteks, terutama konteks yang secara situasional dan spesifik mempengaruhi sukarelawan (Sproull, 2011).

Aktivisme online berkaitan dengan kesukarelaan (Sproull, 2011) dan kesukarelaan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan berkaitan dengan perilaku prososial (Ma, Li, & Pow, 2011; Liu, Huang, Du,

& Wu, 2014). Menurut Baron dan Branscombe (2012), perilaku prososial merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk membantu orang lain tanpa keuntungan langsung yang diterima si penolong. Perilaku prososial merupakan tindakan-tindakan yang didefinisikan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang bermanfaat secara umum bagi orang lain dan system politik yang sedang berjalan (Piliavin, Dovio, Gaertner, & Clark dalam Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner, 2006).

Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner (2006) juga mengungkapkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan interpersonal, sehingga perlu ada orang yang melakukan atau memberi

(21)

manfaat (benefaktor) dan orang yang menerima manfaat dari tindakan prososial yang muncul. Perilaku prososial bukan perilaku yang diturunkan dan dipandang sama secara universal, melainkan dinilai atau didefinisikan oleh masyarakat.

Menurut Sproull (2011) perilaku prososial juga bisa ditemukan di internet, perilaku prososial yang muncul di internet memiliki lingkup yang kecil, tapi berpengaruh secara signifikan. Perilaku Prososial online memiliki sisi positif antara lain untuk mengurangi biaya kegiatan sukarela dan organisasi sukarela offline; memperluas jangkauan dan dampak dari organisasi sukarela offline dan menguntungkan bagi mereka yang kesulitan menjangkau organisasi sukarela secara offline; menawarkan cara baru bagi orang-orang untuk memperkuat institusi sosial yang penting; serta dapat secara sosial menghasilkan informasi mengenai barang dan pelayanan yang menguntungkan yang jarang terdapat di pasaran.

Namun, terdapat pula sisi negatif dari perilaku prososial online tersebut yaitu dukungan token (suatu simbol yang menyatakan perasaan atau tindakan) yang mengarah pada slacktivism (Kristofferson, White, &

Peloza, 2014). Aktivisme online dapat dilihat dari dua macam bentuk dukungan yaitu dukungan bermakna atau yang disebut pula sebagai meaningful support dan dukungan token atau yang disebut pula sebagai token support. Dukungan bermakna (meaningful support) yaitu kontribusi nyata yang membutuhkan biaya tertentu, usaha, atau perubahan perilaku bagi suatu pergerakan. Sedangkan dukungan token (token support) berupa

(22)

5

bergabungnya seseorang dengan suatu pergerakan untuk menunjukkan dukungan kepada diri sendiri dan orang lain dengan sedikit usaha dan biaya misalnya menandai petisi, memberi like atau share pada suatu konten tertentu (Kristofferson, White, & Peloza, 2014).

Peningkatan penggunaan media sosial (APJII, 2016) dan munculnya organisasi kemanusiaan di media sosial memicu munculnya Slacktivism atau yang terkadang disebut pula sebagai Clicktivism (Kristofferson, White,

& Peloza, 2014). Slacktivism merupakan keinginan untuk melakukan aksi, tindakan, atau dukungan melalui internet dengan biaya, usaha, waktu, dan keterlibatan yang relatif lebih kecil bahkan tidak sama sekali untuk mendukung atau melakukan perubahan yang berarti terhadap suatu permasalahan atau isu sosial maupun politik, serta tidak membuka risiko ancaman bagi partisipannya, tapi juga dapat meningkatkan usaha enerjik secara intens untuk periode waktu yang terbatas (Davis, 2011 & Morozov, 2009 dalam Kristofferson dkk (2014); Schudson, 2006 dalam Christensen, 2012). Aktivisme dengan risiko yang rendah cenderung menarik lebih banyak partisipan (Lim, 2013).

Slaktivisme dianggap merupakan bentuk ideal dari aktivisme bagi generasi malas yang tidak perlu lagi mengikuti demonstrasi ketika munculnya internet jauh lebih menarik (Morozov, 2009 dalam Christensen, 2012). Aktivisme online dianggap merupakan bentuk slacktivism karena dilakukan oleh masyarakat yang kurang memiliki kompetensi politik pusat dan oleh karenanya tidak dapat melaksanakan secara penuh dalam

(23)

lingkungan politik (Christensen & Bengtsson, 2011 dalam Christensen, 2012). Selain itu, beberapa aktivitas online dianggap merupakan bentuk slacktivism karena aktivitas tersebut benar-benar mungkin untuk dilakukan dengan hanya sekali menekan tombol saja (Christensen, 2011 dalam Christensen, 2012).

Kristofferson, White, & Peloza (2014) membuat kerangka konsep mengenai slacktivism. Slacktivism muncul karena adanya faktor observasi sosial, dalam hal ini semakin terobservasi secara sosial maka semakin kurangnya keterlibatan nyata dalam aktivisme online. Sebaliknya, semakin kurang terobservasi secara sosial maka keterlibatan dalam aktivisme online menjadi semakin tinggi. Aktivisme online juga berkaitan dengan melakukan tindakan bermoral. Bertindak secara tidak bermoral memiliki pengaruh negatif pada persepsi terhadap penghargaan diri dan orang-orang terlibat dalam perilaku yang bermoral dengan tujuan untuk meningkatkan penghargaan diri yang hilang tersebut. Hal ini juga diistilahkan dengan pembersihan moral (moral cleansing) yang merujuk pada tindakan-tindakan di mana orang-orang terlibat di dalamnya ketika mereka merasa bahwa penghargaan diri mereka terancam (Sachdeva, Iliev, & Medin, 2009).

Dalam proses pembingkaian perlu adanya motivasi bagi orang- orang untuk bertindak (Snow & Benford, 1988 dalam Schroeder dkk., 2014) untuk mengalahkan ketakutan terhadap risiko yang sering diasosiasikan dengan tindakan kolektif dan permasalahan pendompleng. Misalnya mengapa seseorang berpartisipasi dalam sebuah pergerakan yang berisiko

(24)

7

dan atau membutuhkan banyak biaya ketika ia tahu bahwa orang lain akan melakukan hal tersebut dan apakah ia akan mendapatkan keuntungan dari tindakan aktivisme yang mereka lakukan (Olson, 1965 dalam Schroeder dkk., 2014; Snow & Byrd, 2007 dalam Schroeder dkk., 2014).

Kehadiran tindakan awal token dukungan prososial mempengaruhi tingkat di mana orang-orang selanjutnya akan berkontribusi terhadap suatu permasalahan atau pergerakan. Khususnya, orang-orang yang melakukan tindakan token dukungan awal secara pribadi untuk suatu permasalahan menyumbangkan lebih banyak uang untuk tujuan tersebut ketika diminta untuk melakukannya daripada mereka yang terlibat dalam dukungan token secara publik atau mereka yang terlibat dalam dukungan tanpa token.

Individu yang memberikan dukungan token publik untuk suatu permasalahan cenderung tidak memberikan dukungan yang berarti daripada orang-orang yang tidak melakukan tindakan dukungan awal (Kristofferson, White, & Peloza, 2014).

Partisipan yang berpola pikir secara sosial melakukan sedikit kontribusi karena mereka berasumsi bahwa jutaan anggota lain akan melakukannya (Oliver, 1984). Ketika membahas tentang keterlibatan masyarakat pada internet, aktivisme digital tidak lain hanyalah merupakan slacktivism karena aktivitas yang dihadirkan hanya sebatas untuk meningkatkan faktor perasaan baik dari para partisipan (Morozov, 2009 dalam Christensen, 2012; Christensen, 2011 dalam Christensen, 2012).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Merlyna Lim (2013) dalam

(25)

penelitiannya didapat sebuah implikasi bahwa seseorang akan terlihat keren dengan menunjukkan partisipasinya dalam dinding facebook.

Kecenderungan seseorang termotivasi oleh hasrat untuk menampilkan diri secara positif kepada orang lain inilah yang disebut sebagai motif impresi-manajemen (Kristofferson, White, & Peloza, 2014).

Kristofferson, dkk (2014) juga menjelaskan bahwa slacktivism juga muncul karena adanya motif impresi-manajemen. Motif ini akan terpuaskan apabila dukungan token terobservasi secara publik. Motif impresi-manajemen merupakan suatu upaya untuk mengatur impresi yang dibentuk orang lain terhadap seseorang. Sehingga, motif ini berkaitan dengan penerimaan, evaluasi, dan perlakuan orang lain terhadap seseorang (Leary & Kowalski, 1990).

Manajemen impresi merupakan sebuah studi mengenai bagaimana orang-orang mencoba untuk mengatur atau mengontrol persepsi yang dibentuk oleh orang lain mengenai mereka (Bozeman & Kacmar, 1997 dalam Paliszkiewicz & Madra-Sawicka, 2016; Drory & Zaidman 2007, dalam Paliszkiewicz & Madra-Sawicka, 2016) yang juga disebut sebagai presentasi diri (Leary & Kowalski, 1990 dalam Salleh, Mustaffa, & Ariffin, 2013). Presentasi diri dijelaskan sebagai “diri” yang ditampilkan kepada orang lain yang cenderung ditunjukkan orang secara sengaja dan ingin dilihat oleh orang lain (Wong, 2012).

Wong (2012) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang erat antara presentasi diri dan citra yang disampaikan kepada orang-orang sehingga

(26)

9

mereka cenderung memproyeksikan perilaku tertentu agar dapat menyampaikan citra yang diinginkan secara online. Dengan adanya pertukaran budaya dan identitas dalam internet, dan khusunya pada situs jejaring sosial, maka sangat mungkin bahwa presentasi diri online mempengaruhi pembentukan identitas offline (Kosanovic, 2006 dalam Zarghooni, 2007).Menurut Rosenfeld, Giacalone, dan Riordan (2002, dalam Paliszkiewicz & Madra-Sawicka, 2016) dalam kehidupan nyata dan online, representasi diri menghubungkan ide mengenai diri kita kepada dunia luar.

Paliszkiewicz dan Madra-Sawicka (2016) mengemukakan bahwa tujuan utama manajemen impresi atau presentasi diri secara online adalah untuk mengarahkan impresi orang lain dengan cara mengontrol informasi, foto, dan video dan menghadirkannya dalam cara yang layak di media sosial. Selain itu, orang-orang yang tergabung dalam jejaring sosial memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula. Paliszkiewicz dan Madra- Sawicka (2016) mengungkapkan bahwa orang-orang memiliki kebutuhan misalnya untuk mengekspresikan diri, komunikasi, atau promosi. Berbagai cara dilakukan orang-orang untuk menampilkan diri mereka di media sosial.

Salah satunya adalah dengan taktik representasi diri yang merupakan perilaku yang digunakan untuk mengatur impresi untuk mencapai tujuan tertentu atau tujuan interpersonal jangka pendek yang dapat diperkirakan (Lee dkk, 1999 dalam Paliszkiewicz & Madra-Sawicka, 2016).

Media sosial menjadi sarana yang sesuai untuk memenuhi motif tersebut. Saat ini para pengguna media sosial dapat membuat dan berbagi

(27)

konten mereka dengan mudah serta berinteraksi dengan pengguna lain dengan lancar dalam jaringan teman, seringkali dalam waktu yang nyata dan cara yang berkesinambungan (Paltoglou, 2014). Media sosial merujuk pada interaksi di antara orang-orang yang mana mereka menciptakan, membagikan, dan atau bertukar informasi dan ide-ide dalam komunitas dan jejaring virtual. Media sosial merupakan sebuah grup aplikasi berbasis internet (Paltoglou, 2014). Internet juga telah menjadi sebuah wadah yang penting bagi kegiatan politik dan pelaksaannya bagi demokrasi telah menjadi topik yang diperdebatkan (Noris, 2001 dalam Christensen, 2012;

Coleman & Blumer, 2009 dalam Christensen, 2012; /Loader & Mercea, 2012 dalam Christensen, 2012).

Media sosial yang merupakan wadah yang tepat dan cepat untuk berbagi informasi dan komunikasi kemudian menjadi sarana yang dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan prososial. Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) melakukan penelitian pada mahasiswa dan menemukan bahwa media sosial digunakan untuk kegiatan prososial karena dapat ditampilkan secara publik walaupun kegiatan prososial yang dilakukan tersebut tidak mendalam. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kristofferson, White, dan Peloza (2014) pada mahasiswa pula bahwa tindakan prososial yang dilakukan secara online cenderung tidak mendalam. Dalam penelitiannya, tindakan prososial yang dilakukan secara online hanya sampai pada memberikan dukungan token saja sebagai bentuk simbol bantuan dan tidak

(28)

11

ada tindakan prososial lanjutan untuk menindaklanjuti dukungan token tersebut.

Dari penelitian Kristofferson, White, dan Peloza (2014) serta penelitian Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa memegang peran dalam kegiatan prososial online yang cenderung tidak berkelanjutan dalam wujud tindakan nyata.

Padahal mahasiswa merupakan kaum muda yang umumnya lebih peka terhadap isu yang ada di masyarakat dan sekaligus kaum intelektual penggerak masyarakat (Dewantara & Widhyharto, 2015). Selain itu, dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, mahasiswa merupakan pengguna internet terbesar yaitu sebesar 89,7% (APJII, 2016). Gerakan sosial baru menggunakan media sosial yang digerakan oleh mahasiswa ini menjadi kekuatan baru dengan kemudahan yang ditawarkan oleh media sosial dalam hal penyebaran informasi dan untuk mencari dukungan publik untuk suatu gerakan (Dewantara & Widhyharto, 2015).

Jika dilihat dari sisi psikologi perkembangan, mahasiswa sedang berada dalam tahap emerging adult (Arnett, 2000). Dalam tahap ini emerging adult sedang mengalami kebimbangan dalam mengambil peran dan tanggung jawab orang dewasa (Arnett, 2007). Hal tersebut dapat menjadi alasan mengapa mahasiswa cenderung tidak melakukan tindakan prososial nyata yang berkelanjutan setelah melakukan tindakan prososial online melalui media internet. Sehingga para mahasiswa memilih untuk sekadar melakukan prososial online. Di sisi lain, mahasiswa yang memiliki

(29)

memiliki persepsi terhadap tanggung jawab dan kewajiban sosial yang tinggi cenderung memiliki perilaku prososial dengan menunjukkan empati terhadap mereka yang membutuhkan tanpa meminta imbalan (Kosek, 1995). Pada penelitian yang dilakukan oleh Durfeld, Martin, Washburn, dan Wilson (2016) ditemukan bahwa mahasiswa yang memiliki perilaku prososial tinggi cenderung memiliki nilai tradisional dan pandangan terhadap politik yang lebih konservatif.

Mahasiswa memiliki peran penting dalam suatu pergerakan sosial dengan menunjukkan perilaku prososial. Perilaku prososial tersebut kini dapat dilakukan secara online. Namun, perilaku prososial secara online memiliki sisi positif dan sisi negatif. Dalam penelitian yang dilakukan Sproull (2011) menunjukkan bahwa perilaku prososial yang dilakukan secara online memberikan manfaat terutama karena kecepatannya dalam menyebarkan informasi. Hal ini sejalan pula dengan Dewantara dan Widhyharto (2015) bahwa ranah online menjadi ruang publik baru untuk masyarakat dalam berinteraksi dan berdiskusi mengenai suatu isu sehingga mempermudah masyarakat untuk melakukan dukungan.

Tapi hal ini justru bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Kristofferson, White, dan Peloza (2014) bahwa perilaku prososial online cenderung tidak berlanjut pada tindakan nyata perilaku prososial.

Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) juga menemukan hal yang serupa bahwa perilaku prososial yang dilakukan online tidaklah mendalam dan hanya karena dapat ditampilkan secara publik. Dari beberapa penelitian

(30)

13

tersebut mengenai perilaku prososial, khususnya di internet melalui media sosial, lalu apakah perilaku tersebut dapat menjadi dukungan yang berarti atau malah sebaliknya, yaitu menjadi dukungan token saja seperti halnya pada perilaku slacktivist.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

Seberapakah tingkat perilaku prososial mahasiswa yang melakukan slacktivism?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perilaku prososial mahasiswa yang melakukan slacktivism.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai perilaku prososial mahasiswa yang melakukan slacktivism.

Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian dengan topik dan konteks yang sama.

(31)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa yang melakukan slacktivism dan pengelola media prososial.

Ada pun manfaat tersebut antara lain:

a. Bagi mahasiswa

Bagi mahasiswa diharapkan dapat memiliki gambaran mengenai tindakan slacktivism yang dilakukan dan dari hal tersebut dapat mahasiswa dapat melakukan atau memberikan kontribusi yang berkelanjutan terhadap kegiatan slacktivism yang telah dilakukan seperti memberikan bantuan secara nyata yang lebih dapat dirasakan manfaatnya oleh pihak yang diberi bantuan.

b. Bagi pengelola media prososial

Manfaat hasil penelitian ini bagi pengelola media prososial yaitu agar pengelola dapat mengembangkan media yang digunakan dalam menyebarkan konten prososial, misalnya dengan setiap dukungan token yang diberikan maka akan ada sejumlah bantuan lanjutan yang dapat diberikan seperti uang atau tenaga sukarela.

(32)

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan perilaku membantu, berbagi, dan perilaku positif sejenisnya yang dilakukan secara sengaja dan sukarela dengan motif yang tidak spesifik dan tidak diketahui, serta dilakukan dengan atau tanpa imbalan dari penerima bantuan (Eisenberg, 1982).

Sejalan dengan Eisenberg mengenai perilaku prososial, Carlo dan Randall (2002) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Selain itu, perilaku prososial merupakan perilaku yang menunjukkan tindakan interpersonal, sehingga perlu ada orang yang melakukan atau memberi manfaat (benefaktor) dan orang yang menerima manfaat dari tindakan prososial yang muncul.

Perilaku prososial bukan merupakan perilaku yang diturunkan dan dipandang sama secara universal, tetapi merupakan perilaku yang dinilai atau didefinisikan oleh masyarakat (Dovidio, Piliavin, Schroeder,

& Penner, 2006). Baron dan Branscombe (2012) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk membantu orang lain tanpa keuntungan langsung yang diterima penolong.

(33)

Perilaku prososial dapat didefinisikan secara umum sebagai perilaku seperti menolong atau berbagi yang mendukung kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, adanya keinginan untuk mengorbankan kesejahteraan diri sendiri demi orang lain, serta perilaku yang dilakukan dengan niat untuk menguntungkan orang lain lebih dari diriny sendiri (Hoffman, 1982; Krebs, 1982;

Underwood & Moore, 1982). Perilaku prososial memiliki beberapa dimensi (Carlo & Randall, 2002; Carlo, Knight, McGinley, Zamboanga,

& Jarvis, 2010) antara lain yaitu perilaku prososial altruistik, perilaku prososial compliant, perilaku prososial emosional, perilaku prososial publik, perilaku prososial anonimus, dan perilaku prososial dire.

Sedangkan Liu dkk. (2014) berpendapat bahwa perilaku prososial termasuk di dalamnya perilaku altruistik yang mana merupakan perilaku prososial tingkat tinggi yang motifnya bersifat sukarela, sehingga orang yang melakukan perilaku tersebut tidak membantu orang lain demi mendapatkan hadiah materi atau sosial dan sebagai gantinya orang tersebut melakukan hal ini untuk mendukung kebahagiaan orang lain dan untuk memberi manfaat kepada orang lain.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bar- Tal dan Raviv (1982) yaitu bahwa altruisme sebagai salah satu tindakan membantu yang mana berada pada kualitas tertinggi, yang didefinisikan sebagai tindakan suka rela dan perilaku yang disengaja untuk menguntungkan orang lain, sebagai hasilnya dari keyakinan moral

(34)

18

dalam keadilan dan tanpa mengharapkan imbalan eksternal. Cialdini, Kenrick, dan Baumann (1982) serta Zahn-Waxler dan Radke-Yarrow (1982) berpendapat bahwa altruisme secara formal didefinisikan sebagai penghormatan atau pengabdian kepada kepentingan orang lain dan merupakan tindakan-tindakan yang diambil untuk menguntungkan orang lain untuk berbagai alasan selain imbalan ekstrinsik.

Penner, Dovidio, Piliavin, dan Schroeder (2005) menyatakan bahwa perilaku prososial mewakili kategori tindakan yang luas yang didefinisikan oleh beberapa segmen masyarakat dan atau kelompok sosial seseorang yang pada umumnya bermanfaat bagi orang lain.

Perilaku prososial juga dapat dilihat melalui perspektif multilevel antara lain yaitu perilaku prososial dilihat dalam tingkat meso yaitu studi mengenai penolong dan penerima (helper-recipient dyads) dalam konteks situasi spesifik; perilaku prososial dilihat dari tingkat micro yaitu studi mengenai asal kecendeungan prososial dan sumber dari variasi kecenderungan-kecenderungan tersebut; perilaku prososial dilihat dari tingkat macro yaitu studi mengenai tindakan-tindakan prososial yang muncul di dalam konteks kelompok dan organisasi yang besar. Perilaku prososial yang dilakukan oleh individu dengan fokus utama pada perilaku sukarela dan perilaku terkait yang direncanakan dan berlanjut untuk waktu yang lama.

Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner (2006) membedakan perilaku prososial dalam tiga subkategori yaitu membantu (helping),

(35)

altruisme (altruism), dan kerjasama (cooperation). Helping (membantu) yaitu sebuah tindakan yang memiliki konsekuensi untuk menyediakan keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan orang lain. Menurut McGuire (1994, dalam Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner, 2006) terdapat empat jenis membantu yaitu casual helping yaitu melakukan bantuan kecil kepada kenalan biasa; substantial personal helping yaitu mengeluarkan banyak usaha untuk memberi teman manfaat nyata;

emotional helping yaitu menyediakan dukungan emosional atau personal bagi teman; serta emergency helping yaitu memberikan bantuan bagi orang asing dengan permasalahan yang serius.

Situasi membantu dapat dibedakan pula berdasarkan apakah membantu melibatkan pemberian pendampingan secara tidak langsung misalnya memberikan donasi kepada dewan amal, sehingga si pemberi bantuan tidak perlu datang dan kontak langsung dengan penerima bantuan atau melakukan sesuatu secara langsung untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Menurut Pearce dan Amato (1980, dalam Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner, 2006) helping atau membantu memiliki empat aspek antara lain planned/ formal and Spontaneous/ informal yaitu terencana/ formal dan spontan/ tidak formal; serious and not serious yaitu serius dan tidak serius; serta direct and indirect yaitu langsung dan tidak langsung.

Selain itu, perilaku prososial juga mencakup perilaku altruistik (Dovidio, Piliavin, Schroeder, & Penner, 2006) yaitu suatu tindakan

(36)

20

memberikan manfaat atau bantuan untuk orang lain tanpa imbalan dari sumber atau pihak eksternal untuk menyediakan pendampingan.

Menurut Smith, Lapinski, Bresnahan, dan Smith (2013) perilaku altruistik memiliki lima aspek antara lain concern yaitu perhatian untuk orang lain dan bukan untuk diri sendiri serta melakukan sesuatu untuk yang lain dan demi kepentingan orang lain, dan bukan sebagai sarana untuk mempromosikan diri atau kesejahteraan pribadi; cost yaitu pengorbanan atau biaya; benefit to recipient yaitu manfaat bagi penerimanya atau sesuatu yang benar-benar meningkatkan kehidupan penerimanya dan dapat bersifat emosional, fisik, material, atau spiritual;

serta empathy yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan merasakan kejadian dan emosi yang dialami orang tersebut (Aronson, Wilson, dan Akert, 2013). Kemudian terdapat pula ease of escape yaitu menyalahkan diri sendiri atau adanya emosi negatif yang dirasakan seperti rasa bersalah atau malu.

Cooperation yaitu bertindak bersama dalam cara yang terkoordinasi dalam pekerjaan, waktu luang, atau dalam hubungan sosial untuk mengejar tujuan bersama, kenikmatan tindakan yang dilakukan bersama atau sekedar mengembangkan hubungan serta pengaturan yang tidak sekedar nonkompetitif tapi memerlukan orang- orang untuk bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Dovidio, Piliavin, Schroeder, dan Penner (2006) cooperation memiliki empat aspek antara lain interdependent relationship yaitu tindakan yang

(37)

saling mempengaruhi keuntungan atau kerugian orang lain;

coordination yaitu mengkoordinasi tindakan yang dilakukan; common goals yaitu mengejar tujuan bersama; serta mutually beneficial yaitu meningkatkan hasil yang saling menguntungkan yang mungkin mencakup penghargaan sosial dan material.

Berkaitan dengan perkembangan teknologi, perilaku prososial pun mengikuti perkembangan tersebut. Beberapa penelitian telah meneliti perilaku prososial dalam konteks online dan offline (Liu, Huang, Du, & Wu, 2014; Bosancianu, Powell, & Bratovic, 2013; Ma, Li, & Pow, 2011; Sproull, 2011). Liu, Huang, Du, & Wu (2014) berpendapat bahwa internet digunakan sebagai alat untuk mengakses informasi, mencari pertemanan, mencari rasa memiliki dan dukungan emosional, dan merupakan sarana yang penting bagi seseorang untuk mendapatkan pertolongan. Walaupun perilaku prososial di internet hanya memiliki porsi yang kecil, tapi memiliki pengaruh yang signifikan. Perilaku prososial online memiliki konteks yang dapat dijelaskan berdasarkan karakteristik tugas dan struktur sosialnya (Sproull, 2011). Perilaku prososial internet mencakup penggunaan internet sebagai sarana dalam mengatur kegiatan altruistik dan kegiatan sukarela untuk membantu orang-orang yang membutuhkan (Ma, Li, &

Pow, 2011). Sproull (2011) juga mengemukakan bahwa kesukarelaan merupakan bentuk dari perilaku prososial yaitu seperti membantu, menghibur, berbagi, dan bekerja sama untuk orang lain.

(38)

22

Dari berbagai penelitian yang telah dipaparkan mengenai perilaku prososial, peneliti menggunakan definisi perilaku prososial yang dikemukakan oleh Carlo dan Randall (2002) yaitu perilaku prososial merupakan perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Perilaku prososial meliputi berbagai dimensi yaitu perilaku prososial altruistik, perilaku prososial compliant, perilaku prososial emosional, perilaku prososial publik, perilaku prososial anonimus, dan perilaku prososial dire. Teori perilaku prososial Carlo dan Randall (2002) memaparkan perilaku prososial secara lebih spesifik dan jelas dari teori sebelumnya yang dikemukankan oleh Eisenberg (1982). Selain itu, Carlo dan Randall (2002) juga memperjelas perilaku prososial dengan enam dimensi yang ada.

2. Dimensi Perilaku Prososial

Perilaku prososial memiliki beberapa dimensi (Carlo & Randall, 2002; Carlo, Knight, McGinley, Zamboanga, & Jarvis, 2010) yaitu:

a. Perilaku prososial altruistik yaitu bantuan sukarela atas kepedulian dan perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain, yang mana dapat menimbulkan biaya dan pengorbanan bagi orang yang melakukan atau yang menolong. Adanya respon simpati yang berkaitan dengan norma-norma yang terinternalisasi dalam diri individu sehingga menimbulkan empati. Selain itu, altruistik memiliki hubungan signifikan antara variabel-variabel kepribadian

(39)

dan perilaku prososial melalui berbagai konteks yang berbeda.

b. Perilaku prososial compliant yaitu bantuan bagi orang lain untuk menanggapi adanya permintaan bantuan secara verbal ataupun nonverbal dengan kata lain membantu karena ada permintaan dari pihak lain. Bantuan yang dilakukan secara komplian dengan tingkatan yang lebih tinggi diasosiasikan dengan penggunaan mode orientasi penerimaan penalaran moral dan tidak diasosiasikan dengan pengambilan perspektif, simpati, atau penalaram moral yang lebih tinggi. Selain itu, membantu secara komplian lebih sering dilakukan secara tidak spontan.

c. Perilaku prososial emosional yaitu membantu orang lain yang sedang dalam keadaan yang menggugah secara emosional. Bagi beberapa individu situasi yang sangat menggugah secara emosional dapat memicu tekanan pribadi, sehingga respon yang mungkin muncul adalah simpati. Hal ini berkaitan dengan kemampuan regulasi emosi dan membantu tanpa pamrih atau membantu egoistik.

Bantuan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat menggugah secara emosional dikaitkan dengan respon simpati dan kecenderungan orientasi personal terhadap orang lain.

d. Perilaku prososial publik yaitu perilaku prososial yang dilakukan di

(40)

24

depan orang lain atau khalayak dan cenderung termotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan persetujuan dan rasa hormat dari orang lain, serta meningkatkan harga diri seseorang. Perilaku prososial publik tidak berhubungan dengan penalaran moral yang lebih tinggi dan kecenderungan orientasi personal terhadap orang lain.

e. Perilaku prososial anonymous yaitu perilaku prososial yang dilakukan tanpa diketahui oleh orang yang menerima bantuan atau orang lain.

f. Perilaku prososial dire yaitu memberikan bantuan dalam situasi krisis atau keadaan darurat.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Baron dan Branscombe (2012) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial antara lain:

a. Hipotesis empati-altruismee yaitu perilaku prososial secara mendasar dimotivasi oleh keinginan untuk membantu orang yang membutuhkan. Empati terdiri dari tiga komponen yang berbeda antara lain emotional empathy, empathic accuracy, dan empathic concerns. Perbedaan komponen ini berpengaruh pada aspek perilaku prososial yang berbeda dan juga pada efek jangka panjang perilaku

(41)

prososial yang berbeda pula.

b. Negatif-state relief yaitu perilaku prososial muncul karena adanya keinginan untuk mengurangi emosi negatif yang tidak nyaman.

Artinya, perilaku prososial yang dilakukan lebih untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman atau tidak menyenangkan ketika melihat orang lain sedang menderita atau sedang membutuhkan bantuan sehingga empati menjadi hal yang tidak penting dalam situasi ini.

c. Hipotesis empathic-joy yaitu penolong akan menanggapi kebutuhan orang lain yang membutuhkan karena adanya keinginan untuk mencapai sesuatu dan dengan melakukan hal tersebut dapat menghasilkan penghargaan diri bagi orang tersebut, sehingga penting bagi penolong untuk mengetahui bahwa tindakannya tersebut memberikan dampak positif bagi orang yang dibantu. Hal tersebut mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku prososial.

d. Competitive altruism yaitu untuk meningkatkan status dan reputasi, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih dari sekedar mengimbangi biaya untuk terlibat dalam tindakan prososial.

Pengakuan publik terhadap perilaku sosial dapat meningkatkan

(42)

26

status sosial. Maka, semakin suatu tindakan prososial menghasilkan peningkatan pada status sosial seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku prososial yang dilakukan orang tersebut.

e. Kin selection theory yaitu membantu orang lain yang berhubungan secara genetik. Seseorang cenderung akan membantu orang lain yang dekat dengannya. Namun, tidak semua tindakan membantu berdasarkan pada kedekatan hubungan seseorang baik secara genetik atau pun tidak. Perilaku prososial tentu dilakukan pada orang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, hal ini dapat terjadi karena adanya kecenderungan seseorang untuk membantu karena ada timbal baliknya. Jika seseorang telah membantu, maka dikemudian hari dia akan mendapat bantuan pula.

f. Defensive helping yaitu bantuan diberikan kepada outgroup untuk mengurangi ancaman pada status atau kekhasan suatu ingroup.

Dalam hal ini perilaku prososial muncul karena adanya keinginan untuk melindungi kekhasan dan status suatu kelompok.

Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dalam konteks informal. Orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih melakukan perilaku prososial daripada mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah (Bekkers & de Graff, 2005;

Wilson & Musick, 1997). Selain itu, perilaku altruistik yang merupakan

(43)

bagian dari perilaku prososial (Eisenberg & Miller, 1987) dipengaruhi oleh karakteristik situasi (Wallace, 1999). Wallace (1999) menjelaskan ketika seseorang mendapatkan permintaan untuk menolong dalam lingkungan internet, mereka akan menginterpretasikan terlebih dahulu permintaan tersebut dan biasanya mereka akan melihat keberadaan bystander dan melihat apa yang mereka lakukan. Ketika jumlah orang yang melihat adanya permintaan bantuan cukup banyak, maka akan timbul rasa tanggung jawab yang kurang untuk menanggapi permintaan tersebut.

Dalam konteks online, perilaku prososial dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu untuk mengurangi biaya transaksi untuk organisasi dan aktivitas sehingga dapat dilakukan secara lebih efisien; jangkauan yang luas;

merupakan cara baru bagi institusi sosial; serta kemudahan dalam menghasilkan layanan informasi yang bermanfaat secara sosial yang tidak dapat didukung oleh pasar (secara offline) (Sproull, 2011). Selain itu, Bosancianu, Powell, dan Bratovic (2013) berpendapat bahwa karakteristik hubungan antara penolong dan penerima bantuan, serta pertimbangan biaya dan manfaat sosial menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku prososial yang akan dilakukan secara online atau offline.

Namun perilaku prososial dapat terhambat oleh beberapa hal, baik perilaku prososial secara online maupun offline (secara langsung di luar konteks internet). Misalnya pertimbangan biaya, manfaat sosial dari tindakan membantu, atau karakteristik hubungan antara penolong dan penerima, serta pertimbangan keputusan mengenai apakah akan membantu

(44)

28

secara online atau offline (Bosancianu, Powell, & Bratovic, 2013). Penner, Dovidio, Piliavin, & Schroeder (2005) juga mengemukakan hal yang serupa bahwa orang relatif rasional dan prihatin pada kepentingan pribadi mereka ketika berkaitan dengan pandangan ekonomi perilaku manusia yang mana orang termotivasi untuk memaksimalkan penghargaan mereka dan meminimalkan biaya yang mereka mungkin keluarkan. Baron dan Branscombe (2012) menungkapkan bahwa eksklusi sosial, perasaan anonimitas, dan memberikan nilai ekonomi pada waktu dan usaha yang dikeluarkan dalam membantu dapat menghambat perilaku prososial.

B. Slacktivism

Kristofferson, White, dan Peloza (2014) menjelaskan mengenai slacktivism yaitu suatu bentuk dukungan dengan biaya atau usaha yang relatif sedikit untuk suatu permasalahan atau isu sosial yang dilakukan secara langsung atau melalui internet. Davis (2011) dalam artikelnya juga mengatakan bahwa slacktivism digunakan dalam pemasaran suatu produk yang mendukung suatu pergerakan sosial yang justru tidak menyasar pada konsumen untuk melakukan tindakan prososial. Selain itu, Schudson (dalam Christensen, 2012) berpendapat bahwa slacktivism merupakan aktivitas baru yang minim usaha dengan risiko ancaman yang sangat kecil bagi partisipannya, tapi juga dapat meningkatkan usaha enerjik secara intens untuk periode waktu yang terbatas. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dipaparkan oleh Kristofferson, White, dan Peloza

(45)

(2014) mengenai slacktivism karena dalam penelitian tersebut Kristofferson dkk (2014) mengkaji slacktivism dengan tindakan prososial.

Terdapat dua jenis dukungan yaitu dukungan token (token support) dan dukungan berarti (meaningful support). Dukungan token (token support) merupakan bentuk dukungan kecil yang membutuhkan sedikit usaha dan biaya misalnya menandatangani petisi, memakai gelang atau pin sebagai bentuk dukungan atau terlibat dalam dukungan online seperti memberi “like” atau tergabung pada laman tertentu. Sedangkan dukungan berarti (meaningful support) adalah bentuk dukungan yang membutuhkan usaha dan biaya yang substansial misalnya memberikan donasi uang atau menyediakan waktu (Kristofferson, White, & Peloza, 2014).

Dukungan token ini lah yang menjadi bentuk slaktivisme. Dukungan token dipengaruhi oleh manajemen impresi sehingga orang-orang ingin menunjukkan dirinya secara positif kepada orang lain. Dengan kata lain, orang-orang melakukan dukungan token untuk membangun reputasi (Kristofferson, White, & Peloza, 2014). Lane dan Cin (2017) juga memaparkan bahwa motif manajemen impresi secara konsisten tinggi baik pada awal dan setelah berbagi dan dalam lingkungan situs jejaring sosial yang disimulasikan secara realis menimbulkan kekhawatiran mengenai adanya manajemen impresi yang muncul terus-menerus. Aliran informasi yang konstan berarti presentasi diri di Facebook adalah proses terus- menerus yang tidak mudah diselesaikan dengan satu pesan, posting, atau share, sehingga kaum milenial lebih berfokus pada diri sendiri dan lebih

(46)

30

kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi. Manajemen impresi yang tinggi di awal dapat mencerminkan kecenderungan untuk tidak terlibat dalam masalah sosial, namun kebutuhan untuk mengelola kesan seseorang saat ini masih dapat beroperasi sebagai insentif kuat untuk terlibat dalam bantuan offline.

Berbagi media prososial secara publik tidak mengarah pada menurunnya keinginan ke depannya untuk terlibat dalam aktivitas prososial.

Terdapat efek signifikan yang positif mengenai berbagi secara publik pada keinginan untuk bersuka rela, selain mengatur sejumlah variable untuk mempengaruhi perilaku prososial (Lane dan Cin, 2017). Media prososial tidak hanya berfungsi sebagai sarana katarsis untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah orang yang benar secara moral, namun juga berkontribusi pada usaha presentasi diri yang berkelanjutan (Schau & Gilly, 2003).

Sehingga individu termotivasi untuk berbagi informasi untuk memperbaiki reputasi mereka (Wasko & Faraj, 2005).

C. Mahasiswa

Berdasarkan survei yang dilakukan APJII pada tahun 2016, mahasiswa merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia. Mahasiswa sendiri merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi (KBBI) yang berusia antara 18-25 tahun. Dalam usia ini, mahasiswa sedang berada pada masa emerging adult (Arnett, 2000) jika dilihat dari sisi perkembangan

(47)

psikologinya. Arnett (2000) mengemukakan bahwa emerging adult adalah periode pada masa akhir remaja sampai awal usia duapuluhan.

Dalam periode ini emerging adulthood sedang dalam masa eksplorasi identitas yang berbeda jika dilihat secara subjektif dan secara demografis. Selain itu, emerging adulthood merupakan masa di mana seseorang berada di antara masa remaja tapi belum sepenuhnya memasuki masa dewasa (Arnett, 2007). Dalam tahap ini emerging adult sedang mengalami kebimbangan dalam mengambil peran dan tanggung jawab orang dewasa (Arnett, 2007). Di sisi lain jika dilihat pada peran sosialnya, mahasiswa memiliki peran penting dengan menunjukkan perilaku prososial dan menjadi kekuatan baru dalam mencari dukungan publik untuk suatu gerakan (Dewantara & Widhyharto, 2015).

D. Dinamika Perilaku Prososial, Slactivism, dan Mahasiswa

Perilaku prososial merupakan perilaku yang dilakukan secara sukarela untuk memberi manfaat kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Perilaku prososial kini semakin mudah dilakukan karena kehadiran internet dan media prososial berbasis internet seperti yang dipaparkan oleh Sproull (2011). Dalam konteks online terutama di media sosial, para pengguna media sosial yang pernah melakukan aktivitas terkait pergerakan sosial seperti memberi “like”, komentar, atau membagikan konten pergerakan sosial tertentu diperkirakan memiliki kecenderungan presentasi diri yang mendasari keputusan untuk melakukan tindakan tersebut.

(48)

32

Sehingga perilaku prososial yang muncul secara nyata untuk melanjutkan hal tersebut menjadi kurang atau hanya sekedar menjadi dukungan token saja dan akhirnya mengarah pada slacktivism seperti yang dipaparkan oleh Kristofferson, White, dan Peloza (2014).

Seperti temuan yang diperoleh dari penelitian Lane dan Cin (2017) bahwa manajemen impresi (disebut juga sebagai presentasi diri) yang tinggi di awal dapat mencerminkan kecenderungan untuk tidak terlibat dalam masalah sosial, tapi kebutuhan untuk mengelola impresi seseorang saat ini masih dapat beroperasi sebagai insentif kuat untuk terlibat dalam bantuan offline. Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) juga menemukan hal yang serupa bahwa perilaku prososial yang dilakukan online tidaklah mendalam dan hanya karena dapat ditampilkan secara publik. Dari penelitian yang dilakukan Connick-Keefer, Hill, dan Hammond (2017) tersebut perilaku prososial online yang dilakukan semacam itu kebanyakan dilakukan oleh mahasiswa. Padahal mahasiswa dapat berperan penting dengan menunjukkan perilaku prososial.

Penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah untuk melihat tingkat perilaku prososial pada mahasiswa yang aktif di media sosial dan pernah melakukan slacktivism atau memberikan dukungan token seperti memberi

“like”, komentar, menggunakan atribut tertentu seperti pin atau gelang, dan membagikan konten yang berkaitan dengan pergerakan atau permasalahan sosial.

(49)

E. Pertanyaan Penelitian

Seberapakah tingkat perilaku prososial mahasiswa yang melakukan slacktivism?

(50)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan sebuah pendekatan untuk menguji teori objektif dengan memeriksa hubungan antara variabel- variabel. Variabel-variabel tersebut dapat diukur secara umum atau menggunakan alat ukur sehingga data angka dapat dianalisis menggunakan prosedur statistik (Creswell, 2014). Penelitian kuantitatif digunakan dalam penelitian ini karena dalam melakukan pengambilan data, jenis penelitian ini dapat mencakup lebih banyak subjek dan juga dapat lebih mudah menjangkau subjek dengan penyebaran skala yang lebih mudah pula.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Desain penelitian survei menyediakan deskripsi numerik atau kuantitatif mengenai tren, sikap, atau pendapat dari sebuah populasi dengan meneliti sampel populasi tersebut, sehingga dari hasil sampel tersebut, peneliti mengeneralisasi pada populasi (Creswell, 2014).

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif.

Menurut Yusuf (2014) penelitian deskriptif kuantitatif merupakan suatu usaha untuk menyajikan jawaban mengenai suatu masalah dan mencari informasi secara lebih mendalam dan luas terhadap suatu fenomena secara sistematis dan melalui berbagai tahap pendekatan kuantitatif. Selain itu,

(51)

Sarwono (2013) juga menjelaskan bahwa penelitian deskriptif memiliki fungsi untuk menggambarkan karakteristik atau gejala dari suatu populasi.

Lehmann (1979, dalam Yusuf, 2014) menjelaskan bahwa jenis penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena secara mendalam dengan sistematis dan faktual mengenai fakta dan sifat populasi tertentu.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel merupakan sesuatu yang mewakili nilai tertentu yang dapat berupa konsep yang digunakan untuk menjelaskan suatu masalah yang sedang dikaji dalam sebuah penelitian (Sarwono, 2013). Variabel dalam penelitian ini adalah perilaku prososial.

C. Definisi Operasional

Perilaku prososial merupakan untuk membantu orang lain tanpa keuntungan langsung yang diterima si penolong, mendukung kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, adanya keinginan untuk mengorbankan kesejahteraan diri sendiri demi orang lain, serta perilaku yang dilakukan dengan niat untuk menguntungkan orang lain lebih dari dirinya sendiri. Perilaku prososial juga dapat hadir dalam konteks internet yaitu perilaku prososial online.

Perilaku prososial pada pelaku slacktivism diukur menggunakan

(52)

36

skala perilaku prososial yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor skala perilaku prososial pada pelaku slacktivism, maka semakin tinggi pula tingkat perilaku prososial yang dimiliki pelaku slacktivism. Di sisi lain, semakin rendah skor skala perilaku prososial pelaku slacktivism, maka semakin rendah pula tingkat perilaku prososial yang dimiliki pelaku slacktivism.

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang berada dalam tahap perkembangan emerging adult (Arnett, 2000) yang menggunakan media sosial dan pernah melakukan slacktivism. Slacktivism merupakan suatu bentuk dukungan dengan biaya atau usaha yang relatif lebih sedikit untuk suatu permasalahan atau isu sosial yang juga dilakukan melalui internet dengan sedikit usaha untuk membuat suatu perubahan yang berarti.

Karakteristik subjek yang melakukan slacktivism dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristofferson, White, dan Peloza (2014) melalui bentuk dukungan token (token support) yang dilakukan yaitu bentuk dukungan kecil yang membutuhkan sedikit usaha dan biaya antara lain menandatangani petisi online ataupun offline, memakai atribut tertentu (misalnya gelang atau pin) sebagai bentuk dukungan, terlibat dalam dukungan online seperti memberi “like”,

(53)

tergabung pada laman tertentu, memberikan komentar, membagikan konten tertentu, dan repost konten tertentu.

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana tidak memberikan kesempatan yang sama pada anggota populasi.

Dalam pengambilan sampel dengan nonprobability sampling, peneliti menggunakan teknik quota sampling karena dianggap sesuai dengan kriteria subjek yang akan diteliti. Quota sampling digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan kriteria tertentu sampai jumlah yang diinginkan. Teknik ini efektif apabila jumlah anggota populasi tidak diketahui dengan pasti dengan tetap mempertimbangkan kelayakan jumlah sampel (Martono, 2014).

Mahasiswa menjadi subjek penelitian ini karena menurut survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, mahasiswa berada pada tingkat paling atas yang terpengaruh penetrasi penggunaan internet di Indonesia (89,7%). Selain itu, media sosial menjadi konteks penelitian karena menurut survei APJII (2016) pula terdata bahwa media sosial (97,4%) menjadi jenis konten yang paling sering diakses.

Kriteria subjek dalam penelitian ini antara lain:

1. Mahasiswa aktif dengan rentang usia antara 18- 25 tahun dan menggunakan media sosial

(54)

38

2. Pernah melakukan slacktivism dengan memberikan dukungan token.

Dukungan token antara lain:

- menandatangani petisi online ataupun offline

- memakai atribut tertentu (misalnya gelang atau pin) sebagai bentuk dukungan

- memberi “like” secara online

- tergabung pada laman online tertentu - memberikan komentar secara online - membagikan konten tertentu secara online - repost konten tertentu secara online

E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menyebarkan skala penelitian secara online kepada subjek yang telah ditentukan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala perilaku prososial yang disusun dengan skala Likert. Skala Likert merupakan skala yang digunakan untuk mengukur atribut psikologis tertentu dalam sebuah kontinum yang terdiri atas beberapa respon (Supratiknya, 2014).

Skala perilaku prososial dalam penelitian ini disusun dengan empat respon jawaban yang tersedia antara lain Sangat Tidak Sesuai (STS); Tidak Sesuai (TS); Sesuai (S); dan Sangat Sesuai (SS). Peneliti

(55)

menggunkan empat pilihan respon jawaban untuk menghindari jawaban netral dari responden (Supraktinya, 2014). Pernyataan- pernyataan dalam skala dibagi dalam dua kategori yaitu favorable yaitu pernyataan yang menunjukkan sikap positif terhadap objek terkait dan unfavorable yaitu pernyataan yang menunjukkan sikap negatif terhadap objek terkait (Supratiknya, 2014). Berikut merupakan skor skala Likert pada skala perilaku prososial:

Tabel 1. Skor Skala Likert Perilaku Prososial

Respon Pernyataan Favorable Unfavorable Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sesuai (S) 3 2

Sangat Sesuai (SS) 4 1

2. Alat Pengumpulan Data

Skala Perilaku Prososial yang digunakan oleh peneliti disusun berdasarkan dimensi perilaku prososial dari Carlo dkk. (2002, 2010).

Dimensi perilaku prososial tersebut antara lain altruistik; compliant, emotional public, serta anonymous dan dire. Pada skala yang disusun oleh peneliti, dimensi altruistic memiliki jumlah item paling banyak karena dimensi ini memiliki definisi yang luas dan mencakup beberapa hal seperti empati, concern, pengorbanan, dan kesukarelaan (Carlo dkk., 2002). Skala Perilaku Prososial ini disusun oleh peneliti dengan tujuan untuk melihat perilaku prososial pada mahasiswa yang melakukan slacktivism. Selain itu, tujuan dari alat ukur ini adalah untuk melihat tingkat perilaku prososial subjek berkaitan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Banyak pegawai yang meninggalkan tempat kerja pada waktu jam kerja dan mencari tambahan penghasilan lain selain gaji adalah dalam rangka untuk memenuhi

Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (Empat) Tahun terakhir, baik dilingkungan Pemerintah maupun Swasta termasuk pengalaman

Dan bagi penyedia jasa yang keberatan atas pengumuman ini, dapat mengajukan keberatan/klarifikasi secara tertulis kepada Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas

Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun Anggaran 2014, untuk Paket Pekerjaan tersebut diatas telah dilaksanakan Pembukaan Penawaran pada Tanggal 27 Agustus 2014, dimana

setelah DOKUMEN PENAWARAN selesai, file microsoft word di convert menjadi format PDF lalu dikirim melalui http://lpse.tangerangkota.go.id, dan surat JAMINAN

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor 83/12/L2/POKJA- BLPBJ.MKS/V/2017 tanggal 29 Mei 2017 bahwa setelah diadakan Evaluasi Penawaran oleh Kelompok Kerja (Pokja) IV

Penelitian terdahulu yang mendukung bahwa melalui strategi belajar PQ4R dengan media powerpoint dapat meningkatkan kualitas pembelajaran antara lain: Dina Mayasari

Kepada para peserta yang merasa keberatan atas penetapan tersebut diatas, diberikan hak untuk menyampaikan sanggahan baik secara sendiri maupun bersama-sama, mulai hari ini