• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas

Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.

2.5.1 Faktor biotik (Tanaman Inang, Parasit, Predator dan Penyakit) 2.5.1.1 Tanaman Inang (host)

Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan Mussaenda (FAO, 1979, Peigler; 1989, Mulyana, 2003).

Attacus atlas khususnya di Yogyakarta, sering dijumpai pada tanaman keben

(Baringtonia asiatica Kurtz.), pancasuda (Thunbergia fragrans Roxb.), kenanga

(Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.), gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.) (Situmorang, 1996). Di Kulonprogo diketemukan pada tanaman mahoni (Sweetnia

mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu

sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman mahoni (Sweetnia mahagoni), kunyit (Curcuma domestika), dadap (Erythrina lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil), sirsak (Annona muricata), jambu biji (Psidium guajava), Ylang-ylang (Canangium odoratum) dan pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum).

Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik, larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya diberikan pakan yang lebih baik (Wangsan-Min, 1989).

2.5.1.2. Parasit

Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea (Hymenoptera) diantaranya yaitu Anastasus menzeli Ferr, Anastasus colemani Crawford, Agioemmatus attaci Ferr, Ooencyyrtus major Ferr, Tetrasticus sp. Famili

Ichhneumonidae (Hymenoptera) terdiri dari Xanthopimpla konowi Krieger,

Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle Serangan oleh Anastasus bisa mencapai 80 % (Peigler, 1989).

Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera) Exorista sorbillans Wiedeman dan Blepharia wainwrighti Baronov, Familia Braconidae (Hymenoptera) misalnya Apanteles dan dari Familia Ichneumonidae (Hymenoptera)

seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).

2.5.1.3. Predator

Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba, tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi dan kematian (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989).

Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon collaris (Hymenoptera : Vespidae), belalang sembah (Orthoptera : Mantidae), semut jenis

Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) capung dari ordo Odonata, lalat

perampok dari ordo Diptera, laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata (Arachnida : Lycosidae), Oxyopes javanus (Arachnida : Oxyopidae), Bianor sp (Arachnida : Salticidae) , Erigone biurca Locket (Arachinida : Araneidae), Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989 ).

Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva

dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi.

2.5.1.4. Penyakit Ulat Sutera

Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994).

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yaitu Aspergilus oryzeae dan Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin. Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan mengenai penyakit yang menghambat perkembangan ulat sutera liar ini.

2.5.2. Faktor abiotik

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan Attacus atlas jadi terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera

Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, dan udara (Veda et al., 1997).

2.5.2.1 Suhu lingkungan

Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas, suhu sebaiknya stabil pada kisaran antara 20 0C-30 0C.

2.5.2.2. Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka perkembangan mikrobia patogen jadi rendah pula. Kelembaban meningkat akan menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %, sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).

2.5.2.3 Intensitas cahaya

Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al. 1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di daerah tropis.

2.5.2.4Udara

Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara

perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas karbondioksida dan amonia dari hasil pembusukan sampah.

2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin. Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas dari bibit penyakit (Guntoro, 1994).

2.6. 1. Tanaman Sirsak (Annona muricata.L)

Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buah- buahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah

Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Annonaceae, Genus : Annona, Spesies : Annona muricata L.

(Radi, 1997).

Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).

Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

2.6. 2 Tanaman Teh (Camelia sinensia (L).

Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu : Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Theaceae, Genus : Camelia, Spesies : Camelia sinensis (L). (Setyamijaya, 2002)

Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat, bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada cabang dan ranting agak tegak (Setyamidjaja, 2002).

Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99 % daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4

kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin, vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai oleh ulat sutera Attacus atlas (Setyamidjaya, 2002).

Dokumen terkait