• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBEBASAN BERSYARAT DAN TINGKAT

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH

KLIEN PEMASYARAKATAN

( Riset BAPAS KELAS I MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi

Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

110200275

RUBA FRANKLIN SILAEN

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBEBASAN BERSYARAT DAN TINGKAT PELANGGARAN YANG DILAKUKUAN OLEH

KLIEN PEMASYARAKAAN

( Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

RUBA FRANKLIN SILAEN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA 110200275

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH, MH

Pembimbing I Pembimbing II

NIP : 195703261986011001

Prof. Dr. Suwarto, SH, MH Syafruddin, SH, MH. D.F.M

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatNya yang memberikan kesempatan untuk menjalani perkuliahan hingga penyelesaian skripsi seperti sekarang ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberikan judul “ Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset BAPAS Kelas I Medan)” sebagai salah satu unsur penting dalam pemenuhan tugas-tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimaksih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang menjadi penutan dan juga motivator penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang. Penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Dr. OK. Saidin SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan SH., M.Hum selaku Ketua Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Suwarto, SH.,M.H selaku Dosen Pembimbing I, atas ilmu, pemgajaran serta bimbingan dan saran yang telah banyak diberikan kepada penulis, baik dalam masa perkuliahan maupun dalam masa penulisan skripsi.

7. Bapak Edy Murya SH, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak memberikan saran dan ilmu selama masa perkuliahan.

8. Ibu Peristiwa Sembiring SH dan Bapak Budiyantoro S.H, selaku pembimbing dalam masa riset atau penelitiana di BAPAS Kelas I Medan.

9. Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pustaka Universitas Sumatera Utara Medan.

10. Kedua Orangtua Penulis yang sangat penulis cintai dan hormati,

B. Silaen dan R. Br. Sijabat serta semua saudara/I yang selalu mendukung penulis.

(5)

12. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Besar harapan penulis, semua skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum baik dalam teori maupun praktik, khususnya ilmu hukum Pidana, bagi penulis sendiri dan pembaca.

Medan, Mei 2015

Ruba Franklin Silaen

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

ABSTRAK vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1

B. Rumusan Masalah 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 8

D. Keaslian Penulisan 9

E. Tinjauan Pustaka 10

1. Pengertian Pembebasan Bersyarat 10

2. Pengertian Pelanggaran 12

3. Pengertian Klien Pemasyarkatan 15

4. Balai Pemasyarakatan (BAPAS) 17

F. Metode Penelitian dan penulisan 20

G. Sitematika Penelitian 24

BAB II PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM

PEMBIMBINGAN BAPAS KELAS I MEDAN.

A. Pembebasan Bersyarat 26

(7)

E. Alasan hapusnya izin Bebas Bersyarat 47

F. Manfaat Pembebasan Bersyarat 49

G. Pemberian Pembebasan bersyarat dalam kewenangan

BAPAS Kelas I Medan. (Hasil Riset/ Penelitian) 55

BAB III FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES

PEMBEBASAN BERSYARAT .

A. Peran Kejaksaan dalam Pengawasan narapidana (klien)

Pembebasan Bersyarat 72

B. Pandangan Klien terhadap Program Pembebasan Bersyarat 76 C. Hal-Hal yang Mengakibatkan Klien Melakukan Pelanggaran 78

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 84

B. Saran 86

DAFTAR PUSTAKA 88

(8)

DAFTAR TABEL

Hlm

1. TABEL 1 3

Jumlah Narapidana Kanwil Sumatera Utara, Lapas Kelas I Medan Tahun 2014

2. TABEL 2 23

Tabulasi data angket klien pemasyarakatan PB BAPAS Kelas I Medan 2015

3. TABEL 3 42

Jumlah Klien BAPAS Kelas I Medan (Januari sampai dengan Desember 2014 )

4. TABEL 4 69

(9)

ABSTRAK

*Suwarto

**Syafruddin ***Ruba

Sistem pemasyarakatan saat ini sudah sangat berkembang jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya yang dikenal dengan sistem penjara. Perkembangan yang dimaksud terletak pada pelayanan terhadap terpidana serta pihak lain yang berkaitan. Sistem pemasyarakatan dikatakan sudah berkembang dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembinaan terhadap warga binaan Lapas maupun Rutan dengan segala kegiatan yang bertujuan agar dapat memahami keadaan diri sendiri, sehingga ketika kembali ke dalam masyarakat warga binaan dapat dengan mudah kembali beradaptasi. Pembebasan bersyarat adalah suatu program atau kegiatan yang dikeluarkan oleh negara demi merealisasikan semangat dari sistem pemasyarakatan tersebut. Hal ini dijelaskan juga dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Repubuk Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, pada pasal 4 ayat 2 yakni pembebasan bersyarat merupakan program pembinaan dan pembimbingan warga binaan/klien pemasyarakatan yang bertujuan untuk memotivasi dan mendorong klien agar dapat beradaptasi dengan masyarakat dan tidak mengulangi keasalahan sebelumnya.

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah praktik pemberian pembebasan bersyarat dan tingkat pelanggaran yang tercatat dalam registrasi BAPAS kelas I Medan sebagai tempat penelitian/riset skripsi ini. Metode peneltian yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat empiris, yaitu mengkaji dan menguji data yang berkatian dengan permasalahan melalui teknik pengumpulan data melalui library searching (studi kepustakaan) kemudian menmbandingkannya dengan hasil penelitian dilapangan (BAPAS Kelas I Medan).

Berdasarkan hasil peneltian di BAPAS Kelas I Medan ditemukan bahwa proses perealisasian program pembebasan bersyarat mulai dari peromohonan dari pihak Lapask kapada BAPAS, sampai pada masa pembimbingan BAPAS tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang terkait. Tetapi sering petugas/pegawai BAPAS masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama (tahun 1990-an) yang sebenarnya sudah dirubah. Tetapi secara keseluruhan proses pembebasan bersyarat karena persentase tingkat pelanggaran sangat minim atau sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh klien pemasyarakatan yang dalam masa pembimbingan.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II

(10)

ABSTRAK

*Suwarto

**Syafruddin ***Ruba

Sistem pemasyarakatan saat ini sudah sangat berkembang jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya yang dikenal dengan sistem penjara. Perkembangan yang dimaksud terletak pada pelayanan terhadap terpidana serta pihak lain yang berkaitan. Sistem pemasyarakatan dikatakan sudah berkembang dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembinaan terhadap warga binaan Lapas maupun Rutan dengan segala kegiatan yang bertujuan agar dapat memahami keadaan diri sendiri, sehingga ketika kembali ke dalam masyarakat warga binaan dapat dengan mudah kembali beradaptasi. Pembebasan bersyarat adalah suatu program atau kegiatan yang dikeluarkan oleh negara demi merealisasikan semangat dari sistem pemasyarakatan tersebut. Hal ini dijelaskan juga dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Repubuk Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, pada pasal 4 ayat 2 yakni pembebasan bersyarat merupakan program pembinaan dan pembimbingan warga binaan/klien pemasyarakatan yang bertujuan untuk memotivasi dan mendorong klien agar dapat beradaptasi dengan masyarakat dan tidak mengulangi keasalahan sebelumnya.

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah praktik pemberian pembebasan bersyarat dan tingkat pelanggaran yang tercatat dalam registrasi BAPAS kelas I Medan sebagai tempat penelitian/riset skripsi ini. Metode peneltian yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat empiris, yaitu mengkaji dan menguji data yang berkatian dengan permasalahan melalui teknik pengumpulan data melalui library searching (studi kepustakaan) kemudian menmbandingkannya dengan hasil penelitian dilapangan (BAPAS Kelas I Medan).

Berdasarkan hasil peneltian di BAPAS Kelas I Medan ditemukan bahwa proses perealisasian program pembebasan bersyarat mulai dari peromohonan dari pihak Lapask kapada BAPAS, sampai pada masa pembimbingan BAPAS tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang terkait. Tetapi sering petugas/pegawai BAPAS masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama (tahun 1990-an) yang sebenarnya sudah dirubah. Tetapi secara keseluruhan proses pembebasan bersyarat karena persentase tingkat pelanggaran sangat minim atau sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh klien pemasyarakatan yang dalam masa pembimbingan.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, namun juga merupakan suatu tahap rehabilitasi dan re-integrasi sosial bagi warga binaan yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan. Pandangan ini didukung oleh Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana di Indonesia dilakukan dengan sistem Pemasyarakatan,di samping sebagai arah dan tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.1

Pemidanaan menurut konsep KUHP pada dasarnya bertujuan untuk

Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu rangkaian penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

2

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

:

2. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

3. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

4. Mebebaskan rasa bersalah pada terpidana.

1

Dwidja Priyatno, sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Hlm. 97-98.

2

(12)

Setelah sekian lama terjadi perdebatan antara para ahli hukum mengenai sistem yang paling tepat untuk diterapkan dalam sistem pemidanaan Indonesia, antara pandangan pemidanaan yang berifat pembalasan ataukah pandangan baru (modern) yang mengutamakan pemidanaan sebagai tindakan pembinaan dan pembimbingan sesuai dengan yang tercantum dalam pertimbangan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Didahului dengan amanat Presiden dalam konfrensi dinas menyampaikan arti penting terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu dengan merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarkatan. Berdasarkan pertimbangan ini, disusunlah amanat Presiden tersebut menjadi suatu pernyataan tentang hari lahir Pemasyarakatan RI pada hari Senin tanggal 27 April 1946 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.3

3

Dwidja Priyatno, sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Hlm. 98.

Lahirnya sistem pemasyarakatan dapat diartikan bahwa sistem pemidanaan Indonesia telah memasuki era baru dalam proses pemidanaan narapidana dan, anak didik. Era baru yang dimaksud adalah narapidana dan anak didik mendapat pengayoman dan pembinaan demi pemasyarakatan yang lebih baik.

(13)

Tabel 1

Jumlah Narapidana Kanwil Sumatera Utara, Lapas Kelas I Medan Tahun 2014

Sumber : Data diolah dari sistem database pemasyarakatan seluruh Indonesia Tahun 2014.(Http://sitemdatabasepemasyarakatan.co.id//)

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa permasalahan mengenai overkapasitas atau kelebihan daya tampung bukanlah hanya isu atau pendapat lagi tetapi telah menjadi fakta. Oleh karena itu pemerintah perlu membuat suatu tindakan agar tidak terjadi masalah yang dapat mengakibatkan gangguan secara nyata terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia, seperti perkelahian sesama warga binaan, maupun pemberontakan warga binaan.

(14)

harus lebih serius dalam merealisasikan apa yang menjadi tugas pokoknya. Petugas LAPAS harus membina dan membimbing setiap narapidana dengan maksimal agar setelah keluar dari LAPAS, dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dalam tahapan demikian setelah keluar dari LAPAS, narapidana dapat menjadi pribadi yang baik dan menjadi contoh untuk anggota masyarakat lainnya. Disamping itu ada juga usaha-usaha tersebut diperlukan juga kebijakan lainnya, seperti memberikan Remisi, Asimilasi, Cuti Beryarat, Bebas Bersyarat dan lain sebagainya.

Substansi pembahasan dalam skripsi adalah pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah membebaskan terpidana sebelum masa pidananya habis, dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa antara sistem pemidanaan, sistem pemasyarakatan dan kebijakan pembebasan bersyarat adalah hal yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Sebab substansi yang dibahas adalah bagaimana agar narapidana dapat menyadari kesalahannya dan siap kembali ke masyarakat.

(15)

tuganya Lapas mengadakan hubungan koordinasi dengan lembaga-lembaga diluar kementrian Hukum dan HAM.4

Keputusan pembebasan bersyarat diberikan oleh Menteri Kehakiman sekarang menjadi Metenteri Hukum dan HAM, apabila terpidana telah menjalani masa pidana minimal 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang harus dijalani atau sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan (Pasal 15 ayat 1 KUHP). Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM seseorang karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1 KUHP, untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat juga didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain :5

1. Sifat tindak pidana yang dilakukan;

2. Pribadi dan riwayat hidup (latar belakang kehidupan) narapidana; 3. Kelakuan narapidana selama pembinaan;

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan ;

5. Penerimaan masyarakat dimana ia akan bertempat tinggal.

Pembebasan bersyarat merupakan cara yang paling baik untuk membebaskan narapidana. Walaupun banyak pihak yang menganggap pembebasan bersyarat sebagai pemaaf dari suatu tindak pidana, bertujuan memperpendek hukuman dengan tujuan mempercepat waktu pembebasan, bahkan banyak beranggapan bahwa pembebasan bersyarat sebagai suatu

4

Tolib Efendi, SH.M.H. Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Surabaya, Hlm.181.

5

(16)

tindakan untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan kepada pelaku kejahatan. Tetapi pada dasarnya tujuan pembebasan bersyarat bukanlah untuk memberi maaf atau menyenangkan pelaku kejahatan (narapidana), melainkan sebagai metode yang kompleks dan bertujuan untuk membebaskan narapidana dari rasa bersalah dan dapat memulai hidup yang baru6

Pelaksanaan pembebasan bersyarat tidak selalu sempurna, terkadang dalam tahap-tahap yang telah ditetapkan warga binaan dapat melakukan pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah diterima. Kejahatan yang dimaksud memiliki arti yang luas. Ketika warga binaan diberikan pembebasan bersyarat dan melanggar syarat-syarat, hal tersebut dapat diartikan sebagai kejahatan atau dalam pelaksanaannya sering disebut dengan pelanggaran. Berdasarkan peraturan yang ada jika narapidana

.

Apabila narapidana langsung diberikan bebas murni di akhir masa proses pidana, hal ini membuat negara melalui lembaga terkait kehilangan fungsi pengawasan terhadap narapidana yang bebas tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat menjadi merasa tidak aman, karena mantan narapidana tersebut dapat melakukan kejahatan lagi, karena tidak ada pengawasan lagi. Berbeda dengan pembebasan bersyarat yang memaksimalkan pengawasan dan pembimbingan terhadap narapidana yang diberi keputusan pembebasan bersyarat, dan sebagai hasilnya akan mengurangi pelanggaran (kejahatan) yang dilakukan oleh narapidana tersebut.

6

(17)

melakukan kejahatan tersebut, maka lembaga yang berwajib dapat menangguhkan sementara penetapan pembebasan bersyarat, atau bahkan menarik kembali izin pembebasan bersyarat, dan narapidana dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani sisa pidananya (Pasal 83 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.21 Tahun 2013).

Pemberian pembebasan bersyarat ini memang tidak hanya dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan saja, namun harus memperhatikan kesiapan narapidana atau sering disebut sebagai klien pemasyarakatan serta keamanan masyarakat. Kesiapan Klien dan masyarakat dapat diketahui dari hasil pengamatan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Penelitian oleh Balai Pemasyarakatan. Warga binaan yang telah mendapatkan pemebabasan bersyarat dapat dicabut izinnya oleh Direkrur Jenderal Pemasyarakatan atas usul kepala kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM, apabila narapidana :7

a. Hidup secara tidak teratur b. Malas bekerja

c. Bergaul dengan residivis

d. Mengulangi melakukan tindak pidana e. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat

f. Melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas

7

(18)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menguraikan lebih dalam mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat dan selanjutnya mencari dampak yang signifikan terhadap pelanggaran yang sering terjadi baik dalam masa pembebasan bersyarat maupun sesudahnya, singkatnya penulis merasa perlu menelaah lebih dalam lagi mengenai pembebasan bersyarat tersebut melalui judul :

Pembebasan bersyarat dan Tingkat pelanggaran yang dilakukan

oleh Klien Pemasyarakatan (Riset BAPAS Kelas I Medan)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pemberian Penetapan Pembebasan Bersyarat Bagi Klien Pemasyarakatan dalam pembimbingan Bapas Kelas I Medan ?

2. Faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi proses Pembebasan Bersyarat ?

C. TUJUAN & MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pemberian penetapan Pembebasan Bersyarat di wilayah kewenangan BAPAS Kelas I Medan.

(19)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan teoritis.

1. Secara Praktis : Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum tentang hal atau materi yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat.

2. Secara Teoritis : a. Bagi Peneliti

Penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi media untuk menambah wawasan berpikir dalam hal mendalami ilmu hukum khusus hukum pidana.

b. Bagi Instansi

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan sumbangan tambahan ilmu tentang cara membangun citra yang baik dalam upaya peningkatan mutu sistem pemidanaan di Indonesia, khususnya dalam pengawasan terhadap pembebasan bersyarat.

D. KEASLIAN PENULISAN

(20)

oleh Klien Pemasyarakatan ( Riset BAPAS Kelas I Medan) ” belum pernah dilakukan penelitian pada topik yang sama.

Objek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah yang belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian, sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritik bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. PENGERTIAN PEMBEBASAN BERSYARAT

(21)

pasal 15a ayat (5) KUHP telah menyebutkan kemungkinan untuk menyerahkan pengawasan seperti itu kepada orang lain.8

a. Berdasarkan Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”.

Perlu diketahui bahwa istilah Pembebasan bersyarat adalah istilah yang termasuk lama, karena pada masa kini sudah banyak lembaga terkait mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan yang memakai terminologi “Pelepasan Bersyarat” seperti yang dipakai dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan . Dalam skripsi ini istilah yang digunakan adalah istilah lama yakni “Pembebasan Bersyarat” yang telah ada sejak KUHP berlaku pada Tahun 1918, karena menurut penulis istilah itu lebih mudah diterima, disamping itu hal ini juga didukung dengan anjuran dari petugas/pegawai Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Sumatera Utara dan BAPAS Kelas I Medan. Mengenai perbedaan istilah antara Pelepasan dan pembebasan bersyarat, banyak peraturan perundang-undangan mengartikan sendiri arti dari pembebasan/pelepasa bersyarat ini dengan istilah istilah atau terminologi berbeda, sebagai berikut :

“Pembebasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan”

8

(22)

b. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995, tentang pemasyarakatan

istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k

c. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.2. PK.04.10 Tahun 2010 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pemebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (Pasal 1 butir 2) istilah yang dipakai adalah “Pembebasan Bersyarat”.

“Pembebasan Bersyarat adalah proses Pembinaan Narapidana dan anak didik pidana di luar LAPAS stelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (Sembilan) bulan.”

d. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesi, istilah yang dipakai adalah “Pelepasan Bersyarat”.

2. PENGERTIAN PELANGGARAN

(23)

dalam masyarakat.9

Maka, pelanggaran dapat diartikan sebagai akibat dari perealisasian kepentingan atau hak dari saetiap anggota atau kelompok masyarakat dalam Setiap anggota masyarakat memiliki kepentingan dan hak masing-masing, yang sangat beraneka ragam dan dapat menimbulkan bentrokan satu sama lain, jika antara masyarakat melakukan atau menunutut apa yang menjadi haknya tanpa memperhatikan hak dari orang lain. Untuk hal seperti ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu di dalam masyarakat.

Hubungan ini ada diantara orang-orang perseorangan, atau berbagai kelompok orang, atau antara suatu kelompok dengan seorang oknum tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak dan orang-orang perseorangan atau kelompok orang lain di lain pihak. Dalam pembahasan skripsi ini, hubungan yang dimaksud adalah bagaimana hukum atau peraturan yang berlaku mengatur hubungan antara klien dengan kewajibannya dalam mewujudkan kesuksesan program pembebasan bersyarat yang diterimanya.

Dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu perbandingan diantara berbagai kepentingan. Perbandingan yang dimaksud adalah bagaimana agar setiap kepentingan tidak bertabrakan dan menimbulkan konflik yang lebih sulit untuk diperbaiki. Dan hubungan yang diadakan oleh hukum tersebut merupakan langkah untuk menghindari atau mengurangi pelanggaran atas hukum atau aturan yang berlaku.

9

(24)

hal ini klien pemasyarakatan atau warga binaan, yang menimbulkan kepentingan atau hak pihak lain menjadi terganggu dan dirugikan. Oleh karena itu, hukum dengan sanksinya perlu untuk membatasi setiap perealisasian dari setiap hak atau kepentingan yang ada.

Klien pemasyarakat memiliki hak dan kepentingan masing-masing, tetapi hak dan kepentingan tersebut telah dibatasi dengan kewajiban yang diterimanya sebelum beralih dari warga binaan menjadi klien pemasyarakatan. Oleh karena itu ketika klien melakukan tindakan yang mengakibatkan kewajibannya tidak terlaksana, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ini dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat ada 2 (dua), yaitu ; pelanggaran ringan yang dapat ditolerir seperti terlambat melapor, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang dijadwalkan; dan pelanggaran yang tidak dapat di tolerir, seperti mengulangi tindak pidana sebelumnya atau melakukan tindak pidana yang baru.10

10

Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan.

(25)

Terkait dengan pelanggaran ringan, dapat ditolerir bukan berarti menjadi pelanggaran yang dapat di ulangi, tetapi ada batasan sebagaimana teknis prosedur yang berlaku, dalam arti bahwa jika sudah diperingati dalam waktu tertentu dan diulangi maka pelanggaran ringan tersebut dapat mengakibatkan penangguhan izin bebas bersyarat dari klien yang bersangkutan.

3. PENGERTIAN KLIEN PEMASYARAKATAN (Klien)

Klien Pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS yang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Setiap klien yang masuk didalam BAPAS wajib didaftar tetapi bukan dalam rangka merubah status tetapi untuk memenuhi tertib administrasi. Klien sebagai mana dimaksud adalah terdiri dari11

1. Terpidana bersyarat;

:

Narapidana, anak pidana, dan anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat (bebasnya narapidana setelah menjalani pidananya sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan

ketentuan 2/3 tersebut tidk kurang dari 9 bulan) atau cuti menjelang bebas (cuti yang diberikan kepada narapidana yang telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan

ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama

dengan remisi terakhir paling lama 6 bulan)

11

(26)

2. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

3. Anak Negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat dilingkungan Direktorat jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social;

4. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya;

5. Anak yang diputus menjalani pidana pengawasan.

Dalam hal bimbingan anak Negara dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, maka orang tua asuh atau badan sosial tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.

Upaya pembinaan dan bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem

pemasyarakatan, merupakan suatu sarana perlakuan yang baru terhadap warga

binaan dan klien untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara

agar mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan warga binaan dan klien

untuk dapat kembali menjadi anggota masyarakat. Bimbingan klien adalah

(27)

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang bertujuan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.

Secara singkat bimbingan klien adalah daya upaya yang bertujuan untuk memperbaiki klien dengan maksud secara langsung dapat menghindarkan diri atas terjadinya pengulangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar norma atau hukum yang berlaku. Bimbingan klien ini dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat, di dalam keluarga tidak di dalam Lapas. Bimbingan yang diberikan harus dapat mendorong dan memantapkan hasrat klien untuk sembuh dan memiliki kedudukan sosial serta dapat melaksanakan peran sosialnya secara wajar dalam masyarakat.12

4. Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

BAPAS adalah singkatan dari Balai Pemasyarakatan, yang menjadi salah satu lembaga yang memabantu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dalam membina narapidana/warga binaan dalam hal ini untuk menerima laporan perkembangan dari tiap klien pembebasan bersyarat yang diawasi dan yang dibantu juga oleh kejaksaan.

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan sebagian dari tugas pokok Direktoral Jendral Pemasyarakatan dalam menyelenggarakan pembimbingan klien

12

(28)

pemasyarakatan didaerah. Bentuk dari bimbingan yang diberikan macam-macam, mulai dari pemberian pembinaan tentang agama, keterampilan, sampai pada pembinaan kepribadian. Bimbingan ini diberikan dengan tujuan agar klien dapat hidup dengan baik didalam masyarakat sebagai warga negara serta bertanggung jawab, untuk memberikan motivasi, agar dapat memperbaiki diri sendiri, dan tidak mengulangi kejahatan (residive). Pada dasarnya peran BAPAS ini tidak hanya berlaku pada narapidana yang dibina di luar LAPAS, tetapi juga memiliki kewenangan atau bahkan kewajiban untuk membina warga binaan atau narpidana didalam LAPAS.

Berdasarkan sistem hukum pidana Indonesia maka, BAPAS berperan dalam menangani tiap narapidana maupun mantan narpidana yang baru dibebaskan, agar tiap orang yang dibina tersebut dapat diyakinkan tidak melakukan kejahatan lagi. Karena selain yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan, tujuan pemidanaan yang sekarang dipergunakan dalam praktek hukum adalah melakukan pengayoman dan pembinaan. Seperti yang diutarakan oleh para ahli seperti; Protagoras, Seneca dan Jeremy Bentham, dimana jika disimpulkan dari pemahaman mereka, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan jika sudah terjadi untuk menangani agar tidak tercipta dendam dalam tiap pidak yang bermasalah.walaupun dalam kenyataanya selalu ada pertentangan juga.13

Selain BAPAS, dikenal juga suatu lembaga yang berfungsi hampir sama yakni BISPA. Istilah BISPA merupakan singkatan dari bimbingan kemasyarakatan dan Pengentasan anak, yang pertama sekali dicetuskan oleh

13

(29)

R. Waliman Hendrasusilo.14

3. Ruang Kasi. Bimbingan Klien Dewasa.

Tujuan dari pendirian badan ini adalah untuk pembinaan diluar penjara atau LAPAS yang menangani anak sebagai klien pemasyarakatannya.

Bapas Kelas I Medan mempunyai wilayah kerja yang meliputi kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Tanah Karo, Dairi, Kota Rantau Parapat.

Sasaran garapan Bapas Kelas I Medan Meliputi : a. Klien Pembebasan Bersyarat (PB)

b. Klien Asimilasi

c. Klien Cuti Menjelang Bebas (CMB) d. Klien Cuti Bersyarat (CB)

Bapas Kelas I Medan terdiri dari 2 bangunan lantai dengan beberapa ruangan. Bangunan lantai I terdiri dari 4 ruangan yaitu :

1. Ruangan Kepala Bagian Tata Usaha. 2. Ruangan Urusan Umum.

3. Ruangan Kepegawaian. 4. Ruangan Aula.

Bangunan lantai II terdiri dari 8 ruangan yaitu : 1. Mushola.

2. Ruang Rapat.

14

(30)

4. Ruangan Kasi. Bimbingan Klien Anak. 5. Ruangan Keuangan.

6. Ruangan PK I 7. Ruangan PK II 8. Ruangan PK I

Jumla Petugas/Pegawai Bapas Medan ada 53 Orang yang terdiri dari : Laki-laki :34 Orang

Perempuan`:19 Orang

F. METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

1. Jenis Penelitian

Dalam tulisan skripsi ini penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif (penelitian hukum doktriner) dan bersifat yuridis empiris (studi lapangan). Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan. Penelitian yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber (informan) secara langsung yang disertai dengan penyebaran angket untuk menambah kepastian data hasil penelitian yang lebih akurat, dan hal tersebut dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah BAPAS dan klien pemasyarakatan (narapidana) Pembebasan Bersyarat.

(31)

Jenis data penelitian ini adalah bersumber dari data primer dan data sekunder. Sumber data Primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari responden atau sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.15

a. Bahan Hukum Primer, dalam Penelitian ini dipakai :

Maka dari itu data Primer dalam penulisan ini diperoleh dari penelitian lapangan (riset) yaitu melalui wawancara dengan Petugas yang berwenang di dalam BAPAS kelas I Medan, dan di tambahi juga dengan penyebaran kuisoner kepada narapidana yang telah diberikan izin bebas bersyarat.

Adapun jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah bersumber dari data sekunder sebagai berikut :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

4. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.2. PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pemebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

5. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Dan Cuti Bersyarat.

15

(32)

6. PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

7. PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

b. Bahan Hukum Sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang sedang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus umum dalam hal ini yang dipergunakan adalah KBBI, dan ditambahi dari website yang dianggap penulis baik dan benar untuk disajikan dalam tulisan skripsi ini.

3. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

a. Sumber Data

(33)

data untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan mengutamakan untuk memecahkan permasalahan yang ada.

b. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini data yang dipakai adalah data yang didapatkan melalui wawancara dengan Pegawai BAPAS Kelas I Medan, serta penyebaran angket kepada klien (narapidana) pembebasan bersyarat. Langkah tersebut diatas dilakukan untuk mendapat data yang akurat dan mendukung untuk pemecahan masalah dalam penyelesaian penelitian ini.

Tabel 2

Tabulasi data angket klien pemasyarakatan PB BAPAS Kelas I Medan 2015

NO NAMA Pihak Mengajukan PB Wajib

Sumber : Data diolah dari angket yang disebarkan terhadap klien pemasyarakatan di BAPAS Kelas I Medan, Tanggal 9 April 2015. (terlampir)

4. Analisis Data

(34)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sitematika pennulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dalam bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian :

Bab I. Pendahuluan

Dalam bab ini akan diuraikan tentang penjelasan umum, seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan keputakaan, Metode Penulisan serta sistematika Penulisan.

Bab II Pemberian Penetapan Pembebasan Bersyarat dalam Pengawasan BAPAS Kelas I Medan.

Dalam bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai pembebasan bersyarat mulai dari tahap pengajuan pemberian pembebasan bersyarat hingga hal-hal yang menjadi prosedur pemeberian penetapan pembebasan bersyarat. Dan juga disajikan hasil sebaran angket terhadap klien (narapidana) pembebasan bersyarat.

Bab III Faktor – faktor yang mempengaruhi kegagalan Pembebasan Bersyarat .

(35)
(36)

BAB II

PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN

BAPAS (Balai Pemasyarakatan) KELAS I MEDAN.

A. Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat ini telah ada sejak diberlakukannya KUHP (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat yang baru dimasukkan dalam KUHP pada Tahun 1927. Pembebasan bersyarat ini dua belas (12) tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat.16

Pembebasan bersyarat ini terlahir karena pada prinsipnya, pengawasan terhadap narapidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih mudah karena ia telah dibina dan menjalani pidana penjara selama waktu tertentu, yang telah ditentukan oleh negara melalui undang-undang sebagaimana yang telah ditentukan pada pasal 15 KUHP. Keputusan untuk memberikan pembebasan bersyarat dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, setelah mendengar pendapat penuntut umum dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya. Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan seseorang pada Menteri Hukum dan Perbedaan antara kedua lembaga ini ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pembebasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiga-nya (2/3).

16

(37)

HAM selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) KUHP, untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat.

Pembebasan bersyarat memiliki tujuan yang sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan kepentingan masyarakat yang akan menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah diperolehnya selama berada di Lembaga Pemasyarkatan. Ketentuan tentang pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, 16, dan 17 KUHP dan stbl. 1917 No.749, stbl.1962 No.151 jo.486 dan stbl.1939 No.77, yang diganti dengan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.17

Semula lembaga ini menentukan harus dijalani pidana sekurang-kurangnya tiga per empat (3/4) dan paling kurang tiga (3) tahun, jadi hanya diperuntukkan bagi pidana penjara yang lama. Akan tetapi, dengan stbl. 1926 No.251 jo.486 jangka waktu tersebut diperpendek menjadi dua per tiga dan paling kurang sembilan bulan telah dijalani. Ini berarti tidak ada pembebasan bersyarat sebelum sembilan bulan pidana dijalani. Pengawasan terhadap pembebasan bersyarat oleh pemerintah cukup lama karena seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat 3 KUHP tersebut lamanya sama dengan sisa pidana yang belum dijalani ditambah satu tahun. Jika pidana yang dijatuhkan lamanya

17

(38)

sembilan tahun, pembebasan bersyarat dapat dilakukan setelah pidana dijalani enam (6) tahun. sisa tiga tahun merupakan pembebasan bersyarat dan lama pengawasan oleh pemerintah ialah empat tahun (tiga tahun ditambah satu tahun).

Klien Pamasyarakatan yang menerima pembebasan bersyarat diberikan suatu surat lepas/bebas bersyarat, dimana di dalamnya dimuat syarat-syarat yang harus ditaatinya selama masa percobaan tersebut. Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pembebasan (verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul jaksa maupun BAPAS dibantu oleh tim Pengamat Pemasyarakatan di tempat terpidana berdiam. Jika narapidana/klien melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan, selama menunggu keputusan Menteri Hukum dan HAM, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama 60 hari. Jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut, terpidana harus dikeluarkan dari tahanan (Pasal 16 ayat (3) & (4) KUHP. Pencabutan surat lepas tersebut dibuat oleh Menteri Hukum Dan HAM, atas usul atau setelah memperoleh keterangan dari jaksa tempat asal terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari Dirjen Pemasyarakatan.18

18

(39)

B. Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana (klien pemasyarakatan) harus terlebih dahulu menjalani dua per tiga dari masa hukumannya, yang sekurang-kurangnya adalah Sembilan bulan. Jika terpidana harus menjalani pidana berturut-turut maka pidana itu dianggap sebagai satu pidana (Pasal 15 ayat (1) KUHP).

Setiap klien pemasyarakatan yang menerima izin bebas bersyarat dalam tahapan tertentu menerima suatu masa percobaan, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi selam masa percobaan. Masa percobaan atau masa menjalankan program pembebasan bersyarat, itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. Jika terhukum ada dalam tahanan maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan (Pasal 15 ayat (2), (3) KUHP).

Pembebasan bersyarat dapat diartikan sebagai bagian akhir dari pidana yang tidak dijalankan di dalam Lapas. Pembebasan bersyarat ini tidak dapat diberikan kepada mereka yang dijatuhkan pidana penjara seumur hidup. Kecuali jika pidana seumur hidup tersebut dengan “grasi” diubah menjadi pidana penjara sementara waktu, dan kemudian dilakukan pemeberian pembebasan beryarat. Pemberian pembebasan bersyarat juga tidak mungkin diberikan mereka yang dikenakan pidana kurungan.

(40)

Selama masa percobaan itulah narapidana (klien) “dipaksa” untuk memenuhi syarat-syarat kehidupan tertentu. Proses pemberian pembebasan bersyarat diberikan juga dengan syarat umum yaitu bahwa narapidana (klien) yang mendapatkan pembebasan bersyarat tidak akan melakukan perbuatan pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Selain itu juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan narapidana (klien) asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik, biasanya syarat khusus ini diadakan karena tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana khusus, atau karena klien pemasyarakatan tersebut adalah warga negara asing.

(41)

1) Syarat Substantif (Pasal 49 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan

HAM No. 21 Tahun 2013)

a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (Sembilan) bulan;

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling sedikit 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;

c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan

d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.

2) Syarat Administratif/Dokumen (Pasal 50 ayat (1) Peraturan

Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013)

a. Fotokopi kutipan putusan Hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;

b. Laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali pemasyarakatan atai hasil assessment resiko dan assessment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor;

c. Laporan penelitian kemasyarkatan (LitMas) yang dibuat oleh pembimbing pemasyarakatan yang diketahui oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS);

(42)

e. Salinan register F dari Kepala LAPAS; f. Salina perubahan dari Kepal LAPAS;

g. Surat pernyataan dari Narapidana atau anak didik pemasyarakatan tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum;

h. Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa :

1. Narapidana atau anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggra hukum; dan 2. Membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau

anak didik pemasyarakatan selama mengikuti program pembebasan bersyarat.

Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian dalam pencabutan izin pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :

Pasal 16

(1) Ketentuan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).

(43)

mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.

(3) Selama pembebasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syaratsyarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).

(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari masa tahanan.

Pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan kepada narapidana yang dihukum pidana penjara sementara, bukan kurungan. Ketika memberikan pembebasan bersyarat, ditentukan juga suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan tersebut. Penetapan pembebasan bersyarat diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM apabila narapidana atau klien pemasyarakatan telah menjalani masa pidananya sesuai yang ditetapkan dalam pasal 15 KUHP. Lamanya menjalani pidana yang dimaksud adalah tidak termasuk lamanya masa penahanan sementara. Dalam artian bahwa lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan syarat 2/3 (dua per tiga) atau 9 (Sembilan) bulan tersebut, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara. R. Soesilo memberikan contoh sebagai berikut :19

19

(44)

1. Orang yang dihukum penjara 9 bulan, meskipun telah menjalani 2/3 (dua per tiga) hukumannya (6 bulan), belum dapat dibebaskan dengan bersyarat, oleh karena belum memenuhi syarat minimum 9 bulan.

2. Orang yang dihukum 9 tahun penjara, jika telah menjalani hukuman selama 6 tahun, dapat diberikan pembebasan bersyarat, bila baik kelakuannya. Apabila orang misalnya setelah 1 tahun dibebaskan, kemudian melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang telah ditentukan, ia harus menjalani lagi sisa hukumannya 3 tahun, jadi masa ia dalam kebebasan selama 1 tahun itu tidak dihitung sebagai masa hukuman.

3. Masa percobaan ditentukan satu tahun lebih lama dari sisa hukuman yang belum dijalani, jadi jika seseorang dipidana 9 tahun penjara, dan ia telah menjalani 2/3 (dua per tiga) hukumannyayaotu 6 tahun penjara, maka dalam hal ini lama masa percobaan adalah (9 – 6) + 1 = 4 Tahun.

Pasal 15 (a) KUHP menentukan, bahwa pembebasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Agar syarat-syarat ini terpenuhi, dapat diadakan pengawasan atau pembimbingan khusus yang semata-mata harus bertujuan memberikan bantuan kepada terpidana.20

20

Mohamad Eka Putra, Abul Khair. Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya menurut konsep KUHP yang Baru. Medan, USU Press. Hlm. 122.

(45)

Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain atau pihak yang memiliki pengaruh disekitar klien pemasyarakatan. Selanjutnya ditentukan, bahwa orang yang mendapat pembebasan bersyarat diberi surat yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya.

C. Prosedur Pengusulan Pembebasan Bersyarat

Mengenai tata cara atau lebih dikenal dengan prosedur pengusulan pembebasan bersyarat, KUHP tidak menjelaskan secara lengkap. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 pada Pasal 55 sampai dengan 57. Tata cara pemberian pembebasan bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan. Sistem informasi tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi antara unit pelaksana teknis pemasyarakatan, kantor wilayah, dengan Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

(46)

pegawai BAPAS Kelas I Medan.21

Pada tahap sidang TPP yang diadakan oleh BAPAS Kelas I Medan bertujuan untuk memastikan mengenai hal-hal yang dianggap sangat vital atau penting, seperti hal berikut ini :

Dalam hal pengajuan permohonan tersebut petugas LAPAS juga mengajukannya ke Kejaksaan Negeri yang terkait dengan warga binaan untuk dapat diketahui tentang kepastian ada atau tidaknya perkara lain yang berkaitan dengan warga binaan yang dimohonkan tersebut.

Setelah mengajukan permohonan kepada pihak BAPAS Kelas I Medan, maka selanjutnya petugas BAPAS akan melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) terkait dengan daftar warga binaan yang diajukan/dimohonkan, untuk dapat diketahui kondisi sebenarnya dari lingkungan tempat tinggal setiap warga binaan tersebut. Jika ditemukan kejanggalan pada saat melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), maka ada kemungkinan permohonan pihak LAPAS akan di tolak sementara untuk dapat diperbaiki. Kemudian jika penelitian kemasyarakatan telah selesai dilaksanakan maka dilanjutkan dengan sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) dari pihak BAPAS Kelas I Medan untuk melakukan evaluasi dari hasil LITMAS dan dikaitkan dengan permohonan petugas LAPAS.

22

a. Keberadaan Penjamin Klien;

b. Kepastian Surat Jaminan yang minimal harus diketahui oleh pegawai kelurahan;

21

Ibid.

22

(47)

c. Kepastian alamat warga binaan.

Tahap selanjutnya jika sidang TPP menyimpulkan bahwa permohonan dari pihak LAPAS adalah “layak”, maka petugas BAPAS Kelas I Medan mengirimkan balasan atas permohonan tersebut dengan subtansi persetujuan atau rekomendasi dari BAPAS Kelas I Medan ke LAPAS. Kemudian untuk menanggapi surat rekomendasi tersebut, petugas LAPAS melakukan sidang TPP dengan mengundang pegawai BAPAS untuk ikut serta, dimana sidang TPP ini berfungsi untuk membahas surat rekomendasi tersebut dan membicarakan langkah selanjutnya.

(48)

proses serah terima tersebut, tidak lagi disebut warga binaan tetapi sebagi Klien Pemasyarakatan.23

D. Pembimbingan dalam Masa Pembebasan Bersyarat (BAPAS Kelas I

Medan)

Pembebasan bersyarat adalah salah satu bentuk dari pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana / klien dengan tujuan agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat; yang dimaksud dengan BAPAS adalah “ Pranata untuk melaksanakan bimbingan klien”, dan dilanjutkan dengan angka 13 dikatakan bahwa” klien pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan klien adalah seorang yang berada dalam bimbingan BAPAS”. Berdasarkan pengertian BAPAS dan Klien diatas dapat dikatakan bahwa Balai Pemasyarakatan atau dalam hal ini BAPAS Kelas I Medan adalah sebuah organ atau lembaga yang diciptakan oleh Pemerintah, yang bertugas sebagai pranata dalam penanganan klien pemasyarakatan atau lebih sederhana jika dikatakan sebagai institusi/Lembaga yang melaksanakan fungsi bimbingan terhadap kliennya dalam hal ini yang telah mendapatkan pembebasan bersyarat.

Dalam proses pengusulan pembebasan bersyarat hingga pada tahap seorang narapidana mendapatkan izin bebas bersyarat, BAPAS Kelas I Medan

23

(49)

telah turut serta dalam setiap proses tersebut. Dimana pada praktiknya BAPAS Kelas I Medan dalam menyelesaikan berkas pengusulan tersebut, telah melakukan penelitian kemasyarakatan dalam hal kesiapan narapidana untuk kembali kemasyarakat dan begitu juga sebaliknya, dengan meneliti kondisi masyarakat, keluarga, dan pihak lainnya sebagai penjamin.

Penelitian kemasyarakatan adalah hal yang sangat penting, karena data dari hasil penelitian tersebut merupakan salah satu acuan yang memiliki pengaruh yang besar, dari setiap pertimbangan atas usulan pemberian izin bebas bersyarat. Berikut adalah contoh data hasil dari penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas BAPAS kelas I Medan terhadap salah satu warga binaan.24

a. Identitas

Penelitian Kemasyarakatan Untuk Pengusulan Pembebasan Bersyarat

No. Reg : B.I. 192 / 2012

Perkara : Perompakan (Pasal 439 KUHP)

1. Nama : HASBI Als HERI KOSTRAD

2. Tempat/Tanggal Lahir : Gampung Jl. Idi Raya, 25–07-1973 3. Jenis Kelamin : Laki - laki

4. Agama : Islam

5. Kewarganegaraan : Indonesia 6. Pendidikan : SMP

7. Pekerjaan : Nelayan

24

(50)

8. Status Perkawinan : Duda

9. Alamat : Jl. Yos Sudarso KM. 19,5 Gg. Rumah Haji. Kec. Medan Labuhan 10.Lama Pidana : 4 Tahun

11.Ditahan Sejak : Tahun 2012

12.Remisi : -

13.Sisa Pidana Dijalani : 1 Tahun 6 Bulan 14.Tanggal Bebas Akhir : 12 April 2015

b. Hasil Pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan

(51)

a. Kesimpulan

Berdasarkan data dan analisa yang dilakukan petugas, maka dengan ini Pembimbing Kemasyarakatan dapat membuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Klien dipidana penjara selam 4 tahun karena telah melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 439 KUHP tentang perompakan.

2. Selama menjalani pidananya di Rutan Kelas II B Labuhan Deli, klien telah menunjukan sikap yang positif, dapat menerima keadaan, patuh terhadap peraturan yang berlaku dan dapat berinteraksi secara baik dengan petugas dan narapidana serta tahanan lainnya, klien juga dapat mengikuti program pembinaan yang diberikan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Pihak Rutan Kelas II B Labuhan Deli memberikan kesempatan kepada klien, untuk diusulkan mendapatkan program pembebasan bersyarat, karena klien sudah menjalani menjelang 2/3 masa pidannya dan selama berada di Rutan Kelas II B Labuhan Deli klien dapat menjaga keamanan dan ketertiban yang berlaku di dalam Rutan Kelas II B Labuhan Deli.

(52)

b. Rekomendasi

Berdasarkan analisa dan kesimpulan tersebut diatas, dengan didukung oleh hasil sidang TPP BAPAS Kelas I Medan, tanggal 16 Juli 2013 kami SETUJU terhadap klien an. HASBI ALS HERI

KOSTRAD. Ditingkatkan pembinaannya dengan program

pembebasan bersyarat, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan serta tidak bertentangan denga peraturam yang berlaku.

Tabel 3

Jumlah Klien BAPAS Kelas I Medan (Januari sampai dengan Desember 2014 )

NO Keterangan S D B J

1 JANUARI 3477 290 145 3622

2 FEBRUARI 3622 185 114 3811

3 MARET 3811 156 132 3825

4 APRIL 3835 196 98 3933

5 MEI 3933 197 103 4027

6 JUNI 4027 209 87 4209

7 JULI 4209 214 88 4335

TOTAL 4335

Sumber : Data bagian Registrasi BAPAS Kelas I Medan. Desember 2014.

(53)

Pelaksanaan bimbingan yang dilakukan oleh BAPAS Kelas I Medan melalui petugas yang lebih dikenal dengan sebutan Pembimbing Kemasyarakatan (P.K) pada dasarnya harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini bertujuan untuk mencapai keefektifan dalam hal pembimbingan, karena tindakan yang berkesinambungan akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan pembimbingan dan pengawasan.

Kesinambungan dalam proses pembimbingan juga harus dibarengi dengan pengamatan secara terjun langsung dilapangan untuk mendekati klien secara lebih dekat. Dimana setiap perbuatan dan tindakan klien yang diamati harus diketahui secara pasti. Dengan begitu dapat diupayakan tindakan atau kebijakan yang tepat berdasarkan hasil pengamatan dan pengawasan sebagai langkah untuk pelaksanaan program pembebasan bersyarat dapat tercapai secara maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hasil penelitian di BAPAS Kelas I Medan, yang dilakukan oleh petugas dari pihak BAPAS adalah hanya sebatas pembimbingan saja, karena jika disertai dengan pengawasan akan menimbulkan kesulitan bagi petugas untuk dapat mengawasi dari sekian banyak klien yang dibebaskan secara bersyarat maupun merealisasikan program lainnya.25

Prosedur dan mekanisme pembimbingan terdiri atas tiga tahap yakni tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Berbeda dengan pembagian jangka waktu untuk setiap tahapan pembinaan yang dilaksanakan di Lapas yang

25

(54)

menggunakan 1/3, ½, dan 2/3 masa pidananya, lamanya waktu untuk setiap tahapan pembimbingan yang dilaksanakan menggunakan pembagian masa bimbingan sebagai berikut26

1. Tahap Awal

:

Pembimbingan tahap awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai klien sampai dengan ¼ (satu perempat), prosedur dan mekanisme pembimbingan tahap awal adalah sebagai berikut :

a. Penelitian Kemasyarakatan.

b. Menyusun rencana program bimbingan.

c. Pelaksanaan progam bimbingan guna mempersiapkan anak untuk mengikuti program diversi di luar Lapas.

d. Penilaian pelaksanaan program tahap awal dan penyusunan rencana bimbingan tahap lanjutan.

2. Tahap Lanjutan

Pembimbingan tahap lanjutan dilaksanakan sejak berakhirnya bimbingan tahap awal sampai dengan ¾ (tiga Perempat) masa pembimbingan, prosedur dan mekanisme pembimbingan adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan Program bimbingan, seperti ; wajib lapor dari pihak klien, kunjungan rumah, dan bimbingan mental/ kelompok.

b. Penilaian pelaksanaan program tahapan lanjutan dan penyusunan rencana bimbingan tahap akhir.

26

(55)

3. Tahap Akhir

Pembimbingan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhir bimbingan tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pembimbingan, prosedur dan mekanisme pembimbingan tahap akhir adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan program bimbingan.

b. Meneliti dan menilai keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan.

c. Mempersiapkan klien mengakhiri masa bimbingan tambahan (after care).

Pada setiap masa peralihan tahapan dari tahapan yang satu ke tahapan yang selanjutnya, pembimbingan kemasyarakatan menentukan program pembimbingan melalui mekanisme sidang TPP. Adapun jenis bimbingan yang diberikan kepada klien meliputi : Pendidikan Agama, pendidikan budi pekerti, bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok, pendidikan formal, kepramukaan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesejahteraan keluarga, psikoterapi, kepustakaan, terapi dan berbagai usaha penyembuhan klien.27

Hasil penelitian yang didapatkan adalah bahwa dalam proses pembimbingan yang dilakukan merupakan sistem pelaporan, dan pelaporan tersebut dilakukan oleh klien terhadap Pembimbingan Kemasyarakatan dalam jangka waktu dan substansi laporan yang telah ditentukan sebelumnya biasanya 1X (satu kali) sebulan. Hal ini pun terkadang mengalami kendala, dimana masih ada klien yang tidak melapor dengan tepat waktu. Sehingga dari

27

(56)

pihak pembimbing membuat kebijakan sesuai dengan aturan yang berlaku jika hal tersebut terjadi berulang terhadap klien yang sama. Pada kenyataannya sebelum kebijakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berdasarkan PERMENKUMHAM No. 01 Tahun 2007 pada Pasal 24, 25 dan 26, biasanya Pembimbing Kemasyarakatan terlebih dahulu mendatangi klien ke tempat kediamanya, untuk mencari tahu apa penyebab dari keterlambatan itu dalam pratek di lapangan dikenal dengan program kunjungan rumah.

Proses pembimbingan klien oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada umumnya mengunjungi tempat tinggal klien. Dalam proses pembimbingan yang seperti itu dilakukan dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan secara berkala, karena program pembimbingan seperti ini hanya dilakukan jika dianggap dibutuhkan untuk dilakukan, biasanya jika ada kejanggalan atau pelanggaran yang dilakukan oleh klien. Program ini dapat dikatakan sulit untuk dilakukan, karena mengingat aktifitas dari klien yang kebanyakan bekerja dan mempunyai kegiatan sehingga sulit untuk dilakukan sesuai dengan literatur yang ada dan juga didukung faktor tempat tinggal klien yang jauh.

(57)

sehingga sulit untuk menyimpulkan bagaimana keadaan sebenarnya dari klien yang bersangkutan.28

E. Alasan Hapusnya Izin Bebas Bersyarat

Oleh karena itu, jika ditanya kepada petugas BAPAS Kelas I Medan mengenai hal tersebut, tanggapan yang didapat adalah petugas memberikan dispensasi kepada klien, karena pembimbing kemasyarakatan tidak biasa memastikan bagaimana keadaan klien. Kecuali jika terjadi suatu pelanggaran maka pihak pembimbing kemasyarakatan dapat melakukan penilian secara mendalam dan melakukan evaluasi terhadap hal tersebut, agar dapat memeberikan laporan yang konkrit kepada Dirjen Kemasyarakatan, terutama jika klien melakukan kejahatan yang baru atau mengulangi tindak pidana sebelumnya.

Dalam Masa percobaan pembebasan bersyarat, sangat sering dijumpai kelalaian dari klien pemasyarakatan termasuk dalam BAPAS Kelas I Medan. Hal ini dapat terjadi karena kesibukan menjalani aktifitas setelah kembali kemasyarakat atau dapat juga karena klien pemasyarakatan tersebut yang kurang mengerti arti dari syarat-syarat yang telah diterimanya ketika mendapat izin bebas bersyarat.

Kesalahan klien pemasyarakatan adalah salah satu yang dapat mengakibatkan kegagalan dari masa percobaan itu. Ada juga hal lain seperti dari sisi pemerintah atau Negara melalui pertimbangan tertentu oleh lembaga yang terkait. Pasal 16 ayat (3) KUHP menentukan, bahwa selama masa

28

(58)

percobaan izin bebas bersyarat masih dapat dicabut, maka atas usulan jaksa tempat dimana klien berada. Klien pemasyarakatan tersebut dapat ditahan demi menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa klien tersebut selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat lepas/bebas bersyaratnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada kementrian Hukum dan HAM.

Biasanya pencabutan izin bebas bersyarat ini didahului dengan penahanan. Pihak yang bisa menahan adalah jaksa dalam kurun waktu paling lama selama enam puluh (60) hari. Dan jika pada kenyataanya penahanan tersebut, disusul dengan penghentian untuk sementara waktu maupun pencabutan izin pembebasan bersyarat, maka klien pemasyarakatan tersebut dianggap menjalani sisa pidanannya mulai hari penahanan sebelumnya.

(59)

Dengan habisnya waktu hukuman, maka dengan sendirinya penghentian sementara itu juga berhenti.29

F. Manfaat Pembebasan Bersyarat

Selanjutnya dijelaskan, bahwa dalam hal penahanan diikuti dengan penghentian sementara atau dengan penarikan sama sekali (pencabutan) pembebasan bersyarat itu, maka terpidana atau klien pemasyarakatan dianggap meneruskan pidananya sejak ditahan. Tetapi jika ia berada di luar penjara, yaitu sejak ia dilepaskan dengan syarat sampai ia dimasukkan kembali ke penjara, tidak diperhitungkan sebagai hukuman. Sebagai contoh jika klien pemasyarakatan dilepaskan dengan syarat pada tanggal 1 Mei dan kemudian Karena melanggar syarat ia dimasukkan kembali ke dalam penjara pada tanggal 30 Agustus tahun itu juga, maka waktu selama 1 Mei sampai dengan 30 Agustus itu tidak dihitung untuk mengurangi sisa masa hukuman yang masih harus dijalani.

Pembebasan bersyarat pada kenyataannya belum banyak mengetahui, baik dari masyarakat umum/awam, maupun dari kalangan akademis dibidang hukum. Banyak dari mereka ketika akan ditanya apa yang menjadi manfaat dari kebijakan pembebasan bersyarat, penulis diminta untuk menjelaskan terlebih dahulu gambaran umum dari pembebasan bersyarat. Tetapi jika dikalangan orang atau pihak yang pernah berhadapan dengan hukum, baik diri sendiri maupun keluarganya, program ini adalah salah satu yang sangat terkenal. Pembebasan bersyarat memiliki maksud dan tujuan sebagai masa transisi memudahkan kembalinya narapidana ke masyarakat dan menjadi

29

(60)

stimulant atau mendorong narapidana untuk berkelakuan baik di dalam lembaga pemasyarakatan.30

1. Manfaat terhadap Lembaga Pemasyarakatan

Manfaat dari pembebasan bersyarat dapat dijelaskan dengan menguraikan dari sudut pandang mana manfaat itu dapat ditemukan. Perbedaan sudut pandang sangat mempengaruhi manfaat dari pembebasan bersyarat, karena memiliki tujuan dan harapan yang berbeda akan adanya pembebasan bersyarat. Sudut pandang yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiiki hubungan dengan adanya pembebasan bersyarat, seperti dari sisi Lembaga Pemasyarakatan, Keluarga atau Masyarakat, serta dari sisi Klien/ Narapidana sendiri.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah manfaat yang dimaksud :

Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu lembaga yang sangat vital akan berjalannya sistem pidana Indonesia. Pidana penjara adalah salah satu yang menjadi kewenangan yang diberikan undang-undang kepada LAPAS. Sebagaimana yang diketahui pada dasarnya pidana penjara bukan lagi bertujuan untuk pembalasan seperti yang dahulu dilakukan, tetapi sebaliknya yang menjadi harapan akan pelaksanaan dari pidana ini adalah untuk membuat narapidana mengerti apa yang menjadi kesalahannya dan dapat menyesalinya dan besar kemungkinannya tidak akan diulangi, jika proses pembalasan diganti dengan pembinaan dan pembimbingan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan.

30

(61)

Dalam perkembangan zaman di Indonesia, masalah yang terjadi tidak lagi sekompleks atau sesederhana itu. Dewasa ini, banyak permasalahan yang terjadi LAPAS, mulai dari perkelahian yang berujung pada pemberontakan, yang salah satu penyebab dasarnya adalah fasilitas yang kurang dibarengi over kapasitas Lembaga Pemasyarakatan. Seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta (Juli 2013) dan di Lembaga Pemasyarakatan Hulu Balu (Agustus 2013).31

Dalam bukunya Mohammad Ekaputra dan Abul khair menuliskan, bahwa dalam menentukan dasar pembenaran pidana penjara dilihat dari sudut efektivitasnya. Hal ini merupakan suatu pendekatan pragmatis yang memang sepatutnya dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan.32

a. Mengurangi kemungkinan pemberontakan dan perkelahiaan antar narapidana, karena telah termotivasi untuk bersikap baik untuk dapat mendapatkan izin bebas bersyarat.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembebasan bersyarat merupakan salah satu kebijakan yang dapat dijadikan kebijakan pendukung untuk dapat pembenaran pidana penjara tersebut, karena pembebasan bersyarat hanya akan berjalan jika proses pembinaan dan pembimbingan di dalam Lembaga Pemasyarakatan berjalan dengan semestinya dan memnuhi kriteri yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait. Jadi manfaat terhadap Lembaga pemasyarakatan dapat diuraikan sebagai berikut :

31

Koran Sindo online (Sindonews.com : //nasional. Sindonews.com) tanggal 9 Agustus 2013.

32

(62)

b. Memaksimalkan proses pembinaan dan pembimbingan di dalam LAPAS.

c. Meningkatkan peluang keluarnya narapidana lebih cepat dari Lembaga Pemasyarakatan yang dapat mengakibatkan kurangnya dampak dari over kapasitas di dalam LAPAS.

d. Meningkatkan kemungkinan pencapaian sistem pemidanaan yang baru, yakni pemidanaan yang bersifat pembinaan dan pembimbingan (rehabilitasi).

e. Memaksimalkan proses perbaikan diri dari narapidana dengan keinginan untuk mengikuti pembinaan dan pembimbingan.

2. Manfaat terhadap Keluarga/Masyarakat

Masyarakat adalah salah satu pihak yang harus mendapat perhatian khusus dari setiap pelaksanaan dan kebijakan dari sistem pidana yang berlangsung di Indonesia. Aspek perlindungan masyarakat dari suatu kebijakan pidana dapat tercapai apabila kebijakan itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan.33

Penelitian Kemasyarakatan atau yang sering disebut LITMAS itu adalah faktor pendukung dalam setiap pengusulan izin bebas bersyarat Apapun dampak yang akan terjadi dari suatu tindak pidana, masyarakat adalah pihak pertama yang harus diselamatkan. Sama dengan kebijakan pembebasan bersyarat, masyarakat adalah salah satu pihak yang menentukan. Hal ini dibuktikan dari hasil penlitian masyarakat yang di lakukan oleh pihak BAPAS, dan keluarga dari narapidana adalah termasuk didalamnya.

33

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

dengan sampel yang digunakan sebanyak 92 orang. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh bahwa pemanfaatan bahan pustaka perpustakaan SMAN 1 Bandung secara

Sedangkan menurut CWC (2000) dinyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi

Setelah membandingkan antara pengertian beban menurut standar akuntansi keuangan dengan PT. Petrosida Gresik, maka dapat disimpulkan bahwa PT. Petrosida Gresik telah

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Pada negara negara maju yoga semakin di akui, bidang kesehatan senam yoga gunakan pada praktik praktik di bidang keilmuan (Husin,2013), sedangkan pangkalan (2008)

(2)  Rimpang  Zingiber  aromatieum  bersifat  immunomodulator,  menye-  babkan  stimulasi  respon  immun  humoral,  supresi  respon  immun   seluler.  Dosis  30 

Beberapa penduduk yang tergabung dalam Usaha Kecil Menengah (UKM) sejak tahun 2005 sudah mengolah ubi kayu menjadi tiwul dan oyek. Akan tetapi produk yang dihasilkan

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. Hal ini dikuatkan pula dengan