BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori
2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Struktur Modal
Salah satu tugas manajer keuangan adalah memenuhi kebutuhan dana.
Didalam melakukan tugas tersebut manajer keuangan dihadapkan adanya suatu
variasi dalam pembelanjaan, dalam arti kadang-kadang perusahaan lebih baik
menggunakan dana yang bersumber dari hutang (debt) kadang-kadang perusahaan
lebih baik kalau menggunakan dana yang bersumber dari modal sendiri (equity).
Oleh karena itu manajer keuangan di dalam operasinya perlu berusaha untuk
memenuhi suatu sasaran tertentu mengenai perimbangan antara besarnya hutang
dengan jumlah modal sendiri yang tercermin dalam struktur modal perusahaan
(Brigham dan Houston, 2006), Untuk itu perlu diperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi struktur modal perusahaan dan faktor-faktor tersebut dapat diuraikan
2.1.4.1. Struktur aktiva
Kebanyakan perusahaan industri di mana sebagian besar dari pada modalnya
tertanam dalam aktiva tetap (Fixed assets), akan mengutamakan pemenuhan
modalnya dari modal yang permanen, yaitu modal sendiri, sedangkan hutang sifatnya
sebagai pelengkap (Riyanto, 2000). Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya aturan
struktur finansial konservatif horizontal yang menyatakan bahwa besarnya modal
sendiri hendaknya paling sedikit dapat menutupi jumlah aktiva tetap plus aktiva lain
yang sifatnya permanen. Dan untuk perusahaan yang sebagaian besar dari aktivanya
terdiri atas aktiva lancar akan mengutamakan kebutuhan dananya dengan hutang. Jadi
dapat dikatakan bahwa struktur aktiva mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
struktur modal dalam suatu perusahaan. Pada perusahaan-perusahaan besar di negara
industri menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara struktur aktiva
terhadap struktur modal dalam suatu perusahaan (Horngren et.al, 2000).
2.1.4.2. Tingkat pertumbuhan aktiva
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang cepat harus lebih banyak
mengandalkan modal eksternal. Floating cost pada emisi saham biasa lebih tinggi
dibanding pada emisi obligasi. Dengan demikian perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi cenderung lebih banyak menggunakan hutang (obligasi)
2.1.4.3. Profitabilitas
Perusahaan dengan rate of return yang tinggi cenderung menggunakan
proporsi hutang yang relatif kecil dikarenakan dengan rate of return yang tinggi,
kebutuhan dana dapat diperoleh dari laba yang ditahan. Perusahaan dengan tingkat
pengembalian yang tinggi atas investasi cenderung akan menggunakan hutang yang
relatif kecil, dengan tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan perusahaan
untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan
secara internal (Brigham dan Houston, 2006). Dari sudut pandang calon investor,
indikator penting untuk menilai prospek perusahaan di masa yang akan datang adalah
dari pertumbuhan profitabilitas perusahaan. Indikator ini sering diperhatikan untuk
mengetahui kemampuan perusahaan memberikan return terhadap investasi yang
sesuai dengan tingkat yang disyaratkan investor.
2.1.4.3.1. Return On Asset (ROA)
Return On Assets (ROA) yang sering disebut juga sebagai return on
investment (ROI) digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya dengan
tanpa mengindahkan dari sumber mana modal tersebut berasal atau keseluruhan
modal (Djarwanto, 2002). Rasio ini merupakan rasio yang terpenting diantara rasio
rentabilitas / profitabilitas yang lainnya. ROA atau ROI diperoleh dengan cara
membandingkan antara Net Income After Tax (NIAT) terhadap total asset. Aktiva
tersebut akan menjadi modal kerja bagi perusahaan dalam melakukan usahanya. Hasil
usaha perusahaan dinyatakan dalam bentuk laba bersih atau NIAT. ROA merupakan
rasio antara laba setelah pajak (NIAT) terhadap total assets. ROA mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih setelah pajak dari total assets
yang digunakan untuk operasional perusahaan. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan
bahwa perusahaan semakin efektif dalam memanfaatkan aktiva untuk menghasilkan
laba bersih setelah pajak, yang juga dapat diartikan bahwa kinerja perusahaan
semakin efektif (Tangkilisan, 2003). Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya
tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan
perusahaan tersebut makin diminati investor, karena tingkat kembalian akan semakin
besar (Ang, 1997). Hal ini juga akan berdampak bahwa harga saham dari perusahaan
tersebut di pasar modal juga akan semakin meningkat, dengan kata lain ROA akan
berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Hasil ini membuktikan bahwa dalam
membuat keputusan investasi saham, investor masih mempertimbangkan ROA.
Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut :
Net Income after Tax
Return on Assets (ROA) = --- 100% Total Assets
Keterangan :
Laba bersih setelah pajak (Net Income After Tax) adalah laba bersih
digunakan adalah data yang tercantum didalam laporan keuangan yang
dipublikasikan oleh perusahaan.
Total Assets adalah total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan dan yang
tercantum di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan.
Profitabilitas suatu perusahaan dapat diukur dengan menghubungkan antara
keuntungan atau laba yang diperoleh dari kegiatan pokok perusahaan dengan
kekayaan atau asset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan perusahaan
(operatimg asset). Operating Asset adalah semua aktiva kecuali investasi jangka
panjang dan aktiva-aktiva lain yang tidak digunakan dalam kegiatan atau usaha
memperoleh penghasilan yang rutin atau usaha pokok perusahaan. Pengukuran
kinerja keuangan perusahaan dengan ROA menunjukkan kemampuan atas modal
yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan
laba. ROA adalah rasio keuntungan bersih setelah pajak untuk menilai seberapa besar
tingkat pengembalian dari asset yang dimiliki oleh perusahaan. ROA yang negatif
disebabkan laba perusahaan dalam kondisi negatif pula atau rugi. Hal ini
menunjukkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum
mampu untuk menghasilkan laba. Keunggulan ROA diantaranya adalah sebagai
berikut: 1.) merupakan pengukuran yang komprehensif dimana seluruhnya
mempengaruhi laporan keuangan yang tercermin dari rasio ini. 2.) mudah dihitung,
dipahami, dan sangat berarti dalam nilai absolut. 3.) merupakan denominator yang
dapat diterapkan pada setiap unit organisasi yang bertanggung jawab terhadap
divisi memiliki kecenderungan untuk melewatkan project yang menurunkan
divisional ROA, meskipun sebenarnya project tersebut dapat meningkatkan tingkat
keuntungan perusahaan secara keseluruhan. 2.) cenderung untuk berfokus pada tujuan
jangka pendek dan bukan tujuan jangka panjang. 3.) Sebuah project dalam ROA
dapat meningkatkan tujuan jangka pendek, tetapi project tersebut mempunyai
konsekuensi negatif dalam jangka panjang, berupa pemutusan beberapa tenaga
penjualan, pengurangan budget pemasaran, dan penggunaan bahan baku yang relatif
murah sehingga menurunkan kualitas produk dalam jangka panjang (Wild et.al,
2004,). Semakin besar rasio ROA menunjukkan kenaikan laba bersih operasi dari
perusahaan yang bersangkutan. terdapat hubungan yang positif antara ROA dengan
harga saham perusahaan yang dapat meningkatkan nilai buku saham perusahaan
(Higgins, 1998).
2.1.4.3.2. Return On Equity (ROE)
Rasio ini menggunakan hubungan antara keuntungan setelah pajak dengan
modal sendiri yang digunakan perusahaan. Yang dianggap modal sendiri adalah
saham biasa, agio saham, laba ditahan, saham preferen dan cadangan-cadangan lain.
Melihat hubungan-hubungan itu, Return On Equity tidak lain adalah rentabilitas
ekonomi. Bagi perusahaan pada umumnya masalah rentabilitas adalah lebih penting
dari pada masalah laba, karena laba yang besar saja belumlah merupakan ukuran
bahwa perusahaan itu telah bekerja dengan efisien (Riyanto, 2000). Return On Equity
dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi rasio ini menandakan kinerja perusahaan
semakin baik atau efisien, nilai equity perusahaan akan meningkat dengan
peningkatan rasio ini. Return On Equity (ROE) yaitu rasio untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang dikaitkan dengan
pembayaran dividen. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
Net Income after Tax
ROE = --- X 100 % Total Equity
Keterangan :
Net Income After Tax adalah laba setelah pajak
Total Equity adalah total modal sendiri
Semakin besar rasio ROE menunjukkan kenaikan laba bersih dari perusahaan
yang bersangkutan. Ada hubungan yang positif antara ROE dengan harga saham
perusahaan yang dapat meningkatkan nilai buku saham perusahaan (Higgins,1998).
2.1.4.3.3. Price Earning Ratio ( PER )
Price Earning Ratio (PER) adalah rasio harga saham dengan penghasilan atau
price earning ratio sering digunakan untuk membandingkan peluang investasi
(Husnan dan Pudjiastuti, 2002). Suatu rasio harga dan penghasilan saham dihitung
dengan membagi harga pasar per lembar saham (market price share) dengan
penghasilan per lembar saham (Earning per share). PER menunjukkan perbandingan
antara harga saham di pasar atau harga perdana yang ditawarkan dibandingkan
Rumus menghitung PER yaitu :
Market price per share
PER = --- x 100% Earning per share
Atau :
Harga pasar per lembar saham
Rasio Harga / Laba = --- x 100% Laba per lembar saham
Adapun kegunaan rasio PER ini adalah : 1) menentukan nilai pasar saham
yang diharapkan, 2) menentukan nilai pasar saham dimasa yang akan datang. Secara
fundamental rasio ini diperhatikan oleh investor dalam memilih saham karena
perusahaan yang mempunyai nilai PER yang tinggi menunjukkan nilai pasar yang
tinggi pula atas saham tersebut, sehingga saham tersebut akan diminati oleh investor
dan hal ini pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan harga saham sebaliknya
apabila perusahaan mempunyai PER yang rendah menunjukkan nilai pasar yang
rendah sehingga akan berdampak terhadap penurunan harga saham (Husnan, 2003).
PER merupakan bagian dari rasio pasar dimana sudut pandang rasio pasar ini lebih banyak pada sudut pandang investor dan juga merupakan ukuran untuk menentukan bagaimana pasar memberi nilai/harga pada suatu perusahan. Perusahaan dengan PER yang rendah mungkin dapat menurunkan minat investor terhadap harga saham, namun perlu diingat pula bahwa PER yang rendah mempunyai potensi untuk meningkat, sehingga investor tidak hanya terpaku pada PER yang tinggi saja (Dermawan, 2007).
PER yang tinggi belum tentu mencerminkan kinerja yang baik, karena PER yang tinggi bisa saja disebabkan oleh turunnya rata-rata pertumbuhan laba perusahaan.
2.1.4.4. Besaran perusahaan (ukuran perusahaan)
Ukuran perusahaan akan mempunyai pengaruh terhadap struktur modal dalam
suatu perusahaan. Pada kenyataannya semakin besar suatu perusahaan maka
kecenderungan penggunaan dana eksternal juga semakin besar. Hal ini disebabkan
perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang besar dan salah satu alternatif
pemenuhan dana yang tersedia adalah pendanaan eksternal. Kebijakan hutang
perusahaan dipengaruhi oleh ukuran besaran perusahaan dan ada hubungan yang
positif antara besaran perusahaan dan rasio hutang. Besaran perusahaan berpengaruh
positif terhadap leverage perusahaan (Brealey et.al, 2007).
2.1.4.5. Tingkat pertumbuhan penjualan
Bagi perusahaan dengan tingkat pertumbuhan penjualan dan laba yang tinggi
kecenderungan penggunaan hutang sebagai sumber dana eksternal yang lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tingkat pertumbuhan
penjualannya lebih rendah. Penggunaan hutang sebagai sumber dana untuk mendanai
pertumbuhan penjualan bersifat jangka pendek.
Pertumbuhan penjualan perusahaan berpengaruh positif dengan leverage
maka tingkat pertumbuhan penjualan berhubungan positif dengan hutang (Farid dan
2.1.4.6. Kebijakan dividen
Secara tidak langsung, kebijakan dividen akan memiliki pengaruh terhadap
tingkat penggunaan hutang suatu perusahaan. Kebijakan dividen yang stabil
menyebabkan adanya keharusan bagi perusahaan untuk menyediakan sejumlah dana
guna membayar jumlah dividen yang tetap tersebut (Husnan dan Pudjiastuti, 2002).
Apabila perusahaan menggunakan tingkat hutang yang tinggi, maka ada
kemungkinan bahwa dalam jangka panjang perusahaan tidak akan mampu membayar
dividen yang stabil serta memenuhi beban tetap hutang. Kebijakan dividen
mempunyai pengaruh yang negatif terhadap debt ratio (Husnan dan Pudjiastuti,
2002).
2.1.4.7. Risiko bisnis
Dalam suatu perusahaan, risiko bisnis akan meningkat jika penggunaan
hutang tinggi dan hal ini juga akan meningkatkan kemungkinan kebangkrutan bagi
perusahaan. Risiko bisnis ditunjukkan oleh variabilitas pendapatan yang akan
diterima pada masa yang akan datang (Horngren et.al, 2000). Perusahaan dengan
risiko yang tinggi seharusnya menggunakan hutang yang lebih sedikit untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan (Farid dan
Sudomo Siswanto, 1998).
2.1.4.8. Operating leverage
Variabel ini timbul dikarenakan perusahaan menggunakan cost operasi tetap
perusahaan, tingkat operating leverage pada suatu tingkat hasil akan ditunjukkan oleh
perubahan dalam volume penjualan yang mengakibatkan adanya perubahan yang
tidak proporsional dalam laba atau rugi operasi. Operating leverage merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi risiko bisnis (Farid dan Sudomo Siswanto, 1998).
Semakin besar Operating leverage perusahaan maka semakin besar variasi
keuntungan akibat perubahan pada volume penjualan perusahaan dan mengakibatkan
semakin besar risiko bisnis perusahaan. Pada tingkat risiko yang tinggi, sebaiknya
struktur modal dipertahankan atau mengurangi penggunaan hutang yang lebih besar.
Sebaliknya untuk perusahaan dengan cost tetap yang kecil dapat menggunakan
hutang yang lebih besar.