• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Peran Kejaksaan Dalam Pengawasan Klien Pemasyarakatan

Kejaksaan merupakan suatau lembaga penegak hukum yang melaksanakan kewenangan dan fungsinya berdasarkan ketetapan Undang-Undang. Kewenangan utama atau yang lebih dikenal sebagai lembaga penuntutan terhadap kasus-kasus pidana di Pengadilan. Tetapi di lain sisi, kewenangan lain yang tidak kalah pentingnya juga, antara lain sebagai eksekutor atau pelaksana suatu keputusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, seperti yang diatur dalam pasal 30 ayat (1) undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kewenangan eksekutor itu juga bertujuan untuk mengawasi narapidana yang menerima pembebasan bersyarat. Hal ini tidak banyak disinggung dalam berbagai literatur atau perundang-undangan yang berkaitan. Di sisi lain pembebasan bersyarat sangat diharapkan sebagai proses pembinaan bagi narapidana diluar lembaga pemasyarakatan agar dapat lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan sebagai tujuan paling akhir agar narapidana (klien) pembebasan bersyarat dapat diterima dan bersosialisi kembali dengan masyarakat. Pembebasan bersyarat dilator belakangi oleh pandangan modern sistem pemidanaan yang tidak lagi berprinsip sebagai “pembalasan” tetapi menjadi sebaliknya yaitu menghendaki kemanfaatan dan

pembinaan terhadap narapidana yang dinilai telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat tersebut.

Pembebasan bersyarat secara rinci diatur dalam Pasal 15 s/d 17 KUHP dan juga dalam Pasal 12 dan 13 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.Dl.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Keputusan pemberian pembebasan bersyarat merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Pasal 30 ayat (1) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, menyebutkan Kejaksaan sebagai sebagai salah satu lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Tetapi dalam melaksanakan tugasnya tersebut belum dapat dilakukan dengan maksimal. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain adanya kendala administrasi, kurangnya petunjuk baku berupa juklak atau juknis pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat dan belum adanya koordinasi antar Kejaksaan dalam pengawasan pembebasan bersyarat tersebut.

Kendala administrasi yang dimaksud, seperti halnya dalam setiap pembebasan bersyarat dicatat dalam suatu register, namun dalam praktek tidak semua Kejaksaan memiliki daftar tersebut. Hal ini disebabkan oleh perbandingan antara jumlah petugas dengan jumlah tugas yang diberikan undang-undang adalah berbanding terbalik. Di sisi lain aturan internal Kejaksaan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pengawasan sangat kurang bahkan dapat dikatakan tidak ada. Hal-hal yang diterangkan sebelumnya menyebabkan Kejaksaan tidak dapat dengan leluasa melakukan tindakan lain

terhadap terpidana yang tidak melapor diri sebagai pengawasan terhadap terpidana.

Dalam penulisan skripsi ini, karena konsentrasi penelitian adalah dalam kewenangan BAPAS Kelas I Medan, maka mengenai kewenangan kejaksaan dalam pengawasan Klien Pemasyarakatan yang dibahas hanya gambaran secara umum. Secara umum yang dimaksudkan disini adalah, penulis hanya menguraikan mengenai kewenangan dalam proses pembimbingan klien pemasyarakatan hanya berdasarkan informasi umum seperti yang didapat dalam buku atau peraturan perundang-undangan lainnya dan disertai juga informasi yang bisa didapat dari BAPAS Kelas I Medan dalam hal koordinasi dan proses pembinaan dan pembimbingan klien Pemasyarakatan.

Fungsi pembimbingan terhadap narapidana yang memperoleh Pembebasan Bersyarat selain dilakukan oleh BAPAS Kelas I Medan juga di bantu oleh Kejaksaan melalui Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara, namun pelaksanaan koordinasi terkait pembimbingan terhadap narapidana yang memperoleh Pembebasan Bersyarat dilaksanakan pula oleh Kepala Kelurahan dimana narapidana bersangkutan berdomisili, sehingga secara langsung Kepala Kelurahan tersebut turut serta melakukan pengawasan. Hal ini akan dipastikan melalui hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS) oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) BAPAS Kelas I Medan.47

47

Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan.

Pengawasan tersebut semata-mata guna membantu tugas BAPAS Kelas I Medan dan Kejaksaan, sehingga Kepala Kelurahan setempat mempunyai kewajiban untuk

lapor kepada pihak berwajib apabila narapidana yang memperoleh Pembebasan Bersyarat tidak memenuhi ketentuan Pembebasan Bersyarat, utamanya apabila melakukan tindak pidana kembali.

Pemberitahuan kepada BAPAS dan Kepala Kelurahan setempat berdasarkan tembusan surat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat narapidana dari LAPAS. Koordinasi antara Kejaksaan dan BAPAS dengan instansi terkait tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 48 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun dalam pelaksanaan dilapangan bentuk koordinasi lintas lembaga terkait pelaksanaan Pembebasan Bersyarat sejauh ini hanya dilakukan secara administratif saja, yakni hanya melalui surat tembusan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat narapidana.

Berdasarkan hasil penelitian di BAPAS Kelas I Medan, dalam prosedur atau tahapan pemberian izin bersyarat terhadap warga binaan, kejaksaan hanya memiliki tugas atau kewewangan pada tahap sebelum pihak LAPAS mengajukan permohonan kepada BAPAS untuk melakukan Penelitian Kemasyarakat, yaitu pihak Lapas memohonkan pihak kejaksaan untuk memeriksa catatan bersih perkara warga binaan yang bersangkutan dalam permohonan agar diperiksa catatan tentang ada atau tidaknya perkara lain yang sedang dihadapi klien, dan berkas balasan dari kejaksaan merupakan kelengkapan berkas yang akan dikirimkan kepada BAPAS.48

48

Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan.

Hal ini juga diterangkan secara ringkas dalam Pasal 50 ayat (1) huruf (d) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan tat cara

pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat yaitu kejaksaan diberitahukan mengenai rencana pemberian pembebasan bersyarat.

B. Pandangan Klien terhadap Program Pembebasan Bersyarat

Klien pemasyarakat merupakan pihak / unsur yang sangat penting perannya dalam suksesnya program pembebasan bersyarat. Oleh karenanya, bagaimanapun alasan atau kondisi pelaksanaan program tersebut, pembimbing kemasyarakatan harus lebih mengutamakan klien dari pada pihak manapun. Hal ini bertujuan agar pembimbing kemasyarakatan mengetahui secara pasti apa yang dibutuhkan oleh klien agar program pembimbingan dapat berjalan sesuai perencanaan sebagaimana yang telah ditentukan dalam sidang TPP.

Klien memiliki pandangan tersendiri terhadap program pembebasan bersyarat. Pandangan tersebut tergantung siapa dan bagaimana latar belakang klien pemasyarakatan tersebut. Selama penelitian dilapangan, penulis menemukan beragam latar belakang klien pemasyarakatan, mulai dari yang tua sampai yang muda, sarjana maupun masih pelajar, perempuan dan laki-laki, dan bahkan seorang ibu dengan anaknya dapat ditemukan dalam kegiatan bimbingan kelompok yang dilakukan setiap bulannya sebagai kegiatan rutin.

Berdasarkan hasil kuisuioner / angket data yang disebarkan kepada bebarapa klien yang hadir pada hari Kamis tanggal 9 April 2015 di Bapas Kelas I Medan (Tabel 2), dapat ditemukan tanggapan atau pendangan klien pemasyarakatan yang beragam mengenai program pembebasan bersyarat, dari merasa senang sampai sangat senang, tetapi dapat disimpulkan bahwa klien

mendapatkan manfaat dengan adanya program pembebasan bersyarat. Manfaat yang rasakan tersebut hanya memiliki satu alasan yaitu dapat kembali bersama keluarga dan beraktifitas kembali seperti biasanya.

Klien pemasyarakatan dalam menerima program pembimbingan ini, memiliki sedikit masalah yang pada dasarnya cukup umum dirasakan oleh setiap orang yang pernah masuk ke dalam Lapas maupun Rutan. Masalah tersebut mengenai tanggapan atau respon masyarakat atas kembalinya mereka (klien pemasyarakatan), yang memandang buruk atau rendah klien pemasyarakatan. Bahkan ada klien pemasyarakatan menyatakan bahwa respon masyarakat tidak baik atas kehadiranya kembali sebagai anggota masyarakat, klien tersebut bernama Ervan, jenis kelamin pria, pekerjaan wiraswasta, berumur diatas 40 tahun (terlampir). Hal ini harusnya diperhatikan oleh pembiming kemasyarakatan, karena memiliki dampak yang buruk jika tidak ditangani dengan serius.

Berdasarkan hasil data kuisoner/angket, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, pihak yang mengajukan agar dikeluarkan permohonan pembebasan bersyarat atas nama klien tertentu adalah keluarga, sangat sedikit pihak Lapas yang secara otomatis mengeluarkan usulan pembebasan bersyarat jika sudah dianggap layak (dapat dilihat dalam tabel 2). Hal ini menggambarkan pihak lapas sangat berhati-hati dalam mengeluarkan warga binaan dengan melalui program pembebasan bersyarat.

Pembebasan bersyarat dapat dikatakan suatu program yang istimewa, karena program ini jika ditinjau langsung ke lapangan (penelitian), program

ini hampir sama dengan program bebas murni, hanya saja klien pemasyarakatan harus melakukan wajib lapor sekali dalam sebulan. Dalam kenyataannya wajib lapor ini terkadang dilakukan oleh anggota keluarga dari klien maupun penjaminnya, hal ini terjadi jika tempat tinggal klien pemasyarakatan sangat jauh dari BAPAS Kelas I Medan. Hal ini dibenarkan oleh Ibu Peristiwa Sembiring S.H, yang menyatakan bahwa dalam hal pelaporan terkadang bukan klien yang melapor tetapi anggota keluarga atau penjamin yang melapor, tetapi jika dalam keadaan tertentu yang mengakibatkan klien berhalangan untuk melapor. Jadi dapat disimpulkan bahwa, program pembebasan bersyarat hampir tidak memiliki perbedaan dengan bebas murni dalam teknis pelaksanaannya.

Oleh karena itu, bukan hal baru jika klien pemasyarakatan beranggapan pembebasan bersyarat adalah suatu program yang sangat bermanfaat bagi klien. Pembebasan bersyarat harus secara serius diikuti oleh klien pemasyarakatan, agar tidak terjadi pelanggaran yang mengakibatkan izin bebas bersyaratnya dicabut dan akibatnya klien harus menjalani sisa atau bahkan lebih dari sisa hukumannya di dalam Lapas kembali.

C. Hal – hal yang Mengakibatkan Klien Melakukan Pelanggaran.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, proses pembebasan bersyarat adalah suatu proses atau upaya untuk membimbing klien pemasyarakatan, oleh pembimbing kemasyarakatan. Segala hal atau kegiatan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan adalah kegiatan yang berdasarkan hasil sidang TPP dianggap perlu. Hal tersebut berfungsi agar semua proses

pembimbingan memiliki pencapaian yang jelas, dan semua harus di evaluasi dalam skala waktu tertentu.

Pelaksanaan pembimbingan merupakan proses yang diciptakan oleh manusia yang memiliki keterbatasan dalam setiap pelaksanaan. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan proses pembebasan bersyarat dapat dikatakan sebagai hambatan. Hambatan tersebut dapat berasal dari pihak pembimbing kemasyarakatan maupun berasal dari pihak klien dan pihak lainnya. Pada dasarnya hambatan tersebut ada sudah sejak lama, dan mungkin sudah disadari oleh BAPAS Kelas I Medan tetapi karena keterbatasan anggaran maupun kuantitas pegawai menjadikan, hal-hal yang menjadi hambatan ini belum dapat ditangani secara sempurna. Oleh karena itu, penulis ingin menguraikan hal-hal yang menjadi hambatan atau hal-hal yang mengakibatkan klien pemasyarakatan melakukan pelanggaran yang dapat mempengaruhi kegagalan proses pembebasan bersyarat, sebagai berikut:

1. Pandangan terhadap klien Pemasyarakatan akan berlaku baik di dalam masyarakat.

Pembebasan bersyarat yang diberikan kepada klien merupakan suatu program untuk realisasi dari hak setiap narapidana/warga binaan berdasarkan pasal 14 huruf (k) Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat, bimbingan terhadap klien pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS Kelas I Kota Medan. Pandangan bahwa klien dengan program pembebasan bersyarat akan berlaku baik di masyarakat selama ini dapat menjadi

bumerang tersendiri bagi proses pelaksanaan bimbingan. Akibatnya dapat memberikan kesempatan bagi klien untuk melakukan perbuatan pelanggaran lagi, atau juga bagi pembimbing kemasyarakatan dalam melakukan pengawasan dan bimbingan akan menjadi kurang maksimal. Hal ini sudah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa pada pelaksanaan pembimbingan di lapangan, pembimbingan kemasyarakatan hanya melakukan pembimbingan dan evaluasi berdasarkan data dari hasil wajib lapor yang dilakukan oleh klien pemasyarakatan. Seharusnya pelaksanaan bimbingan lebih proaktif bukan bersifat menunggu klien pemasyarakatan yang seharusnya harus dibimbing. Jika hal ini terjadi terus menerus maka klien hanya akan diketahui bagaimana keadaan sebenarnya jika sudah ditangkap pihak berwajib karena melakukan kejahatan.

2. Pelaksanaan administrasi wajib lapor klien pemasyarakatan belum maksimal

Kewajiban klien pemasyarakatan untuk melakukan wajib lapor merupakan suatu upaya pembimbing kemasyarakatan untuk dapat mengetahui keadaan dari setiap klien yang dibimbing. Wajib lapor ini dapat digunakan sebagai tolok ukur sejauh mana pelaksanaan bimbingan oleh pembimbing kemasyarakatan BAPAS Kelas I Kota Medan dan sejauh mana klien telah berubah atau berkembang. Berdasarkan hasil penelitian/riset proses wajib lapor dari setiap klien pemasyarakatan yang berada dibawah bimbingan BAPAS Kelas I Medan dapat dikatakan tidak berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan seringnya adanya keterlambatan pelaporan dari klien pemasyarakatan, dan terkadang yang

melapor bukan klien pemasyarakatan secara langsung tetapi anggota keluarga yang bersangkutan maupun pihak penjamin.

3. Fasilitas dari BAPAS Kelas I Medan yang kurang memadai untuk melakukan tugas pembimbingan

Pembimbingan kemasyarakatan dalam melakukan pembimbingan terhadap klien membutuhkan fasilitas yang seharusnya memadai, dalam wawancara dengan Ibu Peristiwa sembiring salah seorang pembimbing kemasyarakatan, mengatakan bahwa sering yang menjadi kendala dalam melakukan pembimbingan adalah kurangnya trensportasi. Sehingga sering pembimbing kemasyarakatan memilih menggunakan kendaraan sendiri atau menggunakan angkutan umum. Keadaan seperti ini dapat semakin sulit jika kebanyakan klien pemasyarakatan berad di luar kota Medan49. Hal ini dapat mengakibatkan kurang maksimalnya hasil dari pembimbingan kepada klien, terutama dalam pembimbingan yang memerlukan kunjungan rumah untuk mengetahui kondisi klien pemasyarakatan secara pasti. Hal ini diperparah lagi dengan faktor tempat tinggal setiap klien yang jauh, dan ditambah lagi pegawai/ pembimbingan kemasyarakatan memiliki klien pembimbingan kemasyarakatan yang lebih dari satu. Dalam hal ini, pembimbing kemasyarakatan Kelas I Kota Medan mempunyai jalan keluar dengan memanfaatkan kendaraan pribadi untuk melakukan bimbingan terhadap klien sebagai jalan keluar lain untuk memperlancar kendala tersebut.

49

Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H Pada tanggal 7 April 2015 di BAPAS Kelas I Medan.

4. Pembimbing Kemasyarakatan sangat sedikit dibanding jumlah klien pemasyarakatan

Berdasarkan data registrasi jumlah klien yang menjadi klien BAPAS Kelas I Medan jumlahnya mencapai 4335 klien dan jumlah pembimbing kemasyarakatan hanya sekitar 53 orang (34 laki-laki, 19 perempuan), dan hal ini ditangani dengan pembuatan pos BAPAS di setiap daerah yang jauh dari lapas/rutan.50

Pembimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan klien pemasyarakatan yang memperoleh pembebasan bersyarat, dimana klien telah berada di tengah-tengah masyarakat dan keluarga, oleh karena itu hal ini menjadikan proses pembimbingan akan lebih sulit. Tempat tinggal klien yang jauh dari tempat BAPAS Kelas I Medan juga menjadi kendala dalam melakukan bimbingan. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan kesulitan yang dihadapi oleh petugas pembimbing kemasyarakatan apabila klien harus melakukan wajib lapor selama 1 (satu) bulan sekali, disamping letak geografis yang jauh tersebut, kesulitan klien pemasyarakatan melapor Perbandingan secara kuantitas yang tidak sebanding ini menjadikan setiap pembimbing kemasyarakatan mempunyai tugas membimbing klien lebih dari lima dan setiap klien tersebut berada jauh dari BAPAS Kelas I Medan, sehingga menjadikan pelaksanaan bimbingan yang tidak maksimal pada setiap klien pemasyarakatan.

5. Tempat tinggal klien yang jauh dari BAPAS Kelas I Medan

50

Hasil Wawancara dengan Bapak Budiyantoro S.H, di BAPAS Kelas I Medan. Pada tanggal 7 April 2015

ditambah dengan faktor ekonomi yang kurang memadai, sehingga klien harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

6. Waktu dan kesibukan klien

Selain faktor tempat tinggal klien yang jauh, berdasarkan hasil wawancara ditemukan kendala lain dalam pelaksanaan bimbingan yaitu waktu dan kesibukkan klien yang sering bertabrakan program pembimbing kemasyarakatan. Waktu dan kesibukan klien, seperti bekerja adalah alasan yang tidak dapat ditolak pembimbing kemasyarakatan. Sehingga pembimbing kemasyarakatan hanya dapat melakukan penilaian berdasarkan data hasil wajib lapor dari setiap klien.

BAB IV

Dokumen terkait